Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel

dokumen-dokumen yang mirip
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA PENYANDANG TUNA DAKSA SKRIPSI

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat saja terganggu, sebagai akibat dari gangguan dalam pendengaran dan

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB V PEMBAHASAN. A. Rangkuman Hasil Seluruh Subyek Hasil penelitian dengan mengunakan metode wawancara, tes

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan secara

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan terpenting bagi

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan manusia dengan kemampuan berbeda-beda dengan rencana yang. kesialan atau kekurangan dengan istilah cacat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki.

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Juanita Sari, 2015

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. memiliki keinginan untuk mencintai dan dicintai oleh lawan jenis. menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kekayaan sumber daya alam di masa depan. Karakter positif seperti mandiri,

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam perjalanan hidupnya manusia melewati fase-fase kehidupan sejak ia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesuksesan, karena dengan kepercayaan diri yang baik seseorang akan mampu

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB II. Tinjauan Pustaka

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan,

BAB I PENDAHULUAN. E. Latar Belakang Masalah. Remaja biasanya mengalami perubahan dan pertumbuhan yang pesat

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

NILAI ANAK BAGI ORANG TUA DAN DAMPAK TERHADAP PENGASUHAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi hampir bersamaan antara individu satu dengan yang lain, dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEMAMPUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA REMAJA. Naskah Publikasi. Diajukan kepada Fakultas Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya,

BAB I PENDAHULUAN. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin (adolescence)

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah yang sering terjadi pada masa remaja yaitu kasus pengeroyokan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Kematangan Emosional. hati ke dalam suasana hati yang lain (Hurlock, 1999).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sebagai mahkluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP KONFLIK INTERPERSONAL DAN STRES KERJA DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. manuisia bertujuan untuk melihat kualitas insaniah. Sebuah pengalaman

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

Bab I Pendahuluan. Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup bermasyarakat atau dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana pernyataan yang diungkap oleh Spencer (1993) bahwa self. dalam hidup manusia membutuhkan kepercayaan diri, namun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong

I. PENDAHULUAN. Konsepsi manusia seutuhnya merupakan konsepsi ideal kemanusiaan yang terletak pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki rasa minder untuk berinteraksi dengan orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

PENYESUAIAN DIRI DAN POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian

BAB II LANDASAN TEORI

Pengantar. (SDM) yang berkualitas dan siap bersaing dengan tenaga asing. Bagi penderita

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan diharapkan mampu. mewujudkan cita-cita bangsa. Pendidikan bertujuan untuk membantu

BAB I PENDAHULUAN. suatu interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Proses interaksi salah satunya dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dasarnya, manusia berkembang dari masa oral, masa kanak-kanak, masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. berperan bagi kehidupan seseorang dikarenakan intensitas dan frekuensinya yang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

Transkripsi:

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel Thesis Diajukan kepada Program Studi Magister Sains Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister Dalam Ilmu Psikologi Disusun oleh: NUR SYAMSIAH S300060010 PROGRAM MAGISTER SAINS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa - masa remaja adalah masa yang paling indah dan paling berkesan di sepanjang hidup setiap manusia. Remaja adalah kenangan yang tidak akan terlupakan sebaik atau seburuk apapun keadaannya pada saat itu. Karena dimasa inilah, perubahan sangatlah nampak, dari anak - anak menuju kedewasaan Masa remaja merupakan masa transisi dalam bentuk perubahan menjadi dewasa yang berpengaruh pada emosi serta perilaku seperti yang dijelaskan oleh Harlock (2000) bahwa masa remaja adalah masa yang ditandai oleh adanya perubahan fisik dan psikologis, yang dimulai dengan adanya perubahanperubahan psikologis seperti emosional yang mudah tersinggung, bergejolak dan mudah berubah. Hampir semua remaja mengalami masa krisis, demikian juga yang dialami oleh remaja difabel (penyandang tuna daksa). Remaja difabel juga mengalami masa transisi seperti remaja normal lainnya. Gejolak jiwa yang tidak menentu dalam mencari identitas dirinya membuat remaja difabel mengalami krisis yang lebih kompleks dibandingkan dengan remaja normal lainnya. Krisis yang utama bagi remaja difabel adalah adanya kekurangan secara fisik, seorang difabel yang berbeda dengan orang normal karena keterbatasan yang difabel miliki. Difabel mempunyai kesulitan yang lebih besar dalam menjalani kehidupan sosial karena difabel mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas.

Hambatan yang dialami oleh seoranng difabel yang memiliki kekurangan fisik khususnya remaja seringkali menjadikan dirinya kurang percaya diri. Munandar (1999) dalam penelitiannya menemukan bahwa semakin besar tingkat kedifabelan seseorang maka akan semakin besar pula tingkat penolakan sosial. Penolakan tersebut membuat difabel merasa tidak berharga dan menjadi tidak percaya diri. Orang yang kurang percaya diri akan cenderung menghindari komunikasi dengan orang lain karena takut diejek dan disalahkan. Individu tersebut akan menutup diri. Tidak sedikit remaja difabel yang tampak menunjukan rasa percaya diri dalam perilakunya tetapi sebenarnya mereka juga mengalami krisis kepercayaan diri, terutama dalam berinteraksi sosil dan pergaulan. Hambly (1987) mengatakan bahwa atribut yang paling berharga pada manusia dalam bermasyarakat adalah kepercayaan diri. Pendapat ini mendukung Lauster (1997) yang menyatakan bahwa kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang paling penting dalam kehidupan manusia. Tanpa adanya kepercayaan diri maka akan semakin banyak masalah yang timbul pada diri seseorang. Johnson dan Medinus (Nugroho, 2002) mengemukakan bahwa masalah rendahnya rasa percaya diri sering dialami oleh penyandang cacat tubuh. Remaja penyandang cacat tubuh mempunyai kelemahan yang berhubungan dengan keterbatasan yang diakibatkan oleh anggota tubuhnya yang kurang dapat berfungsi secara semestinya dan mengalami keterbatasan. Keterbatasan tersebut bisa saja menyebabkan tumbuhnya sikap negatif, seperti sikap egosentrisme, fanatik, dan mempunyai tuntutan yang lebih tinggi untuk berdiri sendiri, yang

merupakan bentuk kompetensi dari kekurangan yang dirasakannya. Mendukung hal tersebut, Sawrey dan Telfort (Nugrogo, 2002) juga menyatakan bahwa para difabel mungkin mengalami ketakutan akan terluka atau ditolak secara sosial. Faktor-faktor ini membuat mereka kesulitan untuk membentuk persepsi yang tepat akan kemampuan dan keterbatasan yang mereka miliki. Ketidaktepatan itulah yang sering membuat mereka merasa inferior dan kurang percaya akan kemampuan diri sendiri. Remaja difabel juga menginginkan suatu harapan, ingin menerima dan diterima serta diperlakukan secara layak dan wajar dalam lingkungannya. Tetapi orang-orang sekitar sering tidak menyadari bahwa mereka memberikan penerimaan, perlakuan dan penghargaan yang wajar terhadap orang normal tetapi hal yang sama belum tentu diberikan kepada difabel. Berbagai studi dan pengalaman telah menjelaskan bahwa kepercayaan diri seseorang terkait dengan dua hal yang paling mendasar dalam praktek kehidupan seseorang. Pertama, kepercayaan diri terkait dengan bagaimana seseorang memperjuangkan keinginannya untuk meraih sesuatu (prestasi atau performansi). Ini seperti dikatakan Mark Twin: Apa yang Anda butuhkan untuk berprestasi adalah memiliki komitment yang utuh dan rasa percaya diri.. Kedua, kepercayaan diri terkait dengan kemampuan seseorang dalam menghadapi masalah yang menghambat perjuangannya. Orang yang kepercayaan dirinya bagus akan cenderung berkesimpulan bahwa dirinya lebih besar dari masalahnya. Sebaliknya, orang yang punya kepercayaan diri rendah akan cenderung berkesimpulan bahwa masalahnya jauh lebih besar dari dirinya

(http://www.fpsi.unair.ac.id/files/bagaimana%20lebih%20mahami%20seorang%2 0diri%20remaja/.pdf) Difabel membutuhkan dukungan dan dorongan dari pihak lain, terutama keluarga sebagai orang terdekat, untuk dapat melakukan penyesuaian diri dan mengatasi masalah-masalah yang dihadapi serta menumbuhkan rasa percaya dirinya. Keluarga harus memberikan dorongan dan dukungan pada difabel untuk mencapai kemandirian (Fuhrman dalam Mangunsong, 1998). Maka dari itu, tidak salah apabila cinta dan perhatian dijadikan landasan untuk menjalin interaksi antara orang tua dan anak. Peran sebagai orang tua dimulai ketika anak hadir di tengah kehidupan pasangan suami istri. Orang tua adalah orang pertama dalam kehidupan anak yang mengajarkannya tentang benda-benda di sekelilingnya, arti dari dunia di sekitarnya, bagaimana menciptakan kontak sosial dengan orang lain dan bagaimana mengekspresikan dan mengenal ekspresi emosi. Melalui bermain dan komunikasi orang tua membentuk pengalaman hidup anak dan sebaliknya juga anak mempengaruhi perilaku orang tua ketika berinteraksi dengan anak. Bagaimana orang tua mempersepsikan temperamen, inteligensi dan afeksi anak mempengaruhi relasi orang tua dengan anak. Setiap orang tua perlu memahami betapa pentingnya dan kuatnya pengaruh yang dapat orang tua sampaikan pada anak melalui hal-hal yang kelihatannya sederhana, seperti perhatian yang diberikan, kebahagian yang pancarkan, dan juga melalui minat dan kemauan orang tua untuk mendengarkan

anak. Kesadaran untuk berempati dengan anak, kemauan untuk memenuhi kebutuhan anak (termasuk kebutuhan emosional anak), stabilitas dan kematangan emosi orang tua merupakan ciri-ciri utama orang tua harapan anak. Sehingga anak akan membentuk persepsi yang baik terhadap orang tuanya. Persepsi adalah suatu proses dimana seseorang memahami informasi tentang lingkungan baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasinya. Persepsi seseorang terhadap keluarga dan orang-orang disekeliingnya merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak terutama difabel. Penelitian Fitzgerald (Somantri, 2006) menunjukan bahwa reaksi dan perlakuan keluarga merupakan salah satu sumber frustasi bagi difabel, yang sering justru berakibat lebih berat daripada kedifabelannya. Kurangnya perhatian orang tua yang konsisten, stabil dan tulus, seringkali menjadi penyebab kurang terpenuhinya kebutuhan anak akan kasih sayang, rasa aman, dan perhatian. Anak harus bersusah payah dan berusaha mendapatkan perhatian dan penerimaan orang tua, namun seringkali orang tua tetap tidak memberikan respon seperti yang diharapkan. Sikap penolakan yang dialami seorang anak pada masa kecilnya, akan menimbulkan perasaan rendah diri, rasa diabaikan, rasa disingkirkan dan rasa tidak berharga. Perasaan itu akan terus terbawa hingga dewasa, sehingga mempengaruhi motivasi, kepercayaan diri dan sikapnya dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

Kartono (1995) mengatakan bahwa orang tua yang merasa telah memberikan kasih sayang kepada anaknya, tetapi anak merasa belum merasakan kasih sayang. Akibat dari kurangnya kasih sayang terlihat dari sifat anak, yaitu anak tidak yakin akan kemampuan diri dan tidak percaya diri. Persepsi anak terhadap perhatian orang tua adalah subyektif anak mengenai perhatian dan kasih sayang orang tua kepadanya. Menurut hasil penelitian Conners.N.A dkk, 2006 bahwa anak-anak dapat menunjukan suatu variasi dari perilaku-perilaku, termasuk kemarahankemarahan, tantangan, gagal memenuhi sesuatu, agresi. Hasil penelitian tersebut menunjukan 20% dari anak-anak ditemukan berperilaku menyimpang, sebanyak 13% dari anak-anak sulit untuk dikendalikan oleh orang tua, dan kurang lebih 50% remaja mengalami kesulitan dan permasalahan perilaku. Dalam hal ini peran orang tua sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak. Efek dari perilaku orang tua tidak langsung berpengaruh terhadap sikap anak karena anak akan berpikir dalam perkembangannya. Difabel sering kali mempersepsikan berbeda akan sikap dan perhatian orang tua. Orang tua bermaksud memanjakan dan kasihan akan kekurangan anak tetapi anak merasa bahwa sikap orangtua tersebut menujukan ketidakberartian diri di dalam keluarga arangan anak tetapi Beberapa teori menyatakan bahwa motivasi dan perilaku orang tua dan anak saling berhubungan, keduanya saling mendukung dalam melakukan aktivitas (Anderson.C.B and Sheryl.O, 2008)

Adanya perhatian dan kasih sayang dapat meciptakan hubungan yang hangat antara orang tua dan anak akan membantu anak dalam memecahkan setiap masalahnya dan menumbuhkan rasa percaya dirinya. Tetapi seringkali orang tua yang memiliki anak yang difabel memperlakukan dengan sikap yang terlalu melindungi, misal dengan memenuhi segala keinginan, melayani secara berlebih dan sebagainya. Disamping itu ada orang tua yang menyebabkan anak merasakan ketergantungan sehingga merasa takut dan cemas dalam menghadapi lingkungan yang tidak dikenalnya (Somantri, 2006). Kondisi yang ada sekarang dimana kedua orang tua sama-sama disibukan oleh pekerjaan-pekerjaan di luar rumah, yang menyebabkan interaksi antara orang tua dan anak terbatas. Selain itu, telah banyak dijumpai orang tua yang malu memiliki anak yang lahir dengan anggota badan yang kurang lengkap (difabel) sehingga seorang anak akan dititipkan di yayasan dan membiarkan tanpa memberi perhatian. Hal ini menyebabkan anak merasa tidak dihargai dan tidak diterima dalam lingkungan keluarga. Misal di Bali, sangat jarang keluarga yang terbuka jika salah seorang anggota keluarga ada yang difabel. Seseorang yang difabel justru disembunyikan karena dianggap telah memalukan keluarga (Amlapura, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2002/9/26/b6.html). Akibat kecacatan yang dimiliki oleh anak, banyak orang tua yang tidak menyekolahkan anak mereka karena berbagai alasan (http://www.pikiran rakyat.com/cetak/0704/18/hikmah/lainnya06.htm). data tersebut menunjukan bahwa orang tua masih kurang memperhatikan dan menerima keberadaan anak

yang difabel. Selain itu tidak sedikit orang tua yang malu memiliki anak yang difabel. Selain malu, tidak semua orang tua dapat memahami apa yang yang harus dilakukan terhadap anak yang difabel tersebut. Sehingga banyak orang tua yang menitipkan ke dalam lembaga yang berkompeten dan membiarkannya tanpa memberikan perhatian sama dengan anak normal lainnya. Orang tua beranggapan bahwa anaknya akan lebih dapat berkembang dengan baik psikis dan fisik. Tetapi bagi anak itu sendiri, hal ini justru akan menyebabkan anak merasa tidak dihargai, tidak diterima dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya manusia senantiasa memerlukan saluran untuk dapat menjalin hubungan dengan orang lain, dengan komunikasi inilah diharapkan keinginan, ide, dan pesan bisa dipahami orang lain. Sebagai orang tua ketrampilan berkomunikasi diperlukan untuk memperlancar suatu hubungan. Menurut Robbins dan Hunsake (dalam Bambacas dan Patrickson, 2007) ketrampilan-ketrampilan orang tua masuk dalam tiga kategori kepemimpinan, proses berkomunikasi dan motivasi. Interaksi antar keluarga dapat membantu anak dalam menumbuhkan rasa percaya diri, sebab lingkungan keluarga sebagai lingkungan utama terjadi proses interaksi yang lebih terbuka. Oleh karena itu, komunikasi dalam keluarga sangat diperlukan, dengan adanya komunikasi dapat terjalin interaksi antara individu dengan lingkungan keluarga.

Komunikasi yang terjadi antar anggota keluarga disebut komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang terjadi diantara individu, yaitu bagaimana individu menjadi stimulus yang menimbulkan respon pada individu lain. Komunikasi interpersonal sebagai proses penyampaian pesan dari satu individu ke individu lainnya (Hakim, 2000). Hakim (2000) berpendapat bahwa komunikasi interpersonal dalam keluarga yang berjalan harmonis sebagai dasar anak dalam melakukan interaksi sosial dan mempelajari peran sosial dalam masyarakat dan menunjukan rasa percaya diri. Komunikasi interpersonal yang tidak harmonis dan terjadinya konflik dalam diri anggota keluarga mempunyai hubungan yang erat. Keeratan hubungan tersebut membawa dampak yang kurang baik bagi perkembangan pribadi anak dan akan mempengaruhi kepercayaan dirinya. Sering dijumpai anakanak merasa kesepian di dalam keluarga. Dan hal ini sudah terpola dalam keluarga yang kurang memberikan perhatian dan kurang adanya komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak karena kesibukan orang tua dalam bekerja ( Hurt, 2007). B. Rumusan Masalah Dari uraian di di atas peneliti kemudian mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah ada korelasi antara persepsi anak terhadap orang tua dengan kepercayaan diri pada remaja difabel?

2. Apakah ada korelasi antara intensitas komunikasi interpersonal dengan kepercayaan diri pada remaja difabel? 3. Apakah ada korelasi antara persepsi anak terhadap perhatian orang tua dan intensitas komunikasi interpersonal dengan kepercayaan diri pada remaja difabel? C. Tujuan Dari rumusan masalah yang diajukan, peneliti mengadakan penelitian dengan judul Hubungan antara Adapun tujuan persepsi anak terhadap orang tua dan intensitas komunikasi interpersonal dengan kepercayaan diri pada remaja difabel dengan tujuan: 1. Mengetahui korelasi antara persepsi anak terhadap orang tua dengan kepercayaan diri pada remaja difabel 2. Mengetahui korelasi antara intensitas komunikasi interpersonal dengan kepercayaan diri pada remaja difabel 3. Mengetahui korelasi antara persepsi anak terhadap orang tua dan intensitas komunikasi interpersonal dengan kepercayaan diri pada remaja difabel D. Manfaat Penelitian 1. Bagi orang tua dan anggota keluarga. Dapat meningkatkan intensitas komunikasi kepada anaknya sehingga anak akan merasa diperhatikan dan disayangi

2. Bagi difabel. Dapat memberikan motivasi sehingga diharapkan difabel akan memiliki kepercayaan diri dan dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan orang tua dan anggota keluarga yang lain 3. Bagi penulis. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi disiplin ilmu dan dapat menjadikan bahan perbandingan bagi peneliti lain yang memilki latar belakang yang berkaitan dengan kepercayaan diri pada remaja difabel.