VI. STRUKTUR BIAYA TRANSAKSI. produksi serta rasio biaya transaksi dan penerimaan, rasio biaya transaksi dan

dokumen-dokumen yang mirip
V. DESKRIPSI WILAYAH DAN RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN. umum rumahtangga petani peternak sapi sebagai responden. Keadaan umum wilayah

VII. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN. rumahtangga petani peternak sapi di Sulawesi Utara dengan menggunakan

VIII. DAMPAK BIAYA TRANSAKSI, HARGA DAN UPAH TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN

ANALISIS USAHATANI TERPADU TANAMAN PADI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH

ANALISIS USAHA PADA PENGGEMUKAN SAPI POTONG

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor,

BAB III METODE PENELITIAN

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG, KACANG HIJAU DAN SAPI DALAM MODEL KELEMBAGAAN PETANI, PERMODALAN DAN PEMASARAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

DESEMBER 2014 PUSAT PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PERIZINAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN JANUARI, 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH

BAB VI ANALISIS USAHA AYAM RAS PEDAGING DI PASAR BARU BOGOR

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

ANALISIS KEUNTUNGAN DAN PEMASARAN USAHATANI JAGUNG HIBRIDA DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN. Eka Miftakhul Jannah, Abdul Wahab, Amrizal Nazar ABSTRAK

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi opersional ini mencakup pengertian yang digunakan

DISERTASI FEMI HADIDJAH ELLY

IV. METODE PENELITIAN

SEPTEMBER 2014 PUSAT PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PERIZINAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

ASSALAMUALAIKUM WAROHMATULLAHI WABAROKATUH

OKTOBER 2014 PUSAT PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PERIZINAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014

NOVEMBER 2014 PUSAT PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PERIZINAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH

VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha

Intisari. Kajian Analisis Usaha Ternak Kambing di Desa Lubangsampang Kec. Butuh Kabupaten Purworejo. Zulfanita

I. PENDAHULUAN. yang keduanya tidak bisa dilepaskan, bahkan yang saling melengkapi.

I. PENDAHULUAN. yang memiliki potensi hijauan hasil limbah pertanian seperti padi, singkong, dan

IV. METODE PENELITIAN

MEI 2014 PUSAT PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PERIZINAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014

POHON KINERJA DINAS PERTANIAN

ANALISIS NILAI TAMBAH LIMBAH JAGUNG SEBAGAI PAKAN TERNAK SAPI DI SULAWESI SELATAN ABSTRAK

LAPORAN BULANAN MEI 2015 KEMENTERIAN PERTANIAN PUSAT PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PERIZINAN PERTANIAN JUNI 2015

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar ini mencakup pengertian yang digunakan untuk menunjang dan

FUNGSI : a. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanian yang meliputi tanaman pangan, peternakan dan perikanan darat b.

RENCANA KERJA DAN ANGGARAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH

HASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN. tabungan untuk keperluan di masa depan. Jumlah populasi kerbau pada Tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DISERTASI FEMI HADIDJAH ELLY

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penentuan lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive

III. METODE PENELITIAN. memperoleh dan menganalisis data yang akan dianalisis berhubungan dengan

III. METODE PENELITIAN. untuk mengelola faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, dan modal yang

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SULAWESI UTARA

PEMANFAATAN JERAMI JAGUNG FERMENTASI PADA SAPI DARA BALI (SISTEM INTEGRASI JAGUNG SAPI)

LAPORAN BULANAN MARET 2015 KEMENTERIAN PERTANIAN PUSAT PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PERIZINAN PERTANIAN APRIL 2015

LAPORAN BULANAN APRIL 2015 KEMENTERIAN PERTANIAN PUSAT PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PERIZINAN PERTANIAN MEI 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

NILAI TUKAR PETANI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BULAN FEBRUARI 2014 SEBESAR 102,63

NILAI TUKAR PETANI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BULAN AGUSTUS 2014 SEBESAR 102,18

NILAI TUKAR PETANI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BULAN APRIL 2015 SEBESAR 98,71

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah

I. PENDAHULUAN. dengan kepemilikan rata-rata 2-3 ekor sapi. Biasanya sapi potong banyak

DESKRIPSI HARGA JUAL DAN VOLUME PENJUALAN PEDAGANG PENGUMPUL AYAM POTONG DI KOTA MAKASSAR

2. TINJAUAN PUSTAKA. π = f (Py; Pxi; ;Pzj)

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional meliputi pengertian yang digunakan

BAB III KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TAHUN Target. Realisasi Persentase URAIAN (Rp)

Sistem Usahatani Terpadu Jagung dan Sapi di Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar

NILAI TUKAR PETANI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BULAN MARET 2015 SEBESAR 99,48

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

LAPORAN BULANAN JULI 2015 KEMENTERIAN PERTANIAN PUSAT PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PERIZINAN PERTANIAN AGUSTUS 2015

BAB VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI CAISIM

NILAI TUKAR PETANI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BULAN MARET 2014 SEBESAR 102,05

NILAI TUKAR PETANI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BULAN DESEMBER 2014 SEBESAR 99,65

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Hewan Desa Suka Kecamatan. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang bersifat

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio).

PENCAPAIAN TARGET SWASEMBADA JAGUNG BERKELANJUTAN PADA 2014 DENGAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIS

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR

METODE PENELITIAN. merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

LAPORAN BULANAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PERIZINAN PERTANIAN

perluasan kesempatan kerja di pedesaan, meningkatkan devisa melalui ekspor dan menekan impor, serta menunjang pembangunan wilayah.

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk

NILAI TUKAR PETANI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BULAN OKTOBER 2014 SEBESAR 103,40

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

LAPORAN BULANAN JANUARI 2014

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Ayam Broiler

NILAI TUKAR PETANI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BULAN MEI 2015 SEBESAR 99,24

PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

VI. STRUKTUR BIAYA TRANSAKSI Berdasarkan tujuan penelitian pertama, dalam bab ini akan dibahas besarnya biaya transaksi berdasarkan usaha ternak sapi jagung di Minahasa dan usaha ternak sapi kelapa di Bolaang Mongondow. Kemudian dikaji rasio biaya transaksi dan total biaya produksi serta rasio biaya transaksi dan penerimaan, rasio biaya transaksi dan pendapatan serta biaya transaksi dan harga ternak sapi pada usaha ternak sapi, usaha jagung dan usaha kelapa. 6.1. Biaya Transaksi dalam Usaha Ternak Sapi Biaya transaksi dalam usaha ternak sapi baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow adalah biaya yang dikeluarkan rumahtangga mulai aktivitas pembelian input, aktivitas proses produksi sampai distribusi ternak. Masing-masing biaya transaksi tersebut dihitung per volume penjualan atau per kg ternak sapi. Dalam penelitian ini, biaya transaksi yang dianalisis untuk usaha ternak sapi adalah biaya transaksi pada saat penjualan ternak sapi. Hal ini disebabkan usaha ternak yang ada merupakan usaha turun temurun sehingga rumahtangga tidak membeli bibit ternak. Komponen biaya transaksi dalam usaha ternak sapi diantaranya biaya perantara penjualan sapi, biaya transpor penjualan sapi, biaya retribusi penjualan sapi dan biaya administrasi penjualan sapi. Besarnya komponen biaya transaksi tergantung lokasi penjualan ternak sapi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa rumahtangga di Minahasa sebagian besar menjual ternak di pasar blantik. Sedangkan sebagian besar rumahtangga di Bolaang Mongondow menjual ternak dengan didatangi

196 pedagang. Lokasi penjualan ternak sapi dan jumlah responden dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Jumlah Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman Menurut Lokasi Penjualan Sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Lokasi Penjualan Jumlah Rumahtangga (Unit) (%) A. Minahasa 1. Pasar Blantik 165 85.50 2. Dirumah Petani Peternak 29 14.50 Total 194 100.00 B. Bolaang Mongondow 1. Pasar Blantik 25 10.73 2. Dirumah Petani Peternak 190 81.55 3. Di Pelabuhan 18 7.72 Total 233 100.00 Berdasarkan data Tabel di atas menunjukkan, rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa 85.50 persen (165 rumahtangga) menjual ternaknya di pasar blantik, sisanya 14.50 persen menjual dirumah petani peternak atau didatangi pedagang. Sebaliknya rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow 81.55 persen (190 rumahtangga) menjual di rumah atau didatangi pedagang. Sekitar 10.74 persen menjual di pasar blantik dan sisanya 7.72 persen menjual keluar daerah yaitu di pelabuhan Boroko. Hal ini disebabkan, pertama, lokasi penelitian di Minahasa berdekatan dengan pasar blantik, sehingga ternak sapi dapat digiring tanpa menggunakan kendaraan. Sedangkan lokasi penelitian di Bolaang Mongondow sebagian besar jauh dari pasar blantik. Kedua, sudah menjadi tradisi di Minahasa untuk menjual ternak di pasar blantik yang pada awalnya pasar blantik tersebut berfungsi sebagai tempat pertukaran ternak (barter).

197 Rumahtangga menjual ternak baik di pasar blantik maupun dirumah petani peternak menanggung biaya transpor, biaya retribusi dan biaya administrasi. Namun penjualan ternak sapi di pasar blantik maupun dirumah atau didatangi pedagang menanggung biaya perantara. Biaya-biaya yang terjadi pada saat transaksi dilakukan baik di Minahasa maupun di Bolaang Mongondow dinyatakan sebagai variabel transaction cost. Menurut Benham and Benham (2001) bahwa ada dua tipe biaya transaksi yang dikenal yaitu : (1) fixed transaction cost; dan (2) variable transaction cost. Fixed transaction cost adalah investasi spesifik yang dinyatakan dalam menentukan susunan kelembagaan, sedangkan variable transaction cost adalah biaya yang tergantung pada jumlah atau volume transaksi. Rata-rata biaya transaksi penjualan ternak sapi per kg dan komponennya sesuai hasil penelitian di Minahasa dan Bolaang Mongondow dapat dilihat pada tabel 32. Tabel 32. Rata-rata Biaya Transaksi Usaha Ternak Sapi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi - Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Komponen Minahasa Bolaang Mongondow Biaya Transaksi (Rp/Kg) (%) (Rp/Kg) (%) 1. Biaya Transpor 805.98 13.49 861.79 13.88 2. Biaya Perantara 5 065.11 84.80 5 194.75 83.64 3. Biaya Administrasi 85.25 1.43 97.71 1.57 4. Biaya Retribusi 16.64 0.28 56.79 0.91 T o t a l 5 972.98 100.00 6 211.04 100.00 Data pada Tabel 32 menunjukkan bahwa total biaya transaksi (Rp/kg) di Minahasa lebih kecil dibanding di Bolaang Mongondow. Hal ini disebabkan di pasar blantik Minahasa terdapat perantara yang cukup banyak sehingga rumahtangga petani peternak sapi dapat memilih perantaranya. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,

198 sebagian besar rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa menjual ternaknya di pasar blantik. Perantara menentukan harga ternak sapi sesuai berat badan dan tidak diketahui oleh petani peternak. Dalam hal ini baik di pasar blantik maupun di lokasi peternak tidak tersedia fasilitas timbangan ternak sapi, sehingga proses tawar menawar yang terjadi berdasarkan berat badan ternak sapi yang tidak diketahui rumahtangga petani peternak sapi. Berapa besar berat ternak sapi ditentukan oleh perantara. Hal ini yang menyebabkan harga jual yang diterima rumahtangga lebih kecil. Biaya perantara sudah ditentukan perantara sekitar 10-20 persen dari harga ternak yang terjual. Selanjutnya persentase komponen biaya transaksi yang terbesar baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow adalah biaya perantara penjualan ternak sapi yaitu masing-masing sebesar 84.80 persen dan 83.64 persen, walaupun biaya perantara yang ditanggung rumahtangga di Minahasa lebih kecil dibanding petani peternak sapi di Bolaang Mongondow. Biaya perantara merupakan biaya yang dikeluarkan rumahtangga petani peternak sapi terhadap jasa perantara dalam penjualan ternak sapi. Besarnya biaya perantara di Minahasa dan Bolaang Mongondow disebabkan perantara yang berperan untuk menghubungkan antara rumahtangga dan pedagang. Dalam hal ini, rumahtangga petani peternak sapi tidak mempunyai informasi pembeli atau pedagang dan khususnya di Bolaang Mongondow juga tidak mempunyai informasi harga per ekor ternak sapi. Fenomena ini menunjukkan rumahtangga petani peternak sapi berada pada posisi tawar yang lemah. Walaupun rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa masih bisa memilih perantara mana yang bisa diterima sebagai

199 penghubung. Berdasarkan kondisi tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa rumahtangga petani peternak sapi menghadapi struktur pasar tidak sempurna (imperfect competition). Biaya perantara penjualan sapi di Bolaang Mongondow lebih besar dibanding di Minahasa. Hal ini disebabkan bahwa sebagian besar rumahtangga di Bolaang Mongondow didatangi pedagang, sehingga rumahtangga tidak mempunyai pilihan lain untuk menjual ternaknya. Berdasarkan Tabel 32 juga menunjukkan biaya transpor yang dikeluarkan rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow lebih besar dibanding rumahtangga di Minahasa yaitu masing-masing sekitar 13.88 persen dan 13.49 persen. Biaya transpor rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa terdiri dari biaya transpor ke pasar blantik dan biaya transpor pedagang ke rumah petani. Sedangkan biaya transpor rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow terdiri dari biaya transpor ke pasar blantik, biaya transpor ke rumah petani dan biaya transpor ke pelabuhan (Tabel 33). Tabel 33. Rata-Rata Biaya Transpor Usaha Ternak Sapi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi - Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Biaya Transpor Minahasa Bolaang Mongondow (Rp/Kg) (%) (Rp/Kg) (%) 1. Ke Pasar Blantik 680.35 84.41 164.59 19.10 2. Ke Rumah Petani 125.63 15.59 569.73 66.11 3. Ke Pelabuhan - - 127.47 14.79 T o t a l 805.98 100.00 861.79 100.00 Tabel 33 menunjukkan biaya transpor rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow lebih besar dibanding di Minahasa. Biaya transpor yang

200 ditanggung rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow adalah biaya transpor ke pasar blantik sebesar 19.10 persen, biaya transpor pedagang yang datang ke rumah petani peternak yaitu sebesar 66.11 persen dan biaya transpor ke pelabuhan sebesar 14.79 persen. Biaya transpor pedagang ke rumah petani peternak sapi adalah terbesar menyebabkan biaya transaksi yang ditanggung rumahtangga di Bolaang Mongondow lebih tinggi dan tidak diketahui rumahtangga. Dalam hal ini pedagang menentukan harga lebih murah karena biaya transpor pedagang dikurangi dari harga beli pedagang tersebut. Akibatnya harga per ekor ternak sapi yang diterima rumahtangga di Bolaang Mongondow lebih rendah. Sebagian rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow juga menanggung biaya transpor pada saat menjual ternak di pelabuhan Boroko, dalam hal ini tidak dilakukan oleh rumahtangga di Minahasa. Biaya transpor pedagang yang datang ke rumah ditanggung rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa lebih kecil (15.59 persen) bila dibandingkan biaya transpor ke pasar blantik (84.41 persen). Hal ini disebabkan pedagang yang datang ke rumah petani adalah pedagang yang berdomisili di desa tersebut dan desa lain sekitar lokasi peternakan dan tidak menggunakan kendaraan. Sebaliknya, biaya transpor yang ditanggung rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow adalah biaya transpor pedagang yaitu sebesar 66.11 persen yang ditentukan pedagang. Pedagang tersebut menggunakan kendaraan dari tempat asal pedagang yaitu berasal dari kota Manado dan Minahasa. Biaya administrasi adalah biaya yang dikeluarkan rumahtangga petani peternak sapi pada saat ternaknya terjual. Biaya administrasi yang ditanggung

201 rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow lebih besar dibanding rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa yaitu masing-masing sebesar 1.57 persen dan 1.43 persen. Hal ini disebabkan rumahtangga di Bolaang Mongondow membayar administrasi di desa lebih besar yaitu sekitar Rp 10 000 sampai Rp 15 000 per ekor. Sedangkan rumahtangga di Minahasa membayar administrasi di pasar blantik sebesar Rp 10 000 per ekor. Di pasar blantik kabupaten Minahasa terdapat petugas dinas pasar dan dinas kehewanan, sehingga setiap terjadi transaksi maka rumahtangga langsung membayar biaya administrasi. Biaya transaksi tersebut sudah ditentukan oleh pemerintah. Berarti setiap terjadi transaksi ada kontrol dari pemerintah. Namun biaya administrasi tersebut belum sesuai PERDA. Biaya administrasi sesuai PERDA di Sulawesi Utara Rp 50 000 per ekor untuk pengeluaran ternak sapi potong. Biaya retribusi merupakan biaya yang dikeluarkan rumahtangga petani peternak sapi pada saat masuk di pasar blantik dan biaya retribusi yang dibayar ke desa. Besarnya biaya retribusi yang ditanggung rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow lebih besar dibanding rumahtangga di Minahasa yaitu masingmasing sebesar 0.91 persen dan 0.28 persen. Hal ini disebabkan sebagian rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow membayar retribusi di desa yang ditentukan lebih tinggi yaitu sekitar Rp 5 000 sampai Rp 10 000 per ekor. Sedangkan rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa membayar retribusi di pasar blantik sekitar Rp 2 000 per ekor. Namun biaya retribusi tersebut belum sesuai PERDA. Biaya retribusi sesuai PERDA di Sulawesi Utara Rp 25000 per ekor untuk ternak sapi potong.

202 6.2. Biaya Transaksi dalam Usaha Jagung Biaya transaksi yang terjadi pada usaha jagung mulai pembelian input sampai pada distribusi produk jagung. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, biaya transaksi pada usaha jagung terdiri dari biaya transpor penjualan jagung, biaya transpor pembelian benih dan biaya transpor pembelian pupuk (Tabel 34). Tabel 34. Rata-Rata Biaya Transaksi Usaha Jagung Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Jagung di Minahasa, Tahun 2006-2007 Komponen Biaya Transaksi Biaya (Rp/Kg) (%) 1. Biaya Transpor Penjualan Jagung 8.73 18.40 2. Biaya Transpor Pembelian Benih 5.59 11.78 3. Biaya Transpor Pembelian Pupuk 33.13 69.82 T o t a l 47.45 100.00 Tabel 34 menunjukkan biaya transpor pembelian pupuk merupakan biaya transaksi terbesar yaitu sekitar 69.82 persen dari total biaya transaksi per kg jagung. Kemudian diikuti dengan biaya transaksi penjualan jagung sekitar 18.40 persen dan yang terkecil adalah biaya pembelian benih sebesar 11.78 persen. Besarnya biaya transpor pembelian pupuk merupakan biaya terbesar disebabkan harga pupuk ditentukan oleh pedagang, selain itu pupuk diantar oleh pedagang sehingga harga pupuk ditambah dengan biaya transpor. Fenomena seperti dijelaskan di atas menunjukkan rumahtangga menghadapi struktur pasar tidak sempurna. 6.3. Biaya Transaksi dalam Usaha Kelapa Biaya transaksi yang terjadi pada usaha kelapa tidak seperti pada usaha jagung. Biaya transaksi pada usaha kelapa terdiri dari biaya transpor penjualan kopra dan biaya penyimpanan kopra (Tabel 35). Brithal et al. (2006) mengkuantitatifkan biaya transaksi

203 pada tingkat produsen termasuk biaya penyimpanan dan penurunan kualitas suatu produk. Biaya penyimpanan dihitung berdasarkan biaya kadar air kopra menurut istilah pedagang. Kopra yang kadar airnya tinggi berarti biayanya lebih tinggi lagi. Cara mengatasinya yaitu kopra disimpan atau dijemur. Tabel 35. Rata-Rata Biaya Transaksi Usaha Kelapa Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Kelapa di Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 Komponen Biaya Transaksi Biaya (Rp/Kg) (%) 1. Biaya Transpor Penjualan Kopra 26.33 22.52 2. Biaya Penyimpanan 90.61 77.48 T o t a l 116.94 100.00 Tabel 35 menunjukkan bahwa biaya penyimpanan merupakan biaya terbesar yaitu 77.48 persen, kemudian diikuti biaya transpor penjualan kopra sebesar 22.52 persen per kg kopra. Walaupun biaya transpor lebih kecil dibanding biaya penyimpanan namun biaya tersebut dapat mempengaruhi penerimaan pada usaha kelapa. Harga penjualan kopra ditentukan oleh pedagang. Kemudian harga yang diterima rumahtangga adalah harga yang sudah dikurangi biaya penyimpanan dan biaya transpor penjualan kopra. Dalam hal ini rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow menghadapi struktur pasar tidak sempurna (imperfect competition) dalam penjualan kopra. 6.4. Efisiensi Usaha Efisiensi usaha dalam penelitian ini diukur berdasarkan usaha ternak sapi, usaha ternak sapi - jagung dan usaha ternak sapi - kelapa. Kriteria untuk melihat

204 efisiensi diantaranya rasio biaya transaksi/penerimaan, rasio biaya transaksi/biaya dan rasio biaya transaksi/pendapatan. Biaya transaksi dapat menentukan efisiensi usaha ternak sapi per kg ternak sapi, usaha ternak sapi - jagung di Minahasa dan usaha ternak sapi - kelapa di Bolaang Mongondow (Tabel 36). Tabel 36. Rasio Biaya Transaksi terhadap Penerimaan, Total Biaya dan Pendapatan pada Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi- Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007 U r a i a n Minahasa Bolaang Mongondow (Rp/Kg) Rasio (Rp/Kg) Rasio A. Ternak Sapi 1. Biaya Transaksi 1 5 972.98 6 211.04 2. Penerimaan 1 35 000.00 0.17 35 000.00 0.18 3. Total Biaya 1 22 347.43 0.27 25 949.52 0.24 4. Pendapatan 1 12 652.57 0.47 9 050.48 0.69 B. Usaha Sapi-Tanaman 2 1. Biaya Transaksi 6 020.43 6 327.98 2. Penerimaan 3 79 368.67 0.08 274 801.75 0.02 3. Total Biaya 3 57 428.41 0.10 181 352.29 0.03 4. Pendapatan 3 21 940.26 0.27 93 449.46 0.07 Keterangan: 1 = Dihitung untuk ternak sapi terjual 2 = Usaha ternak sapi-jagung di Minahasa; Usaha ternak sapi-kelapa di Bolaang Mongondow 3 = Termasuk penerimaan, biaya dan pendapatan yang diperhitungkan Biaya transaksi ternak sapi menunjukkan biaya yang ditanggung rumahtangga petani peternak sapi pada saat melakukan transaksi penjualan ternak sapi yang dihitung per kg ternak sapi. Penerimaan adalah harga yang diterima rumahtangga per kg ternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow. Total biaya adalah biaya ternak sapi terjual per kg yang dikeluarkan rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow, terdiri dari biaya rumput (Rp/kg), biaya tenaga kerja (Rp/kg), biaya obat (Rp/kg) dan biaya transaksi (Rp/kg). Sedangkan pendapatan

205 adalah penerimaan penjualan ternak sapi (Rp/kg) dikurangi total biaya ternak sapi terjual (Rp/kg). Tabel 36 menunjukkan bahwa rasio biaya transaksi dan penerimaan per kg ternak sapi hidup pada usaha ternak sapi rumahtangga petani peternak di Minahasa lebih kecil dibanding di Bolaang Mongondow yaitu masing-masing sebesar 0.17 dan 0.18. Artinya dengan penerimaan usaha ternak sapi sebesar Rp 1 maka rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow masing-masing akan menanggung biaya transaksi sebesar Rp 0.17 dan Rp 0.18. Hasil ini lebih kecil dibanding hasil penelitian Anggraini untuk nelayan kincang (sebesar 0.24) (Anggraini, 2005). Rasio biaya transaksi dan total biaya ternak sapi per kg pada usaha ternak sapi rumahtangga petani peternak di Minahasa lebih besar dibanding rumahtangga di Bolaang Mongondow yaitu masing-masing sebesar 0.27 dan 0.24. Artinya dengan total biaya ternak sapi per kg sebesar Rp 1 maka rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dan di Bolaang Mongondow akan menanggung biaya transaksi masingmasing sebesar Rp 0.27 dan Rp 0.24. Nilai rasio biaya transaksi dan pendapatan per kg ternak sapi rumahtangga petani peternak di Minahasa lebih kecil dibanding Bolaang Mongondow yaitu masing-masing sebesar 0.47 dan 0.69. Artinya dengan pendapatan per kg ternak sapi sebesar Rp 1 maka rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow masing-masing akan menanggung biaya transaksi sebesar Rp 0.47 dan Rp 0.69. Kondisi ini menunjukkan bahwa usaha ternak sapi rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa lebih efisien. Hal ini disebabkan kualitas ternak sapi untuk

206 jenis dan umur yang sama di Minahasa lebih baik. Selain itu, rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow tidak mempunyai informasi harga sehingga penerimaan per ekor ternak sapi lebih kecil disebabkan biaya transaksi yang ditanggung mereka lebih tinggi. Efisiensi dapat ditingkatkan bila informasi lebih baik. Rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow juga menanggung biaya transpor pedagang yang datang ke rumah peternak dan ditentukan oleh pedagang. Rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow menanggung biaya sarana produksi lebih besar yang disebabkan harga rumput lebih tinggi. Kondisi di atas akan berbeda apabila rasio biaya transaksi/penerimaan, biaya transaksi/biaya dan biaya transaksi/pendapatan dihitung berdasarkan integrasi usaha. Seperti terlihat pada Tabel 36, penerimaan, biaya dan pendapatan per kg usaha ternak sapi yang dihitung adalah penerimaan, biaya dan pendapatan yang dibayar dan diperhitungkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa integrasi usaha ternak sapi-jagung rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa lebih efisien dibanding apabila usaha ternak sapi tanpa integrasi. Demikian pula integrasi usaha ternak sapi-kelapa rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow lebih efisien dibanding apabila usaha ternak sapi tanpa integrasi. Menurut Bamualim, et al (2004), keuntungan langsung integrasi usaha ternak sapi-tanaman pangan adalah peningkatan pendapatan dari penjualan ternak dan jagung. Sedangkan keuntungan tidak langsung adalah perbaikan kualitas tanah akibat pemberian pupuk kandang pada lahan sawah tadah hujan. Selanjutnya menurut Kariyasa dan Kasryno (2004) bahwa usaha ternak sapi akan efisien jika manajemen pemeliharaan diintegrasikan dengan tanaman

207 sebagai sumber pakan bagi ternak itu sendiri. Integrasi usaha ternak sapi-tanaman juga dapat dilakukan sebagai upaya meminimalkan biaya transaksi (Whinston, 2003 dan Williamson, 2008). Dalam hal ini dibutuhkan peran pemerintah untuk memberikan penyuluhan, agar rumahtangga petani peternak sapi mengembangkan pola usaha ternak sapi terintegrasi dengan tanaman. Perlu pembentukan kelompokkelompok usaha ternak sapi, sebagai salah satu upaya memperbaiki kelembagaan penjualan ternak sapi. Usaha ternak sapi dilakukan dengan berkelompok memiliki keuntungan diantaranya memperkuat posisi tawar petani dalam penjualan ternak (Fagi, et al. 2004; Fagi dan Kartaatmadja, 2004).