BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian, karena racun yang dihasilkan oleh kuman

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 : PENDAHULUAN. Corynebacterium Diphtheria bersifat toxin-mediated desease yang ditandai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang bertujuan untuk meningkatkan

PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI KLB DIFTERI DI KECAMATAN TANJUNG BUMI KABUPATEN BANGKALAN TAHUN 2013

BAB 1 : PENDAHULUAN. tanda-tanda awal berupa salesma disertai konjungtivitis, sedangkan tanda khas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ancaman kesehatan di negara berkembang (Jayamaha, 2011). Epidemi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Campak merupakan penyakit pernafasan yang mudah menular yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Penyakit ini tetap menjadi salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Penularan penyakit campak terjadi dari orang ke orang melalui droplet respiration

BAB I PENDAHULUAN. penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. telah menjadi masalah kesehatan internasional yang terjadi pada daerah tropis dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Di era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai paradigma

BAB I PENDAHULUAN. melawan serangan penyakit berbahaya (Anonim, 2010). Imunisasi adalah alat yang terbukti untuk mengendalikan dan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat karena menyebar dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian (Profil

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi masalah kesehatan bayi dan anak. Penyakit tersebut disebabkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Asam) positif yang sangat berpotensi menularkan penyakit ini (Depkes RI, Laporan tahunan WHO (World Health Organitation) tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

per km 2 LAMPIRAN 1 LUAS JUMLAH WILAYAH JUMLAH KABUPATEN/KOTA (km 2 )

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit ini menular dan menyebar melalui udara, apabila tidak diobati

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. suatu tindakan memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke dalam

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit campak merupakan salah satu penyebab kematian pada anak-anak di

EVALUASI/FEEDBACK KOMDAT PRIORITAS, PROFIL KESEHATAN, & SPM BIDANG KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis menular dan menahun yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat. (1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdarah Dengue (DBD). Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan dibidang kesehatan (Depkes, 2007). masyarakat dunia untuk ikut merealisasikan tercapainya Sustainable Development

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

DAFTAR ISI JATIM DALAM ANGKA TERKINI TAHUN TRIWULAN I

BAB 1 PENDAHULUAN. tinggi dan dalam waktu yang relatif singkat. Penyakit jenis ini masih

BAB I PENDAHULUAN. di kenal oleh masyarakat. Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh sub Direktorat diare, Departemen

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya wabah campak yang cukup besar. Pada tahun kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahunnya. Salah satunya Negara Indonesia yang jumlah kasus Demam

BAB I PENDAHULUAN. Turki dan beberapa Negara Eropa) beresiko terkena penyakit malaria. 1 Malaria

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara serta Pasifik Barat (Ginanjar, 2008). Berdasarkan catatan World

BAB 1 : PENDAHULUAN. utama masalah kesehatan bagi umat manusia dewasa ini. Data Organisasi Kesehatan

BAB 1 : PENDAHULUAN. satu di dunia. Data World Health Organization (WHO) tahun 2014 menunjukkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran epidemiologi..., Lila Kesuma Hairani, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penanganan terhadap beberapa penyakit yang terjadi di Kota Yogyakarta

III PEMODELAN. (Giesecke 1994)

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes spp.

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan. kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara. World Health

BAB I PENDAHULUAN. tropis. Pandangan ini berubah sejak timbulnya wabah demam dengue di

Jumlah Penduduk Jawa Timur dalam 7 (Tujuh) Tahun Terakhir Berdasarkan Data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab./Kota

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Departemen Kesehatan RI (2008) tuberkulosis merupakan

Kata Pengantar Keberhasilan pembangunan kesehatan tentu saja membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan kesehatan yang baik membutuhkan data/infor

BAB I PENDAHULUAN. serotype virus dengue adalah penyebab dari penyakit dengue. Penyakit ini

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit menular cukup tinggi dan prevalensinya meningkat karena

BAB I PENDAHULUAN. pemangku kepentingan (stakeholders) sebagaimana telah didiskusikan dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan AIDS (Acquired Immuno-Deficiency Syndrome). Virus. ibu kepada janin yang dikandungnya. HIV bersifat carrier dalam

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 69 TAHUN 2009 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan zaman saat ini yang terus maju, diperlukan suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terbesar dalam kelompok penyakit infeksi dan merupakan ancaman besar bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus. Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, dalam pasal 152

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat (Kemenkes, 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan nasional dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Asia Tenggara termasuk di Indonesia terutama pada penduduk yang

BAB 1 PENDAHULUAN. masalah kesehatan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan tantangan yang muncul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial ekonomi dan

Jumlah Penderita Baru Di Asean Tahun 2012

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki

BAB 1 : PENDAHULUAN. Upaya mewujudkan kesehatan tersebut difokuskan pada usaha promotif dan

Al Ulum Vol.54 No.4 Oktober 2012 halaman

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Upaya perbaikan kesehatan masyarakat

BAB. I Pendahuluan A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tombak pelayanan kesehatan masyarakat di pedesaan/kecamatan. pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama (Kemenkes, 2010).

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

HUBUNGAN FAKTOR PERILAKU DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BOYOLALI I

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan di setiap sudut dunia. Anak-anak menghadapi risiko paling besar untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. xvi

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 125 TAHUN 2008

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Gambaran Umum Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Timur

ANALISIS KORESPONDENSI KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR BERDASARKAN PENYEBARAN PENYAKIT ISPA

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Identifikasi Masalah Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, difteri merupakan penyakit yang sering menyebabkan kematian, karena racun yang dihasilkan oleh kuman Corynebacterium diphtheria dapat menimbulkan kerusakan jaringan di beberapa organ tubuh terutama pada jantung, ginjal, dan jaringan syaraf. Apabila mengenai jantung menimbulkan miokarditis dan payah jantung sehingga menyebabkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus dan kematian menurun dengan drastis (WHO, 2009). Difteri merupakan penyakit yang jarang terjadi, namun masih merupakan penyakit endemik pada beberapa negara di dunia. Di Amerika Serikat tahun 1980 sampai dengan 1996 terdapat 71% kasus yang menyerang usia kurang dari 14 tahun. Pada tahun 1994 terdapat lebih dari 39.000 kasus difteri dengan kematian 1100 kasus (CFR=2,82%). Sebagian besar menyerang usia lebih dari 15 tahun. Di Ekuador, Amerika Selatan pada tahun 1993-1994 terjadi ledakan kasus sebesar 200 kasus, dimana 50% dari jumlah kasus menyerang anak usia 15 tahun ke atas (Haryani, 2011). Tindakan pemberantasan kejadian difteri tersebut dapat diatasi dengan melakukan imunisasi aktif secara luas (massal) dengan Diphteria Toxoid (DT) (Chin, 2000). Difteri masih endemik di beberapa negara berkembang. South-East Asia

Region (SEARO) selalu menempati urutan pertama kasus difteri terbanyak di dunia. India merupakan negara tertinggi di SEARO dengan kasus difteri sebanyak 2.525 kasus (tahun 2012). Jumlah ini menurun dibandingkan tahun 2011 yaitu sebanyak 4.233 kasus. Sedangkan Indonesia merupakan negara tertinggi kedua setelah India dan selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dimana pada tahun 2009 sebanyak 189 kasus, tahun 2010 sebanyak 432, tahun 2011 sebanyak 806 kasus, dan 1.194 kasus pada tahun 2012 (WHO, 2013). Jumlah kasus difteri di Indonesia dibandingkan dengan negara lain dapat dilihat pada tebel 1.1 Tabel 1.1 Laporan Kasus Difteri di SEARO Tahun 2009-2013 2009 2010 2011 2012 2013 Bangladesh 23 27 11 16 1 Bhutan 0 0 0 0 0 DPR Korea 0 0 0 0 0 India 3529 3434 4233 2525 NR Indonesia 124 385 806 1194 555 Maldives 0 0 0 0 0 Myanmar 19 4 7 19 23 Nepal - NR - - NR Sri Langka 0 0 0 0 0 Thailand 14 58 29 63 20 Timor Leste 0 0 0 0 1 Total 180 474 853 1292 600 Sumber: WHO, 2013 Di Indonesia tahun 2012 difteri tersebar di 19 propinsi. Jumlah kasus terbanyak di Propinsi Jawa Timur dibandingkan propinsi lainnya dengan jumlah kasus sebanyak 955 kasus (79,5%), Propinsi Kalimantan Selatan 61 kasus (5,6%) dan Propinsi Sulawesi Selatan 49 kasus (4,5%). Perhatian khusus diberikan terhadap Propinsi Jawa Timur, karena sejak tahun 2000 mulai melaporkan kasus dengan jumlah kasus dan luas daerah yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sepanjang tahun 2012, kasus meningkat lebih dari 28 kali lipat

dibandingkan dengan tahun 2005 (Kementerian Kesehatan, 2013). gambar 1.1 Peningkatan kejadian difteri di Propinsi Jawa Timur dapat dilihat pada JML MATI JML KASUS 40 35 30 25 20 21 20 1000 37 955 900 800 700 66525 600 579 500 15 10 5 0 400 12 9 304 300 4 5 4 2 0 1 1 1 2 4 4 4 6 8 200 140 36 0 1 1 0 30 57 71 40 Gambar 1.1 Distribusi 0 23 Kejadian 20 17 Difteri 32 18 16 dan 11Jumlah 5 15 52 44 86 100 76 Kematian di Propinsi Jawa Timur 0 Tahun 1990 sampai dengan Tahun 2013 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Sedangkan peningkatan incidence rate (IR) dan case fatality rate (CFR) mulai tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 disajikan pada tabel 1.2 Tabel 1.2 Jumlah incidence rate (IR) dan case fatality rate (CFR) Tahun 2009-2013 di Propinsi Jawa Timur. Tahun Incidence Rate (IR) Case Fatality Rate (CFR) dalam % 2009 3.7 5.7 2010 7.8 6.9 2011 17.5 3 2012 25.1 3.9 2013 16.7 4.3 Sumber: Dinas kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2013. Berdasarkan tabel diatas menunjukkan difteri masih menjadi masalah kesehatan karena incidence rate (IR) dan case fatality rate (CFR) di Propinsi Jawa Timur masih tinggi. Menurut Kementerian Kesehatan (2013), jika ditemukan 1 kasus difteri di rumah sakit, puskesmas maupun masyarakat, maka wilayah

tersebut dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri. Pernyataan KLB ditetapkan sesuai dengan Permenkes 1501 tahun 2010. Pemerintah Propinsi Jawa Timur menetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri pada 9 Oktober 2011 dengan dasar hukum pernyataan oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. Penetapan status KLB dilakukan karena penyebaran kasus difteri sudah meluas di seluruh kabupaten/kota Jawa Timur (Steven, 2012). Sebaran kasus difteri dapat dilihat pada gambar 1.2 Gambar 1.2 Sebaran Kasus Difteri di Propinsi Jawa Timur Tahun 2011 sampai dengan Tahun 2013. Berdasarkan gambar 1.2 dapat diketahui bahwa tahun 2011, 2012, dan tahun 2013 seluruh kabupaten/kota telah terjangkiti penyakit difteri. Kejadian difteri bermula pada saat terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di Kecamatan Tanah

Merah Kabupaten Bangkalan Tahun 2005, yang menyebabkan penyebaran semakin meluas ke kabupaten/kota yang lain. Tahun 2006 (17 kabupaten/kota), tahun 2007 (17 kabupaten/kota), tahun 2008 (20 kabupaten/kota), tahun 2009 (24 kabupaten/kota), tahun 2010 (31 kabupaten/kota) (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2013). Pada tahun 2013 Kabupaten Bangkalan merupakan penyumbang terbesar kedua kasus difteri setelah kota surabaya, yaitu sebanyak 76 kasus dengan 4 kasus meninggal (CFR=5,3%). Jumlah kasus difteri di Kabupaten Bangkalan cenderung meningkat setiap tahunnya. Tahun 2009 sebanyak 4 kasus (CFR=25%), tahun 2010 sebanyak 27 kasus (CFR=7,4%), tahun 2011 sebanyak 35 kasus (11,4%), tahun 2012 sebanyak 69 kasus (CFR=5,8%) (Dinas kesehatan Kabupaten Bangkalan, 2013). Sebaran difteri di Kabupaten Bangkalan dapat dilihat pada gambar 1.3 10 3 20 6 5 2 3 5 2 3 1 1 4 2 6 3 Gambar 1.3 Sebaran Kasus difteri di Kabupaten Bangkalan Tahun 2013.

Berdasarkan gambar 1.3 diketahui bahwa sebaran kasus difteri tahun 2013 sudah meluas hampir seluruh kecamatan, kecuali Kecamatan Konang, Kecamatan Kokop dan Kecamatan Tragah. Dimana kasus tertinggi terjadi di Kecamatan Tanjung Bumi yaitu sebanyak 20 kasus dan Kecamatan Klampis sebanyak 10 kasus difteri. Sedangkan berdasarkan pengelompokan umur, baik tingkat Propinsi Jawa Timur maupun Kabupaten Bangkalan, sebagian besar kasus difteri terjadi pada kelompok usia 15 tahun, yang dapat dilihat pada gambar 1.4 dan 1.5 Gambar 1.4 Distribusi Kejadian Difteri Berdasarkan Kelompok Umur di Propinsi Jawa Timur Tahun 2005-2013. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 10 10 80 50 50 0 0 0 0 75 25 28 24 32 26 16 20 7 8 Gambar 1.5 Distribusi Kejadian Difteri Berdasarkan Kelompok Umur di Kabupaten Bangkalan Tahun 2007-2013. 40 14 57 58 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 12 24 18 16 15 th 10-14 th 5-9 th 1-4 th < 1 th

Menurut Dittmann et al., (1998) menyebutkan bahwa di beberapa negara berkembang sebagian besar terjadi pada kelompok dewasa, hal ini terjadi akibat penurunan imunitas dari waktu ke waktu. Menurut Perkins et al., (2010) difteri dapat terjadi terhadap anak-anak dan orang dewasa dengan status imunisasi yang tidak lengkap. Menurut Fredlund et al., (2011) bahwa tingkat kepatuhan terhadap program vaksinasi anak adalah cara yang paling efektif untuk melindungi populasi terhadap kejadian difteri. Upaya menekan kasus difteri, Propinsi Jawa Timur melakukan vaksinasi massal atau kegiatan Sub PIN. Hal ini untuk meningkatkan cakupan imunisasi dasar pada bayi dengan vaksin DPT+HB. Vaksin tersebut diberikan 3 kali yakni pada usia 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan. Selain itu karena terjadi lonjakan kasus pada usia sekolah maka imunisasi tambahan DPT dan DT juga diberikan sesuai umur sampai usia 15 tahun. Hasil kegiatan Sub PIN Propinsi Jawa Timur pada kelompok umur >2-36 bulan cakupan DPT-HB mencapai 96,95%, kelompok umur >3-7 tahun cakupan DT mencapai 97,62%, kelompok umur >7-15 tahun cakupan Td mencapai 97,98%. Sedangkan persentase puskesmas dan desa yang yang mencapai target minimal (>95%) dapat dilihat pada tabel 1.3 Tabel 1.3 Hasil Sub PIN Difteri Berdasarkan Jumlah Puskesmas, Jumlah Desa yang Mencapai Target Minimal Di 19 Kabupaten/Kota dan Kabupaten Bangkalan Di Jawa Timur Tahun 2013 SUB PIN % Puskesmas Mencapai Target Minimal (>=95%) % Desa Mencapai Target Minimal (>=95%) % Kab. Bangkalan Mencapai Target Minimal (>=95%) Putaran 1 87,04 74,74 97,6 Putaran 2 82,65 73,65 Putaran 3 56,97 79,75 Sumber: Dinas kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2013. 92,6 96,0

Sub PIN dilakukan pada 19 Kabupaten/Kota yaitu Surabaya, Sidoarjo, Kabupaten dan Kota Pasuruan, Kabupaten dan Kota Mojokerto, Kabupaten dan Kota Madiun, Kabupaten dan Kota Probolinggo, Bangkalan, Sampang, Sumenep, Pamekasan, Jombang, Jember, Banyuwangi Situbondo, Bondowoso. Sembilan belas daerah ini merupakan daerah dengan jumlah kasus difteri terbanyak, dimana Propinsi Jawa Timur harus mengeluarkan anggaran kurang lebih 10 Milyar rupiah setiap kegiatan Sub Pin (Dinas Kesehatan Propinsi Jatim, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri yang terjadi di Propinsi Jawa Timur, tidak hanya memberikan dampak terhadap masalah kesehatan tetapi juga berdampak terhadap masalah non kesehatan yaitu kerugian sosial ekonomi. Oleh karena itu, upaya penanggulangan diharapkan dapat menghentikan KLB difteri dan tidak lagi menjadi masalah pada masa yang akan datang. Upaya penaggulangan tidak hanya terbatas melakukan kegiatan imunisasi massal, tetapi juga harus berpikir secara retrospektif. Menurut Achmadi (2008) berpikir secara retrospektif adalah upaya penanggulangan KLB dengan mencari faktor risiko yang menyebabkan timbulnya penyakit. Hasil penelitian Vensya (2002) di Cianjur, faktor risiko lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian difteri adalah kepadatan hunian dan sumber penularan. Menurut Setiasih (2011) di Kota Surabaya, perilaku merupakan faktor paling dominan terhadap kejadian difteri. Menurut Lestari (2012) di Kabupaten Sidoarjo diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian difteri. Hasil kegiatan residensi tentang kejadian difteri tahun 2009-2013 di Kabupaten Bangkalan yang dilakukan oleh mahasiswa biostatistika

pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (2013), menunjukkan bahwa kontak langsung, daerah risiko (desa terpapar), mobilitas dengan indikator transportasi melalui jalan propinsi, kepadatan hunian berpengaruh terhadap kejadian difteri. 1.2 Kajian Masalah Hasil Kegiatan Sub PIN yang dilakukan di Kabupaten Bangkalan pada putaran 1 mencapai 97,6%, putaran 2 mencapai 92,6% dan putaran 3 mencapai 96%. Hal ini memberikan dampak terhadap peningkatan imunitas dari waktu ke waktu. Meningkatnya imunitas pada kelompok usia di bawah 15 tahun, menyebabkan pergeseran usia kejadian difteri atau meningkatnya proporsi kasus difteri pada usia remaja dan dewasa. Menurut Galazka (2000) pergeseran distribusi usia kasus difteri dapat dijelaskan oleh dampak imunisasi massal yang dilakukan pada anak-anak usia kurang dari 15 tahun. Namun data historis menunjukkan bahwa pergeseran dari penyakit difteri untuk usia tua dimulai sebelum imunisasi diperkenalkan. Transmisi penularan kejadian difteri tidak hanya dipengaruhi oleh kerentanan dan kekebalan populasi. Peneliti ingin mempelajari dinamika penularan kejadian difteri di Kabupaten Bangkalan. Dinamika penularan dapat meggunakan Model SEIR yaitu proporsi individu yang rentan terhadap infeksi (Susceptible), proporsi masyarakat yang terpapar agen infeksi (Exposed), proporsi yang benar-benar terinfeksi (Infection) dan mereka yang berpindah dari populasi (Recovered) (Susanna, 2005). Sehingga dengan mempelajari dinamika penularan

dapat memperoleh informasi berdasarkan kajian epidemiologi yaitu menggambarkan kasus berdasarkan orang (siapa yang menjadi sumber penularan, interaksi epidemiologis antara kasus yang satu dengan yang lain), waktu (masa penularan), dan tempat (pola sebaran kasus difteri secara geografis dan identifikasi daerah risiko). Menurut Chin (2000), Kontak langsung dengan orang yang sakit difteri dapat menjadi carrier (orang yang terinfeksi dengan Corynebacterium diphteriae yang tidak memiliki gejala-gejala penyakit dan merupakan sumber penularan potensial). Oleh karena itu perlu dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kontak positif difteri. Menurut Kementrian Kesehatan (2013) wilayah dengan kondisi sosial dan budaya yang spesifik terkait dengan Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri adalah adanya hubungan kekerabatan/aktivitas ekonomi yang erat dengan masyarakat daerah lain yang sedang mengalami KLB difteri. Hal ini dipengaruhi oleh faktor mobilitas penduduk. Menurut Depkes (2009), kemiskinan menjadi mata rantai yang sulit terputus karena kemampuan daya beli mereka dalam memenuhi kebutuhan makanan mempengaruhi pola konsumsi, akses pelayanan kesehatan, pendidikan yang kurang memadai dan perilaku yang kurang sehat sehingga mengakibatkan seseorang rentan terhadap penyakit infeksi. Dari faktor lingkungan, luas lantai bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuni di dalam bangunan tersebut akan menyebabkan kepadatan yang berlebih. Hal ini tidak sesuai dengan standar kesehatan, karena menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen dalam ruangan, disamping itu apabila ada anggota keluarga yang terinfeksi penyakit dan

terjadi kontak langsung maka lebih mudah menularkan terhadap anggota keluarga lainnya. Faktor lingkungan yang lain seperti kepadatan lingkungan dan kelembaban ruangan serta variabel status ekonomi tidak dijadikan sebagai variabel yang diteliti, karena hasil penelitian yang dilakukan oleh Utama (2012) tentang determinan kejadian difteri klinis di Kabupaten Bangkalan pasca sub pin difteri, menunjukkan bahwa veriabel tersebut tidak berpengaruh terhadap kejadian difteri sehingga peneliti tidak melakukan pengendalian terhadap veriabel tersebut. Variabel status imunisasi merupakan faktor yang paling dominan terjadinya difteri, namun tidak dijadikan sebagai variabel yang diteliti karena yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah penderita difteri >15 tahun sehingga catatan imunisasi tidak ada dan sulit diukur validitasnya. 1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana dinamika penularan kejadian difteri klinis dan apakah yang menjadi faktor determinan kejadian difteri klinis di Kabupaten Bangkalan? 1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan umum Mempelajari dinamika penularan kejadian difteri klinis dan menganalisis faktor determinan kejadian difteri klinis di Kabupaten Bangkalan.

1.4.2 Tujuan khusus 1. Menggambarkan karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan dan pekerjaan terhadap kejadian difteri klinis. 2. Menggambarkan pola konsumsi makan responden. 3. Mempelajari interaksi epidemiologis antara kasus difteri klinis yang satu dengan kasus difteri klinis lainnya. 4. Menghitung rata-rata masa penularan kejadian difteri klinis. 5. Mempelajari pola sebaran kejadian difteri klinis 6. Mengidentifikasi daerah risiko kejadian difteri klinis berdasarkan tingkat desa. 7. Menganalisis pengaruh sumber penularan, kontak, perilaku, mobilitas, dan kepadatan hunian terhadap kejadian difteri klinis. 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Program surveilans difetri Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan Dengan mengetahui dinamika penularan dan determinan kejadian difteri dapat memudahkan kegiatan penanggulangan dan pemutusan mata rantai penularan penyakit difteri. 1.5.2 Masyarakat Memperoleh informasi tentang daerah risiko kejadian difteri yang harus diwaspadai serta meningkatkan motivasi masyarakat untuk meminimalisir faktor risiko KLB difteri.

1.5.3 Peneliti Menerapkan secara langsung dalam mempelajari dinamika penularan, pemetaan dan menganalisis faktor risiko kejadian difteri.