BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

Lampiran 1 Hasil produksi serasah mangrove Wonorejo pantai timur Surabaya

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Diagram pie perbandingan zona pasang tertinggi dan terendah

Produktivitas Serasah Mangrove di Kawasan Wonorejo Pantai Timur Surabaya. Abi Gayuh Sopana, Trisnadi Widyaleksono, dan Thin Soedarti

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berbeda antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1993).

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

ANWAR SADAT SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2004

VI. SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PENDAHULUAN. banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

5/4/2015. Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Padang Cermin merupakan bagian dari Kabupaten Pesawaran, Secara

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB I PENDAHULUAN. ternyata telah menimbulkan bermacam-macam efek yang buruk bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh

Kata kunci: rehabilitasi, mangrove, silvofhisery

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Adanya ketidakseimbangan antara jumlah kebutuhan dengan kemampuan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, Halaman Online di :

KORELASI ANTARA KERAPATAN AVICENNIA DENGAN KARAKTERISTIK SEDIMEN DI KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI RAWA KABUPATEN SIAK, RIAU

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. yang besar bagi kepentingan manusia (Purnobasuki, 2005).

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang unik karena terjadi perpaduan

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.)

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis, ekologis, maupun biologis. Fungsi fisiknya yaitu sistem perakaran

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Mangrove/bakau adalah tanaman alternatif terbaik sebagai

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PRODUKTIVITAS DAN DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE DI KAWASAN VEGETASI MANGROVE PASAR BANGGI, REMBANG - JAWA TENGAH

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa

HALAMAN PERSETUJUAN KATA PENGANTAR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Pemanasan global yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Keanekaragaman Jenis dan Indeks Nilai Penting Mangrove di Desa Tabulo Selatan Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo

TINJAUAN PUSTAKA. komunitas yang hidup didalam kawasan yang lembab dan berlumpur serta

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata. Pembangunan sarana dan prasana untuk mendukung ekowisata yang berupa jalan setapak dari bambu, dan pos pengamatan dapat merusak kawasan sekitar mangrove. Dengan adanya kegiatan tersebut maka penebangan pohon mangrove tidak bisa dihindarkan. Sehingga keberadaan manusia yang kian banyak dapat mempengaruhi daerah hutan mangrove. Di daerah mangrove Wonorejo banyak sekali sampah-sampah dari kegiatan manusia baik yang organik maupun yang anorganik (Lampiran 4 gambar b). Kawasan ini memiliki jenis tanah yang berwarna hitam dan berlumpur. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia marina, adapun jenis Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa dijumpai berada disekitar pos pengamatan. Daerah wonorejo juga terdapat banyak tambak milik penduduk lokal. Hutan mangrove di lokasi ini dimanfaatkan oleh nelayan untuk mencegah abrasi supaya tambah-tambak tidak hancur atau terlindungi. Selain itu, kayu mangrove dimanfaatkan untuk kayu bakar dan membangun rumah.

Vegetasi di daerah hutan mangrove Wonorejo ini beraneka ragam seperti yang telah disebutkan diatas, yaitu mulai dari jenis Avicennia marina yang mendominasi daerah tersebut, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylos, dan Avicennia alba. Sebagian pohon mangrove dijumpai di sepanjang pantai terlindung yang berlumpur, bebas dari angin yang kencang dan arus (misalnya di sekitar muara sungai). Penentuan lokasi transek ditentukan dari lokasi yang mempunyai kerapatan mangrove yang berbeda-beda. Mulai dari transek 1 di dekat muara sungai Jagir Wonorkomo bagian utara yang dipenuhi dengan sampah yang terbawa dari arus pasang surut air laut maupun dari aktivitas manusia, transek 2, transek 3, transek 4 merupakan daerah yang dijumpai dengan memiliki 1 jenis tegakan mangrove, dan transek 5 yang terdapat 2 jenis tegakan mangrove. Pada setiap transek memiliki 3 plot yang setiap plotnya menunjukan kerapatan mangrove yang berbeda-beda mulai dari arah pantai menuju kedaratan. Struktrur mangrove di daerah penelitian ini didominasi oleh pancang yang tersebar disemua transek adapun pohon-pohon yang berada pada transek 4 dan transek 5. Pada transek 4 dan 5 kerapatan pohon terlihat lebih rapat dibandingkan pada transek lainnya (gambar 3.4). Data tersebut diharapkan dapat membantu menunjukkan kondisi umum daerah mangrove di Wonorejo. 4.2. Parameter fisik dan kimia Hasil di lapangan didapatkan data sekunder dari tempat penelitian yang berupa parameter fisik dan kimia tabel 4.1 dibawah ini.

Tabel 4.1. Data parameter fisik dan kimia selama 4 minggu. Transek 1 2 3 4 5 Parameter Minggu ke 1 2 3 4 Kelembapan (%) 76 80 76 76 ph 6 6 6 6 Salinitas ( ) 24 22 29 29 Intensitas cahaya (lux) >3000 >3000 >3000 >3000 Kelembapan (%) 76 76 76 76 ph 6 6 6 6 Salinitas ( ) 24 29 30 29 Intensitas cahaya (lux) >3000 >3000 >3000 >3000 Kelembapan (%) 76 76 80 80 ph 6 6 6 6 Salinitas ( ) 29 30 30 30 Intensitas cahaya (lux) >3000 >3000 >3000 >3000 Kelembapan (%) 76 76 80 80 ph 6,5 6,5 6,5 6,5 Salinitas ( ) 30 30 30 30 Intensitas cahaya (lux) >3000 >3000 >3000 >3000 Kelembapan (%) 76 76 80 80 ph 6,5 6,5 6,5 6,5 Salinitas ( ) 24 30 30 30 Intensitas cahaya (lux) >3000 >3000 >3000 >3000 Sumber : data primer oleh peneliti (2011). Kelembapan udara di daerah penelitian pada siang hari berkisar antara 76%-80%. Suhu udara yang tergolong tinggi pada waktu pengambilan data yaitu sebesar 30-33 C. Suhu yang relatif tinggi didukung juga dengan tempat

pengambilan data merupakan tempat yang intensitas cahayanya tinggi. Suhu dan kelembapan udara mempengaruhi jatuhan serasah tumbuhan. Naiknya suhu udara akan menyebabkan menurunnya kelembapan udara sehingga transpirasi kan meningkat dan untuk menguranginya maka daun harus segera digugurkan. Derajat keasaman (ph) adalah jumlah ion hidrogen yang terdapat pada larutan. Nilai ph di daerah penelitian bernilai 6,0-6,5, nilai tersebut tersebut menunjukan nilai yang normal untuk permukaan perairan Indonesia yang pada umumnya berkisar antara 6,0-8,5 (Aksornkoae, 1993 dalam Indriani, 2008). Salinitas merupakan faktor lingkungan yang sangat menentukan perkembangan hutan mangrove, terutama bagi laju pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove (Aksornkoae, 1993 dalam Indriani, 2008). Hasil nilai salinitas antara 22-30. Nilai salinitas bervariasi diduga karena daerah pada transek 1 berdekatan dengan muara Wonorejo bagian utara sehingga masukkan air tawarnya masih tinggi sedangkan pada transek lainnya berada jauh dari muara sungai. Intensitas cahaya, merupakan faktor penting bagi tumbuhan. Umumnya tumbuhan mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi. Tempat penelitian termasuk kawasan yang terbuka sehingga cahaya matahari dapat masuk di lantai hutan mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan mangrove adalah 3000-3800 lux. Intensitas cahaya yang didapatkan di daerah penelitian adalah 3000 lux.

4.3. Kerapatan hutan mangrove Kerapatan hutan mangrove merupakan salah satu faktor penting produktivitas serasah mangrove, dimana perbedaan kerapatan tiap plot mulai dari transek 1 sampai dengan transek 5 menjadikan pembanding dari hasil serasah tersebut. Kerapatan pohon mangrove di Wonorejo yang menjadi tempat penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.2 dibawah ini. Tabel 4.2. Kerapatan pohon mangrove daerah Wonorejo Jenis mangrove Tran Avicennia marina Avicennia alba Total sek kerapatan Pancang Tegakan Pancang Tegakan Total kerapatan /100m 2 Total kerapatan /ha 1 92 2 - - 94 31,33 3133 2 89 - - - 89 29,67 2967 3 59 31 - - 90 30,00 3000 4 84 20 - - 104 34,67 3467 5 57 27 10 4 98 32,67 3267 Sumber : data primer oleh peneliti (2011). Kerapatan pohon mangrove di daerah Wonorejo memperlihatkan hasil hampir sama. Transek yang mempunyai kerapatan tertinggi adalah transek 4 dengan nilai kerapatan 104 pohon dengan menghasilkan total serasah sebesar 1167 g/100m 2 /minggu pada minggu ke-4 sedangkan kerapatan terendah dijumpai di transek 2 dengan kerapatan 89 pohon yang menghasilkan total serasah 844 g/100m 2 /minggu pada minggu ke-4. Perbedaan hasil yang sangat jelas membuktikan bahwa kerapatan pohon mangrove mempengaruhi produksi serasah, semakin tinggi kerapatan pohon, maka semakin tinggi pula produksi serasahnya.

Begitu pula sebaliknya semakin rendah kerapatan pohon mangrove maka semakin rendah produksi serasahnya. 4.4. Produksi serasah Produksi serasah adalah jumlah serasah yang jatuh ke lantai hutan pada periode tertentu persatuan luas areal tertentu. Produksi serasah dalam penilitian ini selama 4 minggu disajikan dalam tabel 4.3 sedangkan rata-rata produksi komponen serasah mangrove (gram/100m 2 /minggu) dapat dilihat pada tabel 4.4. Tabel 4.3. Hasil produksi serasah (daun, ranting, buah, dan bunga) mangrove Wonorejo pantai timur Surabaya (gram/100m 2 /minggu). Produksi serasah mangrove Minggu ke - Rata Tran Komponen (gram/100m 2 /minggu) rata sek 1 2 3 4 1 Daun 730 720 797 823 767,50 Ranting 90 60 73 80 75,75 Buah dan Bunga - - 13-3,25 Total 820 780 883 903 846,50 2 Daun 643 810 740 717 727,50 Ranting 37-40 97 43,50 Buah dan Bunga 30 20-30 20,00 Total 710 830 780 844 791,00 3 Daun 520 663 820 853 714,00 Ranting 43 60 60 130 73,25 Buah dan Bunga 27 23 7 90 36,75 Total 590 746 887 1070 823,25 4 Daun 670 583 593 1060 726,50 Ranting 50 87 77 107 80,25 Buah dan Bunga - 27 - - 6,75 Total 720 697 670 1167 813,50 5 Daun 823 903 880 1170 944,00 Ranting 43 63 53 113 68,00 Buah dan Bunga - 20 10 93 30,75 Total 866 986 943 1376 1042,75 Rata rata 741 808 833 1072 864,00 Sumber : data primer oleh peneliti (2011).

Tabel 4.4. Rata-rata produksi komponen serasah mangrove kawasan Wonorejo pantai timur Surabaya (g/100m 2 /minggu). Rerata produksi komponen serasah mangrove tiap transek Komponen (gr/100m 2 /minggu) Transek-1 Transek-2 Transek-3 Transek-4 Transek-5 Ratarata Daun 767,5 727,5 714 726,5 944 776 Ranting 75,75 43,5 73,35 80,25 68 68,2 Buah dan bunga 3,25 20 36,75 6,75 30,75 19,5 Total 846,5 791 823,25 813,5 1042,75 864 Sumber : data primer oleh peneliti (2011). 4.4.1. Produktivitas serasah Pada transek 1 total produksi serasah mangrove memiliki nilai terbesar pada minggu ke-4 yaitu 903 g/100m 2 /minggu. Total hasil produksi serasah mangrove terdiri dari serasah daun sebesar 823 g/100m 2 /minggu, serasah ranting sebesar 80 g/100m 2 /minggu untuk serasah buah dan bunga tidak ada. Pada transek 2 total produksi serasah mangrove memiliki nilai terbesar pada minggu ke-4 yaitu 844 g/100m 2 /minggu. Total hasil produksi serasah mangrove terdiri dari serasah daun sebesar 717 g/100m 2 /minggu, serasah ranting sebesar 97 g/100m 2 /minggu, serasah buah dan bunga 30 g/100m 2 /minggu. Pada transek 3 total produksi serasah mangrove memiliki nilai terbesar pada minggu ke-4 yaitu 1070 g/100m 2 /minggu. Total hasil produksi serasah mangrove terdiri dari serasah daun sebesar 853 g/100m 2 /minggu, serasah ranting sebesar 130 g/100m 2 /minggu, serasah buah dan bunga 90 g/100m 2 /minggu. Pada transek 4 total produksi serasah memiliki nilai terbesar pada minggu ke-4 yaitu 1167 g/100m 2 /minggu. Total hasil produksi serasah mangrove terdiri dari serasah

daun sebesar 1060 g/100m 2 /minggu, serasah ranting sebesar 107 g/100m 2 /minggu, untuk serasah buah dan bunga tidak ada. Total produksi serasah mangrove di transek 5 memiliki nilai terbesar pada minggu ke-4 yaitu 1376 g/100m 2 /minggu yang terdiri atas serasah daun sebesar 1170 g/100m 2 /minggu, serasah ranting sebesar 113 g/100m 2 /minggu, serasah buah dan bunga sebesar 93 g/100m 2 /minggu. Total rata-rata produksi serasah per minggu sebesar 864 g/100m 2 /minggu setara dengan 44,9 ton/ha/tahun. Produksi serasah pada minggu ke-4 tertinggi, hal ini disebabkan oleh faktor cuaca karena pada minggu ke-4 turun hujan. Berdasarkan data dari BMKG pada tanggal tersebut nilai curah hujan sebesar 6,2 mm (Lampiran 7). Hal ini sejalan dengan pernyataan Khairijon (1981) dalam Indriani (2008), yaitu bahwa produksi serasah tertinggi terjadi pada saat musim hujan/pada saat curah hujan mencapai tinggi. Selain itu faktor yang mengakibatkan tingginya produksi serasah adalah faktor angin. Beradasarkan data dari BMKG (lampiran 8) pada minggu ke-4 kecepatan angin lebih besar dibandingkan dengan kecepatan angin pada minggu lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Cuevas dan Sajise (1978) dalam Wibisana (2004) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara kecepatan angin dengan produksi serasah. Bila kecepetan angin tinggi maka produksi yang dihasilkan diduga akan tinggi pula. 4.4.2. Produktivitas komponen serasah Setiap mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menghasilkan jatuhan serasah. Jatuhan serasah yang paling banyak adalah daun.

Total rata-rata jatuhan serasah daun berkisar antara 714 g/100m 2 /minggu sampai dengan 944 g/100m 2 /minggu. Serasah ranting, buah, dan bunga mempunyai nilai lebih kecil dari nilai serasah daun. Untuk serasah ranting mulai dari transek 1 sampai dengan transek 5 berkisar antara 43,5 g/100m 2 /minggu sampai 80,25 g/100m 2 /minggu. Sedangkan untuk serasah buah dan bunga berkisar antara 3,25 g/100m 2 /minggu sampai 36,75 g/100m 2 /minggu. Secara umum produksi komponen serasah bisa ditunjukkan pada diagram dibawah ini (gambar 4.1). Gambar 4.1. Diagram persentase rata-rata produksi komponen serasah mangrove per minggu di kawasan hutan mangrove Wonorejo. daun daun (89,9%) ranting ranting (8,08%) buah buah dan dan bunga bunga (2,02%) Pada gambar 4.1 dapat dilihat bahwa jatuhan komponen serasah terbanyak adalah daun sebesar 89,9% kemudian komponen ranting sebesar 8,08%, dan komponen buah dan bunga sebesar 2,02%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Deshmukh pada tahun 1992, bahwa komponen daun paling banyak (72%), kemudian kayu (16%), dan paling sedikit buah dan bunga (7%). Untuk data lebih jelasnya mengenai rata-rata persentase produksi komponen serasah

mangrove kawasan Wonorejo tiap transek g/100m 2 /minggu dapat dilihat pada (Lampiran 3). Perbedaan yang sangat jauh antara serasah daun dengan serasah ranting maupun buah dan bunga diduga erat karena kondisi lingkungan serta ciri biologis. Ciri biologis diantaranya ukuran daun yang kecil dan buah yang berbentuk bulat. Perbedaan yang didapatkan untuk tiap transek diakibatkan adanya perbedaan kerapatan, umur dari tumbuhan, dan kesuburan yang dapat mempengaruhi secara tidak langsung. Menurut Soenardjo (1999) semakin tua tumbuhan makan produksi serasahnya semakin menurun, begitu pula sebaliknya. Selain faktor-faktor tersebut morfologi daun juga mempengaruhi produksi serasah. Produksi serasah daun sebagian kecil terbawa arus dan sebagian besar tetap di daratan atau di hutan. Serasah daun yang tertinggal di daratan menjadi makanan binatang seperti kepiting ataupun ikan dan sebagian besar akan mengalami penguraian atau sepenuhnya yang dilakukan oleh jasad-jasad renik maupun bakteri. Semakin tinggi produksi serasah maka semakin tinggi pula sumbangan nutrien di kawasan mangrove tersebut. Jenis mangrove Wonorejo pantai timur Surabaya adalah Avicenia marina dan Avicenia alba, yang mendominasi adalah tegakan Avicennia marina. Produksi serasah dari minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-4 berbeda-beda mulai dari transek 1, transek 2, transek 3, transek 4, dan transek 5. Perbedaan ini bisa jadi disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain jenis pohon/vegetasi, lingkungan, perlakuan (aktivitas masyarakat), musim, dan dari komponen serasah itu sendiri.

1. Jenis vegetasi Perbedaan vegetasi pada hutan mangrove akan menghasilkan jatuhan serasah yang berbeda pula, baik dalam jumlah, jenis komponen maupun kualitasnya. Perbedaan ini disebabkan karena setiap jenis pohon mempunyai sifat fisiologis yang berbeda-beda dalam menggugurkan daun. Selain itu, produktivitas serasah juga dipengaruhi oleh jumlah jenis, keragaman jenis, kerapatan dan dominansi. Lindeman (1942) dalam Munir (2004) mengatakan bahwa produktivitas serasah hutan akan mempunyai nilai maksimal pada keadaan vegetasi klimaks, dimana dalam kondisi seperti ini pohon mempunyai kemampuan adaptasi yang baik terhadap lingkungan dan nilai produktivitasnya akan berubah sesusai dengan proses suksesi tumbuhan. 2. Lingkungan Faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas serasah adalah iklim (curah hujan, kecepatan angin) dan kesuburan tanah. Curah hujan dan kecepatan angin sangat dominan mempengaruhi produktivitas serasah di lokasi penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Cuevas dan Sajise (1978) dalam Munir (2004) yang menyebutkan bahwa hubungan curah hujan dengan produksi serasah adalah linier, dimana semakin tinggi curah hujan menyebabkan produksi serasah meningkat. Curah hujan di lokasi penelitian pada saat pengamatan minggu ke-4 rata-rata sebesar 6,2 mm/hari. Selain curah hujan, kecepatan angin/hembusan angin di desar Wonorejo tinggi daripada minggu-minggu sebelumnya (Lampiran 8).

Salinitas merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi serasah. Salinitas yang mencapai 30 menunjukkan bahwa transek sering terkena genangan pasang air laut yang memberikan pengaruh sangat besar pada minggu ke-4 di transek 5 dengan produksi serasah 1376 g/100m 2 /minggu. Salinitas terendah terdapat pada transek 1 pada minggu ke- 2 sebesar 22 dengan produksi serasah yang dihasilkan 780 g/100m 2 /minggu. Kesuburan tanah di tempat penelitian juga berpengaruh terhadap produksi serasah. Pada umumnya produksi serasah akan berkurang dengan menurunnya kualitas tanah. Hal ini berhubungan dengan tingkat pertumbuhan dari pohon yang bersangkutan. Jenis tanah di lokasi penelitian adalah jenis tanah berlumpur yang terbentuk karena endapan bahan organik yang terbawa air laut. Kawasan hutan mangrove dengan aktivitas pasang surut yang tinggi, biasanya produktivitas serasahnya lebih besar jika dibandingkan dengan kawasan hutan mangrove yang aktivitas pasang surutnya rendah. Suhu dan kelembapan udara mempengaruhi jatuhan serasah mangrove. Naiknya suhu udara akan menyebabkan menurunnya kelembapan udara sehingga transpirasi akan meningkat, dan untuk menguranginya maka daun harus segera digugurkan. 3. Perlakuan/aktivitas masyarakat Masyarakat sekitar hutan mangrove di desa Wonorejo merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jatuhan serasah. Daerah hutan mangrove di desa Wonorejo sudah menjadi tempat mencari nafkah bagi petani tambak

sekitar. Sehingga di daerah tersebut banyak dijumpai tambak-tambak milik masyarakat. Sehingga masyarakat sekitar turut menjaga kawasan mangrove guna untuk melindungi tambak mereka. Kegiatan masyarakat yang rutin dilakukan seperti melakukan penanaman bibit mangrove guna menjaga pelestarian kawasan mangrove tetap terjaga. Dan juga pemerintah Surabaya mengambil keputusan yang menetapkan kawasan hutan mangrove Wonorejo sebagai kawasan konservasi pantai. Dengan demikian, kondisi hutannya masih relatif baik sehingga mampu menghasilkan guguran serasah yang tinggi. 4. Musim Penelitian yang dilakukan pada musim kemarau dan musim penghujan akan menghasilkan produktivitas serasah yang berbeda. Pada musim penghujan, terpaan air hujan yang mengenai daun dan ranting dapat meningkatkan guguran serasah, ini terlihat pada pengamatan minggu ke-4 dimana curah hujan sebesar 6,2 mm/hari menghasilkan total serasah terbesar sebanyak 1376 g/100m 2 /minggu. Pada musim penghujan diduga produksi serasah meningkat pada bulan November-Desember. 5. Daun Komponen serasah daun lebih sering jatuh dibandingkan dengan komponen serasah yang lain, dikarenakan bentuk dan ukuran daun yang lebar dan tipis sehingga mudah digugurkan oleh hembusan angin dan terpaan air hujan. Selain itu juga disebabkan oleh sifat fisiologis dari daun, dimana daun memegang peranan penting dalam prosesn fotosintesis dalam memproduksi

karbohidrat, daun yang tua akan gugur dan digantikan oleh daun yang relatif muda. Daun tua yang letaknya berada dibagian bawah atau bagian dalam tajuk kurang mendapatkan cahaya, sehingga tidak dapat melaksanakan kegiatan fotosintesis dengan sempurna, akibatnya akan menguning dan jatuh. Jatuhan serasah yang berupa daun-daun bisa dilihat pada (Lampiran 5). 6. Cabang dan ranting Serasah untuk cabang dan ranting lebih sedikit dibanding dengan jatuhan serasah daun. Hal ini dikarenakan jatuhnya serasah cabang dan ranting tidak sesering serasah daun. Kondisi ini disebabkan sifat fisiologis dari ranting dan cabang yang cenderung menempel lebih kuat pada batang utama, sehingga sulit untuk jatuh. Adapun jatuhnya serasah cabang dan ranting ini, karena adanya curah hujan yang tinggi disertai dengan hembusan angin yang kuat atau disebabkan oleh kondisi cabang dan ranting yang sudah melapuk karena ketuaan atau serangan hama dan penyakit. Jatuhan serasah yang berupa cabang dan ranting bisa dilihat pada (Lampiran 5). 7. Bunga dan buah Serasah bunga dan buah lebih sedikit dibanding dengan jatuhan serasah daun dan jatuhan serasah ranting. Produksi serasah bunga ini tergantung pada umur tegakan, keadaan tegakan, adanya pengaruh musim dan sifat fisiologis dari pohon, sedangkan jatuhnya bunga dipengaruhi oleh kecepatan angin, curah hujan, sifat fisiologis dari tumbuhan tersebut dan serangan hama penyakit. Jatuhan serasah yang berupa bunga dan buah bisa dilihat pada (Lampiran 5).