BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi kehidupan manusia. Banyak orang mengeluhkan dirinya merasa tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang dialaminya. Subjective well-being melibatkan evaluasi pada dua komponen, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. maupun swasta namun, peningkatan jumlah perguruan tinggi tersebut tidak dibarengi

BAB I PENDAHULUAN. Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan seperti firman Allah dalam Qur`an Surat Al- Baqarah ayat 36

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang

BAB I PENDAHULUAN. Kasus perceraian di Indonesia saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang asing

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maupun dengan lawan jenis merupakan salah satu tugas perkembangan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. usahanya tersebut. Profesi buruh gendong banyak dikerjakan oleh kaum

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

BAB I PENDAHULUAN. penduduk tersebutlah yang menjadi salah satu masalah bagi suatu kota besar.

BAB I PENDAHULUAN. Kristen. Setiap gereja Kristen memiliki persyaratan tersendiri untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. A Latar Belakang Mahasiswa dipersiapkan untuk menjadi agen perubahan, salah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jenis kelamin, status ekonomi sosial ataupun usia, semua orang menginginkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

Bagan 2. Konflik Internal Subyek. Ketidakmampuan mengelola konflik (E) Berselingkuh

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan menyiptakan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibicarakan, karena akibat negatif yang sangat mengkhawatirkan yang akan

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. mereka kelak. Salah satu bentuk hubungan yang paling kuat tingkat. cinta, kasih sayang, dan saling menghormati (Kertamuda, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. akselerasi memberikan kesempatan bagi para siswa dalam percepatan belajar dari

BAB I PENDAHULUAN. selesaikan oleh individu untuk kemudian di lanjutkan ketahapan berikutnya.

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua penduduk di dunia ini hidup dalam unit-unit keluarga. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga

BAB I PENDAHULUAN. dan suami, ibu dan ayah, anak perempuan dan anak laki-laki, saudara perempuan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa

STRATEGI KOPING ANAK DALAM PENGATASAN STRES PASCA TRAUMA AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA

BAB I PENDAHULUAN. dengan wanita yang bertujuan untuk membangun kehidupan rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. Dampak perubahan tersebut salah satunya terlihat pada perubahan sistem keluarga dan

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai. Ketidakseimbangan jumlah antara laki-laki dan perempuan banyak

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEMAMPUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN SKRIPSI

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup seorang manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan pertumbuhan tersebut, salah satu fase penting dan menjadi pusat

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN. dukungan, serta kebutuhan akan rasa aman untuk masa depan. Orang tua berperan

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh penyelesaian yang lebih baik. Walaupun demikian, masih banyak

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena perceraian merupakan hal yang sudah umum terjadi di masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk, yang terjadi apabila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak (Hurlock, 1980). Di Inggris, perceraian mulai menjadi suatu tren sosial sejak disahkannya Divorce Reform Act tahun 1969 menjadi suatu hukum (Walczak & Burns, 1984). Keberadaan hukum tersebut membuat perceraian menjadi semakin mudah dan semakin dijadikan solusi untuk mengakhiri pernikahan yang tidak bahagia. Hal ini membuat Inggris berada pada peringkat sepuluh, negara dengan tingkat perceraian tertinggi (United Nations, 2013. Top Ten Countries with Highest Divorce Rates, 8 Oktober 2013. http://www.mapsofworld.com). Berdasarkan hasil sensus yang dilakukan oleh pemerintah Inggris pada tahun 2011, ditemukan bahwa sebanyak 117.558 perceraian dilakukan di Inggris. Hampir setengah dari pasangan yang bercerai (49%) memiliki minimal seorang anak berusia di bawah 16 tahun. Dari 100.760 anak, 21% anak berusia di bawah 5 tahun, 64% anak berusia di bawah 11 tahun, dan 15% anak berusia antara 11-16 tahun (Office for National Statistics, 2012. Divorce in England and Wales 2011, 20 Desember 2012. http://www.ons.gov.uk). 1

2 Di Indonesia sendiri, perceraian menjadi legal secara hukum sejak disahkannya Undang-Undang Perkawinan, UU No.1 tahun 1974. Saat ini, angka perceraian di Indonesia semakin meningkat. Menurut Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama (BPA) Mahkamah Agung RI, H Wahyu Widiana, berdasarkan hasil rekapitulasi dari 33 Pengadilan Tinggi Agama (PTA) se-indonesia sejak tahun 2005 2011, angka perceraian di Indonesia naik drastis hingga 70 persen pertahun. Jika pada tahun 2005 angka perceraian hanya 55.509 perkara, maka pada tahun 2011 menjadi 333.844 perkara (Dirjen Badan Peradilan Agama, 2012. Angka Perceraian di Indonesia Memprihatinkan. Pikiran Rakyat Online Jumat, 10 Februari 2012. http://www.pikiran-rakyat.com). Dari 333.844 perkara perceraian di tahun 2011, sebanyak 80 persen gugatan diajukan oleh istri. Berdasarkan data dari Badan Peradilan Agama, ditemukan bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi pemicu timbulnya perceraian (Rosmadi, 2012. Informasi Keperkaraan Peradilan Agama. Kamis, 8 Maret 2012. http://www.badilag.net/). Faktor utama yang menyebabkan terjadinya perceraian adalah ketidakharmonisan (89.092 perkara), tidak bertanggungjawabnya pasangan (74.529 perkara), faktor ekonomi (62.122 perkara), dan gangguan dari pihak ketiga (20.563 perkara). Bercerai dengan orang yang sebelumnya atau masih dicintai merupakan suatu peristiwa yang tidak menyenangkan. Setelah bercerai, kebanyakan orang tua memiliki dua masalah, yaitu penyesuaian terhadap konflik-konflik intrapsikis dan terhadap peran mereka sebagai orang tua yang bercerai. Penelitian menunjukkan bahwa perceraian dapat menimbulkan perasaan-perasaan yang dapat memengaruhi cara orang tua dalam mengasuh anaknya, seperti perasaan khawatir,

3 kelelahan, dan stres (Strohschein, 2007 dalam Fagan & Churchill, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Strohschein (2007), terlihat jelas bahwa perceraian dapat memengaruhi orang-orang di sekitar pasangan, terutama anak. Perceraian menyebabkan anak mengalami reaksi emosional yang menyakitkan (Amato dan Keith, 1991 dalam Amato, 1994). Namun, intensitas dan cara mereka menyampaikan perasaan bervariasi sesuai dengan jenis kelamin, temperamen, dan usia anak. Anak laki-laki lebih mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri secara sosial. Anak-anak yang memiliki difficult temperament kurang mampu bertahan terhadap stres dan menunjukkan beragam kesulitan dalam jangka waktu yang lama. Anak usia pra sekolah memiliki penyesuaian diri terhadap perceraian yang lebih baik daripada anak usia sekolah (Wallerstein & Blakeslee, 1989 dalam Amato 1994). Anak usia sekolah dasar memiliki kematangan kognisi yang lebih baik daripada anak usia pra sekolah, sehingga mereka dapat lebih memahami arti dari perceraian (Amato, 1994). Menurut Amato (1994), pemahaman anak usia sekolah dasar mengenai perceraian dapat menimbulkan rasa kehilangan, perasaan sedih, dan depresi. Beberapa anak menganggap perceraian sebagai suatu penolakan atas diri mereka. Anak cenderung akan menyalahkan orang tua atas terjadinya perceraian dan merasakan amarah yang sangat besar terhadap satu atau kedua orang tuanya. Anak yang berasal dari keluarga yang bercerai rata-rata mengalami lebih banyak masalah dan memiliki tingkat kesejahteraan (well-being) yang lebih

4 rendah daripada anak yang berasal dari keluarga yang lengkap (Amato & Keith, 1991 dalam Amato,1994). Masalah-masalah tersebut mencakup prestasi akademis yang lebih rendah, gangguan perilaku, penyesuaian (adjustment) psikologis yang lebih buruk, self concept yang lebih negatif, dan mengalami kesulitan secara sosial. Dampak perceraian orang tua yang dialami anak usia sekolah dasar dapat menghambat anak untuk memenuhi tugas perkembangan pada masa emerging adulthood. Masa emerging adulthood adalah suatu masa transisi antara remaja dan dewasa, yang berkisar antara usia 18-25 tahun (Arnett, 2007). Emerging adulthood adalah masa di mana remaja mengeksplorasi berbagai kemungkinan dalam hal percintaan dan pekerjaan, sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk berkomitmen pada kedua hal tersebut. Selain itu, remaja juga memfokuskan dirinya untuk mengembangkan pengetahuan, keahlian, dan pemahaman diri (selfunderstanding) yang dibutuhkan saat mereka dewasa. Berikut hasil survey awal kepada dua orang remaja dalam masa emerging adulthood. Responden pertama berinisial F. F berusia delapan tahun ketika orang tuanya bercerai. Saat ini F berusia 18 tahun, siswi kelas tiga SMA. Sebelum bercerai, ayahnya jarang pulang ke rumah. Saat ayahnya berkunjung ke rumah, F sempat mendengar kedua orang tuanya bertengkar. Ayah F pernah membanting barang-barang di rumah, karena ibu F tidak memberikan uang kepada suaminya. Setelah kedua orang tuanya bercerai, F merasa kesepian karena waktu untuk bersama dengan ibunya sangatlah sedikit. Setiap harinya, ibu F memberikan les privat kepada beberapa anak SD hingga malam hari. Ibu F baru tiba di rumah

5 sekitar pukul 11 hingga pukul satu malam, karena lokasi rumahnya yang jauh. F juga merasa kasihan kepada ibunya yang harus membanting tulang agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikannya. F sangat marah pada ayahnya yang telah membuat ibunya mengalami kesusahan. Ia sempat berpikir ingin membunuh ayahnya. Perpisahan orang tuanya membuat F menjadi lebih pendiam dan cenderung menutup diri saat berelasi dengan lawan jenis. Sejak kecil, F telah mengikuti berbagai macam kursus, seperti kursus menggambar, biola, dan balet. Namun, kursus yang masih ditekuni oleh F hingga saat ini adalah kursus balet. F berniat untuk membuka sekolah balet. Selain harapannya untuk membuka sekolah balet, F pun berniat melanjutkan pendidikannya di bidang kedokteran. Responden kedua berinisial S. S berada di kelas enam SD, ketika orang tuanya bercerai. Saat ini S berusia 20 tahun, mahasiswi semester dua, dan memiliki dua orang adik. Sebelum kedua orang tuanya bercerai, S cukup sering mendengar keduanya bertengkar. Menurutnya, alasan dari pertengkaran itu adalah karena ayah S sering keluar rumah di malam hari untuk berjudi. Sebelum meninggalkan rumah, ayah S sempat bertengkar dengan ibunya. Ayah S meninggalkan banyak hutang karena kebiasaan berjudinya tersebut. Hingga saat ini, S tidak pernah berkomunikasi dengan ayahnya. S sempat merasa iri pada teman-temannya, karena mereka memiliki keluarga yang lengkap. Namun, S memiliki banyak teman, baik perempuan maupun laki-laki. Sejak orang tuanya bercerai, keluarga S mengalami kesulitan ekonomi. Saat ini S berfokus pada pendidikannya dan berusaha membantu

6 keuangan keluarga dengan membuat online shop. S masih berharap ayahnya bisa kembali ke rumah, sehingga ia bisa memiliki keluarga yang lengkap. Berdasarkan hasil survey awal, perceraian orang tua membuat subjek merasakan iri hati, kebencian, kesepian, dan kemarahan. Bahkan, salah satu subjek masih merasakan dampak dari perceraian orang tuanya. Salah satu subjek lebih menutup diri dan membatasi relasinya, terutama dengan lawan jenis. Kurangnya pemahaman diri dan eksplorasi dalam membina hubungan dengan lawan jenis dapat menghambat subjek penelitian ini untuk memenuhi tugas perkembangan dalam masa emerging adulthood. Kegagalan dalam memenuhi tugas perkembangan dapat menimbulkan kesulitan dalam menghadapi tugas di tahap berikutnya dan dapat menimbulkan ketidakbahagiaan (Hurlock, 1980). Kebahagiaan, yang dalam bahasa ilmiahnya disebut dengan subjective well-being, adalah semua jenis evaluasi, baik kognitif maupun afektif, yang dibuat individu atas hidupnya (Diener, 2008). Subjective well-being memiliki empat aspek, yaitu afek positif, afek negatif, life satisfaction, dan flourishing. Afek positif merupakan suasana hati dan emosi yang menyenangkan, seperti kegembiraan dan kasih sayang. Afek negatif meliputi suasana hati dan emosi yang tidak menyenangkan, serta mewakili respon negatif yang individu alami terhadap kehidupan, kesehatan, peristiwa, dan lingkungannya. Life satisfication menunjukkan bagaimana individu mengevaluasi dan menilai hidupnya secara keseluruhan. Life satisfaction bergantung pada area-area kehidupan seperti, relasi sosial, kesehatan, pekerjaan, pendapatan, dan agama. Flourishing adalah evaluasi

7 positif atas aspek kehidupan lainnya. Flourishing berhubungan dengan apakah individu memiliki tujuan hidup, serta merasa bahwa hidupnya berarti. Perceraian orang tua memberikan dampak yang berbeda pada masingmasing individu. Berdasarkan hasil survey awal, didapati bahwa peceraian orang tua dapat menimbulkan afek negatif. Perceraian orang tua juga memengaruhi areaarea kehidupan, seperti kondisi ekonomi dan relasi sosial remaja dalam masa emerging adulthood. Relasi sosial dan kondisi ekonomi merupakan faktor yang memengaruhi kepuasan hidup (life satisfaction). Afek negatif dan life satisfaction merupakan aspek-aspek dari subjective well-being. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Studi Kasus Mengenai Subjective Well-Being Pada Remaja dalam Masa Emerging Adulthood yang Orang Tuanya Bercerai. Penelitian ini pun difokuskan pada sampel yang orang tuanya bercerai ketika mereka berada pada rentang usia sekolah dasar, karena dianggap bahwa perceraian pada masa itu berdampak besar pada remaja dalam masa emerging adulthood. 1.2 Identifikasi Masalah Dari penelitian yang dilakukan ini, ingin diketahui bagaimana gambaran subjective well-being pada remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai.

8 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan maksud untuk memperoleh gambaran subjective well-being pada remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai. 1.3.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran dinamika subjective well-being pada remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai berdasarkan aspek: afek positif, afek negatif, kepuasan hidup (life satisfaction), dan kepuasan atas aspek kehidupan lainnya (flourishing), serta berdasarkan faktor: tujuan hidup, relasi sosial, pendapatan, dan agama. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi bagi ilmu Psikologi, khususnya di bidang Psikologi Sosial mengenai subjective well-being pada remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian mengenai subjective well-being.

9 1.4.2 Kegunaan Praktis Bagi remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai, agar mengetahui subjective well-being pada dirinya; mengetahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi subjective wellbeing mereka; serta mengetahui peran mental process bagi subjective well-being mereka. Informasi ini diharapkan dapat membantu remaja dalam masa emerging adulthood untuk menyadari pentingnya berpikir positif dalam mencapai subjective well-being. Bagi orang tua dari remaja dalam masa emerging adulthood yang bercerai, agar memeroleh informasi mengenai subjective well-being anaknya, sehingga dapat memberikan dukungan kepada anaknya. Dukungan dan pendampingan dari orang tua dapat membantu anak untuk beradaptasi terhadap situasi tidak menyenangkan akibat dari perceraian orang tua. Bagi masyarakat, agar memeroleh informasi bahwa dampak perceraian orang tua pada saat anak berada pada rentang usia sekolah dasar dapat memengaruhi anak saat mereka memasuki masa emerging adulthood, sehingga dapat memberikan dukungan kepada remaja dalam masa emerging adulthood agar dapat beradaptasi dan mengatasi dampak dari perceraian orang tuanya.

10 1.5 Kerangka Pikir Anak usia sekolah dasar memiliki minat yang tinggi untuk berkelompok dan berkomunikasi dengan anggota kelompoknya (Hurlock, 1980). Meskipun lingkungan sosial anak usia sekolah dasar semakin meluas, namun hubungan dengan keluarga tetap menjadi hal yang penting dalam memengaruhi perkembangan anak. Pada rentang usia sekolah dasar terjadi peralihan antara pembicaraan egosentris menjadi pembicaraan sosial. Peralihan ini membuat anak lebih memberikan perhatian terhadap apa yang dikatakan oleh orang lain. Adanya kematangan kognisi membuat anak usia sekolah dasar dapat memahami arti dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Kebutuhan akan peran keluarga dan pemahaman yang meningkat menyebabkan anak usia sekolah dasar lebih merasakan dampak dari perceraian. Perceraian merupakan puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk, yang terjadi apabila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak (Hurlock, 1980). Pemahaman anak usia sekolah dasar mengenai perceraian dapat menimbulkan rasa kehilangan, perasaan sedih, dan depresi (Amato, 1994). Perceraian menyebabkan anak usia sekolah dasar kehilangan waktu, pendampingan, dan kasih sayang dari orang tua yang tidak tinggal bersamanya. Anak usia sekolah dasar pun akan memiliki penyesuaian diri yang rendah apabila orang tua yang tinggal bersamanya kurang memberikan perhatian, menuntut anak untuk lebih dewasa, kurang memberikan pengawasan, lebih sering menghukum, dan kurang konsisten dalam mendisiplinkan anaknya.

11 Anak usia sekolah dasar akan gagal memperoleh keterampilan sosial untuk mengatasi perbedaan pendapat apabila anak tersebut berasal dari keluarga dengan tingkat konflik yang tinggi. Kegagalan dalam memeroleh keterampilan sosial ini dapat memengaruhi kemampuan anak usia sekolah dasar untuk membentuk dan mempertahankan persahabatan. Perceraian dapat menyebabkan anak usia sekolah dasar kesulitan dalam mencapai prestasi akademik yang baik, apabila orang tua yang tinggal bersamanya mengalami kesulitan ekonomi dan tidak dapat menyediakan sarana yang dapat menunjang pendidikan anak tersebut. Perceraian dapat mengganggu stabilitas psikologis pada anak usia sekolah dasar (Hill, 1993 dalam Fagan & Churchill, 2012). Anak usia sekolah dasar akan memiliki kesejahteraan psikologis (psychological well-being) yang rendah, serta lebih banyak mengalami perasaan negatif dan masalah-masalah yang berhubungan dengan emosi anak usia sekolah dasar. Anak mengalami reaksi emosi yang beragam, seperti kesedihan, kemarahan, kesepian, depresi, kecemasan, kekhawatiran, kepuasan hidup yang lebih rendah, self esteem dan kepercayaan diri yang lebih rendah, ketakutan, kerinduan, self concept yang negatif, serta penolakan. Dampak-dampak dari perceraian dapat memengaruhi anak usia sekolah dasar saat memasuki masa emerging adulthood. Masa emerging adulthood adalah masa transisi antara remaja dan dewasa, yang berkisar antara usia 18-25 tahun (Arnett, 2007). Emerging adulthood adalah masa dimana remaja mengeksplorasi berbagai kemungkinan dalam hal percintaan dan pekerjaan, sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk berkomitmen pada kedua hal tersebut. Selain itu, remaja dalam masa emerging adulthood juga

12 memfokuskan dirinya untuk mengembangkan pengetahuan, keahlian, dan pemahaman diri (self-understanding) yang dibutuhkan saat mereka dewasa. Perceraian orang tua saat remaja dalam masa emerging adulthood berada pada rentang usia sekolah dasar dapat mengakibatkan remaja mengalami kesulitan untuk memenuhi tugas perkembangan di masa emerging adulthood. Perceraian orang tua yang terjadi saat remaja dalam masa emerging adulthood berada pada rentang usia sekolah dasar dapat menyebabkan remaja kesulitan dalam membina hubungan romantis pada masa dewasa (Fagan & Churchill, 2012). Hal ini terjadi karena remaja dalam masa emerging adulthood memiliki kepercayaan diri yang lebih rendah dan merasa takut akan ditinggalkan. Selain itu, mereka juga memiliki komitmen, tingkat kepuasan, dan kepercayaan terhadap pasangan yang lebih rendah dalam membina hubungan percintaan. Selain itu, perceraian orang tua yang terjadi saat remaja dalam masa emerging adulthood berada pada rentang usia sekolah dasar dapat menurunkan kinerja dan prestasi akademis, serta menurunkan kecenderungan remaja dalam masa emerging adulthood untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Prestasi akademik dan kecenderungan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yang rendah membuat remaja tidak dapat mengembangkan pengetahuan dan keahlian yang akan mereka butuhkan saat dewasa. Kegagalan dalam memenuhi tugas perkembangan dapat memengaruhi kebahagiaan remaja. Kebahagiaan adalah suatu proses (Diener & Robert B.D., 2008). Hidup menjadi lebih berarti karena individu sudah berusaha dan menikmati setiap aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuannya. Kebahagiaan sebagai suatu

13 proses berarti bahwa setiap interpretasi yang remaja dalam masa emerging adulthood lakukan dalam hidup sehari-hari menentukan bagaimana mereka merasakan kesejahteraan. Proses mental (mental process) dapat memengaruhi remaja dalam masa emerging adulthood dalam mencapai kebahagiaannya. Belajar untuk menginterpretasi setiap peristiwa secara positif merupakan suatu hal yang penting. Berpikir positif bukan berarti mengabaikan peristiwa negatif atau berpura-pura bahwa hidup dapat menjadi lebih baik selama menghadapi kesulitan. Berpikir positif berarti bahwa remaja dalam masa emerging adulthood memperhatikan keberhasilan atau hal baik yang telah diperolehnya, terbuka terhadap penjelasan atas suatu peristiwa, dan mengingat hal-hal yang baik yang terjadi pada hidupnya. Sikap positif dapat dilihat dari komponen-komponen, seperti atensi, interpretasi, dan memori. Remaja dalam masa emerging adulthood yang memiliki pola pikir yang positif akan memfokuskan dirinya pada hal-hal yang positif. Mereka akan menyadari bahwa terdapat sisi positif dari perceraian orang tuanya. Remaja dalam masa emerging adulthood akan menilai sejauh mana mereka dapat berkembang dalam mengatasi kesulitan yang dialaminya. Setelah itu, mereka akan mengingat kembali perkembangan yang telah dicapainya. Dengan mengembangkan strategi berpikir yang positif, remaja yang orang tuanya bercerai saat mereka berada pada rentang usia sekolah dasar akan dapat memenuhi tugas perkembangan pada masa emerging adulthood dan mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan, yang dalam bahasa ilmiahnya disebut dengan subjective well-being, adalah semua jenis evaluasi, baik kognitif maupun afektif, yang dibuat

14 individu atas hidupnya (Diener, 2008). Subjective well-being memiliki empat aspek, yaitu afek positif, afek negatif, life satisfaction, dan flourishing. Afek positif merupakan suasana hati dan emosi yang menyenangkan, seperti kegembiraan dan kasih sayang. Afek negatif meliputi suasana hati dan emosi yang tidak menyenangkan, serta mewakili respon negatif yang individu alami terhadap kehidupan, kesehatan, peristiwa, dan lingkungannya. Life satisfication menunjukkan bagaimana individu mengevaluasi dan menilai hidupnya secara keseluruhan. Flourishing adalah evaluasi positif atas aspek kehidupan lainnya, seperti kesehatan, pekerjaan, relasi, dan waktu luang. Remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai saat mereka berada pada rentang usia sekolah dasar cenderung mengalami emosi negatif yang berkepanjangan. Hal ini mengindikasikan bahwa remaja memandang hidupnya telah berlangsung secara tidak menyenangkan. Perasaan yang tidak menyenangkan dapat memberikan umpan balik mengenai kualitas hidup individu. Remaja yang belajar untuk berpikir positif akan menumbuhkan minat terhadap hal-hal positif. Minat terhadap hal-hal positif dapat meningkatkan emosi positif remaja dan dapat memotivasi remaja untuk membuat suatu perubahan atas hidupnya dengan menentukan tujuan hidupnya. Penyesuaian diri remaja memungkinkannya untuk mempelajari keterampilan baru dan mencapai kemajuan. Berpikir positif dapat menurunkan afek negatif yang terdapat pada remaja dari keluarga yang bercerai. Remaja dengan pola pikir yang negatif tidak akan memiliki kehidupan yang lebih menyenangkan. Mereka akan memfokuskan diri pada hal negatif dan

15 akan berpikir bahwa dirinya tidak dapat berkembang dari kesulitan yang diakibatkan oleh perceraian orang tuanya. Respon negatif remaja terhadap kehidupan, kesehatan, lingkungan, serta peristiwa yang dialaminya dapat dilihat dari afek negatif remaja tersebut. Afek negatif remaja ditunjukkan melalui suasana hati dan emosi yang tidak menyenangkan, seperti kemarahan, kesedihan, kekhawatiran, kebencian, rasa bersalah, iri hati, dan rasa malu. Remaja yang sudah terbiasa dengan perasaan-perasaan negatif ini akan mengalami suatu bahaya, dimana emosi negatif akan mendominasi emosi positif dalam hal intensitas dan frekuensinya. Remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai saat mereka berada dalam rentang usia sekolah dasar akan memiliki kesulitan secara sosial, terutama dalam membina suatu relasi. Kesulitan dalam membina relasi terjadi karena remaja memiliki kepercayaan diri yang rendah dan kurang percaya pada orang lain. Relasi sosial berhubungan dengan kepuasan hidup remaja. Remaja yang belajar untuk tidak langsung menilai negatif orang-orang di sekitarnya akan memiliki relasi yang baik dan saling mendukung. Relasi yang baik dapat meningkatkan kepuasan hidup remaja. Sebaliknya, remaja dengan pola pikir negatif lebih mudah mencurigai orang lain dan semakin membatasi relasi sosialnya. Terbatasnya relasi sosial menyebabkan remaja kurang mendapatkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Remaja yang kurang menerima dukungan dari keluarga atau orang-orang di sekitarnya akan memiliki kepuasan hidup (life satisfaction) yang lebih rendah.

16 Remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai saat mereka berada pada rentang usia sekolah dasar cenderung memiliki self esteem dan kepercayaan diri yang rendah. Self esteem dan kepercayaan diri yang rendah dapat membuat remaja memandang rendah kompetensi yang dimilikinya. Remaja yang belajar untuk berpikir positif akan mencari dan menumbuhkan minat terhadap hal-hal yang baru. Mereka juga akan membuat suatu tujuan dalam hidupnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, remaja akan berusaha untuk mengembangkan kompetensi yang dimilikinya. Hal ini dapat meningkatkan self esteem dan kepercayaan diri remaja. Selain itu, remaja yang belajar untuk berpikir positif akan berusaha untuk membina relasi sosial yang baik. Dari relasi sosial tersebut, remaja dapat belajar untuk membantu orang lain dalam mencapai kesejahteraannya. Dengan membantu orang lain, remaja akan merasa bahwa hidupnya berarti. Tujuan hidup dan perasaan bahwa hidupnya berarti dapat membantu remaja dalam meningkatkan kepuasan dalam aspek kehidupan lainnya (flourishing). Remaja yang memiliki pola pikir negatif akan memiliki kehidupan perasaan yang diliputi oleh emosi negatif. Emosi positif yang rendah membuat remaja kurang mengembangkan sumber daya fisik, intelektual, dan sosial. Akhirnya, remaja kurang memiliki kompetensi yang baik. Kompetensi yang kurang baik dapat menurunkan self esteem dan kepercayaan diri remaja, sehingga mereka akan mengalami kebingungan dalam membuat suatu tujuan hidup. Emosi positif yang rendah juga dapat menyebabkan remaja kurang tertarik pada kegiatan sosial. Terbatasnya aktivitas sosial membuat remaja kurang memiliki pengalaman

17 dalam membantu orang lain mencapai kesejahteraannya. Remaja akan merasa bahwa hidupnya menjadi kurang berarti. Kebingungan dalam menentukan tujuan hidup dan perasaan bahwa hidupnya kurang berarti dapat menyebabkan remaja memiliki kepuasan dalam aspek kehidupan lainnya (flourishing) yang rendah. Subjective well-being pada remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai saat mereka berada pada rentang usia sekolah dasar sangat dipengaruhi oleh faktor tujuan hidup, relasi sosial, pendapatan, dan agama (Diener, 2008). Remaja yang menemukan tujuan untuk mengubah kondisi yang terjadi padanya akan menunjukkan suatu usaha. Usaha yang dilakukan remaja untuk mencapai tujuan tersebut dapat meningkatkan kepuasan hidupnya. Remaja membutuhkan individu lain untuk saling mengasihi dan mencintai. Relasi yang ditandai oleh kepedulian dan pengertian dapat memberikan rasa aman bagi remaja, sehingga mereka tidak ragu untuk mendukung dan berbagi dengan orang lain. Dengan berelasi, remaja dapat menemukan emosi-emosi positif dan membuat kepuasan hidup (life satisfaction) serta kepuasan pada aspek kehidupan lainnya (flourishing) meningkat. Pendapatan orang tua dapat membantu remaja untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Selain itu, pendapatan yang cukup memungkinkan remaja untuk melanjutkan pendidikannya dan mengikuti kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan keahliannya. Hal ini dapat meningkatkan kepuasan hidup remaja. Agama mengajarkan individu untuk hidup dengan baik, tidak egoisme dan bertingkah laku secara moral. Ajaran agama mengenai sikap prososial dapat membuat remaja memperoleh pengalaman akan emosi positif, seperti cinta,

18 kekaguman, dan kasih sayang. Meningkatnya pengalaman akan emosi positif dapat menurunkan afek negatif yang dirasakan oleh remaja yang orang orang tuanya bercerai saat mereka berada pada usia sekolah dasar. Remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai saat mereka berada pada rentang usia sekolah dasar akan memiliki subjective wellbeing yang tinggi apabila remaja memiliki afek positif lebih dominan daripada afek negatif, serta merasa puas atas hidup (life satisfaction) dan aspek kehidupan lainnya (flourishing). Afek dikatakan dominan apabila dialami lebih sering daripada afek lainnya. Remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai saat mereka berada pada rentang usia sekolah dasar akan memiliki subjective well-being yang rendah apabila remaja yang memiliki afek negatif lebih dominan daripada afek positif, serta merasa kurang puas atas hidup (life satisfaction) dan aspek kehidupan lainnya (flourishing).

19 Faktor yang mempengaruhi: - Tujuan hidup - Relasi sosial - Pendapatan Remaja dalam Masa - Agama Emerging Adulthood yang Orang Tuanya Bercerai saat Remaja Berada dalam Rentang Usia Sekolah Dasar Mental Process Subjective Well-Being Tinggi Rendah Aspek Subjective Well-Being: - Afek Positif - Afek Negatif - Life Satisfaction - Flourishing 1.1 Bagan Kerangka Pikir 1.6 Asumsi Subjective well-being pada remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai dapat dipahami melalui aspek: afek positif, afek negatif, kepuasan hidup (life satisfaction), dan flourishing. Subjective well-being pada remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai dapat dipengaruhi oleh faktor tujuan hidup, relasi sosial, pendapatan, dan agama.