BAB I PENDAHULUAN. ditemukan. Terdapat sebanyak 3-5 gram besi dalam tubuh manusia dewasa

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin B 6 yang

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang, termasuk. Riskesdas, prevalensi anemia di Indonesia pada tahun 2007 adalah

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan besarnya jumlah penderita kehilangan darah akibat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Remaja adalah tahapan umur yang datang setelah masa anak anak

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan fisiknya dan perkembangan kecerdasannya juga terhambat.

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia

BAB I PENDAHULUAN. yang relatif sangat bebas, termasuk untuk memilih jenis-jenis makanan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Transfusi darah adalah salah satu praktek klinis yang umum dilakukan pada

BAB I PENDAHULUAN. populasi penduduk telah terjadi di seluruh dunia. Proporsi penduduk lanjut

Bab I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. kurang vitamin A, Gangguan Akibat kurang Iodium (GAKI) dan kurang besi

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang. kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk.

BAB I PENDAHULUAN. spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi.

HUBUNGAN ASUPAN ZAT BESI DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN KADAR FERRITIN PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 24 BULAN DI PUSKESMAS KRATONAN SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN

BAB I PENDAHULUAN. usia subur. Perdarahan menstruasi adalah pemicu paling umum. kekurangan zat besi yang dialami wanita.meski keluarnya darah saat

BAB 1 PENDAHULUAN. Palang Merah Indonesia, menyatakan bahwa kebutuhan darah di. Indonesia semakin meningkat sehingga semakin banyaklah pasokan darah

BAB 1 : PENDAHULUAN. SDKI tahun 2007 yaitu 228 kematian per kelahiran hidup. (1)

BAB 1 : PENDAHULUAN. kelompok yang paling rawan dalam berbagai aspek, salah satunya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan pertumbuhan fisik yang tidak optimal dan penurunan perkembangan. berakibat tingginya angka kesakitan dan kematian.

3. plasebo, durasi 6 bln KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan dan merupakan masalah gizi utama di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari angka normal sesuai dengan kelompok jenis kelamin dan umur.

BAB I PENDAHULUAN. makanan pada masa itu menjadi penyebab utama munculnya masalah gizi remaja

BAB 1 PENDAHULUAN. disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Ketersediaan kantong darah di Indonesia masih. sangat kurang, idealnya 2,5% dari jumlah penduduk untuk

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11)

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mencapai Indonesia Sehat dilakukan. pembangunan di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. trimester III sebesar 24,6% (Manuba, 2004). Maka dari hal itu diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) wanita dengan usia tahun

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu indikator keberhasilan layanan kesehatan di suatu

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kualitas SDM yang dapat mempengaruhi peningkatan angka kematian. sekolah dan produktivitas adalah anemia defisiensi besi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sukoharjo yang beralamatkan di jalan Jenderal Sudirman

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas, istilah. pubertas digunakan untuk menyatakan perubahan biologis.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan. perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas kerja, dan

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Dalam periode kehamilan ini ibu membutuhkan asupan makanan sumber energi

BAB I PENDAHULUAN. mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu yang akhirnya akan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tidak menular (PTM), merupakan penyakit kronik yang tidak. umumnya berkembang lambat. Empat jenis PTM utama menurut WHO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI) tahun 2010 menyebutkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Periode remaja adalah periode transisi dari anak - anak menuju dewasa, pada

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan merupakan permulaan suatu kehidupan baru. pertumbuhan janin pada seorang ibu. Ibu hamil merupakan salah satu

BAB 1 : PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat ( Public Health Problem) adalah anemia gizi.

BAB I PENDAHULUAN. generasi sebelumnya di negara ini. Masa remaja adalah masa peralihan usia

PERBEDAAN KADAR HB DALAM PEMBERIAN TABLET FE + VITAMIN C PADA REMAJA PUTRI DI KOTA BUKITTINGGI. Hasrah Murni (Poltekkes Kemenkes Padang )

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Donasi darah merupakan proses pengambilan darah. secara sukarela dari seseorang kemudian darahnya akan

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dalam sintesa hemoglobin. Mengkonsumsi tablet Fe sangat

BAB I PENDAHULUAN. Usia remaja merupakan usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Anemia

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 2, Oktober 2015 ISSN

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah gizi di Indonesia masih didominasi oleh masalah Kurang Energi

BAB I PENDAHULUAN. repository.unimus.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang. Berdasarkan Riskesdas (2013), dilaporkan bahwa angka

PERBEDAAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI SMA PEDESAAN DAN PERKOTAAN DI KABUPATEN KLATEN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar Hemoglobin (Hb) ambang menurut umur dan jenis kelamin (WHO, 2001).

BAB I PENDAHULUAN. Ketidak cukupan asupan makanan, misalnya karena mual dan muntah atau kurang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anemia merupakan keadaan berkurangnya kemampuan darah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anemia pada ibu hamil merupakan salah satu masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, masa remaja, dewasa sampai usia lanjut usia (Depkes, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. vitamin B12, yang kesemuanya berasal pada asupan yang tidak adekuat. Dari

BAB I PENDAHULUAN. sejak konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan (Manuabaet al., 2012).

ABSTRAK GAMBARAN KECUKUPAN KONSUMSI MAKANAN PADA SISWI SMP NEGERI 19 KOTA MAKASSAR TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Periode Kehamilan merupakan masa dimulainya konsepsi

BAB I. antara asupan (intake dengan kebutuhan tubuh akan makanan dan. pengaruh interaksi penyakit (infeksi). Hasil Riset Kesehatan Dasar pada

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG ANEMIA DAN KEBIASAAN MAKAN TERHADAP KADAR HEMOGLOBIN PADA REMAJA PUTRI DI ASRAMA SMA MTA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan,

BAB I PENDAHULUAN. Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi salah satu indikator penting. dalam menentukan derajat kesehatan masyatakat.

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan salah satu aset sumber daya manusia dimasa depan

HUBUNGAN ASUPAN PROTEIN, ZAT BESI DAN VITAMIN C DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA REMAJA PUTRI DI MAN 2 MODEL PALU

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN, BESI DAN VITAMIN C DENGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWI KELAS XI SMU NEGERI I NGAWI

PENDAHULUAN. dunia karena prevalensinya masih tinggi terutama di negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung dengan baik, bayi tumbuh sehat sesuai yang diharapkan dan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam tubuh, zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak ditemukan. Terdapat sebanyak 3-5 gram besi dalam tubuh manusia dewasa (Almatsier, 2009). Besi dalam tubuh terdapat pada hemoglobin, myoglobin otot, feritin, hemosiderin, serta transferrin (Geissler & Singh 2011). Kurangnya konsumsi besi, peningkatan kebutuhan, serta kehilangan darah dapat memicu defisiensi besi. Defisiensi besi yang pada tahap lanjut dapat berkembang menjadi anemia. Anemia menimbulkan perubahan fungsional yang mempengaruhi perkembangan kognitif, mekanisme imunitas, dan kapasitas kerja (Abbaspour, Hurrell, & Kelishadi, 2014). Proses donor yang baik diharapkan tidak membahayakan pendonor sehingga pendonor darah dapat kembali mendonorkan darah. Pada proses donor darah, status besi merupakan salah satu faktor pertimbangan untuk meminimalkan efek negatif setelah donor darah. Hal ini juga menjadi salah satu tahap rangkaian dalam donor hemovigilance yang mencakup seluruh proses donor darah demi keamanan darah (Benjamin, 2010). Sehingga kadar hemoglobin 12,5 mg/dl menjadi syarat dasar yang ditetapkan oleh palang merah Indonesia (PMI) bagi calon pendonor. Selain itu, terdapat pula syarat dasar berat badan minimal 50 kg dan tekanan darah normal. Proses donor darah yang berulang terbukti berhubungan negatif dengan status besi (Mittal et al. 2006; Norashikin et al. 2006). Proses donor darah mengambil darah sebanyak 425-475 ml dari tubuh dan menghilangkan besi 1

dalam tubuh sebesar 225-259 mg besi pada laki-laki dan 206-228 mg pada perempuan. Salah satu cara pemulihan kadar besi tubuh dapat dilakukan melalui asupan makanan dengan jumlah zat besi yang adekuat (Jeremiah & Koate, 2010; Mahida et al, 2008; Mittal et al., 2006). Potensi defisiensi besi dan anemia pada pendonor darah berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan asupan khususnya besi, perbedaan prevalensi defesiensi besi pada wilayah, kehilangan darah ketika menstruasi, frekuensi donor, dan konsumsi suplemen besi (Cançado & Langhi Junior, 2012). Prevalensi defisiensi besi pada pendonor darah yang meningkat juga dapat meningkatkan angka deferral donor darah. Penelitian Charles et al (2010) menunjukkan kadar hemoglobin rendah dan anemia termasuk dalam 10 penyebab deferral donor darah. Pada pendonor rutin, rendahnya hemoglobin dapat disebabkan oleh kurang sempurnanya pemulihan hemoglobin setelah darah didonasikan. Hal ini dapat berdampak pada ketersediaan darah. Di Indonesia, kebutuhan sekitar 4,5 juta kantong darah tidak tercukupi karena angka donasi yang masih berkisar 2,1 juta kantong, dari jumlah tersebut hanya 70% yang berasal dari donor sukarela (Dirjen Bina Upaya Kesehatan, 2012). Kadar hemoglobin dipengaruhi oleh jenis kelamin, jumlah asupan, penyerapan, dan penyimpanan besi dalam tubuh (Rangan et al, 1997). Salah satu cara memulihkan hemoglobin adalah mengantur konsumsi dengan tepat (Mahida, 2008). Zat besi merupakan zat gizi yang banyak berperan dalam mempengaruhi status besi dan hemoglobin. Penyerapan zat besi dalam tubuh dipengaruhi oleh adanya inhibitor berupa fitat, tannin, dan oksalat. Sedangkan zat yang membantu proses penyerapan zat besi adalah vitamin C (Almatsier, 2009). 2

Berdasarkan data tersebut, diperlukan adanya penelitian untuk mengetahui tingkat asupan pada pendonor darah serta hubungan asupan protein, zat besi, vitamin C, dan inhibitor absorpsi zat besi dengan status besi. Dengan mengetahui hubungan antara asupan dan status besi, diharapkan dapat menambah pengetahuan untuk meningkatkan hemovigilance bagi pendonor darah. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana hubungan asupan protein dengan status besi pada pendonor darah di PMI Kota Yogyakarta? 2. Bagaimana hubungan asupan zat besi dengan status besi pada pendonor darah di PMI Kota Yogyakarta? 3. Bagaimana hubungan asupan vitamin C dengan status besi pada pendonor darah di PMI Kota Yogyakarta? 4. Bagaimana hubungan asupan inhibitor penyerapan zat besi dengan status besi pada pendonor darah di PMI Kota Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan asupan pendonor darah dan status besi pada pendonor darah di PMI Kota Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui hubungan asupan protein dengan status besi pada pendonor darah di PMI Kota Yogyakarta. 3

b. Mengetahui hubungan asupan zat besi dengan status besi pada pendonor darah di PMI Kota Yogyakarta. c. Mengetahui hubungan asupan vitamin C dengan status besi pada pendonor darah di PMI Kota Yogyakarta. d. Mengetahui hubungan asupan inhibitor penyerapan zat besi dengan status besi pada pendonor darah di PMI Kota Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Menerapkan ilmu yang telah diperoleh di Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM serta menambah pengetahuan mengenai hubungan antara asupan protein, zat besi, vitamin C, dan inhibitor absorpsi zat besi dengan status besi pada pendonor di PMI Kota Yogyakarta. 2. Bagi Masyarakat Sebagai sumber informasi untuk masyarakat khususnya pendonor darah terkait protein, zat besi, vitamin C, dan inhibitor absorpsi zat besi serta status gizi. 3. Bagi Institusi/Pemerintah Sebagai sumber informasi faktor yang berkaitan dengan status besi pendonor darah terutama mengenai pengaruh konsumsi makanan terhadap status besi pendonor baru dan pendonor rutin sehingga dapat menjadi rujukan pembuatan kebijakan dan program edukasi bila dibutuhkan. 4

E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai status besi pada pendonor darah cukup banyak dilakukan. Namun, penelitian yang menghubungankan antara status besi dengan asupan protein, vitamin C, zat besi, dan inhibitor absorpsi zat besi pada pendonor darah jarang dilakukan. Terdapat penelitian yang hampir sama dengan penelitian ini yaitu, 1. Booth et al (2013) dengan judul Iron Status and Dietary Iron Intake of Female Blood Donors. Booth et al (2013) melaporkan bahwa asupan zat besi pada pendonor rutin lebih tinggi dibanding pendonor darah baru. Sebanyak 85% pendonor rutin dan 79% pendonor baru mengonsumsi zat besi dengan jumlah yang cukup. Akan tetapi, 50% pendonor darah tetap dan 34% donor baru memiliki cadangan besi yang kurang. Dalam penelitiannya, Booth et al (2013) menggunakan hemoglobin dan feritin sebagai indikator status besi. Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian Booth et al (2013) adalah jenis kelamin subjek, instrumen pengukuran konsumsi zat gizi, lokasi penelitian. 2. Khairunnisa (2014) dengan judul hubungan asupan protein, zat besi, vitamin C, dan inhibitor absorpsi zat besi dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban Wira Wredha Wirogunan, Yogyakarta. Khairunnisa (2014) melaporkan adanya hubungan yang bermakna antara asupan protein dan zat besi dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban Paguyuban Wira Wredha Wirogunan, Yogyakarta. Namun, tidak terdapat hubungan bermakna antara asupan vitamin C dan inhibitor absorpsi zat besi dengan status anemia. Persamaan dengan penelitian ini 5

adalah rancangan penelitian, variable bebas yaitu asupan protein, zat besi, vitamin C, inhibitor absorpsi zat besi, dan variabel terikat yang terkait status besi. Sedangkan hal yang membedakan adalah populasi penelitian dan indikator status besi yang digunakan. 3. Susanti (2006) dengan judul hubungan antara asupan zat besi, protein, vitamin C, dan asam folat dengan kadar hemoglobin ibu hamil di wilayah kerja puskesmas Kokap II Kabupaten Kulon Progo. Penelitian Susanti (2006) menunjukkan adanya hubungan bermakna antara asupan protein, zat besi, dan vitamin C dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil. Sedangkan asam folat dan kadar hemoglobin tidak memiliki hubungan yang bermakna. Kesamaan dengan penelitian ini adalah rancangan penelitian, variabel terikat kadar hemoglobin serta adanya variabel bebas berupa asupan protein, zat besi, dan vitamin C. Perbedaan terletak pada populasi, tambahan variabel bebas, dan pengukuran status besi yang tidak hanya diukur menggunakan kadar hemoglobin. 4. Kadarwati (2005) dengan judul hubungan asupan faktor inhibitor absorpsi zat besi (tannin, fitat, asam oksalat) dangan kadar hemoglobin pada remaja putri di SMA Kota Yogyakarta. Penelitian Kadarwati (2005) menunjukkan semakin tinggi asupan tannin, fitat, dan asam oksalat maka semakin rendah kadar hemoglobin. Namun hubungan bermakna hanya ada antara asupan fitat dan kadar hemoglobin. Kesamaan penelitian terletak pada rancangan penelitian dan beberapa variabel. Hal yang membedakan adalah populasi penelitian dan adanya penambahan variabel. 6

5. Novitasari (2005) dengan judul hubungan antara asupan faktor enhancer absorpsi zat besi (protein dan vitamin C) dengan kadar hemoglobin pada remaja putri di SMA Kota Yogyakarta. Penelitian Novitasari (2005) menunjukkan semakin tinggi asupan protein, semakin tinggi pula kadar hemoglobin. Namun, semakin rendah asupan vitamin C, semakin tinggi kadar hemoglobin. Kesamaan dengan penelitian ini adalah menghubungan faktor enhancer dengan hemoglobin. perbedaan penelitian terletak pada variabel bebas yang tidak hanya menilai asupan faktor enhancer dan subjek penelitian yang berbeda. 6. Tampubolon (2005) dengan judul hubungan asupan zat gizi dengan status besi pada remaja putri SMU di Kabupaten Jayapura. Penelitian menunjukan adanya hubungan antara asupan zat gizi yang terdiri dari protein, vitamin A, vitamin C, asam folat, zat besi, dan zinc. Status besi dinilai dengan kadar hemoglobin dan feritin. Kesamaan penelitian terletak pada variabel tergantung. Sedangkan perbedaan penelitia terletak pada subjek dan variabel bebas yang diangkat dalam penelitian. 7. Ball & Bartlett (1999) dengan judul dietary intake and iron status of Australian vegetarian women. Ball & Bartlett melaporkan konsumsi zat besi pada vegetarian tidak jauh berbeda dengan non vegetarian, namun asupan zat besi heme rendah. Vegetarian memiliki tingkat konsumsi protein yang rendah dengan konsumsi vitamin C yang tinggi. Kadar serum feritin vegetarian berbeda signifikan dengan kadar serum feritin non vegetarian dan tidak terdapat perbedaan signifikan untuk kadar hemoglobin. Kesamaan dengan 7

penelitian ini adalah menghubungkan asupan dengan status besi yang diukur dengan serum feritin dan hemoglobin. Sedangkan perbedaan penelitian terletak pada variabel bebas yang diukur dan subjek penelitian. 8