BAB III TINJAUAN TERHADAP NOTARIS DAN KEWENANGANNYA DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

dokumen-dokumen yang mirip
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JABATAN NOTARIS

PENUNJUK UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. dengan perikatan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari dan juga usaha

BAB II KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MEMBATALKAN PUTUSAN MAJELIS PENGAWAS PUSAT

BAB II PROSEDUR PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan yuridis..., Ravina Arabella Sabnani, FH UI, Universitas Indonesia

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL. Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA BISNIS BERBENTUK PERJANJIAN DIBAWAH TANGAN YANG DILEGALISASI OLEH NOTARIS

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) disebutkan bahwa y

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II BATASAN PELANGGARAN YANG DILAKUKAN NOTARIS DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK NOTARIS

BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS

Oleh : Neriana. Pembimbing I : Dr. Maryati Bachtiar, SH.,M.Kn. Pembimbing II : Dasrol, SH.,M.H

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA SERTA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS. A. Pengertian Akta dan Macam-Macam Akta

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. tugas, fungsi dan kewenangan Notaris. Mereka belum bisa membedakan tugas mana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk

BAB IV TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP AKTA YANG TELAH DI LEGALISASI DI KABUPATEN MAGETAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

Judul buku: Kebatalan dan pembatalan akta notaris. Pengarang: Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum. Editor: Aep Gunarsa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai tujuan membangun negara yang sejahtera (Welfare State), akan

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan pasal..., Ita Zaleha Saptaria, FH UI, ), hlm. 13.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Notaris sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

Lex Privatum Vol. V/No. 3/Mei/2017

BAB II. AKTA NOTARIS SEBAGAI AKTA OTENTIK YANG MEMILIKI KESALAHAN MATERIL A. Tinjauan Yuridis Tentang Akta dan Macam-Macam Akta

a. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap; b. Para pihak (siapa-orang) yang menghadap pada Notaris;

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Majelis Kehormatan Notaris

2016, No Hak Asasi Manusia Nomor 25 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan, Pemberhentian, dan Perpanjangan Masa Ja

Lex et Societatis, Vol. III/No. 4/Mei/2015. AKIBAT HUKUM BAGI NOTARIS DALAM PELANGGARAN PENGGANDAAN AKTA 1 Oleh: Reinaldo Michael Halim 2

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

BAB I PENDAHULUAN. tertulis untuk berbagai kegiatan ekonomi dan sosial di masyarakat. Notaris

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PENDAHULUAN. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993 hlm. 23

KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA DI BAWAH TANGAN YANG TELAH MEMPEROLEH LEGALITAS DARI NOTARIS. Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

BAB II AKTA NOTARIS DAPAT MENJADI BATAL OLEH SUATU PUTUSAN PENGADILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

BAB I PENDAHULUAN. maupun hukum tidak tertulis. Hukum yang diberlakukan selanjutnya akan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR : 4 TAHUN 1999

2015, No Pemberhentian Anggota, dan Tata Kerja Majelis Pengawas; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lem

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. hukum maupun perbuatan hukum yang terjadi, sudah barang tentu menimbulkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 175/PMK.06 /2010 TENTANG PEJABAT LELANG KELAS II DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengawasan majelis..., Yanti Jacline Jennifer Tobing, FH UI, Universitas Indonesia

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. bukti dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB II KETENTUAN HUKUM DAN PELAKSANAAN PROSES PENYIDIKAN TERHADAP NOTARIS SEBAGAI SAKSI DAN TERSANGKA DALAM TINDAK PIDANA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

BAB III TINJAUAN TERHADAP NOTARIS DAN KEWENANGANNYA DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS A. Karakteristik Notaris Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang merasa telah dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris. 61 Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya. Menurut Habib Adjie, Notaris sebagai suatu Jabatan Publik mempunyai karakteristik: 62 a. Sebagai jabatan; Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara. Menempatkan Notaris sebagai pejabat merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap. b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu; 61 Mengenai honorarium ini diatur dalam Pasal 36 UUJN. 62 Habib Adjie, op.cit., hal. 32-36.

Setiap wewenang yang diberikan kepada Jabatan harus dilandasi aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Dalam UUJN Wewenang Notaris dicantumkan dalam Pasal 15. c. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah; Pasal 2 UUJN menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh menteri (pemerintah), dalam hal ini menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UUJN). Meskipun Notaris secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang mengangkatnya. Dengan demikian Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya: 1. Bersifat mandiri (autonomous); 2. Tidak memihak siapa-pun (impartial); 3. Tidak tergantung kepada siapa-pun (independent), yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain. d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya; Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima

honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu. e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat. Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga notaris mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat yang dapat menggugat secara perdata, menuntut biaya, ganti rugi dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas notaris kepada masyarakat. B. Syarat, Kewajiban dan Larangan Bagi Notaris Notaris dengan segala fungsi dan kewenangannya dalam rangka pelayanan di bidang hukum, dituntut untuk memiliki kecakapan teknis di bidangnya, dedikasi tinggi, wawasan pengetahuan yang luas disertai integritas moral. Untuk itu ditetapkan berbagai ketentuan mengenai syarat-syarat, kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang wajib dilaksanakan dan dipenuhi Notaris dalam melaksanakan jabatannya. Pasal 3 UUJN menyebutkan syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi notaris adalah: a. warga negara Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun; d. sehat jasmani dan rohani;

e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. Mengenai kewajiban Notaris diatur dalam Pasal 16 UUJN, yang menyatakan bahwa dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban: a. Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; c. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undangundang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali Undang-undang menentukan lain; f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta

tidak dapat dimuat dalam 1 (satu) buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari 1 (satu) buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; h. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan; i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; j. Mencatat dalam Repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya ditulis nama, jabatan dan tempat kedudukan yang bersangkutan; l. Membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris; m. Menerima magang calon notaris. Mengenai larangan bagi notaris dalam melaksanakan jabatannya diatur dalam Pasal 17 UUJN, yang selengkapnya berbunyi: notaris dilarang: a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;

b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut- turut tanpa alasan yang sah; c. merangkap sebagai pegawai negeri; d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. merangkap jabatan sebagai advokat; f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha milik swasta; g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris; h. menjadi Notaris Pengganti; atau i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. C. Pengawasan Notaris Melalui Lembaga Majelis Pengawas Pengawasan terhadap Notaris dilakukan melalui Lembaga Majelis Pengawas yang diatur dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Jabatan Notaris, yang menyatakan bahwa Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris. Majelis Pengawas berjumlah 9 orang, terdiri atas unsur: 1. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang; 2. Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; 3. Ahli/ akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.

Pengawasan yang dilakukan meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan Jabatan Notaris. Dalam menjalankan kewenangan dan kewajibannya, Majelis Pengawas terdiri atas: 1. Majelis Pengawas Daerah Majelis Pengawas Daerah (MPD) dibentuk di Kabupaten atau Kota. Berdasarkan Pasal 70 UU Jabatan Notaris, MPD berwenang: a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan Jabatan Notaris; b. melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu; c. memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan; d. menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan; e. menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih; f. menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara; g. menerima laporan dari masyarakat mengenai dugaan pelanggaran Kode Etik atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang Jabatan Notaris; h. membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 1,2,3,4,5,6, dan 7 kepada Majelis Pengawas Wilayah. Pasal 71 UU Jabatan Notaris menyebutkan bahwa MPD berkewajiban:

a. mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah tangan yang disahkan dan dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir; b. membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis Pengawas wilayah setempat, dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Organisasi Notaris dan Majelis Pengawas Pusat; c. merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan; d. menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari Notaris dan merahasiakannya; e. memeriksa laporan masyarakat terhadap Notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat dan Organisasi Notaris; f. menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti. 2. Majelis Pengawas Wilayah Majelis Pengawas Wilayah (MPW) dibentuk dan berkedudukan di ibukota Provinsi. Pasal 73 UU Jabatan Notaris menyatakan MPW berwenang: a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah;

b. memanggil Notaris pelapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1; c. memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun; d. memeriksa dan memutus atas keputusan MPD yang menolak cuti yang diajukan oleh Notaris Pelapor; e. memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis; f. mengusulkan pemberian saksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat (MPP) berupa: 1. pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai 6 (enam) bulan; 2. pemberhentian dengan tidak hormat. Pasal 75 UUJN menyebutkan MPW berkewajiban: a. menyampaikan keputusan kepada Notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Pusat dan Organisasi Notaris; b. menyampaikan pengajuan banding dari Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti; 3. Majelis Pengawas Pusat Majelis Pengawas Pusat (MPP) dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara. Pasal 77 UUJN menyebutkan MPP berwenang: a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengadili keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti; b. memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan; c. mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.

Pasal 78 UUJN menyatakan MPP berkewajiban menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 angka 1 kepada Menteri dan Notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Daerah serta Organisasi Notaris. D. Sumber Kewenangan Notaris Wewenang (atau sering pula ditulis dengan istilah kewenangan) merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan. Dengan demikian, setiap wewenang ada batasannya sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Wewenang notaris terbatas sebagaimana peraturan perundangundangan yang mengatur jabatan yang bersangkutan. 63 Wewenang yang diperoleh suatu jabatan mempunyai sumber asalnya. Dalam hukum administrasi wewenang bisa diperoleh secara atribusi, delegasi, atau mandat. Wewenang secara atribusi adalah pemberian wewenang yang baru kepada suatu jabatan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Wewenang secara delegasi merupakan pemindahan/ pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan 63 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik terhadap Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, (Jakarta: Refika Aditama, 2009), hal. 77.

hukum. Mandat sebenarnya bukan pengalihan atau pemindahan wewenang, tapi karena yang berkompeten berhalangan. 64 Berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris ternyata notaris sebagai pejabat umum memperoleh wewenang secara atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh Undang-undang Jabatan Notaris sendiri. Jadi wewenang yang diperoleh notaris bukan berasal dari lembaga lain, misalnya dari Departemen Hukum dan HAM. Kewenangan notaris tersebut dalam pasal 15 ayat (1) sampai dengan ayat (3) Undang-undang Jabatan Notaris yang dapat dibagi menjadi: 65 1. Kewenangan Umum Notaris Salah satu kewenangan notaris yaitu membuat akta secara umum. 66 Hal ini disebut sebagai kewenangan umum notaris dengan batasan sepanjang: a. Tidak dikecualikan terhadap pejabat lain yang ditetapkan oleh undangundang b. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan c. Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan. 67 64 Ibid, hal. 78. 65 Ibid. 66 Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris 67 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia Op. cit, hal. 78.

Menurut pasal 15 ayat (1) bahwa wewenang notaris adalah membuat akta, 68 bukan membuat surat, seperti surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT) atau membuat surat lain, seperti surat keterangan waris (SKW). Ada beberapa akta otentik yang merupakan wewenang notaris dan juga menjadi wewenang pejabat atau instansi lain, yaitu: a. Akta pengakuan anak luar kawin. 69 b. Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik. 70 c. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi. 71 d. Akta protes wesel dan cek. 72 e. Surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT). 73 f. Membuat akta risalah lelang. 74 Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana tersebut dalam pasal 15 Undang-undang Jabatan Notaris dan kekuatan pembuktian dari akta notaris, maka disimpulkan: a. Tugas jabatan notaris adalah memformulasikan keinginan/ tindakan para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku. 68 Herlien Budiono, Op. cit, hal. 58. 69 Pasal 281 BW 70 Pasal 1227BW (Pasal ini terdapat dalam Buku II BW. Menurut pasal 29 Undangundang Nomor 4 Tahun 1996, ketentuan mengenai hipotik dinyatakan tidak berlaku lagi). 71 Pasal 1405 dan 1406 BW 72 Pasal 143 dan 218 WvK 73 Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996. 74 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 338/KMK.01?2000, tanggal 18 Agustus 2000.

b. Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, 75 sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/ pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/ pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan notaris. 2. Kewenangan Khusus Notaris Pasal 15 ayat (2) mengatur mengenai kewenangan khusus notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu, seperti: a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tanda tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. Member kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian bagimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. Melakukan pengesahan kecocokan photo copy dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau 75 M. Ali Boediarto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad, (Jakarta: Swa Justitia, 2005), hal. 150.

g. Membuat akta risalah lelang. E. Kewenangan Legalisasi dan Waarmerking Notaris 1. Legalisasi Artinya, dokumen/surat yang dibuat di bawah tangan tangan tersebut ditanda-tangani di hadapan notaris, asetelah dokumen/surat tersebut dibacakan atau dijelaskan oleh Notaris yang bersangkutan. Sehingga tanggal dokumen atau surat yang bersangkutan adalah sama dengan tanggal legalisasi dari notaris. Dengan demikian, notaris menjamin keabsahan tanda-tangan dari para pihak yang dilegalisir tanda-tangannya, dan pihak (yang bertanda-tangan dalam dokumen) karena sudah dijelaskan oleh notaris tentang isi surat tersebut, tidak bisa menyangkal dan mengatakan bahwa ybs tidak mengerti isi dari dokumen/surat tersebut. 76 Untuk legalisasi ini, kadang dibedakan oleh notaris yang bersangkutan, dengan Legalisasi tanda-tangan saja. Dimana dalam legalisasi tandatangan tersebut notaris tidak membacakan isi dokumen/surat dimaksud, yang kadang-kadang disebabkan oleh beberapa hal, misalnya: notaris tidak mengerti bahasa dari dokumen tersebut (contohnya: dokumen yang ditulis dalam Bahasa Mandarin atau bahasa lain yang tidak dimengerti oleh notaris yang bersangkutan) atau notaris tidak terlibat pada saat pembahasan dokumen di antara para pihak yang bertanda-tangan. 77 76 http://mkn-unsri.blogspot.com/2010/02/perbedaan-legalisasi-dengan-waarmerking. html. Diakses tanggal 27 Maret 2010. 77 Ibid

Rumusan kalimat legalisasi juga dicantumkan dalam pasal 2 ayat 1 Ordonansi yang berbunyi sebagai berikut: Keterangan yang oleh para notaris dan pejabat lainnya yang ditunjuk oleh pasal 1 dicantumkan pada kaki akta berbunyi: Saya yang bertanda tangan di bawah ini.. notaris (Bupati/ walikota kepala daerah.. ketua pengadilan negeri..) di.., menerangkan.. yang saya, notaris, kenal (atau diperkenalkan kepada saya, notaris) dan kemudian tuan/ nyonya.. tersebut membubuhkan tanda tangannya (cap ibu jarinya) di atas akta ini di hadapan saya, notaris. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka untuk legalisasi diperlukan adanya tiga unsur, yakni: a. Yang mencantumkan tanda tangan atau cap ibu jari di atas akta di bawah tangan tersebut dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepada notaris tersebut b. Bahwa akta tersebut telah dijelaskan isinya oleh notaris kepada si pembubuh tanda tangan/ cap ibu jari itu c. Bahwa setelah itu, maka seketika itu juga akta itu lantas ditandatangani atau dibubuhi cap ibu jari oleh orang yang bersangkutan di hadapan notaris tersebut. Selain sebagaimana yang telah dirumuskan di atas, ada beberapa hal yang perlu ditambahkan pada isi rumusan legalisasi, yakni: a. Selain nama penghadap (pembubuh tanda tangan atau cap ibu jari) harus pula dicantumkan pekerjaan dan tempat tinggalnya, b. Jikalau penghadap itu tidak dikenal melainkan diperkenalkan, kepada notaris, maka saksi yang memperkenalkan itu jumlahnya harus dua orang,

c. Nama, pekerjaan dan tempat tinggal para saksi yang memperkenalkan juga harus dicantumkan dalam akta tersebut. d. Tanggal dilakukannya penandatanganan/ pembubuhan cap ibu jari beserta tanggal legalisasi akta tertentu harus sama dan dicantumkan di bagian bawah keterangan notaris tersebut. 2. Waarmerking Artinya, dokumen/surat yang bersangkutan di daftar dalam buku khusus yang dibuat oleh Notaris. Biasanya hal ini ditempuh apabila dokumen/surat tersebut sudah ditanda-tangani terlebih dahulu oleh para pihak, sebelum di sampaikan kepada notaris yang bersangkutan. Contohnya: Surat Perjanjian Kerjasama tertanggal 1 Januari 2008 yang ditanda-tangani oleh Tuan A dan Tuan B. Jika hendak di legalisir oleh Notaris pada tanggal 18 Januari 2008, maka bentuknya tidak bisa legalisasi biasa, melainkan hanya bisa didaftar (waarmerking) saja. Jika ditinjau dari sudut kekuatan hukumnya untuk pembuktian, maka tentu saja lebih kuat Legalisasi daripada Register (waarmerking). Ada dokumendokumen tertentu yang akan digunakan sebagai kelengkapan suatu proses mutlak diminta harus dilegalisir, misalnya: di kantor Pertanahan, surat persetujuan dari ahli waris untuk menjaminkan tanah dan bangunan, atau surat persetujuan isteri untuk menjual tanah yang terdaftar atas nama suaminya dan lain sebagainya. Kalau surat/dokumen tersebut tidak dilegalisir oleh notaris, maka biasanya dokumen tersebut tidak dapat diterima sebagai kelengkapan proses Hak Tanggungan atau jual beli yang

dimaksud. Terpaksa pihak yang bersangkutan harus membuat ulang persetujuan dan melegalisirnya di hadapan notaris setempat. 78 Dalam praktek notariat, di samping istilah legalisasi dikenal pula istilah waarmerking. Istilah waarmerking ini oleh praktek notariat diterjemahkan menjadi dibukukukan dan ada pula memakai perkataan ditandai. Yang dimaksud dengan didaftarkan ialah hasil perbuatan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) Ordonansi, yang berbunyi: Akta di bawah tangan sepanjang tidak ada memuat perkataan yang dimaksud dalam ayat pertama, jikalau hendak dipergunakan sebagai bukti terhadap pihak ketiga mengenai hari, tanggal, bulan akta itu dapat ditandai oleh notaris atau oleh salah seorang pegawai yang ditunjuk oleh ayat pertama dengan membubuhkan perkataan didaftarkan pada kaki akta itu dan menandatanganinya serta membubuhkan hari, tanggal, bulan hal itu dilakukan. Sekali lagi diingatkan bahwa perkataan ditandai dapat diganti dengan perkataan dibubuhkan atau didaftarkan. Adapun akta yang dibubuhi perkataan ditandai ini adalah akta yang belum disodorkan kepada notaris telah ditandatangani terlebih dahulu oleh pihak yang berkepentingan di luar hadirnya notaris (bukan di depan notaris). Dengan kata lain, notaris tidak mengetahui kapan akta itu ditandatangani dan juga tidak mengetahui siapa yang menandatanganinya. Oleh karena itu, tidak ada jaminan kepastian mengenai tanggal penandatanganan dan juga ada jaminan kepastian tentang siapa yang menandai/ membubuhkan cap ibu jari di atas akta itu. Jaminan kepastian satu-satunya yang ada 78 Ibid

hanyalah bahwa akta tersebut telah ada (telah exist) pada tanggal akta itu ditandai. Satu-satunya kepastian hukum yang diperoleh sebagai akibat adanya tindakan waarmerking ialah bahwa eksistensi dalam arti kata, hari, tanggal, bulan akta di bawah tangan yang ditandai itu telah diakui terhitung sejak tanggal diadakannya waarmerking satu dan lain sesuai dengan apa yang diatur dalam pasal 1880.

BAB IV KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA DI BAWAH TANGAN DIKAITKAN DENGAN LEGALISASI DAN WAARMERKING NOTARIS A. Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan Dikaitkan dengan Legalisasi dan Waarmerking Notaris Pasal 1874 ayat (2) KUHP menyatakan bahwa: Dengan penandatanganan sepucuk tulisan di bawah tangan dipersamakan suatu cap ibu jari dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk oleh undangundang, darimana ternyata bahwa mengenal di pembubuh cap ibu jari atau orang itu telah diperkenalkan kepadanya dan bahwa isi akte itu telah dijelaskan kepada si pembubuh cap ibu jari itu dan kemudian cap ibu jari dicantumkan di hadapan pejabat tersebut. Dengan adanya ketentuan pasal tersebut, maka suatu tulisan yang tidak ditandatangani dapat diterima sebagai akta di bawah tangan asal saja dibubuhi cap ibu jari di hadapan seorang pejabat umum. Jadi, dalam hal ini, pembuatan akta dilakukan dengan adanya campur tangan pejabat, namun campur tangan itu terbatas hanya sampai menyaksikan pencantuman cap ibu jari saja disertai penjelasan mengenai isi akta tanpa mengatur dan menetapkan bentuk akta seperti yang dikehendaki oleh pasal 1868. Dengan demikian campur tangan pejabat umum itu sifatnya demikian terbatas sehingga tidak menaikkan kualitas akta di bawah tangan menjadi akta otentik.

Namun bagaimanapun juga, harus diakui bahwa akta di bawah tangan tersebut ada kelebihannya jika dibandingkan dengan akta di bawah tangan seumumnya yang sama sekali tidak ada campur tangan pejabat. Kelebihan itu adalah: 1. Ada kepastian siapa yang menumbuhkan cap ibu jari di atas akta itu (i.c. cap ibu jarinya dipersamakan dengan tanda tangan). 2. Ada kepastian mengenai tanggal pembuatan akta tersebut. Sebagaimana telah disebutkan pada bahasan sebelumnya, bahwa kekuatan pembuatan akta di bawah tangan tidak sama dengan kekuatan pembuktian akta otentik, terutama dalam kekuatan pembuktian lahiriah, formil, maupun materil. Akta di bawah tangan baru memiliki kekuatan pembuktian sebagaimana kekuatan pembuktian akta otentik apabila pengakuan dari para pihak yang membenarkan tanda tangan mereka di dalam akta dimaksud. Setelah dilakukan legalisasi maupun waarmerking, kekuatan pembuktian akta di bawah tangan tidak juga dapat dipersamakan dengan akta otentik. Namun jika dibandingkan dengan akta di bawah tangan yang tidak mendapatkan legalisasi maupun waarmerking, maka kekuatan pembuktian yang telah dilegalisasi ataupun di waarmerking oleh pejabat notaris lebih memiliki kekuatan pembuktian. Istilah akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan berkaitan dengan nilai pembuktian suatu alat bukti. Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang isi dan tanda tangan yang tercantum di dalamnya diakui oleh para pihak. Jila salah satu pihak mengingkarinya, maka nilai pembuktian tersebut diserahkan kepada hakim.

Berdasarkan hal ini, maka legalisasi ataupun waarmerking yang dilakukan atas suatu akta yang notabene merupakan akta di bawah tangan, tetap memerlukan adanya pengakuan dari para pihak tentang kebenaran dari akta tersebut, walaupun telah melalui pencatatan ataupun pendaftaran oleh pejabat umum. Dalam hal ini, yang dapat mengkualifikasikan kekuatan pembuktian akta di bawah tangan yang telah dilegalisasi atau diwaarmerking ini adalah hakim. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa dengan dilegalisasinya akta di bawah tangan, akta tersebut telah memperoleh kedudukan sebagai akta otentik. Akta di bawah tangan sekalipun telah mendapat legalisasi dari notaris tetaplah merupakan akta yang dibuat di bawah tangan, sebab legalisasi adalah pengesahan surat yang dibuat di bawah tangan. 79 Wewenang untuk legalisasi dan waarmerking surat-surat di bawah tangan tidak hanya diberikan kepada notaris, akan tetapi juga kepada beberapa pejabat lainnya, seperti Ketua Pengadilan Negeri, Walikota dan Bupati. Legalisasi adalah pengesahan dari surat-surat yang dibuat di bawah tangan dalam mana semua pihak membuat surat tersebut datang di hadapan notaris, dan notaris membacakan dan menjelaskan isi surat tersebut untuk selanjutnya surat tersebut diberi tanggal dan ditandatangani oleh para pihak dan akhirnya baru dilegalisasi oleh notaris. Pasal 15 ayat (2) huruf a Undang-undang Jabatan Notaris mengatur tentang legalisasi berbunyi: Notaris berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. 79 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: sinar Grafika, 2005, hal. 597.

Pasal 15 ayat (2) huruf b Undang-undang Jabatan Notaris yang mengatur mengenai waarmerking menyatakan: notaris berwenang membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. Pada waarmerking tidak terdapat jaminan, karena baik tanggal, tanda tangan, isi surat tersebut tidak dibuat dan diketahui notaris. Notaris terhadap surat ini hanya mengakui bahwa pada hari tersebut telah datang di kantor notaris, diberi bernomor, dimasukkan dalam buku daftar waarmerking, dan diberi tulisan oleh notaris bahwa surat tersebut telah diberi nomor dan dimasukkan ke dalam buku daftar yang khusus dibuat untuk itu, diberi materai, ditandatangani oleh notaris lalu dikembalikan kepada yang bersangkutan. Sebelum dikembalikan, setiap halaman diberi bernomor dan diparaf oleh notaris. Jika pada waarmerking notaris hanya melakukan pendaftaran, maka pada legalisasi, dengan telah dilegalisasinya suatu akta, maka para pihak dengan sendirinya telah memberikan penegasan tentang kebenaran tanda tangan mereka dan itu berarti juga adalah penegasan tentang kebenaran tanggal. Berdasarkan hal tersebut di atas, di sini jelas bahwa akta-akta di bawah tangan yang antara tanggal pembuatannya dengan terjadi peristiwa hukumnya yang berbeda perlu dilegalisasi oleh notaris atas kesepakatan para pihak, untuk selanjutnya diberi tanggal dan para pihak menandatangani akta tersebut yang kemudian ditandatangani oleh notaris, sehingga para pihak memperoleh jaminan atau kepastian dari pejabat ini tentang tanggal, tanda tangan, serta identitas diri yang menandatangani. Legalisasi ini dimaksud harus dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berkepentingan.

Dengan telah dilegalisasi akta di bawah tangan maka bagi hakim telah diperoleh kepastian mengenai tanggal dan identitas para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut serta tanda tangan yang dibubuhkan di bawah surat itu benar berasal dan dibubuhkan oleh orang yang namanya tercantum dalam surat itu dan orang yang membubuhkan tanda tangannya di bawah surat itu tidak lagi dapat mengatakan bahwa para pihak atau salah satu pihak tidak mengetahui apa isi surat itu, karena isinya telah dibacakan dan dijelaskan terlebih dahulu sebelum para pihak membubuhkan tanda tangannya di hadapan pejabat umum tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka akta di bawah tangan yang telah memperoleh legalisasi dari notaris membantu hakim dalam hal pembuktian, karena dengan diakuinya tanda tangan tersebut, maka isi aktapun dianggap sebagai kesepakatan para pihak karena akta di bawah tangan kebenarannya terletak pada tanda tangan para pihak, maka denga diakuinya tanda tangan, akta tersebut menjadi bukti yang sempurna. B. Kewenangan Hakim Membatalkan Akta Di Bawah Tanganyang Telah Memperoleh Legalisasi Dari Notaris Dalam hal pembatalan memang diperlukan putusan hakim karena selama tidak dimintakan pembatalan maka akta itu berlaku atau sah. Dalam hal batal demi hukum, kalau tidak terjadi sengketa maka tidak perlu kebatalan itu diputus oleh hakim tetapi kalau kemudian terjadi sengketa kebatalan itu perlu diputus oleh hakim dan saat batal itu berlaku surut sejak perjanjian itu dibuat. 80 80 Sudikno Mertokusumo, Pembatalan Isi Akta Notaris Dengan Putusan Hakim, Makalah Dalam Seminar Kenotariatan Nasonal, Semarang, 9 Maret 1991.

Kesalahan yang terjadi pada isi akta bisa terjadi apabila para pihak memberikan keterangan yang pada saat pembuatan akta dianggap benar, tetapi setelah itu kemudian ternyata tidak benar. Misalnya: a. Yang bersangkutan memberikan bukti-bukti pemilikan atas objek perjanjian yang kemudian hari ternyata palsu. b. Yang bersangkutan mengaku sebagi warga negara Indonesia, kemudian ternyata orang asing. Berkaitan dengan kewenangan hakim dalam memutuskan batalnya suatu akta (baik dalam bentuk batal demi hukum maupun dalam bentuk dapat dibatalkan), hakim hanya dapat melakukannya apabila diajukan padanya suatu akta sebagai alat bukti. Hakim tidak mungkin atas nisiatifnya sendiri memberikan putusan tanpa adanya akta perjanjian sebagai alat bukti tertulis. Tugas hakim dalam hal pembuktian di persidangan adalah melihat dan menimbang keaslian surat bukti yang diajukan oleh para pihak kemudian menilai dapat tidaknya diterima suatu alat bukti dalam pembuktian. Hakim secara ex officio pada prinsipnya tidak dapat membatalkan akta baik akta otentik maupun akta di bawah tangan kalau tidak dimintakan pembatalan, karena hakim tidak boleh memutuskan yang tidak diminta. 81 Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 189 ayat 3 RBg yang menyatakan :hakim dilarang akan menjatuhkan putusan atas perkara yang tiada dituntut atau akan meluluskan lebih dari pada yang dituntut. Hakim hanya dapat membatalkan akta yang telah diperbuat oleh notaris apabila dimintakan dan dituntut pembatalannya oleh pihak yang bersangkutan 81 Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hal. 126.

apabila ada bukti lawan. Dalam hal ini notaris membuat akta ternyata melanggar peraturan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, maka akibatnya ialah bahwa akta tersebut hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan (Pasal 52 ayat 3 UUJN). Mengingat bahwa notaris pada dasarnya hanya mencatat apa yang dikemukakan oleh para penghadap dan tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran materil isinya, maka tidaklah tepat kalau hakim membatalkannya (Putusan MA 8 September 1973, No. 702 K/ Sip/ 1973). Kesalahan notaris dapat saja terjadi menyangkut isi akta yang dibuatnya disebabkan para pihak sebagai penghadap memberikan informasi yang salah (sengaja atau tidak). Tetapi karena isi akta tersebut terlebih dahulu telah dikonfirmasikan kepada penghadap dengan dibacakannya terlebih dahulu sebelum ditandatangani maka terhadap notaris tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Bila terjadi seorang notaris salah menyalin akta, maka salinan itu tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti tertulis, karena kekuatan akta otentik terletak pada akta aslinya ( Pasal 1888 KUHPerdata ). Dalam hal akta notaris menjadi persyaratan untuk sahnya suatu perbuatan hukum dan tidak dipenuhi, seperti misalnya pada hibah, maka isi dan aktanya batal (Pasal 1682, 1171 KUHPerdata). Jadi baik perbuatannya maupun aktanya batal. Suatu akta yang tidak cacat secara yuridis, maka hanya perbuatan hukumnya saja yang dibatalkan (MA 5 September 1973 No. 702 K / Sip / 1973). Kesalahan dalam bentuk akta yaitu apabila bentuknya adalah suatu pernyataan keputusan rapat umum luar biasa sedang yang seharusnya adalah berita acara

rapat, maka aktanya batal, tetapi isinya tidak. Pembatalan menimbulkan keadaan tidak pasti, oleh karena itu undang undang memberi waktu terbatas untuk menuntut berdasarkan pembatalan Undang undang memberi pembatalan apabila hendak melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri. Dibatalkannya suatu perbuatan hukum tidak berarti bahwa perbuatan hukumnya sah, berlaku, apabila dalam batas waktu tertentu tidak diajukan tuntutan pembatalan. Dalam hal terdapat salah satu pihak yang belum cukup umur dan tidak cakap dianggap tidak dapat melaksanakan kepentingannya dengan baik, maka pihak tersebut diberi wewenang oleh undang undang untuk menghindarkan diri dari akibat akibatnya, sepanjang pihak yang bersangkutan tidak cakap, dengan mengajukan permohonan pembatalan kepada hakim. Ratio ajaran pembatalan ini ialah bahwa pihak lawan tidak dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada hakim. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diketahui bahwa pembatalan merupakan perlindungan individu terhadap dirinya sendiri sedangkan kebatalan merupakan perlindungan seseorang terhadap orang lain. Dalam hal pembatalan kiranya memang diperlukan putusan hakim, karena selama tidak dimintakan pembatalan perjanjian atau akta itu berlaku atau sah. Dalam hal batal demi hukum, kalau tidak terjadi sengketa maka tidak perlu kebatalan itu diputus oleh hakim, tetapi kalau kemudian terjadi sengketa maka perlu kebatalan itu diputus oleh hakim dan saat batal itu berlaku surut terhitung sejak perjanjian itu dibuat. Akta di bawah tangan yang telah memperoleh legalisasi dan waarmerking dari Notaris dapat dibatalkan oleh hakim meskipun tugas hakim dalam hal

pembuktian hanya membagi beban membuktikan, tetapi secara ex officio hakim tidak dapat membatalkan suatu akta kalau tidak dimintakan pembatalan karena hakim tidak boleh memutuskan yang tidak diminta. Dalam hal akta di bawah tangan yang diakui dimintakan pembatalan, maka hakim dapat membatalkan akta tersebut apabila terdapat bukti lawan yang menguatkan pembatalan itu. Suatu akta juga dapat menjadi batal demi hukum apabila tidak dipenuhinya suatu syarat objektif suatu perjanjian, dan suatu akta dapat dibatalkan dengan tidak dipenuhinya syarat subyektif suatu perjanjian.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Akta otentik dan akta di bawah tangan di Indonesia diatur secara jelas dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. KUH Perdata secara tegas membedakan kedua akta ini, khususnya dalam hal lahirnya kedua akta ini, dimana akta otentik lahir dari melalui keikusertaan pejabat yang berwenang untuk itu, sedangkan akta di bawah tangan lahir hanya berdasarkan inisiatif para pihak tanpa mengikusertakan keterlibatan pejabat yang berwenang untuk itu. 2. Kewenangan legalisasi dan waarmerking diatur dalam pasal 15 ayat 2 Undang-undang Jabatan Notaris yang menyebutkan tentang beberapa kewenangan notaris selain sebagai pejabat pembuat akta otentik, yaitu mengesahkan tanda tangan serta membukukan surat di bawah tangan. 3. Akta di bawah tangan yang telah memperoleh legalisasi ataupun waarmerking dari notaris kekuatan pembuktiannya tidak dapat dipersamakan dengan akta otentik, sebab akta otentik hanyalah akta yang dibuat oleh pejabat notaris, bukan yang dilegalisasi atau diwaarmerking oleh notaris. Namun dibandingkan dengan akta di bawah tangan pada umumnya, akta di bawah tangan yang telah dilegalisasi ataupun diwaarmerking jelas memiliki kelebihan.

B. Saran 1. Perlu adanya suatu pengaturan tegas oleh peraturan perundang-undangan tentang kedudukan dan kekuatan pembuktian akta di bawah tangan yang telah dilegalisasi atau diwaamerking oleh notaris. Hal ini mutlak diperlukan, sebab kekuatan pembuktiannya mengambang. Di satu sisi tidak dapat dipersamakan dengan akta otentik, sedang di sisi lain juga memiliki kelebihan dibanding akta di bawah tangan pada umumnya. 2. Perlu adanya sosialisasi menyeluruh kepada masyarakat tentang pentingnya melakukan kesepakatan apapun melalui pejabat notaris, agar diperoleh akta yang otentik yang memiliki kekuatan pembuktian absolut yang dapat melindungi kepentingan para pihak dari hal-hal yang dapat merugikan kepentingan para pihak.