Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kegagalan Penanganan Empiema Tuberkulosis dengan Penyaliran Selang Dada di RS Persahabatan Indra Yovi, Boedi Swidarmoko, Erlina Burhan Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Persahabatan Factors Affecting Treatment Failure of Tuberculosis Empyema with Chest Tube Drainage at Persahabatan Hospital Abstrack: Introduction: The therapy for tuberculosis empyema is more complicated compared to the therapy for non-tuberculosis empyema. Surgical treatment is frequently necessary. However, the optimum time at which surgical intervention must be performed is still not settled. Methods: The medical records of patients with final diagnosis of thoracic tuberculosis empyema were collected during January 2004 to December 2008. A control group (success group with chest tube drainage) and a case group (failure group with chest tube drainage) were selected. Both groups were compared for factors that may influence the failure of chest tube drainage (case-control study). Results: In five years, 61 cases of thoracic empyema were recorded. Out of 47 traceable cases of thoracic empyema, 74.5% were tuberculosis empyema. Most patients (85.7%) are male in 40-60 year age group. The most frequent complaints were dyspnea, coughs, fever, weight loss, sleep hyperhidrosis, chest pain and hemoptysis, as well as anaemia and hypoalbumin. In average, the patients experienced 22 days of dyspnea. BTA tests or culture of M. tuberculosis in pleural, sputum, or bronchial aspirate gave positive results in 45.7% cases while in 37.1% cases, diagnosis were based on clinical symptoms and imaging studies. Water-seal chest drainage is placed in all patients with 40% success rate. Decortications with 100% success rate were failed in all WSD cases. Fatality occurred in 8.6% of patients. Conclusion: Chest pain and 40 mg/dl pleural glucose levels were the independent risk factors that affect the failure of chest tube drainage in tuberculosis empyema Key words: tuberculosis empyema, chest tube drainage Abstrak: Pendahuluan: Terapi untuk empiema (TB) lebih rumit dibandingkan dengan terapi empiema non-. Pembedahan sering dibutuhkan pada kasus ini. Namun, waktu optimal untuk intervensi bedah harus dilakukan masih belum jelas. Metode: Catatan medis pasien dengan diagnosis akhir dari empiema (TB) dikumpulkan selama Januari 2004 sampai Desember 2008. Dipilih kelompok kontrol (kelompok dengan penyaliran selang dada) dan kelompok kasus (kelompok yang gagal dengan penyaliran selang dada). Kedua kelompok dibandingkan untuk menilai faktor yang dapat mempengaruhi kegagalan penyaliran selang dada (studi kasus-kontrol). Hasil: Dalam lima tahun, 61 kasus empiema toraks dicatat. Dari 47 kasus empiema toraks, 74,5% adalah empiema TB. Sebagian besar pasien (85,7%) adalah laki-laki dalam kelompok usia 40-60 tahun. Keluhan yang paling sering adalah sesak napas, batuk, demam, penurunan berat badan, keringat malam, nyeri dada dan batuk darah, serta anemia dan hipoalbumin. Rata-rata pasien mengalami 22 hari sesak napas. Pemeriksaan BTA atau kultur M. pada pleura, dahak, atau aspirat bronkus memberikan hasil positif pada 45,7% kasus sedangkan pada 37,1% kasus, diagnosis didasarkan pada gejala klinis dan pencitraan. Water Seal Drainage (WSD) dilakukan pada semua pasien dengan tingkat keberhasilan 40%. Dekortikasi dengan tingkat keberhasilan 100%, dilakukan pada semua kasus yang gagal WSD. Kematian terjadi pada 8,6% pasien. Kesimpulan: Nyeri dada dan kadar glukosa pleura 40 mg/dl adalah faktor risiko independen yang mempengaruhi kegagalan penyaliran selang dada pada empiema. Kata kunci: empiema, penyaliran selang dada. 78 J Respir Indo Vol. 32, No. 2, April 2012
PENDAHULUAN Angka komplikasi dan kematian akibat empiema lebih tinggi daripada empiema non. Hal ini disebabkan karena empiema sering disertai dengan fibrokavitas pada parenkim paru, terdapatnya fistula bronkoalveolar dan kondisi penderita secara umum yang lebih buruk. 1 Selain itu terdapat kecenderungan peningkatan insidens empiema sejalan dengan peningkatan infeksi yang disebabkan peningkatan jumlah penderita imunosupresi karena HIV (Human Immunodeficiency Virus), tranplantasi dan pasca kemoterapi. 2 Di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta pada tahun 1970 1998 ditemukan 190 empiema toraks yang memerlukan tindakan pembedahan, dari 190 kasus tersebut ini 84 adalah empiema. 3 Terapi empiema seringkali sulit karena penetrasi obat anti ke rongga pleura yang terbatas dan tindakan penyaliran nanah dengan selang dada tidak memberikan respons yang diharapkan, sehingga modalitas penatalaksanaan lain yaitu pembedahan seperti dekortikasi, torakoplasti, maupun drainase terbuka diperlukan. 4-7 Penelitian ini diperlukan untuk mengetahui gambaran penderita dan penatalaksanaan empiema di RS Persahabatan. Penelitian juga menilai faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan penyaliran selang dada pada penanganan empiema, mengetahui frekuensi empiema toraks dan persentase empiema toraks, mengetahui karakteristik penderita empiema, mengetahui manifestasi klinis empiema, mengetahui metode diagnosis empiema, mengetahui modalitas dan hasil akhir terapi terapi empiema. METODE Penelitian dilakukan dengan metode case control yang dilakukan dengan mengambil data rekam medis. Lokasi penelitian adalah ruang perawatan paru dan bedah toraks RS Persahabatan, Jakarta. Subjek kasus pada penelitian ini adalah penderita empiema yang telah mengalami kegagalan penyaliran selang, sedangkan kelompok kontrol adalah penderita empiema yang telah berhasil dengan penyaliran selang antara 1 Januari 2004 sampai 31 Desember 2008. Mengingat penelitian ini hanya meneliti empiema yang jumlah kasus pertahunnya sedikit maka besarnya sampel adalah seluruh total populasi yang memenuhi syarat penelitian selama 5 tahun (1 Januari 2004 31 Desember 2008). Pada penelitian ini hanya ditemukan 35 kasus empiema yang memenuhi syarat penelitian dan seluruhnya dijadikan sampel penelitian. Kriteria inklusi adalah pasien dengan diagnosis empiema, data rekam medis lengkap, kelompok kasus: mengalami kegagalan terapi penyaliran selang, kelompok kontrol: mengalami keberhasilan terapi penyaliran selang. Kriteria eksklusi adalah data rekam medis yang tidak lengkap. Subjek diambil dengan cara yaitu setiap rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi dari tahun 2004 2008. Kasus dan kontrol dipilih secara random dalam kurun waktu yang telah ditentukan dengan proporsional. Identitas pasien akan dirahasiakan sesuai dengan etika penelitian. Alur penelitian dimulai dari pendataan nomor rekam medis penderita dengan diagnosis akhir empiema torasis dari buku registrasi pasien di semua ruangan rawat, penelusuran rekam medis penderita dan dilihat kelengkapan rekam medis. Dilakukan pendataan terhadap karakteristik demografik, manifestasi klinis, hasil pemeriksaan penunjang dan modalitas terapi, serta hasil akhir terapi semua penderita empiema torasis. Kemudian ditentukan kelompok kasus dan kelompok kontrol dari semua kasus empiema. Dilakukan pendataan faktor-faktor penyulit. Selanjutnya dilakukan pengolahan data dan analisis serta laporan. Dilakukan proses editing dan koding data penelitian dan kemudian dipindahkan ke dalam cakram magnetik komputer. Pembersihan rekaman data komputer dilakukan melalui proses validasi data dengan J Respir Indo Vol. 32, No. 2, April 2012 79
program Epi info. Data kuantitatif akan dihitung nilai reratanya (mean) dan sebaran (simpang baku). Dilakukan analisis kesetaraan diantara kelompok kasus dan kontrol dengan uji statistik parametrik maupun nonparametrik yang sesuai. Hubungan antara dua variabel kualitatif akan diuji dengan chi square test/ fisher exact test apabila diperlukan. Hubungan antara variabel kualitatif dan kuantitatif diuji dengan Student T/Mann Whitney Rank test bila diperlukan. Batas kemaknaan yang dipergunakan adalah = 5%. Apabila ditemukan faktor risiko/determinan lebih dari satu yang mempunyai nilai p<0,05 maka akan dilakukan analisis multivariat menggunakan metode logistik regresi. HASIL Karakteristik penderita dan diagnosis empiema Dari pendataan buku registrasi didapatkan penderita dengan diagnosis akhir empiema toraks yang dirawat di RS Persahabatan dari bulan Januari 2004 sampai Desember 2008 adalah sebanyak 61 kasus. Setelah dilakukan penelusuran rekam medis, ternyata dari 61 kasus tersebut 14 rekam medis tidak berhasil ditemukan. Dari 47 kasus empiema toraks yang rekam medisnya ditemukan, 35 kasus (74,5%) adalah empiema. Empat di antaranya merupakan kasus campuran antara empiema dan empiema non yaitu empiema karena pneumonia. Ke-35 kasus empiema ini baik yang murni maupun tidak dimasukkan ke dalam penelitian. Dari 35 kasus empiema tersebut hanya 25 kasus yang bisa diteliti karena terdapat 7 kasus pulang paksa dan 3 kasus meninggal dunia. Keluhan utama tersering yang membuat penderita masuk rumah sakit adalah sesak napas (74,3%) dan rata-rata penderita empiema telah merasakan keluhan utama tersebut selama 22 hari sebelum masuk rumah sakit. Secara keseluruhan sesak napas juga merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan (baik sebagai keluhan utama maupun bukan) oleh penderita (88,6%), diikuti oleh batuk (85,7%), demam (80%), penurunan berat badan (80%), keringat malam (68,6%), nyeri dada (42,9%) dan batuk darah (5,7%) (tabel 3). Kadar hemoglobin penderita rata-rata lebih rendah dari normal yaitu 11,2 g/dl, demikian juga dengan kadar albumin serum yaitu 3,1 g/dl. Rata-rata kadar leukosit darah penderita empiema pada penelitian ini meningkat yaitu 14.300/ml. Hasil analisis cairan pleura 35 kasus pada penelitian ini yaitu kadar protein rata-rata adalah 4,7 g/dl, glukosa 27,9 mg/dl, LDH 7.700 IU/ml dan ALP 208,6 IU/ml dan jumlah leukosit rata-rata cairan pleura adalah 81.900/ml. Rata-rata persentase PMN dan MN adalah 51,5% dan 48,5% (tabel 3). Persentase MN lebih banyak dibanding PMN terdapat pada 46,4% kasus. Pada analisis cairan pleura semua kasus tidak terdapat hasil ph, demikian juga dengan kadar interferon dan adenosin deaminase (ADA). Dari 35 kasus empiema yang didiagnosis sebagai empiema pada penelitian ini, 9 kasus (25,7%) merupakan diagnosis definitif yaitu ditemukan M. tuberculosis dari pewarnaan BTA atau kultur cairan pleura. Pemeriksaan PCR M. tuberculosis dari cairan pleura penderita positif pada 2 kasus (5,7%). Dari 35 kasus empiema yang masuk dalam penelitian ini, pemeriksaan PCR hanya dilakukan pada dua kasus tersebut saja. Pemeriksaan PCR ini tidak rutin dilakukan untuk diagnosis empiema di RS Persahabatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan pemasangan selang salir pada empiema Berdasarkan uji Mann Whitney rank kelompok bedah secara bermakna memiliki kadar glukosa dan protein cairan pleura lebih rendah dibanding kelompok kontrol (masing-masing p=0,050 dan 0,012) dan memiliki kadar hemoglobin yang lebih tinggi dibanding kontrol (p=0,049). Kelompok kontrol secara bermakna lebih sering memiliki satu atau lebih faktor komorbid (p=0,017) dan lebih sering positif hasil pemeriksaan BTA dan kultur M. tuberculosis cairan pleura (p=0,047) dibanding kelompok bedah berdasarkan uji mutlak Fisher (tabel 2) 80 J Respir Indo Vol. 32, No. 2, April 2012
Tabel 1: Manifestasi klinis penderita empiema Manifestasi klinis Lama keluhan utama timbul (rerata (SD), hari) Gejala klinis (n (%)) Sesak napas Batuk Demam Penurunan berat badan Keringat malam Nyeri dada Batuk darah Hemoglobin ((n (SD), g/dl) Albumin serum (rerata (SD), g/dl) Leukosit darah (1000) per ml (rerata (SD)) Sisi dada yang sakit (n (%)) Kanan Kiri Bilateral Uni/multiloculated (n (%)) CT-scan tidak dilakukan CT-scan dilakukan Uniloculated (dari hasil CT-scan) Multiloculated (dari hasil CT-scan) Analisis cairan pleura (rerata (SD)) Protein (g/dl) Glukosa (mg/dl) LDH (1000) (IU/ml) Leukosit(1000) per ml Persentase PMN Persentase MN ALP (IU/ml) jumlah (n=35) 22,1 (29,1) 31 (88,6) 30 (85,7) 28 (80) 28 (80) 24 (68,6) 15 (42,9) 2 (5,7) 11,2 (1,8) 3,1 (0,7) 14,3 (8,7) 17 (48,6) 16 (45,7) 2 (5,7) 18 (51,4) 17 (48,6) 13 (76,5) 4 (23,6) 4,7 (2,3) 27,9 (31,9) 7,7 (10,6) 81,9 (183,1) 51,5 (22,4) 48,5 (22,4) 208,6 (400,2) 1998 oleh Busroh, dkk. 3 mendapatkan dari 190 kasus empiema toraks yang memerlukan tindakan pembedahan, kasus empiema toraks non lebih banyak dibanding empiema (55,8% dibanding 44,2%). Tabel 2 : Karakteristik penderita pada kelompok bedah dan kontrol Untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan penyaliran selang dada dilakukan analisis multivariat dengan metode regresi logistik terhadap semua faktor yang berpotensi menyebabkan kegagalan terapi penyaliran selang dada untuk mendapatkan odds ratio (tabel 3). Dapat dilihat bahwa terdapatnya keluhan nyeri dada, kadar glukosa yang < 40 mg/dl dan hasil pemeriksaan BTA atau kultur M. tuberculosis cairan pleura yang positif merupakan faktor penyulit bebas kegagalan penyaliran selang dada pada empiema (odds ratio > 3). Nyeri dada dikeluhkan oleh 63,6% kelompok bedah dibanding hanya 21,4% pada kelompok kontrol. Glukosa < 40 mg/dl terdapat pada 81,8% kelompok bedah dibanding 50% pada kelompok kontrol. Pemeriksaan BTA dan kultur M. tuberculosis positif pada 45,5% kelompok bedah dibanding 7,1% pada kelompok kontrol. PEMBAHASAN Karakteristik penderita dan diagnosis empiema Dari penelitian ini didapatkan bahwa merupakan penyebab utama empiema toraks (74,5%). Penelitian sebelumnya di RS Persahabatan tahun 1970 J Respir Indo Vol. 32, No. 2, April 2012 81
Tabel 3: Analisis faktor penyulit dengan metode regresi logistik Faktor penyulit Nyeri dada Ya Tidak Glukosa < 40 mg/dl > 40 mg/dl Pemeriksaan BTA atau kultur M. TB cairan pleura Positif Negatif Protein > 3 g/dl < 3 g/dl Bedah (n=11) 7 4 9 2 5 6 10 1 Kontrol (n=14) 3 11 7 7 1 13 9 5 p (Fisher exact test) 0,049 0,047 0,056 0,046 Odds ratio (95% CI) 6,42 (0,83-59,03) 9,00 (0,68-256,99) 10,83 (1,03-114,15) 2,25 (1,37-3,77) Sebagian besar penderita empiema pada penelitian ini adalah laki-laki (85,7%). Rerata usia penderita adalah 39 tahun dan penderita terbanyak berada pada kelompok usia 40 60 tahun (48,6%). Hal ini tidak berbeda dengan yang dilaporkan oleh Malhotra, dkk. 8 yaitu usia rata-rata adalah 38 tahun dan 75% penderita berjenis kelamin laki-laki. Secara keseluruhan sesak napas juga merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan (baik sebagai keluhan utama maupun bukan) oleh penderita (88,6%), diikuti oleh batuk (85,7%), demam (80%), penurunan berat badan (80%), keringat malam (68,6%), nyeri dada (42,9%) dan batuk darah (5,7%) (tabel 1). Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa seperti empiema toraks pada umumnya nyeri dada, batuk dan sesak napas dapat terjadi. 1 Pada penelitian ini juga didapatkan rata-rata penderita menderita anemia, penurunan kadar albumin serum dan sedikit leukositosis (14.300/ml). Lima puluh enam persen penderita empiema pada penelitian Malhotra, dkk. 8 juga menderita malnutrisi (BMI < 18,5 kg/m) dengan tanda-tanda anemia dan hipoalbumin. Malnutrisi secara bermakna lebih banyak ditemukan pada penderita empiema dibandingkan non. Hal ini disebabkan karena pada penderita biasanya juga ditemukan infeksi di parenkim paru yang bersifat kronis dan biasanya penderita juga memiliki satu atau lebih faktor komorbid. 1 Malhotra, dkk. 8 juga melaporkan terdapat leukositosis pada penderita, dengan rata-rata kadar leukosit darah 14.968/ml. Hasil analisis cairan pleura 35 kasus pada penelitian ini yaitu kadar protein rata-rata adalah 4,7 g/dl, glukosa 27,9 mg/dl, LDH 7,700 IU/ml dan ALP 208,6 IU/ml dan jumlah leukosit rata-rata cairan pleura adalah 81.900/ml. Rata-rata analisis cairan pleura penderita empiema pada penelitian ini sesuai dengan analisis cairan pleura untuk empiema yaitu glukosa kurang dari 40 mg/dl, LDH di atas 1.000 IU/L, protein di atas 3 g/dl dan sel darah putih lebih dari 15.000 sel/mm 3. 9 Malhotra, dkk. 8 mendapatkan analisis cairan pleura penderita empiema yang hampir serupa yaitu protein 5 g/dl, glukosa 37 mg/dl, jumlah leukosit total adalah 8.000/mm 3. Pada penelitian ini didapatkan pemeriksaan BTA atau kultur M. tuberculosis cairan pleura, sputum atau bilasan bronkus positif pada 45,7% kasus.. Sedangkan pada 37,1% kasus diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pencitraan. Penelitian oleh Acharya, dkk. 10 melaporkan pada 73% dari 26 kasus empiema didapatkan hasil pemeriksaan BTA positif. Modalitas terapi empiema dan hasil akhir terapi Pada semua kasus empiema tersebut (35 kasus) langsung dilakukan pemasangan WSD (pada satu kasus WSD telah terpasang sebelum masuk RS. Persahabatan) dan pemberian OAT. Pada semua kasus, WSD rata-rata dipasang selama 39 hari. Keberhasilan terapi WSD didapatkan pada 40% penderita. Pada kasus WSD berhasil, WSD dipasang selama rata-rata 35,4 hari. Terdapat perbedaan bermakna lama pemasangan WSD antara kasus dengan WSD berhasil dengan WSD gagal yang dilanjutkan dengan pembedahan (p=0,029). Jenis pembedahan pada semua kasus WSD gagal ini adalah dekortikasi dengan tingkat keberhasilan 100 %. Tujuh penderita lainnya minta pulang paksa sebelum WSD dinyatakan berhasil ataupun gagal. Faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan pemasangan selang salir pada empiema Keluhan nyeri dada merupakan faktor penyulit bebas kegagalan penyaliran selang dada pada empiema. Terdapatnya nyeri pleuritik menunjukkan 82 J Respir Indo Vol. 32, No. 2, April 2012
bahwa pleura parietal terlibat dan penderita menderita efusi pleura eksudatif. 11 Jadi nyeri dada merupakan salah satu faktor penyulit dapat diterangkan karena nyeri dada menunjukkan terdapatnya inflamasi yang lebih lanjut dan telah melibatkan pleura parietal. Penulis tidak dapat menemukan literatur yang menyatakan bahwa nyeri pleuritik ini berhubungan dengan penebalan pleura atau terdapatnya banyak perlengketan (jaringan parut) pada pleura viseral. Selain nyeri dada, rendahnya kadar glukosa cairan pleura merupakan faktor penyulit bebas kegagalan penyaliran selang dada pada analisis multivariat. Rendahnya kadar glukosa cairan pleura telah diketahui merupakan faktor prognostik yang buruk untuk efusi parapneumonik dan empiema serta merupakan indikator diperlukannya tindakan yang lebih agresif seperti penyaliran selang dada. 12 Faktor penyulit bebas ketiga kegagalan penyaliran selang dada berdasarkan analisis multivariat pada penelitian ini adalah hasil pemeriksaan BTA atau kultur M. tuberculosis yang positif. Hasil pewarnaan BTA dan kultur M. tuberculosis yaang positif menunjukkan banyaknya M. tuberculosis yang terkandung dalan cairan empiema penderita. Kelompok bedah secara bermakna memiliki kadar protein cairan pleura lebih rendah dibanding kelompok kontrol, namun dari analisis multivariat protein cairan pleura bukan merupakan faktor penyulit bebas. Bila dilihat dari jenisnya, faktor komorbid yang lebih banyak ditemukan pada kelompok kontrol adalah diabetes melitus, gangguan fungsi ginjal dan hati, HIV serta PPOK. Sedangkan faktor komorbid bekas TB semuanya terdapat pada kelompok bedah. Faktorfaktor komorbid yang lebih banyak terdapat pada kelompok kontrol tersebut hampir semuanya menyebabkan terjadinya gangguan sistem imunitas. Gangguan sistem imunitas ini secara umum dapat menyebabkan pembentukan fibrin di permukaan pleura. KESIMPULAN 1. Selama lima tahun didapatkan 61 kasus empiema toraks. Dari 47 kasus empiema toraks yang dapat ditelusuri 74,5% adalah empiema. 2. Sebagian besar penderita adalah laki-laki (85,7%) dan berada pada kelompok usia 40 60 tahun. 3. Keluhan yang paling sering ditemui adalah sesak napas, batuk, demam, penurunan berat badan, keringat malam, nyeri dada dan batuk darah, serta anemia dan hipoalbumin. Sesak napas rata-rata telah berlangsung selama 22 hari. 4. Pemeriksaan BTA atau kultur M. tuberculosis cairan pleura, sputum atau bilasan bronkus positif pada 45,7% kasus, sedangkan pada 37,1% kasus diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pencitraan. 5. Pada semua penderita dilakukan pemasangan WSD dengan angka kegagalan 60%. Semua kasus WSD gagal dilakukan dekortikasi dengan 100% keberhasilan. 6. Faktor-faktor penyulit bebas kegagalan penyaliran selang dada pada empiema antara lain nyeri dada, kadar glukosa yang < 40 mg/dl dan hasil pemeriksaan BTA atau kultur M. tuberculosis cairan pleura yang positif DAFTAR PUSTAKA 1. Sahn SA, Iseman MD. Tuberculous empyema. Semin Respir Infect 1999; 14:82-7. 2. Ferrer J. Pleural tuberculosis. Eur Respir J 1997; 10:942-7. 3. Busroh ID. Pembedahan pada empiema. In: Rachmad KB, ed. Empiema toraks. Penanganan bedah terkini. 2 nd edition. Jakarta: Subbagian Bedah Toraks FKUI; 2003.p.41-6. 4. Pezzella AT, Fang W. Surgical aspects of thoracic tuberculosis: a contemporary review part 2. Curr Probl Surg 2008; 45:771-829. 5. Light RW. Tuberculous pleural effusions. Pleural disease. 4 th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001.p.211-23. 6. Light RW. Parapneumonic effusions and empyema. Proc Am Thorac Soc 2006; 3: 75 80. 7. Hopewell PC, Bloom BR. Tuberculosis and other J Respir Indo Vol. 32, No. 2, April 2012 83
mycobacterial diseases. In: Murray JF, Nadel JA, eds. Textbook of respiratory medicine. 3 rd edition. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 2000.p.1043-98. 8. Malhotra P, Aggarwal AN, Agarwal R, Ray P, Gupta D, Jindal SK. Clinical characteristics and outcomes of empyema thoracis in 117 patients: A comparative analysis of tuberculous vs. nontuberculous aetiologies, Respiratory Medicine 2007; 101: 423 30. 9. Gopi A, Madhavan SM, Sharma SK, Sahn SA. Diagnosis and treatment of tuberculous pleural effusion in 2006. Chest 2007; 131:880-9. 10. Alfageme I, Munoz F, Pena N, Umbria S. Empyema of the thorax in adults. Etiology, microbiologic findings, and management Chest 1993; 103; 839-43. 11. Light RW. Clinical manifestations and useful tests. Pleural disease. 4 th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001.p.73-108. 12. Light RW. Parapneumonic Effusions and Empyema. Pleural disease. 4 th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001.p.179-206. 84 J Respir Indo Vol. 32, No. 2, April 2012