A. Pengertian Hak Politik Perempuan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV PENUTUP. Perempuan Di Partai Politik dan Parlemen, maka kesimpulannya adalah. tujuannya untuk mempercepat tercapainya persamaan de facto antara

DAFTAR BACAAN. Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Penerbit Sinar

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 3 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAMAYU

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB II PENGATURAN LEGISLATOR PEREMPUAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 03 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS,

PROSES PEMBENTUKAN PUU BERDASARKAN UU NO 10 TAHUN 2004 TENTANG P3 WICIPTO SETIADI

2/1/2008 RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

RINGKASAN PUTUSAN.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DISIPLIN ITU INDAH

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL,

MENCEGAH DISKRIMINASI DALAM PERATURAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALOPO,

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9

I. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PERATURAN DESA

SEBUAH CATATAN SINGKAT TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN Oleh E. Rial N, SH

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota,

PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

Lampiran Usulan Masukan Terhadap Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum

UNDANG-UNDANG KELUARGA MAHASISWA FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS ANDALAS NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR.6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. pendidikan, pekerjaan, dan politik. Di bidang politik, kebijakan affirmative

Soal LCC 4 Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara :)

PENGAWASAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN PERUNDANG- UNDANGAN (KAJIAN POLITIK HUKUM)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih mulia yaitu kesejahteraan rakyat.

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI

STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN KERJA SAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

Setiap norma per. Per-UU-an wajib melarang perlakuan : b.perbedaan; c.pengucilan; dan d.pembatasan. Atas dasar jenis kelamin

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum, 1 tidak berdasarkan kekuasaan

Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon K I S A R A N

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA

PELUANG DAN KENDALA MEMASUKKAN RUU KKG DALAM PROLEGNAS Oleh : Dra. Hj. Soemientarsi Muntoro M.Si

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERATURAN DAERAH. 1. Pengertian dan Ruang Lingkup Peraturan Daerah

No ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkel

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI PAMEKASAN PROVINSI JAWA TIMUR. PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PEITrI'SUITAIT PERATURAN DI DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG SISTEM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB 9 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMILU & PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK. MY ESTI WIJAYATI A-187 DPR RI KOMISI X Fraksi PDI Perjuangan

BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOYOLALI,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RESUME PARAMETER KESETARAAN GENDER DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa

Mudjiati Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik indonesia

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG,

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Hak Politik Perempuan Secara yuridis formal hak politik perempuan merupakan hak azasi sebagaimana dimuat dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia Tahun 1948. Pasal 1 intinya adalah bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang tidak berbeda. Pasal 7 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hukum yang sama dan Pasal 21 menentukan bahwa setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun melalui wakilwakil yang dipilih secara bebas. Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama, untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan di negerinya. Selain itu perlu diperhatikan pula bahwa pemerintah telah meratifikasi konvesi tentang hak politik perempuan sebagaimana tertuang dalam UU No. 68 Tahun 1958. Dalam UU tersebut terdapat ketentuan bahwa perempuan berhak memberikan suara dalam semua pemilihan dengan status yang sama dengan pria tanpa diskriminasi. Selain itu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia khususnya Pasal 46 secara tegas memberikan jaminan keterwakilan perempuan. Atas dasar itu semua, kiranya tidak perlu ragu bahwa perempuan pun juga dijamin hak politiknya. Persoalannya terletak pada perempuan sendiri mau atau tidak memanfaatkan jaminan hukum ini. 12

Memperhatikan tentang ruang politik yang sudah terbuka bagi kaum perempuan, maka dapatlah dikatakan perempuan dapat mengimplementasikan hak politiknya secara terbuka pula. Adanya jaminan mengenai hak politik, memberikan dampak yang sangat positif bagi pergerakan politik kaum perempuan. Dalam upaya merepresentasikan hak politik dalam keterwakilannya, dalam pengambilan keputusan politik, maka yang perlu untuk dilihat ialah konteks perempuan dan perwakilan politik. Hal ini sangat perlu untuk dicermati guna memperhatikan lebih jauh tentang aktualisasi perempuan dalam perwakilan politik yang mereka jalani. 1 B. Pengaturan Hak Politik Perempuan 1. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Jaminan bagi hak berpartisipasi dalam jaringan pemerintah dan politik di Negara Republik Indonesia, pertama-tama ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 2. Undang-Undang Dasar merupakan ketentuanketentuan fundamental tentang organisasi dan kebijaksanaan Pemerintah, sedangkan GBHN merupakan Garis Besar Kebijaksanaan Pemerintah dan Pembangunan dalam menjalankan ketatalaksanaan pembangunan untuk 1 Utami Santi Wijaya Hesti dkk, Perempuan dalam Pusaran Demokrasi, dari Pintu Otonomi ke Pemerdayaan, Penerbit IP4 Lappera Indonesia, Bantul, 2001, h.. 40-41. 2 Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar 13

mencapai tujuan seperti yang tertuang dalam UUD. Jaminan lainnya tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: 3 Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Hukum yang di maksud dalam hal ini meliputi hukum tertulis dan tidak tertulis, hukum nasional dan hukum internasional, hukum publik dan hukum privat yang memberi jaminan hukum bagi berbagai aspek kehidupan rakyat. Pemerintahan yang dimaksud meliputi bidang pemerintahan legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan lain-lainnya pada tingkat pemerintahan baik di pusat maupun daerah yang memberi jaminan hak partisipasi untuk turut menjalankan pemerintahan sepanjang memenuhi prasaratan sebagai diatur dalam perundang-undangan. Sedangkan dalam pasal 28 D ayat (3) UUD 1945 4 telah dikemukakan bahwa adanya persamaan hak bagi setiap warga negara dalam pemerintahan. Dengan adanya ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa adanya jaminan hak yang sama antar laki-laki dan perempuan untuk berkiprah dalam dunia politik. 2. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun tentang HAM Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak azasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus 3 Sastriani Siti Hariti, Gender and Politics,Penerbit Pusat Studi Wanita Universitas Gajah Mada dengan Tiara Wacana, Yogyakarta, 2009, h. 202 4 Pasal 28D ayat (3): Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan 14

dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, dan kecerdasan serta keadilan. 5 Hak tersebut meliputi juga hak politik bagi kaum perempuan yang tercantum pada pasal 46 Undang-undang HAM, yang berbunyi sebagai berikut: Siatem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan Di dalam pasal tersebut dicantumkan secara tegas adanya jaminan keterwakilan perempuan dalam siatem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif. Hal tersebut mencerminkan adanya perlindungan hak politik bagi kaum perempuan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya diskriminasi. 3. Menurut Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu Kedua undang-undang ini bersifat diskriminatif karena memberikan perlakuan khusus kepada perempuan dengan mencantumkan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam Partai Politik dan Parlemen. Pengaturan Hak Politik perempuan di dalam Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang PEMILU terdapat pada Pasal 2 ayat (2) dan ayat (5) sedangkan dalam Undang-Undang PEMILU terdapat pada Pasal 8 ayat (2E) dan Pasal 55. Isi dari Pasal-pasal tersebut sebagai berikut: 5 Pasal 2 Undang-Undang HAM 15

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Partai Politik berbunyi: Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Partai Politik berbunyi: Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Pasal 8 ayat (2E) Undang-Undang PEMILU: Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat Sedangkan Pasal 55 berbunyi: Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 6 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan 4. Menurut CEDAW CEDAW sebagai salah satu konvensi keperempuanan internasional yang bertujuan meminimalisir diskriminasi terhadap perempuan, mengakomodir hak-hak terhadap perempuan. Hak-hak tersebut adalah hak Persamaan dalam Kehidupan Politik dan Kemasyarakatan pada Tingkat Nasional, hak Persamaan dalam Kehidupan Politik dan Kemasyarakatan pada Tingkat Internasional, hak Persamaan dalam Hukum Nasional, Hak Persamaan dalam Pendidikan, Persamaan dalam Hak Pekerja dan Buruh, DPR dan DPD. 6 Daftar bakal calon yang dimaksud dalam Pasal 53 adalah daftar bakal calon anggota 16

Hak atas Persamaan Kesempatan atas Pelayanan Fasilitas Kesehatan dan hak atas Jaminan Keuangan dan Sosial. Hak politik sebagai salah satu hak perempuan yang dilindungi dalam CEDAW adalah hak Persamaan dalam Kehidupan Politik dan Kemasyarakatan pada Tingkat Nasional dan pada tingkat internasional. Pengaturan mengenai hak politik perempuan dalam CEDAW diatur dalam Pasal tujuh (7) dan Pasal delapan (8). Dalam Pasal 7 disebutkan bahwa: Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah perlu untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik, kehidupan kemasyarakatan negaranya, dan khususnya menjamin bagi perempuan, atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak sebagai berikut : a. Untuk memberikan suara dalam semua pemilihan dan referendum publik, dan untuk dipilih pada semua badan badan yang secara umum dipilih; b. Untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya, serta memegang jabatan publik dan melaksanakan segala fungsi publik di semua tingkat pemerintahan; c. Untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan Non-Pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara. Pasal 7 menghendaki Negara-negara Pihak untuk melakukan dua tahapan kegiatan, untuk menciptakan persamaan dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan bagi perempuan. Pertama, Negara-negara harus menyebarluaskan hak yang telah dijamin berdasarkan Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, dan memberi jaminan terhadap perempuan untuk memberikan suara pada setiap pemilihan umum dan referendum. Masalah penting bagi perempuan adalah hak untuk 17

memberikan suara secara rahasia. Perempuan yang tidak diijinkan memberikan suara secara rahasia sering dipaksa untuk memberikan suara yang sama dengan suami mereka, dan karenanya menghalangi mereka untuk mengungkapkan pendapatnya sendiri. Kedua, Pasal 7 mengakui bahwa walaupun hal ini penting, hak untuk memilih saja tidaklah cukup untuk menjamin partisipasi yang nyata dan efektif bagi perempuan dalam proses politik. Oleh sebab itu Pasal ini menghendaki Negara untuk memastikan bahwa perempuan mempunyai hak untuk dipilih dalam badan-badan publik dan untuk memegang jabatan publik lainnya dan kedudukan dalam organisasi non-pemerintah. Kewajiban-kewajiban ini dapat dilaksanakan dengan memasukkan perempuan dalam daftar calon pemerintah, affirmative action dan kuota, dengan menghapus pembatasan berdasarkan gender pada posisi tertentu, meningkatkan tingkat kenaikan jabatan bagi perempuan, dan mengembangkan program pemerintah untuk menarik lebih banyak perempuan ke dalam peran kepemimpinan politik yang punya arti penting (tidak sekedar nominal). Dalam Pasal 8 disebutkan bahwa: Negara-negara Pihak harus mengambil semua upaya-upaya yang tepat untuk memastikan agar perempuan memiliki kesempatan mewakili Pemerintah mereka pada tingkat internasional dan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional, atas dasar persamaan dengan laki-laki dan tanpa diskriminasi apapun. 18

Walaupun banyak keputusan-keputusan yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan perempuan dibuat di dalam negaranya sendiri, kecenderungan politik, hukum dan gejala sosial didorong dan diperkuat pada tingkat internasional. Untuk alasan ini maka pentinglah bahwa perempuan terwakili secara memadai dalam forum internasional sebagai anggota delegasi pemerintah dan sebagai pekerja pada organisasi internasional. Tujuan perwakilan yang setara bagi perempuan dalam tingkat internasional masih jauh dari kenyataan. Dalam rekomendasi umum No 8 yang ditetapkan pada sidang ketujuh tahun 1988, Komite Mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan merekomendasikan agar dalam pelaksanaan Pasal 8 Konvensi, Negaranegara Pihak memberlakukan tindakan khusus yang sementara misalnya affirmative action dan diskriminasi yang positif sebagaimana dituangkan dalam pasal 4. Negara-negara juga harus menggunakan pengaruhnya dalam organisasi internasional untuk memastikan agar perempuan terwakili secara setara dan memadai. Jadi, dalam CEDAW secara jelas telah cukup diakomodir tentang hak-hak politik perempuan, tetapi yang menjadi permasalahan kemudian adalah negara-negara peratifikasi konvensi CEDAW tidak memberikan perhatian khusus terhadap hak politik perempuan. Sehingga relisasi dan perkembangan hak politik perempuan tidak berjalan dengan baik. 19

C. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik 1. Pengertian Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik 7 Asas-asas pembentukan perundang-undangan adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundangundangan yang baik. Dalam bidang hukum yang menyangkut pembentukan peraturan perundang-undangan negara, Burkhardt Krems menyebukannya dengan istilah staatsliche Rechtssetzung, sehingga pembentukan peraturan itu menyangkut: 1. Isi peraturan (Inhalt der Regelung) 2. Bentuk dan susunan peraturan (Form der Regelung) 3. Metode pembentukan peraturan(metodhe der Ausarbeitung der Regelung); dan 4. Prosedur dan proses pembentukan peraturan (Verfahren der Ausarbeitung der Regelung). 7 Indrati Maria Farida, Ilmu PerUndang-Undangan, Cet. 13, Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI), 2007, h. 252-253. 20

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka asas bagi pembentukan peraturan perundang-undangan negara akan meliputi asas-asas hukum yang berkaitan dengan itu. Selain itu Paul Scholten mengemukakan bahwa, sebuah asas hukum (rechtsbeginsel) bukanlah sebuah aturan hukum (Rechtsregel). Untuk dapat dikatakan sebagai aturan hukum, sebuah asas hukum adalah terlalu umum sehingga ia atau bukan apa-apa atau berbicara terlalu banyak (of niets of veel te vell zeide). Penerapan asas hukum secara langsung melalui jalan subsumsi atau pengelompokan sebagai aturan tidaklah mungkin, karena itu lebih dulu perlu dibentuk isi yang lebih kongkrit. Dengan perkataan lain, asas hukum bukankah hukum, namun hukum tidak akan dapat dimengerti tanpa asas-asas tersebut. Scholten mengemukakan lebih lanjut, adalah menjadi tugas ilmu pengetahan hukum untuk menelusuri dan mencari asas hukum itu dalam hukum positif. 2. Asas-asas Pembentukan Peraturan Negara yang Baik Menurut I.C.van dwr Vlies 8 Di dalam bukunya yang berjudul Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving I.C van der Vlies membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) ke dalam asas-asas yang formal dan yang material. 8 Ibid., h. 253-254. 21

Asas-asas formal meliputi: 1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling); 2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ); 3. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids eginsel); 4. Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid); 5. Asas kosensus (het beginsel van cosensus). Asas-asas yang material meliputi: 1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminologi en duidelijke systematiek); 2. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbarheid); 3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkhidsbeginsel); 4. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel); 5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuele rechtsbedeling). 3. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Patut Menurut A. Hamid S. Attamimi 9 A. Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut adalah sebagai berikut: a. Cita hukum Indonesia 9 Ibid., h. 254-257. 22

b. Asas negara berdasar atas hukum dan asas pemerintahan berdasar sisitim konstitusi c. Asas-asas lainnya Dengan demikian, asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan yang diberikan oleh: a. Cita hukum Indonesia yang tidak lain melainkan Pancasila (sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai cita (idee), yang berlaku sebagai bintang pemandu). b. Norma fundamental negara yang juga tidak melainkan Pancasila (sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai norma). (1) asas-asas negara berdasar atas hukum yang menempatkan Undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum (der Primat des Rechts); (2) Asas-asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi yang menempatkan Undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut meliputi juga: 1. Asas tujuan yang jelas; 2. Asas perlunya pengaturan; 23

3. Asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat; 4. Asas dapatnya dilaksanakan; 5. Asas dapatnya dikenali; 6. Asas perlakuan yang sama dalam hukum; 7. Asas kepastian hukum; 8. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual. Apabila mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang formal dan asas material, maka A. Hamid S. Attamimi cenderung untuk membagi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut tersebut kedalam: a. Asas-asas formal, dengan perincian: 1. Asas tujuan yang jelas; 2. Asas perlunya pengaturan; 3. Asas organ/lembaga yang tepat; 4. Asas materi muatan yang tpat; 5. Asas dapatnya dilaksanakan; dan 6. Asas dapat dikenali; b. Asas-asas material, dengan perincian: 1. Asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma Fundamental Negara; 2. Asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara; 24

3. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi. Dengan mengacu pada asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan Indonesia yang patut tersebut, dapat diharapkan terciptanya perturan perundang-undangan yang baik dan dapat mencapai tujuan secara optimal dalam pembangunan hukum di Negara Republik Indonesia. 4. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik Menurut Undang-undang No.10 Th.2004 10 Asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik seperti di kemukakan di atas dirumuskan juga dalam Undang-undang No.10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya Pasal 5 dan Pasal 6 yang dirumuskan sebagai berikut: Pasal 5: Dalam membentuk peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik meliputi: a. Kejelasan tujuan; b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. Dapat dilaksanakan; 10 Ibid., h. 257-264. 25

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. Kejelasan rumusan; dan g. Keterbukaan. Asas-asas yang dimaksutkan dalam pasal 5 diberikan penjelasannya dalam penjelasan sebagai berikut: a. Asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. b. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan demi hukum, bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. c. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya. d. Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. 26

e. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. f. Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundangundangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interprestasi dalam pelaksanaannya. g. Asas keterbukaan adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian masyarakat mempunyai kesempatan yang seluasluasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, asas-asas yang harus dikandung dalam materi muatan Peraturan Perundang-undangan di Negara Republik Indonesia dirumuskan dalam Pasal sebagai berikut Pasal 6 1. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas: a. Pengayoman; b. Kemanusiaan; 27

c. Kebangsaan; d. Kekeluargaan; e. Kenusantaraan; f. Bhineka Tunggal Ika; g. Keadilan; h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. 2. Selain asas yang dimasud ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Apa yang dimaksutkan dengan asas-asas yang berlaku dalam materi muatan Peraturan Perundang-undangan tersebut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) sebagai berikut: Penjelasan Pasal 6 ayat (1): a. Asas pengayoman adalah bahwa setiap peraturan perundangundangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. b. Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan 28

pengayoman hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proposional. c. Asas kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralisik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. d. Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. e. Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. f. Asas Bhineka Tunggal Ika adalah materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. g. Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara peroposional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. 29

h. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa materi muatan peraturan perudang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. i. Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. j. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa materi muatan setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. Penjelasan Pasal 6 ayat (2) menjelaskan bahwa: Yang dimaksud dengan asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan antara lain: a. Dalam Hukum Pidana, misalnya asas legalitas, asas tidak hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; b. Dalam Hukum Perdata, misalnya dalam hukum perjanjian antara lain asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikat baik. 30

Dari beberapa asas hukum yang dikemukakan oleh I.C.van dwr Vlies, A. Hamid S. Attamimi, dan yang terdapat dalam Undang-undang No.10 Tahun 2004 penulis hanya akan menggunakan tiga asas guna menjawab permasalahan yang sedang penulis teliti yaitu asas kejelasan tujuan, asas kedaya gunaan dan kehasil gunaan dan asas perlakuan yang sama di depan hukum. D. Pengertian Affirmatif Action (Tindakan Khusus Sementara) Pengertian awal affirmative action adalah hukum dan kebijakan yang mensyaratkan dikenakannya kepada kelompok tertentu pemberian kompensasi dan keistimewaan dalam kasus-kasus tertentu guna mencapai representasi yang lebih proporsional dalam beragam institusi dan okupasi. Ia merupakan diskriminasi positif (positive discrimination) yang dilakukan untuk mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan. Salah satu sarana terpenting untuk menerapkannya adalah hukum, dimana jaminan pelaksanaannya harus ada dalam Konstitusi dan UU. 11 Affirmative action dapat diartikan sebagai A policy or a program that seeks to redress past discrimination through active measures to ensure equal opportunity, as in education and employment. 12 (Kebijakan atau program yang berusaha untuk memperbaiki tindakan diskriminasi yang 11 http://www.institutperempuan.or.id/?p=17, diakses tanggal 25 mei 2014. 12 http://www.answers.com/topic/affirmative-action. diakses tanggal 25 mei 2014 31

terjadi pada masa lalu melalui tindakan aktif untuk menjamin kesempatan yang sama, seperti dalam pendidikan dan pekerjaan). Affirmative action merupakan kebijakan khusus yang bersifat sementara dari sekian banyak kebijakan untuk meningkatkan peran serta perempuan dalam dunia sosial, ekonomi dan politik. Sebenarnya masih ada banyak hal yang bisa dilakukan terkait kebijakan affirmative action bidang politik, antara lain seperti yang diterangkan Pippa Norris, bahwa kebijakan affirmative selain menempatkan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif sebagai calon potensial, bisa juga dilakukan dengan memberikan pelatihan khusus, dukungan pendanaan dan publikasi berimbang terhadap calon perempuan tersebut. 13 Tentu saja terminal akhir dari affirmative action itu adalah meningkatkan keterwakilan politik perempuan dan tercapainya kesetaraan gender. E. Tujuan Affirmatif Action Tujuan tindakan afirmatif yang merupakan tindakan sementara adalah mendorong jumlah perempuan lebih banyak di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. 14 Menurut Ani Widyani, 15 bahwa pada awalnya affirmative action dirancang untuk menanggapi kondisi ekonomi kelompok- 13 Jurnal Konstitusi PSHK-FH UII, Volume II Nomor 1, Pippa Norris dalam Masnur Marzuki, Affirmative Action dan Paradoks Demokrasi, Juni 2009 hlm. 10. 14 Pendapat berbeda (dissenting opinion) Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dapat dilihat di bab 3 halaman 112 15 Widyani Ani, Politik Perempuan Bukan Gerhana: Esai-Esai Pilihan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005, hlm. 100 32

kelompok tertentu dalam masyarakat. Tujuannya saat itu adalah untuk memperbaiki posisi dan kedudukan ekonomi perempuan atau kelompok kulit berwarna di Amerika sebagai dampak dari kebijakan segresasi dan diskriminasi yang menimpa mereka. Implikasi atas berbagai macam diskriminasi terhadap kelompok minoritas yang terjadi selama kurun waktu yang relatif lama itu telah menyebabkan mereka tertinggal dalam segala aspek baik di bidang ekonomi maupun partisipasi di bidang politik. Untuk mengakselerasi dan menciptakan kesetaraan kelompok marjinal tersebut akibat ketidakadilan yang dialaminya, maka berbagai macam hal dilakukan. Termasuk di antaranya adalah dengan mengeluarkan kebijakan affirmative action yaitu memberikan hak istimewa kepada kelompok minoritas agar mampu sejajar kedudukannya dengan kelompok-kelompok lain dalam jangka waktu tertentu sampai kesetaraan itu tejadi. Kebijakan diskriminatif positif yang bersifat sementara ini dibolehkan oleh hukum sebagaimana bunyi Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menetapkan, Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan dan Pasal 4 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang menegaskan bahwa: Penggunaan langkah sementara yang dilakukan pemerintah untuk memacu kesetaraan laki-laki dan perempuan secara de facto tidak dianggap diskriminasi. Tetapi hal itu tidak boleh dilanggengkan 33

karena sama dengan memelihara ketidaksetaraan dan standar yang berbeda. Langkah itu harus segera dihentikan ketika tujuan dari kesetaraan, kesempatan dan tindakan telah tercapai. Secara teoritik, kebijakan afirmasi ini tidak ada yang menentangnya. Namun dalam praktek sering muncul perdebatan terutama bila kebijakan affirmative action itu diterjemahkan menjadi penentuan kuota tertentu. Memang ketika berbicara affirmative action, maka persoalan yang terkait di dalamnya adalah persoalan kuota yang di banyak negara banyak dipakai sebagai salah satu cara untuk mengejewantahkan adanya kebijakan affirmative action ini. Para pejuang dan pembela hak-hak perempuan menganggap bahwa kebijakan kuota bisa menjadi salah satu alternatif yang efektif bagi terciptanya kesetaraan kaum minoritas (perempuan) di parlemen. Di sisi lain tidak sedikit pula kelompok-kelompok yang menentang kebijakan kuota ini dengan alasan melanggar asas persamaan di depan hukum (equality before the law) dan cenderung diskriminatif. Padahal, kalau mengingat semangat awal adanya affirmative action itu adalah untuk menciptakan kesetaraan. Sehingga, dengan adanya kuota ini justru bertolak belakang dengan cita-cita awal affirmative action tersebut. Arbi Sanit secara tegas mengatakan jangan memperjuangkan demokrasi dengan semangat anti demokrasi. 16 Bahkan Amich Alhumami menegaskan bahwa: kebijakan afirmatif tidak paralel dengan kuota bagi kaum perempuan atau kelompok minoritas. Ada perbedaan 16 Jemabut Inno, Dampak Suara Terbanyak: Kuota Perempuan 30 Persen Sulit Direalisasikan, Sinar Harapan, Selasa, 30 Desember 2008. 34

fundamental antara tujuan kebijakan afirmatif dan kuota. Tujuan utama kebijakan afirmatif adalah pelibatan sekelompok orang, yang semula tereksklusi dan kurang terwakili di arena publik, tanpa pembatasan dan hanya didasarkan kualifikasi individual. Sistem kuota adalah court assigned to redress a pattern of discriminatory hearing. Karena itu, kebijakan afirmatif tak bisa dijadikan dasar untuk mengangkat seseorang yang tak memenuhi standar kualifikasi dan tak layak menduduki posisi di lembaga publik. Kebijakan afirmatif tidak menoleransi seseorang dengan kemampuan minimal dan berkapasitas rendah dengan pertimbangan jender atau keragaman sosial budaya guna menempati jabatan publik. 17 Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bangsa Indonesia telah berkomitmen untuk terus mendukung terhadap upaya-upaya dalam rangka memajukan kesetaraan jender dalam berbagai bidang. Salah satunya dalam ranah politik upaya yang dilakukan adalah memasukkan ketentuan affirmative action dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 55 ayat (2) UU Pemilu berbunyi Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon. Bahkan UU ini telah memberikan keistimewaan kepada kaum hawa sejak proses pengajuan daftar bakal calon legislatif (caleg) oleh partai politik peserta pemilu yang menganjurkan bagi setiap Parpol untuk memenuhi 30% calegnya harus berasal dari perempuan. Selengkapnya Pasal 53 -nya menyebutkan Daftar bakal calon sebagaimana 17 Alhumami Amich, Mitos Kebijakan Afirmatif, Kompas, Kamis, 5 Februari 2009 35

dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong kesetaraan keterwakilan perempuan dan laki-laki di parlemen. F. Perlakuan Khusus Sementara adalah Hak Konstitusional yang Dijamin UUD 1945 Perlakuan khusus sementara merupakan amanat dan mandat konstitusional yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (2). Pasal 28H ayat (2) menyebutkan: "Setiap orang berhak mendapat, kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan". Perlakuan khusus yang dijamin konstitusi yaitu untuk mendapatkan kemudahan dan untuk memperoleh kesempatan sama adalah dalam rangka mencapai persamaan dan keadilan berlaku bagi setiap warga negara yang telah mengalami diskriminasi sehingga hal tersebut dapat mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan. Atas dasar itulah para pembentuk Undang-undang membuat peraturan khusus karena perlakuan khusus tersebut tidak melanggar Undang-Undang 1945. G. Mengambil Tindakan Khusus Sementara untuk Mewujudkan Kesetaraan Gender adalah Kewajiban Negara 36

Perlakuan khusus atau tindakan khusus sementara dalam rangka mewujudkan kesetaraan jender adalah mandat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita [Convention the Ellimination of All Forms Discrimination Against Women) (CEDAW)]. Ratifikasi sebuah konvensi internasional menuntut negara pihak (state parties) untuk mengintegrasikan seluruh prinsip-prinsip yang tercantum dalam konvensi ke dalam hukum nasionalnya. Pasal 3 Konvensi CEDAW mewajibkan Negara untuk menjamin perkembangan dan kemajuan perempuan dengan tujuan untuk menjamin agar perempuan melaksanakan dan menikmati HAM dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan antar pria dan perempuan. 18 Negara mengakui adanya ketimpangan dalam hubungan antar pria dan perempuan, karena ketertinggalan, kekurangan, atau ketidakberdayaan perempuan sehingga perlu dilakukan upaya dan peraturan khusus agar persamaan de facto lebih cepat tercapai. 19 Pasal 4 (1) dan Pasal 7 merupakan dasar kewajiban negara untuk melakukan tindakan affirmatif action dan pemberian jamian kepada perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan Negara, sebagai instrumen untuk mengatasi masalah ketidakadilan jender yang dialami perempuan. 18 Lapan, L. M. Gandhi, Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender, Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2012, h.153. 19 Ibid. 37

Pasal 4 ayat (1) mengatur sebagai berikut: Pembentukan peraturan peraturan dan melakukan tindakan khusus sementara oleh negara-negara pihak yang ditujukan untuk mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan, tidak dianggap sebagai diskriminasi seperti ditegaskan dalam konvensi ini, dan sama sekali tidak harus membawa konsekuensi pemeliharaan standar-standar yang tidak sama atau terpisah, maka peraturan-peraturan dan tindakan tersebut wajib dihentikan jika tujuan, persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai Sedangkan dalam Pasal 7 CEDAW mengatur sebagai berikut: Negara-negara pihak wajib mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat di negaranya, khususnya menjamin bagi perempuan atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak : a. Untuk memilih dalam semua pemilihan dan agenda publik dan berkemampuan untuk dipilih dalam lembaga-lembaga yang dipilih masyarakat; b. Untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya, serta memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkatan; c. Untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulanperkumpulan non pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara; Dari ketentuan di atas terdapat beberapa esensi yang merupakan prinsip dasar kewajiban negara, antara lain: 20 1. Menjamin hak perempuan melalui hukum dan kebijakan, serta menjamin hasilnya. 2. Menjamin pelaksanaan praktis dari hak itu melalui langkah dan tindak atau aturan khusus sementara, menciptakan kondisi yang kondusif 20 Irianto Sulistyowati, Perempuan & Hukum, Menuju Hukum yang Berperspektif Gender, Cet, II, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006, h. 89. 38

untuk meningkatkan kesempatan dan akses perempuan pada peluang yang ada, dan menikmati manfaat yang sama/adil dari hasil menggunakan peluang itu. 3. Negara tidak saja menjamin tetapi juga merealisasi hak perempuan. 4. Tidak saja menjamin secara de-jure tetapi juga secara de-facto. 5. Negara tidak saja harus bertanggung jawab dan mengaturnya di sektor publik, tetapi juga di sektor privat (keluarga) dan sektor swasta 39