BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik. Banyak yang beranggapan bahwa masa-masa sekolah adalah masa

dokumen-dokumen yang mirip
INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT

KEPRIBADIAN TANGGUH PADA SISWA KORBAN KEKERASAN TEMAN SEBAYA

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang

I. PENDAHULUAN. Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. karena remaja akan berpindah dari anak-anak menuju individu dewasa yang akan

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. siswa sendiri. Bahkan kekerasan tidak hanya terjadi di jenjang pendidikan tinggi

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian. memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal diluar dugaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian,

BAB I RENCANA PENELITIAN. formal, pendidikan dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan sekolah,.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah adalah suatu lembaga tempat menuntut ilmu. Selain itu sekolah

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence)

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perilaku kekerasan yang menimpa anak di Indonesia, masih tetap

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa, apabila rakyat cerdas maka majulah bangsa tersebut. Hal ini senada

Pengertian tersebut didukung oleh Coloroso (2006: 44-45) yang mengemukakan bahwa bullying akan selalu melibatkan ketiga unsur berikut;

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku dan segala sifat yang membedakan antara individu satu dengan individu

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah

BULLYING. I. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan yang efektif dan efisien pada perkembangan pendidikan dipengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditemui baik melalui informasi di media cetak maupun televisi. Selain tawuran

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kasus kekerasan di kalangan remaja. Kekerasan antar teman sebaya atau yang

BAB I PENDAHULUAN. pengaruh antara pendidik dengan yang di didik (Sukmadinata, 2011).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian. pengertian yang baku hingga saat ini. Bullying berasal dari bahasa inggris,

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. remaja dihadapkan pada konflik dan tuntutan social yang baru, termasuk. dirinya sesuai dengan perkembangannya masing-masing.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I. Pendahuluan. I.A Latar Belakang. Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan. dari masa anak-anak ke masa dewasa.

UNTUK PENCEGAHAN KEKERSAN DAN PENYIMPANGAN PERILAKU REMAJA OLEH RR. SUHARTATI, S.H.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie

BAB I PENDAHULUAN. seperti ini sering terjadi dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat, baik itu

BAB I PENDAHULUAN. Nilai-nilai keagamaan yang diajarkan, di pesantren bertujuan membentuk

BAB II LANDASAN TEORI. dengan orang-orang di sekeliling atau sekitarnya. bijaksana dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

PROFIL KEPRIBADIAN 16 PF PADA SISWA PELAKU BULLYING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara)

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal small-group yang berupaya secara

BAB I PENDAHULUAN. dengan sebutan aksi bullying. Definisi kata kerja to bully dalam Oxford

Bullying: Tindak Kekerasan Antara Siswa Laki-Laki Dan Siswa Perempuan Dalam Perspektif Jender di SMA Negeri 2 Ambon

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan yang diarahkan pada peningkatan intelektual dan emosional anak

BAB I PENDAHULUAN. yang menunjukkan kebaikan dan perilaku yang terpuji. Akan tetapi, banyak kita

UPAYA MENGURANGI PERILAKU BULLYING DI SEKOLAH DENGAN MENGGUNAKAN LAYANAN KONSELING KELOMPOK

MANAJEMEN EMOSI PADA SISWA KORBAN KEKERASAN FISIK OLEH GURU DI SEKOLAH (SCHOOL BULLYING)

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kegiatan belajar dengan aman dan nyaman. Hal tersebut dapat terjadi, karena adanya

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Iceu Rochayatiningsih, 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. Bullying berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari kata bull yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. seorang individu mengalami peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Dimasa ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. bukanlah sekedar masalah kekerasan biasa. Tindakan ini disebut bullying,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ini dibuktikan oleh pernyataan Amrullah, Child Protection Program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibicarakan, karena akibat negatif yang sangat mengkhawatirkan yang akan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

PENGARUH LAYANAN DISKUSI KELOMPOK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA AUDIO VISUAL TERHADAP PERILAKU BULLYING SISWA KELAS XI (Studi di SMA Negeri 5 Sigi )

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam

KONDISI EMOSI PELAKU BULLYING (Studi Kasus Pada Siswa Kelas VIII di SMP DIPONEGORO 1 Jakarta)

BAB I PENDAHULUAN. Bullying juga didefinisikan sebagai kekerasan fisik dan psikologis jangka

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. suatu konflik/masalah (Nashori, 2008). Sebagian orang mungkin ada yang merasa

BAB I PENDAHULUAN. terselenggara apabila dipengaruhi oleh suasana kondusif yang diciptakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Guna mencapai tujuan tersebut, diperlukan kondisi belajar yang kondusif

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun

MAKALAH MEREBAKNYA TAWURAN ANTAR PELAJAR DISEKOLAH KARENA KURANGNYA PENGAWASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tempat yang terdekat dari remaja untuk bersosialisasi sehingga remaja banyak

BAB I PENDAHULUAN. resiko (secara psikologis), over energy dan sebagainya. Hal tersebut dapat dilihat

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Kelompok Teman Sebaya (Peer Group) Terhadap Perilaku Bullying Siswa Di Sekolah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sekolah merupakan lembaga formal yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB II KERANGKA TEORI

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Pustaka

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang secara sadar berupaya melakukan perbaikan perilaku, pengalaman dan pengetahuan peserta didik. Banyak yang beranggapan bahwa masa-masa sekolah adalah masa yang penting dalam menentukan perkembangan kualitas anak dan harapannya setiap siswa bisa belajar, bertemu, bermain, bercengkerama dengan temantemannya yang lain, saling berbagi, saling menolong serta saling memberikan perhatian. Sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan, idealnya menjadi tempat ramah bagi anak didik, dalam arti dapat memberi jaminan untuk melangsungkan proses pembelajaran. Tempat ramah dan kondusif berarti harus dapat memberikan kesenangan, keleluasaan atau kebebasan kepada anak untuk melakukan pengembangan diri secara optimal, karena hal ini akan melahirkan rasa suka dan anak akan termotivasi untuk berkreasi sesuai dengan bakat dan minatnya, sehingga bisa membangun kesadaran kritis sebagai jalan menuju terciptanya kemandirian anak. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, 1

2 kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Guna mencapai tujuan tersebut, diperlukan kondisi belajar yang kondusif dan jauh dari kekerasan. Pada kenyataannya banyak kekerasan yang terjadi di dalam sekolah. Penelitian dari Yayasan Sejiwa menunjukkan bahwa tidak ada satupun sekolah di Indonesia yang bebas dari tindakan kekerasan. Hal tersebut sesuai dengan hasil angket screening bahwa terdapat beberapa kekerasan yang terjadi di SMA Negeri 8 Surakarta, antara lain menghina, menyoraki, melempar dengan barang, memukul, memanggil dengan julukan, menginjak kaki maupun mendiamkan teman. Alasan siswa melakukan kekerasan tersebut antara lain hanya untuk hiburan, marah karena teman tidak berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkannya serta hanya sekedar iseng. Hasil lain yang terungkap yaitu dalam beberapa tahun belakangan ini, topik media massa umumnya menyoroti kekerasan di sekolah. Misalnya saja Koran Suara Merdeka Jawa Tengah menyoroti kekerasan yang terjadi di lingkungan sebuah akademi militer di Semarang, di mana seorang taruna dihajar oleh seniornya, kisah yang sama terjadi beberapa tahun sebelumnya di sebuah sekolah tinggi di Bandung, di mana calon pejabat pemerintahan dipersiapkan hingga berakibat kematian salah seorang siswanya juga dilakukan oleh beberapa senior (Widayanti, 2009). Baru-baru ini kisah yang belum lekang dari ingatan kita, yaitu kekerasan yang menimpa seorang remaja yang bernama Muhamad Fadhil (16) siswa kelas satu di SMA 34 Pondok labu, Jakarta Selatan, ia dipukul, disundut rokok, dan

3 dipatahkan tangannya oleh seniornya karena ia menolak untuk masuk ke dalam Geng Gezper yang berada di sekolah tersebut. Contoh lain peristiwa tragis yang menimpa seorang siswa SMP di Kabupaten Bekasi, ia menggantung diri karena merasa malu mendapat nilai raport yang rendah karena diketahui oleh temannya, dan bunuh diri menjadi pilihannya (Ehan, 2010). Kasus di atas seperti halnya gunung es, yang muncul di permukaan hanya beberapa kasus tetapi sebenarnya lebih banyak kasus yang tidak terungkap. Perlakuan terhadap kekerasan remaja seperti yang diungkap dalam penelitian Etikawati (2008) tentang perlakuan kekerasan yang terjadi pada tahun 2008, antara lain : tentang ritual perpeloncoan geng remaja putri Nero dari Pati, kota kecil di Jawa Tengah dan kekerasan remaja putri di Kalimantan Tengah. Riauskina, dkk (2005) menyatakan bahwa dari tiga kota mengenai gambaran agresitifitas di sekolah, sekolah di Yogyakarta mencatat angka tertinggi dibanding Jakarta dan Surabaya setelah ditemukan kasus sebesar 70,65% SMP dan SMU di Yogyakarta. Psikolog Universitas Indonesia tersebut menyatakan bahwa penelitian tingginya kasus tindak kekerasan di Yogyakarta belum diketahui sebabnya, dan dalam penelitiannya tersebut menemukan subjek pada 2 SMA di Jakarta bahwa kecenderungan untuk melakukan kontak fisik langsung masih terlihat pada anak laki-laki di usia 18 tahun. Etikawati (2008) menyatakan bahwa terjadinya kekeraasan antar sebaya semakin menguat mengingat adanya faktor pubertas dan krisis identitas, yang normal terjadi pada perkembangan remaja. Remaja dalam rangka mencari identitas dan ingin eksis, biasanya membentuk sebuah geng. Geng remaja

4 sebenarnya sangat normal dan bisa berdampak positif. Namun, apabila orientasi dari geng tersebut menyimpang maka akan menimbulkan masalah. Dari relasi antar teman sebaya ditemukan bahwa beberapa remaja menjadi pelaku kekerasan karena balas dendam atas perlakuan penolakan kekerasan yang pernah dialami sebelumnya (misal saat berada di SD maupun SMP). Terror yang berupa kekerasan fisik atau mental, pengucilan, intimidasi maupun pepeloncoan yang terjadi pada kasus-kasus diatas sebenarnya adalah contoh klasik dari tindakan bullying. Perilaku ini sering disebut juga sebagai peer victimization dan hazing yaitu usaha untuk menyakiti secara psikologis ataupun fisik terhadap seseorang/sekelompok orang yang lebih lemah oleh seseorang/sekelompok orang yang lebih kuat (Ma, Stein&Mah,2001 : Olweus, 1993 dalam Djuwita, 2006). Fenomena bullying telah lama menjadi bagian dari dinamika sekolah. Umumnya orang lebih mengenalnya dari istilah istilah seperti penggencetan, pemalakan, pengucilan atau intimidasi. Bullying tidaklah sama dengan occasional conflict atau pertengkaran biasa yang umum terjadi pada anak. Konflik pada anak adalah normal dan membuat anak bernegosiasi dengan satu sama lain. (Etikawati, 2008) menyatakan bahwa kekerasan antar sebaya atau bullying merupakan suatu tindak kekerasan fisik dan psikologis yang dilakukan seseorang atau kelompok, yang dimaksudkan untuk melukai, membuat takut atau membuat tertekan seseorang (anak atau siswa) lain yang dianggap lemah, yang biasanya secara fisik lebih lemah, minder dan kurang mempunyai teman, sehingga tidak mampu memertahankan diri. Alasan bullying

5 seringkali tidak jelas, biasanya menggunakan kedok perpeloncoan, penggemblengan mental, ataupun aksi solidaritas. Riauskina, dkk (2005) mendefinisikan bullying di sekolah sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seseorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut. Dilihat dari definisi ini maka diketahui pelaku memiliki kekuasaan maupun kekuatan dibandingkan siswa lain untuk melakukan bullying. Menurut Sejiwa (2008) bullying adalah sebuah situasi di mana terjadinya penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang/sekelompok. Pihak yang kuat disini tidak hanya berarti kuat dalam ukuran fisik saja, tetapi juga kuat secara mental. Sedangkan korban bullying tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya karena lemah secara fisik atau mental. Menurut Coloroso (2007) bullying akan selalu melibatkan adanya ketidakseimbangan kekuatan, niat untuk mencederai, ancaman lebih lanjut, dan terror. Bullying merupakan salah satu bentuk perilaku agresi. Ejekan, hinaan, dan ancaman seringkali merupakan pancingan yang dapat mengarah ke agresi. Rasa sakit dan kekecewaan yang ditimbulkan oleh penghinaan akan mengundang reaksi siswa untuk membalas yang memungkinkan anak melukai tanpa merasa empati, iba, ataupun malu (Widayanti, 2009). Bullying dapat terjadi antara lain disebabkan oleh perbedaan kelas (senioritas, ekonomi, agama, jender serta rasisme), tradisi senioritas, keluarga yang tidak rukun, situasi sekolah yang tidak harmonis atau diskriminatif, karakter individu/kelompok (seperti dendam, iri hati, ingin menguasai korban serta

6 meningkatkan popularitas) dan persepsi nilai yang salah atas perilaku korban (Astuti, 2008). Priyatna (2010) menyatakan sebagian besar anak yang menjadi pelaku bullying adalah anak yang kurang mendapatkan kehangatan dan kasih sayang di keluarganya bahkan sebaliknya, hanya mendapati sosok orang tua yang hanya berfokus pada kekuasaan dan dominansi. Perilaku agresif yang ditampilkan anak bukan hanya karena selalu ditolerir oleh keluarganya, tetapi karena cerminan dari nilai-nilai yang dianut oleh keluarganya dirumah. Kepribadian yang tercipta dari lingkungan keluarga tersebut akan mempengaruhi perilaku anak saat di sekolah. Sejiwa (2008) mengungkapkan bahwa bullying dapat terjadi karena pelaku bullying merasakan kepuasan apabila ia berkuasa di kalangan teman sebayanya. Dengan melakukan bullying, ia merasa mendapatkan label betapa besarnya ia dan betapa kecilnya sang korban. Selain itu, tawa teman-teman sekelompoknya saat ia mempermainkan sang korban memberikan sanjungan karena ia merasa memiliki selera humor yang tinggi, keren dan popular. Tidak semua pelaku bullying melakukannya sebagai kompensasi karena kepercayaan diri yang rendah. Banyak di antara mereka yang justru memiliki kepercayaan diri yang begitu tinggi dan sekaligus dorongan untuk selalu menindas dan menggencet anak yang lebih lemah. Pelaku bullying umumnya temperamental. Mereka melakukan bullying terhadap orang lain sebagai pelampiasan kekesalan dan kekecewaannya. Ada kalanya karena mereka merasa tidak punya teman, sehingga pelaku menciptakan situasi bullying supaya memiliki pengikut dan kelompok sendiri. Bisa jadi mereka takut menjadi korban bullying,

7 sehingga lebih dulu mengambil inisiatif sebagai pelaku bullying untuk keamanan dirinya sendiri. Pelaku bullying kemungkinan besar juga mengulangi apa yang pernah ia lihat dan alami sendiri. Ia menganiaya anak lain karena mungkin ia sendiri dianiaya orang tuanya di rumah. Ia juga mungkin pernah ditindas dan dianiaya anak lain yang lebih kuat darinya di masa lalu. Dilihat dari fenomena tersebut maka dapat diketahui bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pelaku bullying yaitu dari tipe kepribadian. Menurut Pervin (Alwisol, 2010) mengungkapkan bahwa kepribadian adalah keseluruhan karakterisik seseorang atau sifat umum banyak orang yang mengakibatkan pola yang menetap dalam merespon suatu situasi. Pola perilaku yang muncul dalam merespon situasi tidaklah sama antara satu individu dengan individu lain. Cattell (dalam Alwisol, 2010) memandang kepribadian sebagai struktur kompleks dari traits yang tersusun dalam berbagai kategori, yang memungkinkan prediksi tingkahlaku seseorang dalam situasi tertentu, mencakup seluruh tingkahlaku baik yang konkrit maupun yang abstrak simpulan. Dalam mengungkap kepribadian pelaku bullying dapat menggunakan suatu alat test yaitu test 16 PF yang diciptakan oleh R. B. Cattell. Faktor-faktor kepribadian yang diukur oleh test 16 PF tidak saja unik, tetapi juga didasarkan pada teori-teori kepribadian pada umumnya. Test 16 PF terdiri dari atas 16 faktor/dimensi dimana keenam belas dimensi yang diungkap saling berdiri sendiri (Karyani dan Lestari, 2002).

8 Dari kondisi diatas penulis ingin mengetahui Bagaimanakah profil kepribadian pelaku bullying di sekolah ditinjau dari 16 PF?. Untuk menjawab rasa ingin tahu tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Profil Kepribadian Pelaku Bullying Di Sekolah Ditinjau Dari 16 PF. B. Tujuan Penelitian Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memahami: profil kepribadian yang dimiliki oleh pelaku bullying murni dan korban sekaligus pelaku bullying di sekolah ditinjau dari 16 PF. C. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah : 1. Bagi para ilmuwan psikologi. Penelitian ini menambah wawasan terhadap bidang psikologi, khususnya psikologi sosial dan psikologi pendidikan yang berkaitan dengan kepribadian pelaku tindak bullying. 2. Bagi pelaku bullying. Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang kekerasan yang merugikan bagi pelaku bullying maupun orang lain. Diharapkan agar pelaku dapat menyadari dan tidak melakukan bullying demi kebaikan dirinya maupun orang lain. 3. Bagi penelitian lain. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lain sebagai bahan informasi dan referensi dalam melakukan penelitian lebih lanjut.

9 4. Bagi sekolah. Penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai bullying kepada pihak sekolah, sehingga pihak sekolah dapat mengenali perilaku bullying melalui karakteristik pelaku bullying.