BAB 8 STRATEGI PENDAPATAN DAN PEMBIAYAAN

dokumen-dokumen yang mirip
STRUKTUR APBD DAN KODE REKENING

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

BAB I PENDAHULUAN. pada potensi daerah dengan sumber daya yang berbeda-beda. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

Rencana Induk Pengembangan E Government Kabupaten Barito Kuala Sistem pemerintahan daerah disarikan dari UU 32/2004 tentang

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan. bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB III PENGELOLAAN RETRIBUSI PARKIR KOTA SURABAYA. A. Pengaruh Retribusi Terhadap Pendapatan Asli Daerah

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang

SOSIALISASI PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.

BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa Lalu

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum bagi yang dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH (Realisasi dan Proyeksi)

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pusat (Isroy, 2013). Dengan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab,

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

BAB III Gambaran Pengelolaan Keuangan Daerah dan Kerangka Pendanaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB V PENDANAAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB 14 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

Bab III Gambaran Pengelolaan Keuangan Daerah Dan Kerangka Pendanaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V ANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. provinsi terbagi atas daerah-daerah dengan kabupaten/kota yang masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. bangsa kita. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan yang sebaik mungkin. Untuk mencapai hakekat dan arah dari

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Transkripsi:

8-1 BAB 8 STRATEGI PENDAPATAN DAN PEMBIAYAAN 8.1. Pendapatan Daerah 8.1.1. Permasalahan Lambatnya perkembangan pembangunan Provinsi Papua Barat saat ini merupakan dampak dari kebijakan masa lalu yang lebih banyak menganut sistem sentralisasi. Hal ini menyebabkan Pemerintah Daerah kurang berinisiatif dan lebih banyak intervensi Pemerintah Pusat dalam pembangunan daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang menganut sistem desentralisasi memberikan kewenangan pada daerah dalam mengelola wilayahnya. Hal ini menuntut adanya peningkatan kapasitas daerah dan mendorong dilakukannya perubahan yang nyata dalam sistem pengelolaan Pemerintah Daerah. Perubahan paradigma seperti dimaksud di atas mempunyai makna positif antara lain ketepatan dan kecepatan dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat (publik) akan dapat dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan amanat Undang Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang esensinya adalah adanya keleluasaan Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan asas perbantuan. Untuk menjawab tuntutan ini, maka melalui serangkaian program, Pemerintah dapat melaksanakannya setiap tahun sebagai bagian dari usaha peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan pubblik dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, ketertiban, kesejahteraan sosial. Untuk dapat melaksanakan serangkaian kebijakan dan program tersebut dibutuhkan suatu sistim keuangan daerah. Modal yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah pada dasarnya adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tercantum dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) setiap tahunnya. Ditinjau dari aspek pengelolaan keuangan daerah, telah digariskan dalam UUD 1945 dan diperinci dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004, yang secara garis besar digambarkan pada Skema berikut.

8-2 UU No. 32 Tahun 2004 UU No. 33 Tahun 2004 PP No. 58 Tahun 2005 PERMENDAGRI No. 13 Tahun 2006 PERDA Peraturan KDH UU No. 32 Tahun 2004 UU No. 33 Tahun 2004 UU No. 17 Tahun 2003 UU No. 1 Tahun 2004 PP No. 24 Tahun 2005 PP No. 8 Tahun 2006 Pengelolaan Keuangan Daerah PP No. 58 TAHUN 2005 Gambar 8.1. Peraturan Perundang-Undangan Pengelolaan Keuangan Daerah

8-3 8.1.2. Sasaran Usaha untuk memacu pertumbuhan pendapatan daerah Provinsi Papua Barat akan terus dilakukan sejalan dengan perkembangan daerah ini. Dalam upaya untuk mengoptimalkan pendapatan Daerah Provinsi Papua Barat, sasaran yang akan dicapai : a. Mendorong terciptanya sumber-sumber pendapatan yang baru, b. Menciptakan sistim insentif keuangan yang dapat mendorong peningkatan aktifitas ekonomi masyarakat. c. Menciptakan tatalaksana pungutan yang mudah dan efisien, d. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama terpadu dengan intansi terkait guna meningkatkan dan mengintensifkan penggalian sumber pendapatan daerah berdasarkan peraturan, e. Meningkatkan dan memberikan pelayanan yang baik kepada para wajib pajak melalui penyederhanaan sistim pungutan serta prosedur pembayaran, f. Meningkatkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan daerah yang semakin efisien, g. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memenuhi kewajibanya kepada pemerintah dan negara, h. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia serta peningkatan kapasitas kelembagaan penerimaan daerah, i. Menciptakan peraturan daerah dalam bidang keuangan guna mendukung peningkatan investasi di Provinsi Papua Barat serta peningkatan kapasitas fiskal Daerah. 8.1.3. Strategi Pengembangan Sumber-Sumber Pendapatan Daerah Kendati Provinsi Papua Barat dapat mendorong perkembangan ekonomi daerah tanpa atau dengan biaya yang terbatas, namun pendapatan daerah tetap penting untuk dapat mendukung berjalannya berbagai kegiatan Pemda dan pelayanan umum. Pemerintah Provinsi Papua Barat perlu meningkatkan dan mengoptimalkan potensi pendapatan daerah dari berbagai sumber. Pendapatan Daerah adalah seluruh penerimaan uang melalui kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pendapatan Daerah dirinci menurut Urusan Pemerintahan, Organisasi, Kelompok, Jenis, Obyek dan jenis Obyek Pendapatan. Didalam sistim Pengelolaan Keuangan Daerah, sumber pendapatan daerah yang nantinya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah terdiri atas: 1). Pendapatan Asli Daerah (PAD) : a. Pajak Daerah b. Retribusi Daerah c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan

8-4 d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. 2). Dana Perimbangan : a. Dana Bagi Hasil b. Dana Alokasi Umum (DAU) c. Dana Alokasi Khusus (termasuk Dana Otonomi Khusus) 3). Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah : a. Hibah b. Dana Darurat c. Dana Bagi Hasil Pajak d. Dana Penyesuaian e. Bantuan Keuangan Sebelum era desentralisasi dan otonomi khusus sekalipun, Papua adalah provinsi terkaya kedua secara fiskal. Sejak desentralisasi pada tahun 2001 pendapatan riil per kapita Papua naik dua kali lipat disebabkan oleh besarnya Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Otsus. Di samping itu, investasi berskala besar dalam sumberdaya alam makin mendorong peningkatan pendapatan daerah. Namun penting untuk diingat bahwa pendapatan daerah akan turun sejak tahun 2021 ketika Dana Otsus akan berakhir. Ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota masih tinggi. Berdasarkan hitungan per kapita, secara fiskal, kabupaten terkaya (Sorong) memiliki pendapatan jauh lebih besar dibandingkan kabupaten-kabupaten lain terlebih kabupaten-kabupaten baru hasil pemekaran menurut UU No. 26 Tahun 2002. Dana Otsus sebenarnya dapat memperkecil ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota jika alokasinya diarahkan pada daerah-daerah yang membutuhkan. PAD merupakan salah satu tolok ukur yang penting dalam proses otonomi daerah. Kapasitas melaksanakan prinsip otonomi dipengaruhi oleh kemampuan memobilisasi sumbersumber pendapatan asli daerah. Kendati tidak ada bahan perbandingan untuk menentukan seberapa besar bagian dari PDRB yang seharusnya dipungut menjadi PAD (PAD sebagai bagian dari PDRB), namun dengan menggunakan azas kepantasan bagi sebuah daerah otonom yang seharusnya bisa membiayai dirinya sendiri, maka seharusnya pendapatan asli daerah minimal 50% dari pendapatan daerah secara keseluruhan. Pedoman ini masih dapat diperdebatkan mengingat upaya penggalian PAD dibatasi oleh peraturan perundang-undangan sehingga Pemda tidak dapat mengenakan berbagai pungutan sesukanya. Karena PAD sebenarnya dapat lebih besar apabila tidak ada pembatasan, maka yang seharusnya menunjukkan kemampuan membiayai sendiri bukan hanya PAD, PAD saat ini kontribusinya masih kecil di Provinsi Papua Barat. Sebagai suatu Provinsi yang baru, diperlukan upaya lintas sektoral untuk menumbuhkan sumber-sumber pendapatan yang baru. Upaya dimaksud berupa sistim insentif yang mampu merangsang dunia usaha untuk menjadikan Provinsi Papua Barat sebagai tujuan investasinya. Strategi/kebijakan yang ditempuh dalam menumbuhkan dan meningkatkan PAD dilakukan dengan kebijakan yang bersifat intensifikasi dan ekstensifikasi.

8-5 Strategi intensifikasi mencakup : a. Melakukan penyederhanaan proses administrasi pungutan dan penyempurnaan sistim pelayanan penerimaan daerah di Provinsi Papua Barat, b. Melakukan optimalisasi dilaksanakannya peraturan yang berkaitan dengan penerimaan daerah, c. Melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat tentang berbagai peraturan dalam bidang retribusi serta pajak daerah, d. Meningkatkan pengawasan atas pelaksanaan pemungutan penerimaan daerah, e. Mengembangkan sistim on line dalam bidang penerimaan daerah. Strategi ekstensifikasi mencakup : a. Mengkaji jenis retribusi yang baru dan tidak kontraproduktif terhadap perekonomian daerah, b. Mengkaji jenis pungutan pajak serta retribusi baru, c. Dari segi pendapatan daerah, ikut mendorong tumbuhnya daya tarik Provinsi Papua Barat dikalangan dunia usaha dan para pelaku investasi lainnya. d. Meningkatkan kwalitas sumber daya manusia dalam pengelolaan pendapatan daerah, e. Melaksanakan segenap hal yang diperlukan guna ekstensifikasi Pendapatan Asli Daerah. f. Mensosialisasikan pentingnya peranan PAD untuk mendukung terlaksananya dengan baik otonomisasi di Provinsi Papua Barat. 8.2. Pengeluaran Daerah 8.2.1. Permasalahan Terdapat perbedaan secara substansial Struktur Anggaran menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 29 Tahun 2002 (berlaku sampai dengan Tahun 2003) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 13 Tahun 2006 yang berlaku saat ini. Secara umum perbedaan substansial keduanya dikemukakan pada Tabel berikut. Tabel 8.1. Perbedaan Substansial Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 dan Permendagri No. 13 Tahun 2006. No. Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 Permendagri No. 13 Tahun 2006 1. Kalsifikasi belanja menurut bidang kewenangan pemerintahan daerah, organisasi, kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek belanja 2. Pemisahan secara tegas antara belanja aparatur dan belanja pelayanan publik Klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, program, kegiatan kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek belanja Pemisahan kebutuhan belanja antara aparatur dan pelayanan Publio tercermin dalam program dan kegiatan

8-6 3. Pengelompokan Belanja Administrasi Umum (BAU), Belanja Operacional dan Pemeliharaan (BOP) dan Belanja Modal cenderung menimbulkan terjadinya tumpang tindih penganggaran 4. Menggabungkan antara jenis belanja sebagai input dan kegiatan dijadikan sebagai jenis belanja. Belanja dikelompokkan menjadi Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung sehingga mendorong terjadinya efisiensi mulai saat proses penganggaran Restrukturisasi jenis-jenis belanja. Menurut Permendagri No. 13 Tahun 2006, struktur belanja dibedakan menurut Belanja Langsung dan Belanja Tidak langsung dengan rincian sebagai berikut. Tabel 8.2. Struktur Belanja Daerah Menurut Permendagri No. 13 Tahun 2006 No. Klasifikasi Belanja Jenis Belanja I. Belanja Tidak Langsung 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Bunga 3. Belanja Subsidi 4. Belanja Hibah 5. Belanja Bantuan Sosial 6. Belanja Bagi Hasil 7. Bantuan Keuangan 8. Belanja Tak Terduga II. Belanja Langsung 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang dan Jasa 3. Belanja Modal Belanja Langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Sedangkan Biaya Tidak Langsung adalah belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota yang terdiri dari Urusan Wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganan dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dalam ketentuan perundang-undangan. Biaya penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat diwujudkan melalui prestasi kerja dalam pencapaian standar pelayanan minimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

8-7 Menyadari keterbatasan keuangan Provinsi Papua Barat disatu sisi serta kompleksitas masalah yang harus ditangani disisi lain, maka APBD Provinsi Papua Barat hanyalah merupakan suplemen terhadap alokasi dana pembangunan yang berasal dari dana dekonsentrasi serta dana perbantuan. Dengan demikian keikutsertaan Pemerintah Pusat dalam membiayai kebutuhan pembangunan di Provinsi Papua Barat menjadi salah satu faktor yang penting. Dalam hubungan ini dibutuhkan kemampuan untuk membuat agar kegiatan Pemerintah Pusat perlu didorong serta ditingkatkan porsinya dari tahun ketahun di Provinsi Papua Barat agar progranm RPWI dapat dilaksanakan. 8.2. 2. Sasaran Usaha untuk memacu pertumbuhan pendapatan daerah Provinsi Papua Barat akan dipacu terus sejalan dengan perkembangan daerah ini. Dalam upaya untuk mengoptimalkan pendapatan Daerah Provinsi Papua Barat, akan diarahkan kepada : a. Meningkatnya kemampuan Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan daerah yang semakin efisien, b. Meningkatnya koordinasi dan kerja sama terpadu dengan intansi terkait guna meningkatkan efisiensi pembelanjaan daerah berdasarkan peraturan, c. Meningkatnya kwalitas sumberdaya manusia serta peningkatan kapasitas kelembagaan investasi daerah, d. Menciptakan peraturan daerah dalam bidang keuangan guna mendukung peningkatan investasi di Provinsi Papua Barat serta peningkatan kapasitas fiskal Kabupaten. 8.2.3. Strategi dan Arah Kebijakan Kebijakan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana yang tercermin dalam APBD setiap tahunnya didasarkan pada prinsip anggaran berimbang dan dinamis. Pengertian berimbang disini adalah pendapatan dan belanja daerah mencerminkan keserasian antara penerimaan dan pengeluaran sedangkan dinamis berarti bahwa jumlah pendapatan dan belanja daerah diusahakan untuk meningkat guna dapat mengatisipasi laju pembangunan serta kebutuhan yang terus berkembang dari waktu kewaktu. Dalam hubungan ini, kebijakan pengeluaran daerah di Provinsi Papua Barat diarahkan kepada : a. Memberikan lebih banyak wewenang pembelanjaan pada pemerintah kabupaten/kota, sehingga pos-pos pengeluaran antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tidak saling tumpang tindih; b. Meningkatkan peran pemerintah provinsi dalam hal pengawasan dan koordinasi sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 32 Tahun 2004; c. Menjamin bahwa investasi jangka panjang lebih diprioritaskan dibanding kebutuhan pembiayaan jangka pendek;

8-8 d. Merancang data base yang sederhana di tingkat kabupaten/kota sebagai acuan bagi proses perencanaan, mencakup data sosial ekonomi dan indikator-indikator kesejahteraan lainnya; e. Membangun mekanisme koordinasi yang baik antara provinsi dan kabupaten/kota sejak tahap perencanaan Strategi pendapatan dan pembiayaan pembangunan daerah tersebut harus benar-benar dapat diimplementasikan dalam kegiatan perencanaan pembangunan melalui Musawarah Rencana Pembangunan (MUSREMBANG). Penyelenggaraan perencanaan pembangunan dengan paradigma baru dilaksanakan secara berjenjang dan dimulai dari perencanaan tingkat kampung, distrik, kabupaten/kota dan tingkat provinsi. Sinkronisasi berbagai program pembangunan dan pembiayaan secara otomatis telah berlangsung dari tingkat kampung. Bila paradigma perencanaan pembangunan dan pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan secara konsekwen, maka akan ada jaminan terhadap tercapainya sasaran peningkatan ketepatan dan kecepatan pelayanan kepada masyarakat dalam kerangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.