15 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di muara Sungai Citepus, Kecamatan Palabuhanratu dan muara Sungai Sukawayana, Kecamatan Cikakak, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Survei lokasi dan penetapan stasiun pengamatan dilakukan pada pertengahan Desember 2010 dan pertengahan Februari 2011. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juni 2011 dengan periode pengambilan data setiap satu bulan sekali pada keadaan bulan gelap. Sukawayana Citepus Gambar 3. Peta lokasi penelitan, memperlihatkan aliran sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Palabuhanratu. Kotak-kotak berwarna adalah lokasi pengambilan contoh 3.2 Penentuan Stasiun Di perairan Teluk Palabuhanratu terdapat beberapa muara sungai yaitu Sungai Cikeueus, Cimandiri, Citepus, Sukawayana, Cimaja, Citiis. Dalam penelitian ini, muara yang mengarah ke sungai dan muara yang mengarah ke laut baik Citepus maupun Sukawayana dijadikan sebagai lokasi untuk penelitian. Di sekitar muara
16 yang mengarah ke sungai dan muara yang mengarah ke laut tersebut masing-masing dilakukan pengambilan data larva dan juvenil ikan. 3.3 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perahu nelayan, termometer (pembacaan skala Hg) untuk mengukur suhu perairan, Global Positioning System (Lampiran 2.) untuk penentuan lokasi stasiun penelitian, kamera digital, larva net dan sirib untuk mengambil contoh larva, hand refraktometer untuk mengukur salinitas perairan, timbangan digital mikroskop, botol sampel, penggaris, baki, dan alat bedah. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah formalin 4%, alat tulis, dan buku identifikasi larva ikan. 3.4 Prosedur Penelitian 3.4.1 Pengumpulan data larva Pengambilan contoh larva dan juvenil dibagi menjadi dua lokasi yaitu di muara yang mengarah ke sungai dan muara yang mengarah ke laut. Di daerah Citepus dibagi menjadi dua lokasi yaitu muara Citepus yang mengarah ke sungai dan muara Citepus yang mengarah ke laut. Daerah Sukawayana dibagi menjadi dua lokasi pula yaitu muara Sukawayana yang mengarah ke sungai dan muara Sukawayana yang mengarah ke laut. Pengambilan contoh di muara yang mengarah ke sungai baik di muara Sungai Citepus maupun Sukawayana dilakukan pada sore hari pada pukul 15.00-18.00 WIB sedangkan pengambilan contoh di muara sungai arah laut dilakukan pada pukul 03.00-06.00 WIB. Pengambilan contoh dilakukan pada bulan gelap sekitar tanggal 25-28 berdasarkan kalender Hijriah. Tahap pertama yang dilakukan adalah penetuan titik lokasi pengambilan contoh dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) dan mendokumentasikan lokasi penelitian dengan kamera digital. Pengukuran suhu dengan menggunakan termometer secara in-situ dan pengambilan contoh air untuk pengukuran salinitas dan kekeruhan yang disimpan dibotol sampel. Pengambilan contoh larva dan juvenil dilakukan dengan menggunakan sirib. Sirib merupakan alat tangkap yang banyak digunakan untuk menangkap larva dan juvenil oleh
17 masyarakat sekitar. Jenis sirib yang digunakan berbentuk segitiga samakaki dengan panjang alas 1 meter dan panjang kaki 1,5 meter dan memiliki jaring halus dengan meshsize ± 5 mm. Selanjutnya dilakukan penyusuran dari muara sungai ke arah hulu dengan jarak ± 5 meter dan dengan penangkapan dilakukan pula dengan berdasarkan arus datang ke arah muara sungai dengan selang waktu yang digunakan adalah 30 menit. Contoh larva dan juvenil yang didapatkan dimasukkan ke dalam botol sampel lalu di awetkan dengan menggunakan formalin 4%. Penangkapan di muara yang mengarah arah laut dilakukan dengan jarak ± 1 km dari bibir pantai dan menggunakan perahu nelayan. Setelah itu, dilakukan penetuan titik pengambilan lokasi pengambilan contoh dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) dan mendokumentasikan lokasi penelitian dengan kamera digital. Setelah itu dilakukan pengukuran suhu dengan menggunakan termometer secara in-situ dan pengambilan contoh air untuk pengukuran salinitas dan kekeruhan yang disimpan ke dalam botol sampel. Penangkapan larva dan juvenil dilakukan dengan menggunakan larva net. Ada dua jenis larva net yang digunakan. Larva net yang pertama memiliki diameter 60 cm, tinggi ± 2 meter dan memiliki jaring yang kaku dengan meshsize 350-500 µmeter. Larva net yang ke- 2 merupakan modifikasi, berbentuk persegi dengan luas permukaan 1 m 2, tinggi ± 2 meter dan memiliki jaring dengan meshsize 5 mm. Setelah itu, dilakukan penyisiran perairan menggunakan perahu yang melawan arus dengan kecepatan ± 2 knot secara horizontal selama kurang lebih 10-15 menit dengan tiga hingga lima kali ulangan. Contoh larva dan juvenil yang didapatkan dimasukkan ke dalam botol sampel lalu di awetkan dengan menggunakan formalin 4%. Contoh air yang didapatkan dilakukan analisis salinitas dengan hand refraktometer dan kekeruhan dengan turbidity meter di Laboratorium Produktivitas Lingkungan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (IPB), sedangkan contoh larva dan juvenil yang didapat selanjutnya di pisihakan/sortir berdasarkan lokasi. Setelah itu, di Laboratorium Biologi Makro 1, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (IPB) dilakukan penggantian pengawet dengan alkohol 70% dan dilakukan identifikasi jenis dari larva ikan dengan menggunakan petunjuk identifikasi larva dan juvenil ikan.
18 3.4.2 Pengumpulan data parameter fisika dan kimia Pengumpulan data parameter fisika dan kimia dilakukan secara langsung di lokasi penelitian dan di laboratorium. Pengukuran data yang dilakukan secara langsung adalah suhu ( o C) dengan menggunakan termometer. Pengukuran data yang dilakukan di laboratorium antara lain kekeruhan (NTU) dengan menggunakan turbidity meter, salinitas ( ) dengan menggunakan hand refraktometer. Data arus (cm/detik) yang digunakan diperoleh dengan menggunakan data sekunder. 3.4.3 Identifikasi larva dan juvenil ikan Metode identifikasi larva dan juvenil yang digunakan adalah perpaduan antara metode seri dengan metode litetatur. Sumber pustaka Leis and Ewart (2000), Fisher and Whitehead (1974), dan Allen (1999). Identifikasi yang pertama kali dilakukan adalah dengan mengelompokkan ikan kedalam fase larva dan juvenil. Fase larva ditandai dengan tubuh yang transparan sedangkan fase juvenil ditandai dengan bentuk dan warna yang menyerupai induknya serta pada fase ini biasanya ditandai dengan kelengkapan sirip yang lengkap. Contoh larva dan juvenil yang diperoleh dilakukan pengukuran proporsi tinggi tubuh (BD) terhadap panjang tubuh (BL) larva dan juvenil. Setelah itu, dilakukan pengelompokkan berdasarkan Leis and Ewart (2000) yaitu very elongate (BD < 10% BL), elongate (BD 10-20% BL), depth moderate (BD 20-40% BL), deep to very deep (BD >400% BL). Setelah itu, identifikasi yang digunakan dengan mengamati morfologi luar, mulut, dan usus dari larva dan juvenil dengan menggunakan mikroskop. Selain itu, identifikasi juvenil dengan sumber pustaka Fisher and Whitehead (1974) dan Allen (1999) dilakukan dengan mengamati secara fisik (morfologi). 3.5 Analisis Data 3.5.1 Kekayaan spesies (Richness Index) Indeks ini digunakan untuk mengetahui banyak atau sedikitnya spesies serta konsentrasi biota dalam suatu komunitas. Brower et al. (1990) menjelaskan bahwa indeks kekayaan jenis menggambarkan ukuran dari contoh. Odum (1971)
19 menambahkan kekayaan spesies (Richness Index) dijelaskan dengan Menhinick Index dengan rumus: D : Indeks kekayaan spesies S : Jumlah spesies pada satu sampel N : Jumlah sel/ekor dari biota dalam satu spesies atau sampel 3.5.2 Kepadatan larva dan juvenil ikan Kepadatan populasi merupakan jumlah individu per satuan luas (Brower et al. 1990) dengan rumus: D : Kepadatan spesies (ind/m 2 ) n i : Jumlah total individu suatu jenis larva i (ind) A : Luas seluruh stasiun contoh (m 2 ) 3.5.3 Kelimpahan larva dan juvenil ikan Kelimpahan larva ikan menurut Romimohtarto and Juwana (1999) in Prasetyati (2004) merupakan banyaknya larva ikan per satuan luas dengan daerah pengambilan contoh, dengan rumus: N : Kelimpahan larva ikan (ind/m 3 ) n : Jumlah larva ikan (ind) V tsr : Volume air tersaring (V tsr = l x t x v) l : Luas bukaan mulut larva net (m 2 ) t : Lama waktu penarikan saringan (menit) v : Kecepatan tarikan kapal (m/menit)
20 3.5.4 Pola penyebaran larva dan juvenil ikan Brower et al. (1990) menjelaskan bahwa pola peyebaran atau distribusi dari larva dapat jelaskan dengan menggunakan Morisita Index of Dispersion dengan persamaan: I d : Indeks Morisita n : Jumlah seluruh stasiun pengambilan contoh N : Jumlah seluruh individu dalam total n X 2 : Kuadrat jumlah jenis larva per stasiun per lokasi pengambilan contoh Nilai indeks yang diperoleh dapat diinterpretasikan sebagai berikut: I d < 1, pola penyebaran larva ikan cenderung acak I d = 1, pola penyebran larva ikan cenderung seragam I d > 1, pola penyebaran larva ikan cenderung berkelompok Setelah itu, dilakukan uji stastistik, yaitu uji Chi-Square dengan persamaan: x 2 : Uji Chi-Square n : Jumlah pengamatan X 2 : Kuadrat jenis larva ikan yang ditemukan per stasiun contoh N : Jumlah seluruh individu larva ikan Nilai Chi-Square yang didapat kemudian dibandingkan dengan nilai Chi- Square dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05). Jika nilai x 2 hitung yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan nilai x 2 tabel maka tidak berbeda nyata yang berarti pola sebaran dari larva dan juvenil ikan bersifat acak. 3.5.5 Struktur komunitas larva dan juvenil ikan Komunitas larva dalam suatu ekosistem perairan terdiri dari beranekaragam jenis dengan jumlah individu yang berbeda masing-masing spesies. Menurut Basmi (1999) tiga unsur pokok dalam komunitas adalah jumlah macam spesies, jumlah individu masing-masing spesies, dan total individu dalam komunitas. Hubungan
21 ketiga komponen ini digambarkan melalui Indeks Shannon and Weaver. Odum (1971) menjelaskan rumus Indeks Keanekaragaman adalah ; dengan H : Indeks Diversitas Shannon-Wiener s : Jumlah spesies dalam komunitas larva Pi : Sebagai proporsi jenis ke-i ni : Jumlah total individu larva i N : Jumlah seluruh individu dalam total n Indeks Keseragaman digunakan untuk melihat keseragaman dari suatu komunitas (Basmi 1999). Odum (1971) menjelaskan dengan rumus dengan rumus: ; dengan E : Indeks Keseragaman H : Indeks Diversitas atau Keanekaragaman S : Jumlah spesies Struktur komunitas larva tersusun dari berbagai jenis populasi yang memiliki jumlah yang berbeda-beda. Indeks Simpson merupakan salah satu indeks untuk memperoleh infomarsi jenis larva yang mendominasi dalam perairan (Basmi 1999). Odum (1971) menjelaskan persamaan Indeks Simpson adalah: ;dengan C : Indeks Dominansi s : Jumlah spesies dalam komunitas larva Pi : Sebagai proporsi jenis ke-i ni : Jumlah total individu larva i N : Jumlah seluruh individu dalam total 3.4.5 Keterkaitan parameter lingkungan dengan larva dan juvenil ikan Keterkaitan antara pola distribusi larva ikan dengan parameter lingkungan, dapat digunakan analisis regresi linier sederhana dengan persamaan:
22 dengan: X : Parameter lingkungan Y : Kelimpahan larva dan juvenil Untuk mengetahui keterkakaitan antara faktor fisika dengan kelimpahan larva maka dilakukan analisis regresi dengan model persamaan sebagaai berikut: Dengan persamaan penduganya adalah Y : Kelimpahan larva dan juvenil x 1, x 2,, x 4 : Peubah bebas parameter fisika (suhu, salinitas, arus, kekeruhan) b 0 : Interceps b 1, b 2,, b 3 : Koefisien regresi Nilai R 2 atau koefisien determinasi (%) digunakan untuk menggambarkan seberapa besar model yang digunakan mewakili kondisi yang ada di alam. Kisaran R 2 berkisar antara 0-100%. Semakin besar kisaran koefisien determinasi maka model yang digunakan semakin mewakili kondisi di alam. Koefisien korelasi (r) digunakan untuk menggambarkan keeratan hubungan antara parameter lingkungan dengan kelimpahan larva dan juvenil. Jika nilai r < 0.5 maka hubungan antara parameter lingkungan dengan distribusi larva kurang erat. Jika nilai 0.5 r > 0.7 maka hubungan antara parameter lingkungan dengan distribusi larva erat. Jika nilai r 0.7 maka hubungan antara parameter lingkungan dengan distribusi larva sangat erat.