II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yanag dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana di

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

I. PENDAHULUAN. dalam kandungan. Anak sebagai sumber daya manusia dan bagian dari generasi muda, sudah

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235]

BUKU AJAR (BAHAN AJAR) PERLINDUNGAN HAK ANAK. Oleh : I Gede Pasek Eka Wisanjaya SH, MH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. dan perhatian, sehingga setiap anak dapat tumbuh dan berkembang secara

BAB II TINDAK PIDANA PENCURIAN OLEH ANAK. keadaan di bawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Wawancara bersama penyidik Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengatur tetntang pengertian anak berdasarkan umur. Batasan umur seseorang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK)

I. PENDAHULUAN. melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan potensi

I. PENDAHULUAN. Perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah dimulai pada akhir abad ke- 19, dimana anak

BAB IV ANALISIS MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK JALANAN ATAS EKSPLOITASI DAN TINDAK KEKERASAN

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

Kajian yuridis terhadap tindak pidana pembunuhan disertai pemerkosaan yang dilakukan oleh anak ( studi kasus di Pengadilan Negeri Surakarta )

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG EKPLOISTASI PEKERJA ANAK. A. Pengaturan Eksploitasi Pekerja Anak dalam Peraturan Perundangundangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PELAYANAN TERHADAP HAK-HAK ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

PERLINDUNGAN HAK ANAK

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK. Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. (2010 hingga 2014) sebanyak kasus anak terjadi di 34 provinsi dan

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bab 2 KONSEP ANAK JALANAN FENOMENA SOSIAL ANAK JALANAN 11

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN PENGASUHAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

I. PENDAHULUAN. usahanya ia tidak mampu, maka orang cenderung melakukanya dengan jalan

Institute for Criminal Justice Reform

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR. A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

BUPATI PASER PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASER NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENGASUHAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

situasi bencana memberikan pendampingan hukum dan pelayanan (UUPA Pasal 3; Perda Kab. Sleman No.18 Tahun 2013, Pasal 3)

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

BAB III DESKRIPSI PENELANTARAN ANAK DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UU NO.23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. dan kodratnya. Karena itu anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus

UU RI nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

TANYA JAWAB UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. luasnya pergaulan internasional atau antar negara adalah adanya praktek

NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum tentang Anak dan Perlindungan Hukum Bagi Anak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TENTANG PENYELENGGARAAN PELINDUNGAN ANAK

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR

Pencatatan Nama Orang Tua Bagi Anak Yang Tidak Diketahui Asal-usulnya

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan

BAB I PENDAHULUAN. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senan

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 110 / HUK /2009 TENTANG PERSYARATAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan karunia berharga dari Allah Subhanahu wa Ta ala yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana, karena hakekat dari hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang tindak pidana, yang mengandung tiga unsur, yaitu perbuatan yanag dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana di Indonesia oleh beberapa sarjana digunakan dengan sebutan yang berbeda-beda. Ada yang menyebutnya dengan peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, dan delik. Istilah tindak pidana dalam bahasa Belanda disebut Strafbaar Feit. Moeljatno (1993: 2) menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikannya sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Berdasarkan pendapat Moeljanto di atas penulis dapat menyatakan, bahwa menurut Moeljatno, suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana apabila perbuatan itu memenuhi unsur-unsur : 1. perbuatan tersebut dilakukan oleh manusia; 2. yang memenuhi rumusan undang-undang (syarat formil); dan 3. bersifat melawan hukum (syarat materiil). Istilah perbuatan pidana ini digunakan oleh Moeljatno (1993: 4-5) dengan alasan sebagai berikut : 1. Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatannya (perbuatan manusia), yaitu s uatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang. Artinya, larangan ini

ditujukan pada perbuatannya, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orangnya. 2. Antara larangan dengan ancaman pidana ada hubungan yang erat, dan oleh karena itu perbuatan dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan yang erat pula. 3. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret : adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan adanya orang yang berbuat menimbulkan keadaan itu. Pandangan Moeljatno terhadap perbuatan pidana menampakkan adanya pemisahan antara perbuatan dengan orang yang melakukan. Pandangan seperti ini disebut pandangan dualisme, di mana pandangan ini dianut pula oleh banyak ahli misalnya Pompe, VOS, Tresna, Roeslan Saleh, dan Andi Zainal Abidin. Menurut Pompe sebagaimana dikutip oleh Muljatno (1993: 12) : Strafbaar Feit adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. VOS merumuskan Strafbaar Feit adalah suatu kelakuan manusia yang dianmcam pidana oleh peraturan perundang-undangan. Peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap peraturan mana diadakan tindakan penghukuman. Pengertian-pengertian tentang tindak pidana sebagaimana dikemukakan di atas menurut penulis pada umumnya menyatakan, bahwa peristiwa pidana mengandung syarat-syarat sebagai berikut : 1. harus ada perbuatan manusia; 2. perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dirumuskan di dalam ketentuan ketentuan hukum; 3. harus terbukti adanya dosa pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan;

4. perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum; dan 5. terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam peraturan perundangundangan. Menurut Moeljatno (1993: 22-23), Pandangan lain tentang tindak pidana disebut pandangan monolisme, yang tidak memisahkan antara unsur perbuatan dengan unsur pembuat. Ahli hukum yang berpandangan monolisme ini, antara lain Van Hamel, J.E. Jonkers, Wirjono Projodikoro, Simons, Karni, dan lain-lain. Menurut Van Hamel sebagaimana dikutip oleh Sudarto (1990: 41), Unsur-unsur Strafbaar Feit adalah : 1. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; 2. melawan hukum; 3. dilakukan dengan kesalahan; dan 4. patut dipidana. JE. Jonckers sebagaimana dikutip oleh Moeljatno (1993: 23) merumuskan, Peristiwa pidana adalah perbuatan yang melawan hukum yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Wirjono Prodjodikoro sebagaimana dikuti oleh Moeljatno (1993: 25) menyatakan, Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Simons sebagaimana dikutip oleh Moeljatno (1993: 27) merumuskan, Strafbaar Feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja dilakukan oleh seorang yang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Karni yang menggunakan istilah delik untuk menyebut tindak pidana sebagaimana dikutip oleh Sudarto (1990: 42) menyatakan, bahwa Delik itu mengandung perbuatan yang berlawanan dengan hak, yang dilakukan dengan dosa oleh orang yang sempurna akal budinya, dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungjawabkan. Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas penulis dapat menyatakan, bahwa perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana menurut para sarjana di atas adalah perbuatan yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 1. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam Undang-Undang; 2. perbuatan mana bersifat melawan hukum; 3. perbuatan tersebut dilakukan dengan kesalahan; dan 4. pelaku perbuatan tersebut diancam pidana dalam Undang-Undang. Pengertian atau unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana di atas sangat berbeda dengan pengertian tindak pidana yang ditentukan dalam RUU KUHP Tahun 2008. Pasal 11 ayat (1) RUU KUHP tahun 2008 menentukan, bahwa Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Merinci pengertian tindak pidana yang ditentukan dalam Pasal 11 ayat (1) RUU KUHP tahun 2008 dapat dinyatakan, bahwa unsur-unsur tindak pidana menurut ketentuan 11 ayat (1) RUU KUHP tahun 2008 terdiri dari :

1. perbuatan, yang terdiri dari melakukan atau tidak melakukan sesuatu; 2. perbuatan mana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundangundangan; dan 3. kepada pembuat perbuatan tersebut diancam dengan pidana. B. Pengertian Anak Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus dijaga karena di dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak (selanjutnya disingkat Konvensi Hak Anak). Konvensi Hak Anak adalah salah satu instrumen internasional di bidang hak asasi manusia yang secara khusus mengatur segala sesuatu tentang hak anak. Konvensi ini diadopsi (disetujui) oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disingkat PBB) melalui Resolusi 44/25 tertanggal 20 November 1989, dan sesuai dengan ketentuan Pasal 49 ayat (1), Konvensi Hak Anak mulai berlaku pada tanggal 2 september 1990. Di lihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Pasal 1 Konvensi Hak Anak mendefinisikan anak adalah Setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia

dewasa dicapai lebih awal. Ini berarti Konvensi Hak Anak mengakui bahwa batas usia kedewasaan dalam aturan hukum suatu negara mungkin berbeda dengan ketentuan Konvensi Hak Anak. Namun demikian bila kasus semacam ini terjadi, Komite Hak Anak menekankan agar negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak menyelaraskan aturan-aturan hukumnya dengan ketentuan Konvensi Hak Anak. Pertanyaan sekarang, sejak kapan seorang manusia termasuk dalam kategori anak? Konvensi Hak Anak tidak menjelaskannya secara tegas, namun dalam bagian Mukadimah, mengutip Deklarasi Hak Anak 1959, dinyatakan, bahwa Anak karena ketidakmatangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan pemerliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak sebelum dan sesudah kelahiran. Pada prinsipnya pokok pikiran yang harus dipegang dari ketentuan Pasal 1 Konvensi Hak Anak adalah. Bahwa negara-negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak harus memajukan dan melindungi kepentingan dan hak anak sebagai manusia hingga mereka bisa mencapai kematangan mental, sosial, dan fisik. Mengacu pada ketentuan pasal-pasal Konvensi Hak Anak, Komite Hak Anak PBB merumuskan empat prinsip umum Konvensi Hak Anak. Keempat prinsip umum tersebut Menurut Candra Gautama (2000: 22-26) adalah : 1. Nondiskriminasi Prinsip ini menegaskan bahwa hak-hak anak yang termaktub dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan sama kepada setiap anak tanpa memandang perbedaan apa pun. Pasal 2 ayat (1) Konvensi Hak Anak menentukan, Negara-negara peserta (States Parties) akan menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini terhadap setiap anak dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, asal-usul bangsa, suku bangsa atau sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran, atau status lain dari anak atau dari orang tua anak atau walinya yang sah menurut hukum.

Pasal 2 ayat (2) Konvensi Hak Anak menentukan, Negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah atau anggota keluarganya. 2. Yang terbaik bagi anak (best interest of the child) Pasal 3 ayat (1) Konvensi Anak menentukan, Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Pasal-pasal lain yang terkait erat dengan prinsip ini adalah : a. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (3) mengenai pemisahan anak dari orang tuanya; b. Pasal 18 mengenai tanggung jawab orang tua; c. Pasal 20 mengenai anak yang kehilangan lingkungan keluarganya, baik secara tetap maupun sementara; d. Pasal 21 mengenai adopsi; e. Pasal 37 huruf c mengenai pembatasan atas kebebasan; dan f. Pasal 40 ayat (2) huruf b angka iii mengenai jaminan terhadap anak yang dituduh melanggat hukum pidana. 3. Hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak Komite Hak Anak melihat bahwa kelangsungan hidup dan perkembangan anak merupakan konsep yang holistik, karena sebagian besar isi konvensi berangka dari masalah perkembangan dan kelangsungan hidup anak. Pasal 6 ayat (1) Konvensi Anak menentukan, Negara-negara Peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan (inherent right to life). Sementara itu ayat (2) menentukan, Negara-negara Peserta semaksimal mungkin akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan anak (survival and development of the child). Menyangkut prinsip perkembangan anak, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah : a. Perkembangan fisik (Pasal 26 dan Pasal 27 paragraf 3); b. Perkembangan mental terutama menyangkut pendidikan (Pasal 28 dan 29) termasuk pendidikan bagi anak-anak cacat (Pasal 23); c. Perkembangan moral dan spiritual (Pasal 14); d. Perkembangan sosial terutama menyangkut hak untuk memperoleh informasi, menyatakan pendapat, dan berserikat (Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 17); dan e. Perkembangan secara budaya (Pasal 30 dan 31). 4. Menghargai pandangan anak Pasal 12 ayat (1) Konvensi Anak menentukan, Negara -negara Peserta akan menjamin bahwa anak-anak yang memiliki pandangan sendiri akan memperoleh hak untuk menyatakan pandangan-pandangan mereka secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai dengan usia dan kematangan anak.

Komite Hak Anak menyatakan, bahwa pasal ini merupakan prinsip fundamental yang berhubungan dengan seluruh aspek pelaksanaan dan iterpretasi atas pasal-pasal lain dari Konvensi Hak Anak. Dengan kata lain, setiap pandangan anak perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi kehidupan dan perkembangan anak. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (selanjutnya disingkat UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak), menentukan Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Definisi anak berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat ( 2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, mengandung dua ukuran tentang anak. Ukuran pertama adalah usia belum mencapai 21 tahun, sedangkan ukuran kedua belum pernah kawin. Dibandingkan dengan definisi anak menurut Konvensi Hak Anak, di satu sisi menguntungkan, sedangkan di sisi lain merugikan. Dikatakan menguntungkan apabila dilihat dari umur maksimal anak, yaitu belum mencapai usia 21 tahun, sedangkan Konvensi Hak Anak menentukan umur maksimal belum mencapai usia 18 tahun. Jadi di sini ada kelebihan usia tiga tahun. Namun berdasarkan ukuran yang kedua, yaitu belum pernah kawin, maka hal ini sangat merugikan, karena berapa pun usia seseorang jika ia sudah pernah kawin, maka orang tersebut tidak dapat lagi dikategorikan sebagai anak. Hal yang terpenting dari adanya ukuran yang kedua ini adalah bahwa seseorang sekalipun usianya baru 15 tahun, tetapi apabila dia sudah pernah kawin, maka ia tidak lagi mendapatkan hak-hak yang dimiliki oleh anak, karena ia tidak lagi termasuk dalam kategori anak. Pasal 1 ayat (1) UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menentukan, Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

Ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dilihat dari sisi anak sama saja dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Artinya sangat merugikan anak, karena terhadap orang yang berusia 15 belas tahun, tetapi sudah pernah kawin, maka ia kehilangan haknya sebagai anak. Pengertian anak yang terbaik dari keseluruhan pengertian anak yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, adalah pengertian yang terdapat di dalam Pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menentukan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pengertian anak dalam UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bukan saja tidak bertentangan dengan pengertian anak menurut Konvensi Hak Anak, bahkan memperluas pengertian anak, yaitu termasuk yang masih dalam kandungan. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat dinyatakan, bahwa pengertian anak dapat dibagi menjadi empat macam : 1. Dalam arti sempit, ditentukan dalam UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yaitu seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. 2. Dalam arti sangat sempit, ditentukan dalam UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. 3. Dalam arti luas, ditentukan dalam Konvensi Hak Anak, yaitu setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun.

4. Dalam arti sangat luas, ditentukan dalam UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. C. Pengertian Perlindungan Anak Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan hakekat dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis berdsakan hukum. Anak sebagai bagian dari manusia tentunya di dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Karena itu perlindungan anak merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis berdasakan hukum. Pasal 1 angka 2 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan, Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan akan dapat dijuga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, merehabilitasi, dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah (child abused), eksploitasi dan penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental dan sosialnya. Perlindungan anak berhubungan dengan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu :

1. Luas lingkup perlindungan : a. Perlindungan yang pokok meliputi, antara lain sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, hukum b. Meliputi hal-hal yang jasmaniah dan rohaniah. c. Mengenai pola penggolongan keperluan yang primer dan sekunder yang berakibat pada prioritas pemenuhannya. 2. Jumlah pelaksanaan perlindungan : a. Sewajarnya untuk mencapai hasil maksimal perlu ada jaminan terhadap pelaksanaan kegiatan perlindungan itu yang dapat diketahui dan dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan perlindungan. b. Sebaiknya jaminan ini dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang perumusannya sesederhana mungkin tetapi dipertanggungjawabkan serta disebarluaskan secara merata di dalam masyarakat. c. Pengaturan harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi Indonesia tanpa mengabaikan cara-cara perlindungan yang dilakukan negara lain yang patut dipertimbangkan dan ditiru. Mengingat ciri dan sifat khusus yang terdapat pada anak yang tidak dapat diperlakukan sama dengan orang dewasa, apalagi perbuatan anak belum dapat dipertanggungjawabkan dari segi hukum pidana, maka terhadap anak wajib diberikan perlakuan atau perlindungan khusus, yaitu perlindungan yang diberikan kepada anak dalam hal : 1. situasi darurat, 2. anak yang berhadapan dengan hukum, 3. anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, 4. anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan,

5. anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), 6. anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, 7. anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, 8. anak yang menyandang cacat, dan 9. anak korban perlakuan salah dan penelantaran. D. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana dalam Hukum Positif di Indonesia Perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam hukum positif di Indonesia, antara lain diatur dalam : 1. KUHP : a. Pasal 45 menentukan : Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjaring) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas tahun. Hakim dapat menentukan : 1) Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharaannya, tanpa pidana apapun; atau 2) Memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, tanpa pidana apaun, yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut Pasal 489, Pasal 490, Pasal 492, Pasal 496, Pasal 497, Pasal 503, Pasal 505, Pasal 514, Pasal 517 Pasal 519, Pasal 526, Pasal 531, Pasal 532, Pasal 536, dan Pasal 540 serta belum liwat dua tahun sejak dinyatakan salah karena melakukan kejahatan atau salah pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya menjadi tetap; atau 3) Menjatuhkan pidana. b. Pasal 46 menentukan : (1) Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada Pemerintah, maka lalu dimasukkan dalam rumah pendidikan negara, supaya menerima pendidikan dari Pemerintah atau dikemudian hari dengan cara lain; atau diserahkan kepada seseorang tertentu atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau dikemudian hari, atas tanggungan Pemerintah, dengan cara lain: dalam kedua hal di atas paling lama sampai umur delapan belas tahun. (2) Aturan untuk melaksanakan ayat (1) Pasal ini ditetapkan dengan Undang-Undang. c. Pasal 47 menentukan : (1) Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap perbuatan pidananya dikurangi sepertiga.

(2) Jika perbuatan merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (3) Pidana tambahan yang tersebut dalam Pasal 10 sub b, nomor 1 dan 3, tidak dapat dijatuhkan. 2. UU No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak : a. Pasal 1 angka 8 mengatur tentang anak yang mengalami masalah kelakuan, yaitu anak yang menunjukkan tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma kemasyarakatan. b. Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan menolongnya guna membatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya (Pasal 6 ayat (1). c. Pelayanan dan asuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut juga diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan putusan hakim (Pasal 6 ayat (2). 3. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP) : a. Pasal 153 ayat (3) menentukan sidang yang terdakwanya anak -anak dilakukan secara tertutup untuk umum. b. Pasal 153 ayat (5) mengatur pemberian kewenangan hakim untuk melarang anak yang belum berumur 17 (tujuh belas) tahun menghadiri sidang. 4. Peraturan Pemerintah Nomor: 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, Pasal 19 menentukan tahanan anak-anak harus dipisahkan dari tahanan orang dewasa.

Pembentukan UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana. Beberapa bentuk perlindungan hukum tersebut, antara lain : 1. Pembatasan usia anak dapat diajukan ke sidang pengadilan, yaitu sekurang-kurangnya berusia 8 (delapan) tahun. 2. Laporan penelitian kemasyarakatan merupakan hal yang wajib diajukan di persidangan, dan wajib dipertimbangkan oleh hakim dalam putusannya. Jika tidak, putusan batal demi hukum. 3. Pelaku tindak pidana anak diadili melalui pemeriksaan sidang anak. 4. Pidana pokok terberat yang dapat dijatuhkan kepada anak pelaku tindak pidana adalah pidana penjara. 5. Baik pidana penjara maupun pidana denda hanya bisa dijatuhkan kepada anak adalah setengah dari maksimum pidana yang bisa dijatuhkan kepada orang dewasa. 6. Terhadap anak pelaku tindak pidana yang belum berumur 12 tahun dapat dikenakan tindakan tanpa harus menjatuhkan pidana atau dikembalikan kepada orang tua/wali atau diserahkan kepada Dinas Sosial tanpa harus menjalani peradilan. 7. terhadap anak pelaku tindak pidana yang berumur kurang dari delapan tahun tidak diadili. 8. dan lain-lain tindakan yang bersifat melindungi anak sesuai dengan sifat, kedudukan, dan faktor-faktor yang menyebabkan anak melakukan tindak pidana.

DAFTAR PUSTAKA Gautama, Candra, 2000, Konvensi Hak Anak: Panduan Bagi Jurnalis, Jakarta, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP).

Moeljatno, 1985, KUHP: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara. -------, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara. Sudarto, 1990, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Alumni. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2008 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.