RUU KERUKUNAN UMAT BERAGAMA (Naskah Sekretariat DPR RI) Dr. Rudi Subiyantoro, M.Pd PUSAT KERUKUNAN UMAT BERAGAMA KEMENTERIAN AGAMA RI

dokumen-dokumen yang mirip
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

d. bahwa dalam usaha mengatasi kerawanan sosial serta mewujudkan, memelihara dan mengembangkan kehidupan masyarakat yang

PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 9 TAHUN 2006 NOMOR : 8 TAHUN 2006 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI,

BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 9 TAHUN 2006 NOMOR : 8 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 9 TAHUN 2006 NOMOR : 8 TAHUN 2006 TENTANG

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENDIRIAN RUMAH IBADAH DALAM WILAYAH KABUPATEN SIAK

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENDIRIAN RUMAH IBADAH DALAM WILAYAH KABUPATEN SIAK

b. bahwa dalam upaya mewujudkan hubungan yang tertib dan harmonis an tar umat

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 32 TAHUN 2008 TENTANG FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

NASKAH SOSIALISASI PERAT A URAN A B ERSAM A A

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM

BUPATI KOTAWARINGIN TIMUR

PERATURAN WALIKOTA BANDA ACEH NOMOR 24 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA WALIKOTA BANDA ACEH,

G U B E R N U R JAMB I

Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

-1- QANUN ACEH NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DAN PENDIRIAN TEMPAT IBADAH

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2007

TANYA JAWAB PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NO. 9 DAN 8 TAHUN 2006

TUGAS AKHIR MATA KULIAH PANCASILA IMPLEMENTASI SILA PERTAMA TERHADAP PEMBANGUNAN TEMPAT IBADAH

GUBERNUR BENGKULU. atau menodai agama, serta tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum;

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 40 TAHUN 2012 TENTANG FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA (FKUB) DI JAWA BARAT

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA DI KOTA BANJAR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 12 TAHUN 2011 TENTANG LARANGAN KEGIATAN JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA DI JAWA BARAT

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

2 2. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1607); MEMUTU

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR KALIMANTAN BARAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KELURAHAN

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 51 TAHUN 2008 TENTANG FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2017, No kekosongan hukum dalam hal penerapan sanksi yang efektif; d. bahwa terdapat organisasi kemasyarakatan tertentu yang dalam kegiatannya

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR &S TAHUN 2017 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PEMBAURAN KEBANGSAAN DI PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 3 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAMAYU

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

PROVINSI RIAU BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL,

WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI ALOR PERATURAN BUPATI ALOR NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN FORUM PEMBAURAN KEBANGSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KARO PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN BUPATI KARO NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERATURAN DI DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR

2016, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 2 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG KELURAHAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 6 SERI D

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2014 TENTANG

Transkripsi:

RUU KERUKUNAN UMAT BERAGAMA (Naskah Sekretariat DPR RI) Dr. Rudi Subiyantoro, M.Pd PUSAT KERUKUNAN UMAT BERAGAMA KEMENTERIAN AGAMA RI

PENDAHULUAN RUU KUB adalah naskah yang disiapkan oleh Sekretariat DPR RI. Salah satu program legislasi nasional (Proleknas) adalah mewujudkan UU Kerukunan Umat Beragama. DPR RI menggunakan hak inisiatifnya untuk menyusun RUU tersebut. Dalam berbagai diskusi banyak pihak yang mengusulkan adanya UU organik yang menjabarkan pasal pasal 28 J dan 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945.

lanjutan Penulis dalam seminar dan diskusi yang diselenggarakan di Watimpres dan Yayasan Salihara dan beberapa kesempatan yang lain mengusulkan perlunya Undang-Undang tentang Kebebasan dan Perlindungan Agama atau UU Kehidupan Beragama. Pertimbangannya antara lain belum adanya undang-undang organik terkait agama pada UUD 1945 dan pendapat dalam sidang- sidang Judicial Review UU No.1 /PNPS/ 1965 yang mengamanatkan perlunya penyempurnaan undangundang yang dimohonkan untuk dicabut tersebut. Undang-undang Kerukunan Umat Beragama seharusnya disusun setelah RI memiliki Undang-Undang Tentang Kehidupan Beragama atau UU Kebebasan dan Perlindungan Agama.

Hal-hal Substansi RUU yg Perlu Dicermati Mencermati substansi RUU, 1. Apakah RUU telah mengatur dan menjelaskan substansi UUD 1945 pasal 28 A-J dan Pasal 29 ayat 1 dan 2, terkait dengan arti negara berdasarkan ketuhanan yang maha esa? 2. Kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu seperti apa? 3. Perlindangan seperti apa yang mesti diberikan oleh negara dalam pengertian kebebasan beragama? 4. Apakah undang-undang ini dapat memberikan payung hukum terhadap kehidupan beragama dan kerukunan umat beragama?

SEKILAS RUU KERUKUNAN UMAT BERAGAMA RUU KUB terdiri atas 11 bab dan 55 pasal dan penjelasan yang terdiri atas penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal. Bab I Ketentuan Umum yang berisi 3 pasal masing-masing; pasal 1 mengatur pengertianpengertian yang terkait dengan agama dan kerukunan umat beragama; pasal 2 mengatur asas kerukunan umat beragama dan pasal 3 mengatur tentang tujuan kerukunan umat beragama.

Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Dalam ketentuan Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Agama adalah agama dan kepercayaan yang dianut oleh penduduk Indonesia. Umat beragama adalah pemeluk agama. Kerukunan Umat Beragama adalah kondisi hubungan antar umat beragama yang ditandai dengan adanya suasana harmonis, serasi, damai, akrab, saling menghormati, toleran, dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik intern maupun antar umat beragama di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

PENODAAN AGAMA Penodaan Agama adalah setiap perbuatan menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

PENGERTIAN Pendidikan Agama adalah proses pendidikan yang ditujukan untuk mendidik peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya. Penyiaran Agama adalah segala bentuk kegiatan yang menurut sifat dan tujuannya untuk menyebarluaskan ajaran sesuatu agama, baik melalui media cetak, elektronik, maupun komunikasi lisan. Rumah Ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga.

PENGERTIAN Tempat Ibadat adalah tempat yang digunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masingmasing agama. Forum Kerukunan Umat Beragama yang selanjutnya disingkat FKUB, adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.

PENGERTIAN Peringatan Hari Besar Keagamaan adalah upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh komunitas agama tertentu yang menurut ajaran agama yang bersangkutan, bukan merupakan ibadat atau kebaktian khusus. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintah Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.

BAB II Hak Dan Kewajiban Bab II mengatur hak dan kewajiban yang dibagi menjadi bagian kesatu tentang hak dan bagian kedua tentang kewajiban. Pasal 4 setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Pasal 5 Setiap umat beragama berhak: mengembangkan ajaran agamanya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan; memperoleh pendidikan dan pengajaran agama sesuai dengan agama yang dianutnya bagi pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasan spiritualnya; dan menerima, mencari, dan memberikan informasi yang berkaitan dengan agama yang dianutnya sesuai dengan nilai-nilai agamanya, kesusilaan, dan kepatutan.

PENJELASAN Pasal 6 Setiap umat beragama berhak untuk memperoleh perlindungan dari: penyalahgunaan dalam kegiatan politik; pemaksaan untuk ikut serta dalam kerusuhan sosial; dan tindakan diskriminasi.

KEWAJIBAN UMAT BERAGAMA Bagian Kedua ( Kewajiban) Pasal 7 Setiap umat beragama wajib: memelihara kerukunan umat beragama; meningkatkan pemahaman ajaran agamanya; dan mencegah terjadinya tindak kekerasan, diskriminasi dan perlakuan tidak menyenangkan lainnya terhadap umat beragama lain.

BAB III PENYELENGGARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA Bagian Kesatu Umum Pasal 8 Untuk menjaga keharmonisan kehidupan umat beragama diselenggarakan kegiatan yang mendukung kerukunan umat beragama. Penyelenggaraan Kegiatan yang mendukung kerukunan umat beragama. sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: perayaan dan peringatan hari besar keagamaan; penyebarluasan agama; pemakaman jenazah; dan pendirian rumah ibadat

Bagian Kedua Perayaan dan Peringatan Hari Besar Keagamaan Pasal 9 Umat beragama berhak menyelenggarakan perayaan dan peringatan hari besar keagamaan, sesuai dengan ajaran agamanya. Perayaan dan peringatan hari besar keagamaan pada prinsipnya hanya diakui oleh umat beragama yang bersangkutan. Perayaan dan peringatan hari besar keagamaan dilaksanakan dengan kewajiban memelihara kerukunan umat beragama dan keutuhan bangsa.

PENGERTIAN Pasal 10 Perayaan hari besar keagamaan dapat dihadiri oleh umat beragama lain sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agamanya. Umat beragama lain dapat turut menghormati perayaan hari besar keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan asas kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Bagian Ketiga Penyebarluasan Agama Paragraf 1 Umum Pasal 11 Penyebarluasan agama dilakukan melalui pendidikan dan penyiaran agama. Pasal 12 Penyebarluasaan agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ditujukan untuk meningkatkan penghayatan dan pengamalan ajaran agama masing-masing sebagai umat beragama yang berdasarkan Pancasila.

lanjutan Paragraf 2 Pendidikan Pasal 13 Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agamanya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Pendidikan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperoleh dari: orang tua; masyarakat; dan Pemerintah.

PENDIDIKAN AGAMA Pendidikan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk : meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; meningkatkan penghayatan dan pengamalan ajaran agama masing-masing; menciptakan pemahaman tentang kebahagiaan hidup lahir batin di dunia dan akhirat, dengan amal perbuatan nyata dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai seorang maupun anggota masyarakat; mengembangkan kepribadian umat beragama untuk memahami ajaran agamanya secara optimal;

WAWASAN MULTICULTURAL mengembangkan wawasan multikultural dan kemajemukan yang ada dalam kehidupan masyarakat; menghormati hak dan kebebasan umat beragama lain dalam menjalankan kewajiban agamanya; rasa hormat terhadap umat beragama lainnya, identitas agamanya, nilai-nilai agamanya dan pemahaman terhadap ajaran agamanya yang berbedabeda dari ajaran agamanya sendiri; dan mempersiapkan umat beragama untuk menciptakan kehidupan keagamaan yang harmonis.

PENGERTIAN Pasal 14 Orang tua bertanggung jawab atas pendidikan agama anaknya dan orang yang tinggal dalam satu rumah. Pasal 15 Masyarakat mendukung proses pendidikan agama. Dukungan masyarakat dalam proses pendidikan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan nonformal. Pasal 16 Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan agama. Pendidikan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan pada jalur pendidikan formal. Pelaksanaan pendidikan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf 3 Penyiaran Agama Pasal 17 Penyiaran agama dilakukan dengan semangat kerukunan beragama, saling menghargai dan menghormati antarumat beragama. Penyiaran agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada orang atau kelompok orang yang belum memeluk suatu agama. Dalam melaksanakan penyiaran agama setiap orang wajib memelihara kerukunan umat beragama. Penyiaran agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilandaskan pada penghormatan terhadap hak dan kemerdekaan seseorang untuk memeluk agama dan melakukan ibadat menurut agamanya.

PENYIARAN AGAMA Pasal 18 Penyiaran agama dilakukan dengan cara: meningkatkan ketakwaan umat beragama terhadap Tuhan Yang Maha Esa; menyampaikan ajaran agama kepada umat beragama; mengajak umat beragama pada jalan yang benar sesuai dengan ajaran agamanya; meningkatkan penghayatan dan pengamalan ajaran agama masing-masing dan sebagai warga negara yang berdasarkan Pancasila;

lanjutan menciptakan kebahagiaan hidup lahir batin di dunia dan akhirat, dengan amal perbuatan nyata dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai seorang maupun anggota masyarakat. Penyiaran agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga ketenangan dan ketertiban di lingkungan tempat pelaksanaan. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyiaran agama diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat Pemakaman Jenazah Pasal 19 Pemakaman jenazah dilaksanakan menurut ajaran agama orang yang meninggal dunia. Dalam hal terdapat seseorang yang meninggal dunia tidak diketahui agamanya, pemakaman jenazah dilaksanakan berdasarkan: kesaksian anggota keluarga terdekat; atau ajaran agama yang dianut oleh mayoritas penduduk setempat. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemakaman jenazah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

lanjutan Pasal 20 Pemakaman jenazah dilakukan di tempat pemakaman sesuai dengan agama yang dianut oleh orang yang meninggal dunia. Tempat pemakaman jenazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan sesuai dengan agama. Pasal 21 Tempat pemakaman jenazah yang sudah digunakan untuk memakamkan jenazah dilarang untuk dipakai melakukan pemakaman kembali. Dalam hal tempat pemakaman jenazah yang sudah digunakan untuk memakamkan jenazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan kembali sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah yang mengatur mengenai pemakaman. Pasal 22 Setiap orang yang mengantarkan jenazah ketempat pemakaman harus dilakukan dengan tertib.

Workshop PKUB 21-23 DES 2011 Atho Mudzhar RUU KERUKUNAN As, Eropa, Oki > masuk pada pengaturan pembatasan dan penghapusan diskriminasi (RI + UU.No.40 Tahun 2008). Sudarsono RUU ini masih sangat panjang, yg kita tanggapi adalah RUU setelah masuk proleknas. PBM dan implementasinya kita optimalkan

Bagian Kelima Pendirian Rumah Ibadat dan Izin Pemanfaatan Bangunan sebagai Tempat Ibadat Paragraf 1 Pendirian Rumah Ibadat Pasal 23 Pendirian rumah ibadat dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan

lanjutan Pasal 24 Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/ desa. Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/ desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi. Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam pendirian rumah ibadat juga mempertimbangkan kondisi geografis dan/atau kearifan masyarakat setempat.

lanjutan Pasal 25 Setiap pendirian rumah ibadat harus mendapatkan izin dari kepala daerah setempat. Izin kepala daerah setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan setelah mempertimbangkan pendapat Kanwil Kementerian Agama setempat, planologi, dan kondisi keadaan setempat. Selain mempertimbangkan pendapat Kanwil Kementerian Agama setempat, planologi, dan kondisi keadaan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Daerah setempat juga harus meminta pendapat dari organisasi keagamaan dan pemuka agama.

lanjutan Pasal 26 Surat permohonan izin pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) ditujukan kepada kepala daerah setempat dengan dilampiri: jumlah umat yang akan menggunakan dan domisili; surat keterangan status tanah oleh kantor agraria; peta situasi dari sub dinas Tata Kota; rencana gambar tempat ibadat; dan daftar susunan pengurus/panitia pembangunan tempat ibadat. Pasal 27 Dalam hal terjadi perselisihan pendirian rumah ibadat, Pemerintah wajib menyelesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2 Izin Pemanfaatan Bangunan sebagai Tempat Ibadat Pasal 28 Pemanfaatan bangunan bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara: untuk pemanfaatan bangunan gedung harus mendapatkan izin dari Bupati/Walikota; untuk pemanfaatan bangunan rumah harus mendapatkan izin dari pemerintahan setempat. Pemberian izin pemanfaatan bangungan bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: laik fungsi; dan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban masyarakat.

BAB IV KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB Pasal 29 Negara, pemerintah, dan masyarakat, berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan kerukunan umat beragama. Pasal 30 Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap umat beragama tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa.

lanjutan Pasal 31 Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan kerukunan umat beragama. Pasal 32 Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan kerukunan umat beragama. Pasal 33 Kepala daerah setempat dan pemuka agama mengawasi agar penyebaran agama tidak menimbulkan perpecahan, tidak disertai intimidasi, bujukan, paksaan, dan ancaman, serta tidak melanggar hukum, kemanan, dan ketertiban umum.

lanjutan Pasal 34 Pemerintah dan Pemerintah daerah berperan melakukan: pelayanan dan pembinaan; pemberdayaan; dan koordinasi dan konsultasi. Peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka menciptakan kerukunan umat beragama.

BAB V FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA Pasal 35 Pembentukan FKUB dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota. FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki hubungan yang bersifat konsultatif.

lanjutan Pasal 36 FKUB provinsi dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) mempunyai tugas: melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat; menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyakarat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur; dan melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat.

lanjutan FKUB kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) mempunyai tugas: melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyakarat; menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/walikota; melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat; dan memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.

lanjutan Pasal 37 Keanggotaan FKUB terdiri atas pemuka-pemuka agama setempat. Jumlah anggota FKUB provinsi paling banyak 21 (dua puluh satu) orang dan jumlah anggota FKUB kabupaten/kota paling banyak 17 (tujuh belas) orang. Komposisi keanggotaan FKUB provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan perbandingan jumlah umat beragama setempat dengan keterwakilan minimal 1 (satu) orang dari setiap agama yang ada di provinsi dan kabupaten/kota. FKUB dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua, 2 (dua) orang wakil ketua, 1 (satu) orang sekretaris, 1 (satu) orang wakil sekretaris, yang dipilih secara musyawarah oleh anggota.

lanjutan Pasal 38 Dalam memberdayakan FKUB, dibentuk Dewan Penasihat FKUB di provinsi dan kabupaten/kota. Dewan Penasihat FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas: membantu kepala daerah dalam merumuskan kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama; dan memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan pemerintah daerah dan hubungan antar sesama instansi pemerintah di daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.

lanjutan Keanggotaan Dewan Penasihat FKUB provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh gubernur dengan susunan keanggotaan: ketua : wakil gubernur wakil Ketua : kepala kantor wilayah departemen agama provinsi; sekretaris : kepala badan kesatuan bangsa dan politik provinsi; anggota : pimpinan instansi terkait. Dewan Penasihat FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh bupati/walikota dengan susunan keanggotaan: ketua : wakil bupati/wakil walikota wakil Ketua : kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; sekretaris : kepala badan kesatuan bangsa dan politik kabupaten/kota; anggota : pimpinan instansi terkait.

lanjutan Pasal 39 Dalam melaksanakan tugasnya FKUB dibantu oleh sekretariat. Ketentuan lebih lanjut mengenai sekretariat untuk tingkat provinsi diatur dengan Peraturan Gubernur dan untuk tingkat kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota. Pasal 40 Anggaran yang digunakan untuk pelaksanaan kegiatan FKUB berasal dari APBD.

BAB VI BANTUAN LUAR NEGERI Pasal 41 Lembaga keagamaan dapat menerima bantuan luar negeri. Bantuan luar negeri dapat berbentuk: uang; tenaga rohaniawan; tenaga ahli asing; dan/atau bantuan lain. Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan luar negeri dan penggunaanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VII PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 42 Masyarakat berhak memperoleh kesempatan untuk berperan dalam penyelenggaraan kerukunan umat beragama. Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh orang perseorangan, tokoh agama, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, badan usaha, dan media massa.

lanjutan Pasal 43 Masyarakat melaporkan adanya konflik intern agama, antar agama, atau penyimpangan ajaran agama kepada tokoh masyarakat. Jika dalam konflik intern agama, antar agama, atau penyimpangan ajaran agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat tindakan pidana, maka masyarakat melaporkan kepada kepolisian.

BAB VIII LARANGAN Pasal 44 Untuk menjamin terselenggaranya kerukunan umat beragama, setiap orang dilarang: menggunakan kata-kata yang diucapkan atapun tertulis dan/atau tingkah laku yang mengancam umat beragama lain; mencetak dan mempublikasikan tulisan dan/atau gambar yang menghina dan mengancam umat beragama lain; melakukan pertunjukkan publik dengan kata-kata dan/atau tingkah laku yang tidak sesuai dengan kepatutan ajaran agama lain; atau mendistribusikan, menunjukkan, dan memainkan rekaman, baik berupa gambar atau suara yang menghina, mengancam, dan tidak sesuai dengan kepatutan ajaran agama lain.

lanjutan Pasal 45 Setiap orang dalam menyebarluaskan ajaran agamanya, dilarang: ditujukan kepada orang atau kelompok orang yang telah memeluk atau menganut agama lain; mendiskreditkan agama lain; menganggap ajaran agamanya paling benar; menyebarkan ajaran yang menyimpang; menyebabkan perasaan permusuhan antar umat beragama; dan menimbulkan perasaan kebencian terhadap umat agama lain;

lanjutan Pasal 46 Setiap orang dalam melakukan penyebarluasan agamanya dilarang dilaksanakan dengan cara: menggunakan bujukan dengan atau tanpa pemberian barang, uang, pakaian, makanan atau minuman, pengobatan, obat-obatan dan bentuk-bentuk pemberian apapun lainnya agar orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama yang lain berpindah dan memeluk/menganut agama yang disiarkan tersebut; menyebarkan pamflet, majalah, buletin, buku-buku dan bentukbentuk barang penerbitan, cetakan lainnya kepada orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama yang lain; dan melakukan kunjungan dari rumah ke rumah umat yang telah memeluk/menganut agama lain.

lanjutan Pasal 47 Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Pasal 48 Setiap orang dilarang menghimpun atau menggerakkan orang lain dengan mengatasnamakan agama untuk melakukan tindakan yang merusak ketertiban dan atau keamanan masyarakat.

BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 49 Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 46 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama atau denda paling banyak. Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 46 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama atau denda paling banyak. Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 46 huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama atau denda paling banyak. Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 46 huruf d dipidana dengan pidana penjara paling lama atau denda paling banyak.

lanjutan Pasal 50 Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 47 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama atau denda paling banyak. Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 47 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama atau denda paling banyak. Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 47 huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama atau denda paling banyak. Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 47 huruf d dipidana dengan pidana penjara paling lama atau denda paling banyak. Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 47 huruf e dipidana dengan pidana penjara paling lama atau denda paling banyak. Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 47 huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama atau denda paling banyak.

lanjutan Pasal 51 Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 48 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama atau denda paling banyak. Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 48 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama atau denda paling banyak. Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 48 huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama atau denda paling banyak.

lanjutan Pasal 52 Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 49 dipidana dengan pidana penjara paling lama atau denda paling banyak. Pasal 53 Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 50 dipidana dengan pidana penjara paling lama atau denda paling banyak.

BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 54 Pada saat Undang-Undang ini berlaku semua peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai kerukunan umat beragama dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 55 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

diskusi Haryono: 1. Apakah perlu UU Kerukunan, mengapa tidak UU ttg kehidupan beragama (kebebasan dan Pelindungan agama)? 2. Kelemahan law inforcement, oleh karena itu mari perjuangkan judul (KPA). 3. Usul: ada pembahasan secara sistematik dalam bentuk pasal dan pembahasan.

PENDAPAT Tri Gunawan 1. Judul RUU Kerukunan Beragama atau kerukunan antarumat Beragama (kerukunan intern dan antarumat beragama)? 2. Setuju dengan UU Kebebasan dan Perlindungan Beragama.

PENDAPAT Rudy Pratikno 1. RUU ini inisiatif DPR dan yang membahas adalah Baleg. Oleh karena itu kita harus koreksi. 2. Minta kepada DPR untuk dapat memberikan masukan dan sekaligus sebagai pembahas yang aktif dan masuk berita acara persidangan. 3. Substansi dalam RUU diambil sebagian-sebagian saja dari peraturan-peraturan yg telah ada. Bahkan ada yg tidak perlu diatur dalam undangundang.

PENDAPAT 4. Memasukkan cara yang benar dengan membuat DIM, membuat versi kita sendiri (FKUB + Majelis2 Agama). 5. Meningkatkan status FKUB dalam bentuk Kepres. 6. Kita bahas secara periodik dalam rapat-rapat FKUB.

PENDAPAT Pasifik Abeto Silaturahmi Wanhat dengan FKUB diatur dalam pasal-pasal kerukunan. Feri Simanjuntak 1. Judul RUU sesuai dengan pendapat Pak Syafii. 2. Pertemuan dengan interfaith juga sepakat dengan judul tsb. 3. PGI tanggal 2 Des 2011 akan membahas isi RUU ini. 4. Perlu diketahui latarbelakang perlunya RUU ini?

PENDAPAT Taufiq Azhar 1. Anggota FKUB konsultasi dgn Majelis 2. Membuat sandingan pasal dengan pasal atas nama FKUB (sebagai satu kesatuan) Ahmad Rusdi 1. Ada tim yang menyusun resume diskusi ini 2. Setuju judul yang diusulkan oleh ketua 3. Peningkatan status FKUB menjadi lembaga yang diatur oleh pemerintah.