PENILAIAN PENGARUH SEKTOR BASIS KOTA SALATIGA TERHADAP DAERAH PELAYANANNYA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

DAFTAR NOMINASI SEKOLAH PENYELENGGARA UN CBT TAHUN 2015

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB I BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BERITA RESMI STATISTIK

Jln. Hanoman No. 18 Telp. (024) Fax. (024) Semarang

BAB I PENDAHULUAN I - 1

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

BOKS PERKEMBANGAN KINERJA BPR MERGER DI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016

GUBERNUR JAWA TENGAH

IR. SUGIONO, MP. Lahir : JAKARTA, 13 Oktober 1961

BAB I PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), tidak luput dari tantangan Millenium

PENEMPATAN TENAGA KERJA

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

REKAP JUMLAH KELAS GELOMBANG 5 ( 2 s/d 6 JULI 2014 ) PELATIHAN KURIKULUM 2013 BAGI GURU SASARAN

BOKS RINGKASAN EKSEKUTIF PENELITIAN PERILAKU PEMBENTUKAN HARGA PRODUK MANUFAKTUR DI JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN. Tahun Budidaya Laut Tambak Kolam Mina Padi

PENENTUAN TARGET INVESTASI TAHUN MENUJU JATENG LADANG INVESTASI PENGEMBANGAN DAERAH (BAPPEDA) SALATIGA, 19 DESEMBER 2017

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab.

REKAPITULASI PESERTA PAMERAN SOROPADAN AGRO EXPO 2017 TANGGAL JULI 2017

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG. Bab 1 Pendahuluan 1-1

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

Nama Sekolah Peminatan Daya Tampung

GUBERNUR JAWA TENGAH,

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 561.4/52/2008 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah merupakan sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 116 TAHUN 2016 TENTANG

Periode Pembayaran : 26 s.d 31 Mei 2016


PROPINSI KOTAMADYA/KABUPATEN TARIF KABUPATEN/KOTAMADYA HARGA REGULER. DKI JAKARTA Kota Jakarta Barat Jakarta Barat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831); PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TENGAH NOMOR 21 TAHUN 2003

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

RUANG LINGKUP KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI JAWA TENGAH

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Zat-zat dalam Susu Nilai Kandungan

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah Agustus 2017

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

Transkripsi:

PENILAIAN PENGARUH SEKTOR BASIS KOTA SALATIGA TERHADAP DAERAH PELAYANANNYA TUGAS AKHIR Oleh : PUTRAWANSYAH L2D 300 373 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2005 i

ABSTRAK Interaksi merupakan keterkaitan yang hampir terjadi pada setiap daerah, baik itu daerah maju ataupun daerah terbelakang sekalipun. Penyebab dasar terjadinya interaksi antar satu daerah dengan daerah lainnya dikarenakan adanya satu kebutuhan dari suatu daerah yang tidak dapat dipenuhi oleh daerah tersebut, sehingga pemenuhan kebutuhan tersebut harus dipasok oleh daerah lain. Kedudukan geografis Kota Salatiga sebagai daerah otonom telah memberikan dampak terhadap terjadinya interaksi antara Kota Salatiga dengan daerah pinggirannya yang termasuk di dalam Kabupaten Semarang. Keterbatasan jarak yang jauh terhadap pusat pelayanan kabupaten (Kota Ungaran) menyebabkan daerah-daerah tersebut lebih memungkinkan bila berinteraksi dengan Kota Salatiga, hal tersebut terutama disebabkan oleh faktor jarak yang relatif lebih dekat. Dari interaksi tersebut terjadi kecenderungan pelayanan yang dilakukan oleh Kota Salatiga terhadap daerah pinggirannya yang menimbulkan efek pengaruh terhadap daerah-daerah tersebut. Disatu pihak kondisi ini mungkin saja menguntungkan daerah-daerah tersebut, namun di sisi lain besarnya aktivitas penduduk yang menuju Kota Salatiga untuk berbagai kepentingan telah menyebabkan terjadinya aliran barang dan orang yang mungkin hanya menguntungkan Kota Salatiga secara sepihak. Hal ini tentu saja akan berdampak pada penyerapan sumber daya yang tidak sedikit dari daerahdaerah tersebut. Penilaian terhadap pengaruh sektor basis tersebut bertujuan untuk memberikan gambaran sejauh mana sektor basis Kota Salatiga memiliki interaksi dan pengaruh terhadap daerah pelayanannya Beberapa analisis yang dipakai guna mencapai tujuan ini dimulai dari kajian kebijakan wilayah, penilaian sektor basis, hirarki kota-kota dan analisis keterkaitan aktivitas antar daerah. Setelah melalui berbagai analisis dalam pengkajian penelitian ini, maka terlihat bahwa sektor basis Kota Salatiga memiliki tingkat pengaruh yang cukup tinggi terhadap daerah pelayanannya. Pengaruh tersebut terjadi pada beberapa sektor basis. Namun secara keseluruhan, semua sektor basis yang ada di Kota Salatiga telah menciptakan daya tarik yang menyebabkan arus pergerakan penduduk dari daerah pelayanannya. Dari kondisi tersebut didapat sebuah kesimpulan utama bahwa keterkaitan sektor basis Kota Salatiga dengan daerah pelayanannya memiliki tingkat pengaruh yang berbeda baik dalam bidang aktivitasnya maupun lingkup pengaruh terhadap daerahnya. Hal tersebut dipicu oleh berbagai faktor seperti letak geografis, ketersediaan fasilitas perkotaan di daerah layanan, variasi produk yang beragam dari sektor basis Kota Salatiga serta jalur transportasi regional, sehingga tingkat pengaruh secara lingkup administrasi menunjukkan bahwa daerah-daerah yang berbatasan langsung dan dilalui oleh jalur transportasi regional memiliki tingkat pengaruh yang cukup tinggi dari sektor basis yang ada di Kota Salatiga. Kata kunci: interaksi pusat-pinggiran, wilayah pengaruh dan aktivitas sektor basis iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya kota-kota dibangun dengan tujuan yang sama, yakni agar dapat berkembang menjadi sebuah tempat tinggal yang nyaman bagi penduduknya serta dapat memberikan peluang kerja yang cukup bagi kebutuhan hidup penghuninya. Akan tetapi dalam perkembangannya, tidak semua kota mencapai tingkat perkembangan seperti yang diinginkan. Keterbatasan kualitas dan kuantitas faktor-faktor produksi seperti sumber daya alam, manusia dan modal menyebabkan terjadi perbedaan pada tingkat perkembangan masing-masing kota tersebut. Perbedaan kapasitas faktor-faktor produksi dari masing-masing daerah tersebut menyebabkan terjadinya fenomena supply and demand dikarenakan suatu daerah dituntut untuk melepaskan kelebihan sumber daya yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan akan sumber daya yang tidak dimiliki oleh daerah tersebut. Proses pertukaran faktor-faktor produksi antar daerah yang memicu terjadinya interaksi tersebut, secara tidak langsung akan dapat menggambarkan seberapa besar keberadaan potensi sumber daya daerah yang bersangkutan, sehingga dapat dikatakan bahwa intensitas interaksi antar daerah yang terjadi akan sangat tergantung pada besaran kebutuhan dari masing-masing daerah akan faktor-faktor produksi yang ada. Pemenuhan akan kebutuhan sumber daya bagi suatu daerah melalui proses interaksi tersebut sangatlah wajar dikarenakan kemampuan suatu daerah untuk dapat berkembang akan sangat ditentukan oleh seberapa besar potensi sumber daya yang dimiliki sebagai sektor basis (Alkadri et al., 1999). Potensi sumber daya dapat dikatakan sektor basis apabila keberadaannya telah dapat dimanfaatkan sebagai komponen penting dalam mendukung proses pengembangan daerah yang bersangkutan, sehingga kelebihan kapasitas produksi dari sektor ini dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan daerah akan sumber daya yang tidak dimiliki (Warpani, 1980). Keberadaan sektor basis di suatu daerah juga akan memberikan pengaruh yang tidak sedikit baik ke dalam maupun keluar daerah tersebut. Hal tersebut dikarenakan munculnya unit-unit produksi baru yang mendukung sektor basis akan membutuhkan pasokan bahan baku, manusia, modal dan teknologi yang tidak sedikit (Alkadri et al.,1999), sehingga adakalanya unit-unit produksi baru tersebut juga akan berkembang menjadi sektor basis yang juga dapat memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan daerah. Pada kota-kota di Indonesia yang sebagian besar berfungsi sebagai pusat pelayanan bagi wilayah belakangnya, sektor basis didominasi oleh kegiatan berbasis non agraris seperti manufaktur, perdagangan dan jasa yang melibatkan sumber daya alam, manusia, modal dan teknologi yang relatif besar, sehingga dampak dari kegiatan ini akan memberikan pengaruh yang besar pula, tidak hanya pada daerah yang bersangkutan tetapi juga pada daerah-daerah yang berada di sekitarnya seperti meningkatnya proses aliran barang dan penduduk (Alkadri et al., 1999). Berkembangnya sektor manufaktur, perdagangan dan jasa dengan pesat di daerah perkotaan yang mendorong tersedianya infrastruktur yang mendukung sektor tersebut, tidak diimbangi dengan penyediaan infrastruktur serupa pada sektor-sektor agraris di wilayah perdesaan. Hal ini menyebabkan 1

timbulnya kesenjangan perkembangan wilayah antara daerah perkotaan yang berfungsi sebagai pusat dan daerah perdesaan sebagai pinggiran (fenomena center-periphery) dikarenakan keberadaan infrastruktur di daerah perkotaan tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh kalangan yang bergerak di sektor agraris, sedangkan disisi lain faktor-faktor produksi yang ada di daerah perdesaan cenderung mengalir ke daerah perkotaan guna memenuhi kebutuhan akan sektor basis di daerah perkotaan tanpa memberikan efek balik positif (spread effect) yang seimbang (Alkadri et al., 1999) Fenomena yang terjadi pada kota-kota di Indonesia tersebut juga terjadi di Kota Salatiga. Sebagai daerah otonom, kota yang secara geografis berada di dalam wilayah Kabupaten Semarang ini, mengalami perkembangan yang cukup signifikan dibandingkan dengan daerah sekitarnya, sehingga di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Tengah, Kota Salatiga ditetapkan sebagai pusat pelayanan kegiatan wilayah yang berfungsi untuk mendorong perkembangan dan menjadi pusat pelayanan bagi wilayah sekitarnya. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini: 2 TABEL I.1 FUNGSI KOTA-KOTA BERDASARKAN RTRWP JAWA TENGAH Kota Pusat Pelayanan Kota Semarang, Kota Surakarta, Kudus, Cilacap, Purwokerto Kegiatan Nasional Kota Pekalongan, Ungaran-Bawen-Ambarawa, Kutoarjo-Purworejo, Kota Pusat Pelayanan Kota Tegal, Kartasura, Klaten, Juwana-Pati, Kota Salatiga, Kota Kegiatan Wilayah Magelang, dan Cepu Brebes, Bumiayu, Slawi, Pemalang, Comal, Wiradesa, Kajen, Batang, Weleri, Kendal, Demak, Purwodadi, Jepara, Rembang, Lasem, Blora, Kota Pusat Pelayanan Sragen, Karanganyar, Purwantoro, Wonogiri, Sukoharjo, Prambanan, Kegiatan Lokal Boyolali, Muntilan, Mungkid, Borobudur, Tawangmangu, Kebumen, Gombong, Wangon, Kroya, Banyumas, Majenang, Purbalingga, Banjarnegara, Parakan, Temanggung, Wonosobo. Keterangan : 1. Kota Pusat Pelayanan Kegiatan Nasional, dengan kriteria: a. Pusat yang mempunyai potensi sebagai pintu gerbang ke kawasan internasional dan mempunyai potensi untuk mendorong daerah sekitarnya. b. Pusat jasa-jasa pelayanan keuangan/bank yang melayani nasional/beberapa provinsi. c. Pusat pengolahan/pengumpul barang secara nasional/beberapa provinsi. d. Simpul transportasi secara nasional/beberapa provinsi. e. Pusat jasa pemerintahan untuk nasional/beberapa provinsi f. Pusat jasa-jasa publik yang lain untuk nasional/beberapa provinsi. 2. Kota Pusat Pelayanan Kegiatan Wilayah, dengan kriteria: a. Pusat jasa-jasa pelayanan keuangan/bank yang melayani beberapa kabupaten. b. Pusat pengolahan/pengumpul barang yang melayani beberapa kabupaten. c. Simpul transportasi untuk beberapa kabupaten. d. Pusat jasa pemerintahan untuk beberapa kabupaten. e. Pusat jasa-jasa yang lain untuk beberapa kabupaten. 3. Kota Pusat Pelayanan Kegiatan Lokal, dengan kriteria: a. Pusat jasa-jasa keuangan/bank yang melayani satu kabupaten atau beberapa kecamatan. b. Pusat pengolahan/pengumpul barang untuk beberapa kecamatan. c. Simpul transportasi untuk beberapa kecamatan. d. Pusat jasa pemerintahan untuk beberapa kecamatan. e. Bersifat khusus karena mendorong perkembangan sektor strategis atau kegiatan khusus lainnya. Sumber : RTRWP Jawa Tengah, 2003 Menjabarkan strategi di dalam RTRWP Jawa Tengah tersebut, maka di dalam RTRW Kabupaten Semarang, Kota Salatiga ditempatkan sebagai pusat pelayanan kegiatan bagi Wilayah Pembangunan III dengan cakupan daerah pelayanannya yang meliputi; Kecamatan Getasan, Tengaran, Pabelan dan Kecamatan Tuntang (SWP I), Kecamatan Bringin (SWP II) serta Kecamatan Suruh dan Susukan (SWP III).

Mengamati kedudukan Kota Salatiga dalam tataran regional tersebut, tidak dapat dilepaskan dari perkembangan Kota Salatiga itu sendiri. Terdapat beberapa faktor yang menjadikan Kota Salatiga berkembang dengan cukup pesat sehingga berperan sebagai pusat pelayanan kegiatan wilayah, yakni: 1. Secara historis, Kota Salatiga yang memiliki luasan wilayah relatif kecil yakni sekitar 56,79 Km 2, telah sejak lama berfungsi sebagai pusat aktivitas masyarakat dari daerah-daerah perkebunan yang ada di sekitarnya pada zaman penjajahan Kolonial Belanda, sehingga berbagai fasilitas kota telah tersedia dengan kualitas pelayanan yang menjangkau daerah-daerah di luar Kota Salatiga itu sendiri. 2. Kota Salatiga memiliki lokasi yang strategis yakni berada pada simpul koridor kawasan andalan JOGLOSEMAR dan kawasan strategis Kedungsepur-Masatandur-Subosuka (RTRWP Jawa Tengah, 2003). 3. Kota Salatiga memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat dibandingkan dengan daerah-daerah yang ada di sekitarnya, sehingga daerah ini cenderung lebih menonjol dalam sektor sosial ekonomi, jasa, pengangkutan, komunikasi dan pemerintahan. 4. Daerah-daerah belakang dari Kota Salatiga memiliki akses yang terbatas dengan pusat pelayanannya (Kota Ungaran), sehingga akses ke Kota Salatiga cenderung lebih menguntungkan dibanding ke kota pusat pelayanannya tersebut. 5. Perkembangan daerah-daerah belakang dari Kota Salatiga yang cenderung lambat, keterbatasan fasilitas dan utilitas kota serta kurang terlayani oleh daerah pusatnya (Kota Ungaran), menyebabkan munculnya kebutuhan (demand) yang harus dipenuhi oleh sebuah pusat pelayanan yang memadai serta dapat menjangkau daerah-daerah tersebut. Berkembangnya Kota Salatiga yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan wilayah di sekitarnya, mengindikasikan bahwa kota ini memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif terutama pada sektor-sektor basis yang ada, sehingga mampu memberikan kontribusi yang besar bagi proses perkembangan kota dan juga mampu memberikan pengaruh yang besar terhadap aktivitas yang ada di wilayah sekitarnya. Dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 3,71% selama kurun waktu 1999-2003, maka dapat dikatakan bahwa Kota Salatiga memiliki potensi ekonomi yang cukup besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayahnya. Perbandingan laju pertumbuhan ekonomi Kota Salatiga, Kabupaten Semarang dan Jawa Tengah, dapat dilihat pada Tabel I.2 berikut: 3 TABEL I.2 PERBANDINGAN LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA SALATIGA DAN KABUPATEN SEMARANG RENTANG TAHUN 1999-2003 No Kabupaten/Kota PDRB (dalam jutaan rupiah) 1999 2000 2001 2002 2003 Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi (%) 1 Kabupaten Semarang 1.270.864,00 1.257.019,00 1.294.194,00 1.339.586,00 1.385.238,00 2,19 2 Kota Salatiga 245.601,15 254.362,19 263.644,76 273.700,06 273.951.26 3,71 Jawa Tengah 39.394.513,74 40.941.667,09 42.305.176,42 43.775.693,08 45.557.108,45 3,70 Sumber : Hasil Perhitungan, 2005

Peran Kota Salatiga yang cenderung dominan di daerah pinggiran dari Kabupaten Semarang, di satu sisi dapat dinilai positif guna mendorong perkembangan daerah-daerah yang ada disekitarnya, ditambah lagi dengan peran Kota Salatiga sebagai pusat kegiatan wilayah. Namun di sisi lain, kondisi ini juga berpotensi memunculkan konflik antar wilayah terutama dengan Kabupaten Semarang yang secara geografis melingkupi wilayah Kota Salatiga. Hal lain yang berpotensi menimbulkan permasalahan adalah fenomena center-periphery yang terjadi akan dapat memberikan efek positif sepihak bagi Kota Salatiga dan justru merugikan bagi daerah-daerah sekitarnya karena mengalirnya faktor-faktor produksi ke Kota Salatiga tanpa diimbangi efek balik positif yang seimbang. 4 1.2 Rumusan Masalah Keberadaan Kota Salatiga sebagai pusat pelayanan bagi wilayah sekitarnya mengindikasikan bahwa kota ini memiliki beberapa keunggulan komparatif dan kompetitif seperti letak yang strategis dan kelengkapan infrastruktur kota dibanding wilayah sekitarnya. Keunggulan tersebut tentu saja disebabkan oleh faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, ditambah lagi dengan keberadaan sektorsektor basis di Kota Salatiga yang memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan kota ini. Kondisi tersebut cenderung memunculkan fenomena pusat pinggiran (center-periphery) yang mengarah pada peningkatan aliran masuk faktor-faktor produksi dari wilayah-wilayah sekitarnya, dikarenakan keberadaan sektor-sektor basis yang ada di Kota Salatiga menjadi daya tarik yang besar bagi wilayah-wilayah sekitarnya. Kondisi ini berpotensi memunculkan permasalahan tersendiri dikarenakan pola interaksi yang terjadi terkadang memberikan keuntungan yang tidak seimbang antara Kota Salatiga dan daerah sekitarnya. Sebagai wilayah pusat yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, Kota Salatiga sangat diuntungkan dengan masuknya faktor-faktor produksi dari wilayah sekitarnya. Namun aliran kemajuan (trickle-down effect) berupa efek balik positif (spread effect) dari perkembangan Kota Salatiga ke daerah-daerah pinggirannya cenderung kecil (Alkadri et al., 1999). Hal yang kemudian menarik untuk diketahui adalah bagaimana pengaruh sektor basis Kota Salatiga terhadap daerah pelayanannya? 1.3 Tujuan dan Sasaran Tujuan dan sasaran diperlukan guna memberikan arah bagi hasil akhir penelitian. Tujuan dan sasaran dalam penelitian ini yakni: 1.3.1 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengaruh sektor basis Kota Salatiga terhadap daerah pelayanannya yang meliputi 7 kecamatan di Kabupaten Semarang yakni; Kecamatan Getasan, Tengaran, Susukan, Suruh, Pabelan, Tuntang dan Kecamatan Bringin. 1.3.2 Sasaran Dalam mencapai tujuan dari penelitian ini, maka sasaran diarahkan pada: 1. Identifikasi peran dan kedudukan Kota Salatiga dalam konteks regional. Identifikasi terhadap kedudukan Kota Salatiga dalam konteks regional dimaksudkan agar penentuan cakupan wilayah penelitian yang meliputi Kota Salatiga dan daerah pelayanannya didasarkan pada acuan normatif yang ada yakni berupa produk rencana tata ruang.