BAB I PENDAHULUAN. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan salah satu pendorong yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, peranan Industri Kecil Menengah (IKM) dikaitkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Timur dan Tenggara. Negara-negara dengan sebutan Newly Industrializing Countries

BAB I PENDAHULUAN. sektor perindustrian ini adalah dengan cara mengembangkan industri kecil.

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

2015 PENGARUH MOD AL KERJA D AN PERILAKU KEWIRAUSAHAAN TERHAD AP PEND APATAN

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja, menaikan devisa negara serta mengangkat prestise nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Nilai PDRB (dalam Triliun) Sumber :Data nilai PDRB Pusdalisbang (2012)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan UMKM di Indonesia dari tahun telah. Tabel 1.1. Jumlah Unit UMKM dan Industri Besar

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya pendapatan nasional di era globalisasi seperti saat ini

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Jumlah Unit Usaha Kota Bandung Tahun

BAB I PENDAHULUAN. tidaklah mudah bagi suatu perusahaan untuk dapat bertahan bahkan berkembang.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. dalam perekonomian Indonesia. Masalah kemiskinan, pengangguran, pendapatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) memiliki kontribusi yang cukup. penting didalam pembangunan nasional. Kemampuannya untuk tetap bertahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama

BAB I PENDAHULUAN. Sejak terjadinya krisis ekonomi dan moneter yang dialami oleh bangsa

BAB I PENDAHULUAN. Industri kecil di Indonesia memiliki peranan yang sangat penting dan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam perekonomian Indonesia, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB IV GAMBARAN UMUM

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Be lakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. terkecuali di Indonesa. Peranan UMKM dalam perekonomian Indonesia diakui

DIPA BADAN URUSAN ADMINISTRASI TAHUN ANGGARAN 2014

99,37 % Kecil dan Menengah Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bandung

BAB 1 PENDAHULUAN. Perekonomian di Indonesia sejak terjadinya krisis moneter mengalami

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang Kota Pekalongan, Jawa Tengah, sudah sejak lama terkenal dengan

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

wbab I PENDAHULUAN No Indikator Satuan Tahun 2011 *) TAHUN 2012 **) PERKEMBANGAN TAHUN Jumlah % Jumlah % Jumlah %

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mulyadi, 2014 Pengaruh Perilaku Kewirausahaan Terhadap Keberhasilan Usaha

I. PENDAHULUAN. usaha pada tahun 2006 menjadi usaha pada tahun 2007 (Tabel 1).

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi.

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

PENDAHULUAN. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) adalah suatu usaha yang

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8%

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ides Sundari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah.

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan industri garmen semakin mengglobal. Perkembangan ini dimulai

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari atau disebut masyarakat miskin dan

BERITA RESMI STATISTIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2014 (dalam rupiah)

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Perkembangan Jumlah Usaha Kecil, Menengah (UKM) dan Usaha Besar (UB) di Jawa Barat Tahun

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan pendapatan di Indonesia. Usaha kecil yang berkembang pada

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (2012)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka pengembangan ekonomi daerah yang bertujuan. meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka pengembangan ekonomi lokal

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. kebangkitan kembali sektor manufaktur, seperti terlihat dari kinerja ekspor maupun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara yang kuat sering di artikan sebagai negara dengan kondisi ekonomi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Data Perkembangan UMKM Kota Bandung

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan industri.pengembangan Industri kecil merupakan salah satu jalur

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Bandung menjadi kota yang memiliki daya saing paling kompetitif dibanding kota-kota lainnya

BAB I PENDAHULUAN. tanah dan bangunan tempat usaha. Dan usaha yang berdiri sendiri. Menurut Keputusan Presiden

BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE

BAB I PENDAHULUAN. yang ditawarkannya pun semakin beraneka ragam. Setiap Pelaku usaha saling

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Ketahanan ekonomi merupakan syarat mutlak bagi kemakmuran sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2013 (dalam rupiah)

BAB I PENDAHULUAN. daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga

PENDAHULUAN. ( Populasi Ternak (000) Ekor Diakses Tanggal 3 Oktober 2011.

BAB 1 PENDAHULUAN. berlomba-lomba menciptakan terobosan untuk meningkatkan daya saing demi

BAB 1 PENDAHULUAN. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan benteng penyelamat

BAB I PENDAHULUAN. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 merupakan momen yang

2015 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN PENGUSAHA AIR MINUM ISI ULANG

BAB I PENDAHULUAN. Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 terjadi perubahan di

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan salah satu pendorong yang signifikan pada pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di dunia terutama di Asia Timur dan Tenggara. Negara-negara dengan sebutan Newly Industrializing Countries (NICs) seperti Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan adalah contoh dari negara yang memiliki laju pertumbuhan PDB yang tinggi karena kinerja UKM mereka yang sangat efisien, produktif, dan memiliki tingkat daya saing global yang tinggi (Tulus Tambunan 2002:19). Begitu pula di Indonesia, UKM telah mendapatkan perhatian lebih karena pertumbuhannya yang semakin pesat dan merupakan salah satu pelaku ekonomi yang memiliki peran, kedudukan serta potensi yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan pembangunan ekonomi baik secara regional maupun nasional. Selain itu, daya tahan terhadap krisis telah membuktikan UKM sebagai penyelamat bangsa Indonesia dari krisis moneter yang berkepanjangan. Begitu pula dengan pembangunan ekonomi di Jawa Barat, UKM memiliki peran terutama dalam penciptaan lapangan pekerjaan dan pembentukan PDRB Jawa Barat. PDRB Jawa Barat yang mencapai Rp 231.764 milyar menyumbang 14-15 persen dari total PDB nasional, angka tertinggi bagi sebuah provinsi. Mengingat jumlah penduduk yang besar, PDB per kapita Jawa Barat adalah Rp 1

2 5.476.034 termasuk minyak dan gas, ini menggambarkan 82,4 persen dan 86,1 persen dari rata-rata nasional. Pertumbuhan ekonomi berkisar 4,21 persen tidak termasuk minyak dan gas dan 4,91 persen termasuk minyak dan gas, angka pertumbuhan ini lebih baik dari Indonesia secara keseluruhan (diskumkm.jabarprov.go.id). Jumlah UMKM yang terdapat di Jawa Barat menurut Badan Pusat Statistik mencapai 8.214.262 unit dengan jumlah sentra UMKM di Jawa Barat mencapai 138 sentra yang tersebar secara spasial di lima wilayah yakni Cirebon, Bogor, Priangan Timur dan Barat, dan Purwakarta. Sebaran hampir merata dengan sedikit terkonsentrasi di wilayah Priangan Timur dan Bogor. Tabel 1.1 Sebaran Jumlah Sentra UMKM Jawa Barat Tahun 2010 Wilayah Jumlah Sentra (%) Wilayah Priangan Barat Kabupaten Bandung 44% Kota Bandung 30% Kabupaten Sumedang 17% Kota Cimahi 19% Wilayah Priangan Timur Kabupaten Garut 28% Kabupaten Tasikmalaya 26% Kabupaten Ciamis 23% Kota Tasikmalaya 17% Kota Banjar 6% Wilayah Bogor Kabupaten Sukabumi 31% Kabupaten Cianjur 21% Kabupaten Bogor 18% Kota Sukabumi 12% Kota Bogor 9% Depok 9%

3 (Lanjutan Tabel 1.1 Sebaran Jumlah Sentra UMKM Jawa Barat) Wilayah Jumlah sentra (%) Wilayah Purwakarta Kabupaten Subang 31% Kabupaten Bekasi 22% Kabupaten Karawang dan Purwakarta 17% Kota Bekasi 13% Wilayah Cirebon Kabupaten Indramayu 25% Kabupaten Majalengka 21% Kuningan 21% Kabupaten Cirebon 21% Kota Cirebon 12% Sumber: diskumkm.jabarprov.go.id diolah kembali Kinerja UMKM Jawa Barat ini mampu menyerap 13.911.531 orang tenaga kerja serta dapat memberikan sumbangan terhadap LPE (Laju Pertumbuhan Ekonomi) Jawa Barat sebesar 8,04 persen dan berkontribusi terhadap PDRB Jawa Barat sebesar Rp 345,187 triliun (diskumkm.jabarprov.go.id). Dengan peranan UKM yang sangat penting, maka sebetulnya UKM merupakan sektor ekonomi yang tidak hanya memberikan kegiatan usaha pada rakyat kecil saja, namun juga dapat berperan sebagai alternatif pemecahan masalah sosial seperti ledakan jumlah tenaga kerja yang terus bertambah di Indonesia. Peranan-peranan penting inilah yang menjadikan alasan agar UKM tetap dikembangkan di Indonesia, khususnya Jawa Barat. Selain itu, terdapat beberapa alasan lain yang melandasi agar usaha atau industri kecil tetap dikembangkan di Indonesia (Effendi M. Guntur, 2009:43).

4 1. Masalah fleksibilitas dan adaptabilitasnya dalam memperoleh bahan mentah dan peralatan. 2. Relevansinya dengan proses desentralisasi kegiatan ekonomi. 3. Menunjang terciptanya integrasi pada sektor ekonomi yang lain. 4. Potensinya terhadap penciptaan dan perluasan kesempatan kerja. 5. Peranannya dalam jangka panjang sebagai basis untuk mencapai kemandirian pembangunan ekonomi, karena industri berskala kecil umumnya diusahakan oleh pengusaha dalam negeri dengan menggunakan kandungan impor yang sangat rendah. Namun, kondisi sejumlah pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) di Jawa Barat pasca perdagangan bebas saat ini sangat memprihatinkan. Akibat ketidakmampuan bersaing dengan produk impor, banyak pelaku UKM yang terpuruk. Menurut Ketua Kadin Jawa Barat Bidang Koperasi dan UMKM dalam Galamedia.com (1/04/11), perdagangan bebas ASEAN-Cina (ACFTA) yang diberlakukan sejak awal 2010 ini telah terlihat dampaknya terhadap dunia usaha dalam negeri, terutama bagi para pelaku UKM. Imbas dari perdagangan bebas ini sangat dirasakan seluruh UKM di Jawa Barat. Usaha mereka semakin menurun, bahkan sebanyak 40 persen atau sekitar 3 juta UKM Jawa Barat kini dalam kondisi kritis. Imbas ACFTA itu hampir terjadi di semua sektor usaha, karena hampir semua barang-barang produksi Cina yang masuk adalah barang yang diproduksi Jawa Barat juga. Beberapa sektor usaha masih bisa mempertahankan daya saingnya, tetapi beberapa lainnya sangat tertekan oleh produk-produk Cina.

5 Beberapa sektor yang sangat terkena imbas dari perdagangan bebas di antaranya tekstil produk tekstil (TPT), manufaktur, kerajinan, dan lainnya. Terlebih dengan perdagangan bebas ini, produk TPT impor semakin membanjiri pasar dalam negeri. Dengan kondisi yang seperti ini, maka akhirnya sebanyak 10-15 persen pelaku UKM Jawa Barat mengalihkan usahanya yang semula produsen menjadi distributor produk-produk Cina dan dikhawatirkan terjadinya ledakan pengangguran akibat peralihan profesi ini (PR, 13/4/11). Salah satu sektor yang sangat terkena imbas ACFTA adalah tekstil dan produk tekstil (TPT). TPT Jawa Barat harus bersaing dengan produk-produk dari negara Pakistan, India, Bangladesh, Vietnam, dan terutama Cina. Sebenarnya, bukan berarti produk tekstil buatan lokal memiliki kualitas buruk. Tetapi lebih dikarenakan harga jual dari produk Cina yang lebih murah serta memiliki motif ataupun desain yang lebih disukai konsumen. Menurut Tulus Tambunan (2002:39), kendala-kendala internal yang dihadapi pengusaha kecil dan menengah di industri tekstil adalah selain biaya produksi yang tinggi, terdapat beberapa kombinasi, antara lain: 1. Mahalnya harga-harga dari sejumlah bahan baku dan input lainnya yang ternyata masih harus diimpor 2. Masih banyaknya pungutan, resmi maupun liar 3. Tingkat suku bunga perbankan yang tinggi akibat kebijakan uang ketat Selain kendala-kendala yang telah disebutkan di atas, kendala lain adalah keterbatasan teknologi, prosedur administrasi yang terlalu panjang, desain yang

6 relatif masih lemah dan pola produksi tradisional yang masih manual dan padat karya. Sentra Industri Rajut Binong Jati Bandung merupakan salah satu usaha rajut yang saat ini mengalami penurunan akibat kendala-kendala tersebut di atas. Sentra rajut ini bermula pada tahun 1970 dari kegiatan merajut para ibu-ibu di Binong Jati yang pada awalnya hanyalah mengerjakan kegiatan makloon, yaitu hanya menjalankan kegiatan produksi saja, sedangkan modal dan bahan baku diberikan pemesan. Mesin rajutnya pun hanya mesin rajut sederhana dan manual. Seiring dengan berjalannya waktu, rajutan Binong Jati mengalami peningkatan drastis sekitar tahun 90-an. Tingginya permintaan pada waktu itu, membuat sejumlah buruh bisa menabung sehingga mampu membeli mesin sendiri. Sambil mengerjakan pesanan majikan, mereka juga mengajar beberapa orang di Binong Jati membuat baju rajutan. Kejayaan ini terus berlangsung hingga sekitar tahun 2005, termasuk ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1998, sentra rajut ini berhasil menyelamatkan dirinya dalam tekanan ekonomi Indonesia. Hal ini didukung pula oleh masih adanya minat dan permintaan terhadap produk-produk mereka. Namun, menjelang tahun 2006, seiring dengan meredupnya industri tekstil dan produk tekstil di Kabupaten Bandung, bisnis rajutan berbahan utama benang ini pun kian meredup ditambah lagi dengan adanya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada akhir tahun sebelumnya. Kenaikan harga BBM ini berakibat pada kenaikan harga bahan baku benang, sehingga pada waktu itu, sekitar 40 persen perajin Binong Jati tidak mampu meneruskan bisnis rajutnya kembali.

7 Kondisi ini terus berlangsung hingga tahun-tahun berikutnya. Sentra rajut ini mengalami penurunan output produksi dikarenakan merosotnya permintaan. Kondisi terparah adalah pada tahun 2010 ketika output produksi anjlok hingga 50 persen dari tahun sebelumnya. Turunnya output produksi rajut disebabkan oleh kenaikan bahan baku, kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL), dan adanya perdagangan bebas sehingga produk-produk impor membanjiri pasar lokal. 4000 3000 2000 1000 2500 3000 1500 Hasil Produksi (dalam lusin) 0 2008 2009 2010 Gambar 1.2 Rata-Rata Hasil Produksi Rajut Per Hari Sentra Industri Rajut Binong Jati Bandung Tahun 2008-2010 (Dalam Lusin) Sumber: Koperasi Industri Rajut Binong Jati (KIRBI) diolah kembali. Gambar 1.2 menggambarkan adanya ketidakstabilan hasil produksi dikarenakan adanya kenaikan bahan baku, kenaikan TDL, dan adanya produkproduk impor berharga murah akibat adanya perdagangan bebas. Pada tahun 2008, Binong Jati mampu memproduksi sebanyak 2500 lusin per hari. Memasuki tahun 2009, hasil produksi kembali meningkat sebesar 16,7 persen yaitu sebanyak 3000 lusin per hari. Namun, peningkatan ini tidak berlangsung lama karena memasuki tahun 2010, hasil produksi benar-benar anjlok yaitu mengalami

8 penurunan drastis sekitar 50 persen,yaitu sebanyak 1500 lusin per hari yang disebabkan pasar lebih meminati produk-produk impor yang lebih murah. Dengan adanya ketidakstabilan produksi dan kenaikan-kenaikan bahan baku, maka keuntungan pengrajin pun semakin tergerus. Faktor yang paling dirasakan adalah kenaikan TDL yang sangat berpengaruh terhadap kenaikan biaya operasional sebesar 6 persen, karena biaya listrik mencapai 10 20 persen dari total biaya produksi. Selain itu, kenaikan bahan baku seperti benang wol, benang katun, dan jarum rajutan pun turut menaikkan biaya produksi. Walapun biaya produksi meningkat, tetapi pengrajin memilih untuk tidak menaikkan harga jual, karena harus bersaing dengan produk impor yang berharga murah. Permintaan pun mengalami penurunan sebesar 30 persen pada tahun 2010 yang berdampak pada penumpukkan barang hasil produksi sebanyak 1000 kodi. Hal inilah yang kemudian menyebabkan turunnya keuntungan pengrajin rata-rata sebesar 5 persen, terhitung dari tahun 2009 hingga tahun 2010 (kompas.com, 27/11). Menyusutnya margin keuntungan yang diperoleh pengrajin Binong Jati ternyata mengakibatkan menyusutnya jumlah pengrajin rajut di Binong Jati. Kondisi ini dapat dilihat pada Tabel 1.2.

9 Tabel 1.2 Jumlah Pengrajin Sentra Industri Rajutan Binong Jati Bandung Tahun 2009-2011 Tahun Jumlah Pengrajin Pertumbuhan (%) 2009 400-2010 250-37,5 2011 200-20 Sumber: Koperasi Industri Rajutan Binong Jati (KIRBI) Berkurangnya jumlah pengrajin Binong Jati dikarenakan mereka tidak mampu bertahan karena ongkos produksi yang tinggi sehingga tidak mampu bersaing dengan harga produk yang murah. Selain itu, mereka ingin menghindari kerugian yang terlalu besar sehingga mereka beralih profesi, yang sebelumya menjadi produsen kini menjadi pedagang. Tenaga kerja yang bekerja pada sentra industri ini pun harus turut merasakan dampaknya. Persaingan yang ketat menyebabkan para pengrajin melakukan efisiensi, salah satunya dengan cara mengurangi jumlah tenaga kerja, dari 30 orang menjadi 15 orang. Kondisi tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1.3 berikut ini. Tabel 1.3 Jumlah Tenaga Kerja Sentra Industri Rajutan Binong Jati Bandung Tahun 2009-2011 Tahun Jumlah Tenaga Kerja Pertumbuhan (%) 2009 4000-2010 3000-25 2011 2000-33,3 Sumber: Koperasi Industri Rajutan Binong Jati (KIRBI)

10 Pada Tabel 1.3 di atas, terlihat sekitar 1000 tenaga kerja terpaksa dirumahkan pada tiap tahunnya. Para tenaga kerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ini terpaksa beralih profesi atau kembali ke daerah asalnya seperti Sumedang, Tasikmalaya dan Garut. Kondisi yang tengah dialami oleh Binong Jati ini, tidak hanya dikarenakan oleh faktor-faktor eksternal saja seperti kenaikan bahan baku, kenaikan TDL, dan perdagangan bebas saja. Sebenarnya, faktor yang lebih penting adalah faktor internal dari pengrajin itu sendiri. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa masih ada pengrajin yang bertahan dan mengapa banyak pengrajin yang berguguran dalam bisnis ini. Berdasarkan wawancara penulis dengan Ketua Koperasi Industri Rajut Binong Jati (KIRBI), Dedi Ruhiyat, pada tanggal 6 April 2011,terdapat permasalahan dari paradigma pengrajin itu sendiri. Mayoritas pengrajin Binong Jati masih tidak dapat melepaskan diri dari kejayaan masa lalu, sehingga mereka tidak berorientasi ke masa depan untuk prospek bisnisnya. Mereka menjalankan aturan bisnis yang sama ketika Binong Jati masih berjaya, padahal aturan-aturan tersebut dinilai sudah tidak aplikatif lagi jika melihat kondisi pasar saat ini. Saat ini, mereka masih merasa kesulitan dalam hal memasarkan hasil produksinya. Hal ini dikarenakan beberapa pengrajin masih menggunakan teknik pemasaran yang sama seperti dahulu, sehingga tidak ada perkembangan yang mereka raih dalam aspek ini. Mayoritas pengrajin Binong Jati masih menerapkan sistem grosir untuk produk-produknya yang akan didistribusikan ke Jakarta.

11 Padahal, melalui sistem grosir, para pengrajin justru memiliki bargaining position yang rendah karena kesulitan untuk menentukan atau bahkan menaikkan harga. Sikap tertutup mereka pun menyebabkan kurangnya pengetahuan dan keterampilan mereka pada aspek pemasaran sehingga mereka belum mampu untuk mencapai target pasarnya dengan cara yang disukai oleh konsumennya. Dalam aspek hubungan antar sesama pengrajin pun dirasakan masih kurang profesional. Masih adanya beberapa pengrajin yang menganggap dirinya lebih senior daripada yang lain, turut menghambat perkembangan usaha di sentra rajutan ini. Komunikasi antar pengrajin generasi muda dengan pengrajin generasi yang lebih senior pun seringkali tidak berjalan efektif, sehingga ide-ide inovatif dari pengrajin generasi muda sulit untuk tersampaikan kepada pengrajin generasi senior. Dalam menghadapi permasalahan tersebut, pihak KIRBI telah melakukan langkah-langkah untuk memperbaiki kondisi tersebut. Di antaranya dengan mengikuti pelatihan bersama Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag) Jawa Barat untuk meningkatkan kompetensi pengrajin dan pekerjanya. Namun, pelatihan ini masih dirasakan kurang aplikatif bagi pelaku bisnis Binong Jati karena pelatihan tersebut masih bersifat general. Selain itu, KIRBI juga mengadakan program magang bagi pengrajin-pengrajin muda yang ditempatkan di perusahaan-perusahaan besar dengan tujuan agar peserta magang mendapatkan mental yang kuat untuk menghadapi persaingan dan mendapatkan pengetahuan tentang proses marketing, pengelolaan keuangan, dan human relation sehingga mereka mampu melihat apa yang terjadi dalam dunia bisnis

12 saat ini. Namun, program ini pun masih belum efektif karena peserta magang yang kurang antusias dan jumlah peserta yang terus menerus berkurang. Masalah ini, tidak dapat dibiarkan berlarut-larut begitu saja, karena berhasil atau tidaknya sebuah usaha akan ditentukan oleh kerja keras pengusaha itu sendiri, salah satunya ditentukan oleh kompetensi yang dimilikinya. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka akan berdampak pada kinerja usaha yang terus memburuk dan kesulitan untuk bersaing dengan produk lain terutama produk impor dengan harga yang lebih murah sehingga mengancam daya tahan perusahaan itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengambil topik mengenai kompetensi pengusaha terhadap keberhasilan usaha terutama pada sentra industri Binong Jati. Maka, penulis mengambil judul penelitian Pengaruh Kompetensi Pengusaha terhadap Keberhasilan Usaha (Studi Kasus Sentra Industri Rajutan Binong Jati Bandung). 1.2 Identifikasi dan Rumusan Masalah Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha, salah satunya adalah faktor kompetensi pengusaha. Menurut Suryana (2003:4), Wirausaha yang sukses pada umumnya ialah mereka yang memiliki kompetensi, yaitu seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kualitas individu yang meliputi sikap, motivasi, nilai serta tingkah laku yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan/kegiatan yang meliputi kompetensi teknikal, kompetensi manajerial, dan kompetensi personal.

13 Rumusan masalah yang dapat dibuat oleh peneliti, yaitu: 1. Bagaimana gambaran tingkat kompetensi pengusaha Sentra Industri Rajut Binong Jati Bandung? 2. Bagaimana gambaran tingkat keberhasilan usaha Sentra Industri Rajut Binong Jati Bandung? 3. Bagaimana pengaruh tingkat kompetensi pengusaha terhadap tingkat keberhasilan usaha di Sentra Industri Rajutan Binong Jati Bandung? 1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dibuat, maka tujuan penelitian ini adalah: 1 Mengetahui gambaran tingkat kompetensi pengusaha Sentra Industri Rajut Binong Jati Bandung. 2 Mengetahui gambaran tingkat keberhasilan usaha Sentra Industri Rajut Binong Jati Bandung 3 Mengetahui pengaruh tingkat kompetensi pengusaha terhadap tingkat keberhasilan usaha di Sentra Industri Rajutan Binong Jati Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki dua kegunaan, yaitu: 1. Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah dan memperkuat khasanah pengetahuan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

14 keberhasilan usaha dan diharapkan dapat digunakan sebagai dasar penelitian selanjutnya serta dapat melengkapi pustaka mengenai keberhasilan usaha. 2. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengusaha kecil dan menengah khususnya yang bergerak di subsektor tekstil untuk memberikan masukan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keberhasilan usaha.