Bagian Satu: Masa Pencarian Cahaya Brrrrrr... Udara pagi itu terasa begitu dingin. Rasa dinginnya menelusup sampai ke dalam tulang. Kata orang Jawa, ini namanya musim mbedhidhing, yaitu musim puncak kemarau dengan kondisi cuaca begitu panas saat siang hari, namun terasa begitu dingin pada malam hari. Queensa masih terlihat begitu malas beranjak dari tempat tidur sambil meringkuk di bawah selimut tebalnya. Ia ingin sekali melanjutkan tidurnya kembali setelah menunaikan Shalat Subuh tadi. Akan tetapi, Queensa sadar, hari ini adalah hari pertama ujian sekolah. Ia harus segera mandi untuk berangkat ke sekolah jika tak mau terlambat datang. Selesai mandi, ia bergegas menyelesaikan semua persiapan sekolahnya. Pensil dan penghapus sudah siap. Kartu ujian juga sudah siap. Semuanya sudah beres. Selanjutnya, ia melangkahkan kaki menuju ke meja makan. Ia Belahan Jiwa Queensa 7
menyantap sarapan yang telah terhidang di meja tersebut dengan buru-buru. Ibu, mana ibu, Pak? tanya Queensa setengah berteriak. Ngalor, jawab bapaknya sambil berusaha mengeraskan suara. Suara bapak memang sebenarnya lirih, tidak seperti kebanyakan orang-orang pesisir pantai. Queensa mengarahkan pandangan ke bapaknya yang sedang menyapu daun-daun mangga yang berserakan di halaman belakang. Sejak memilih pensiun, bapak memang lebih banyak berkebun dan membersihkan halaman sebagai aktivitas kesehariannya. Queensa menatap bapaknya dengan kagum. Di satu sisi, ia gamang karena waktu terus berjalan sementara itu ibunya tak kunjung datang juga dari pasar. Duh, Ibu kok lama ya? gerutu Queensa kemudian. Queensa begitu khawatir telat berangkat ke sekolah kali ini karena ia harus menghadapi ujian. Ini bukan kali pertama sebelum ke sekolah ia harus menunggu ibunya terlebih dahulu. Mengapa? Jika mereka tidak punya persediaan uang, ia memang harus menunggu terlebih dahulu hasil jualan daun pisang sang ibu untuk uang sakunya berangkat ke sekolah. Akhirnya Queensa duduk termenung di teras depan sambil menatap jalan raya Surabaya Semarang dengan mobil yang tengah lalu lalang. Hanya pada pagi hari saja suasana jalan begitu ramai, karena banyak mobil pengangkut anak-anak sekolah yang tengah mencari rezeki. Jalan besar depan rumah mereka memang Belahan Jiwa Queensa 8
cenderung sepi, kecuali pada saat berangkat dan pulang sekolah seperti ini. Queensa berharap sosok ibunya segera muncul di gang depan rumah sambil membawa uang saku yang dia butuhkan. Tiba-tiba teman sekelasnya lewat, namanya Inayah. Ia tengah dibonceng sama Anwar, kakak kelas mereka. Menurut kabar, Inayah yang berkulit putih dan bertubuh mungil nan cantik itu memang baru saja ditembak oleh Anwar, sang Don Juan di sekolah. Tiba-tiba saja ada rasa cemburu menjalar di hati Queensa, Enak ya jadi Inayah, bertakdir cantik secara fisik. Sedangkan dirinya? Semakin membandingkan dirinya dengan mereka-mereka itu membuat Queensa semakin merasa nelangsa dan tak pede dengan apa yang ada di dirinya. Mbak Queen, ayo! teriakan dari suara yang begitu familiar di telinga Queensa itu segera menyadarkannya dari lamunan. Sik Mas, aku masih nunggu ibu. Tinggal wae! jawabnya setengah berteriak. Yo wis, jawab kernet itu kencang sekali. Memang Queensa sering kali ikut bersama Bang Mat dan Genduk, pasangan sopir dan kernet yang rumahnya tak jauh dari rumah Queensa. Sejak kelas satu SMP, Queensa sering berangkat bersama mereka. Queensa sering kali bernasib mujur, jika penumpang di mobil sedang tidak penuh, ia mendapat jatah gratisan dari mereka. Mungkin karena anak mantan kepala desa yang bapaknya begitu dicintai oleh masyarakat, sehingga gratisan itu adalah salah satu bentuk implementasi cinta mereka kepada Belahan Jiwa Queensa 9
mantan pemimpin desa. Mobil Bang Mat berlalu. Lagu yang diputar oleh tetangganya itu masih terdengar sangat jelas. Duh duh aduh Jamilah gadis ayu anak pak lurah aduh manisnya... dia pandai berdandan dia cantik sekali dia juga pandai mengaji Sekalipun ia adalah anak seorang mantan kepala desa, ia tak merasa kondisinya seperti layaknya lagu Jamilah yang diputar oleh tetangganya itu. Ugh, ternyata aku tidak seperti Jamilah. Andai aku Jamilah, pasti sudah dijemput Anwar dan nggak perlu nunggu ibu memberi uang saku kayak gini, Queensa bergumam sendiri. Maaf ya Nduk, ibu suwi. Ngenteni Yu Ngatmi teko kulakan soko pasar, suara ibu yang begitu merdu berhasil membuyarkan lamunannya. Queensa tidak tega menatap wajah ibunya yang ngos-ngosan dan tergopoh-gopoh. Injih Bu, mboten nopo-nopo, katanya sambil mencium tangan ibu tercintanya itu untuk berpamitan. Ia menyeberangi jalan, tepat saat sebuah mobil angkutan umum menuju ke sekolahnya melintas di seberang jalan. Alhamdulillah, semoga nggak terlalu telat, gumamnya. Bel sekolah berbunyi bersamaan dengan langkah kaki Queensa yang turun dari mobil. Sepi. Tidak ada lagi siswa yang masih lalu lalang di halaman sekolah. Queensa segera berlari menuju ruang ujian dan bangku yang harus ia duduki. Kedatangan Belahan Jiwa Queensa 10
Queensa disambut dengan senyuman oleh para sahabatnya yang telah duduk manis di bangkunya masing-masing. Mereka sangat maklum tiap kali melihat Queensa langganan datang terlambat ke sekolah. Queensa membalas senyuman mereka dan mengempaskan tubuhnya di bangku sesuai nomor yang harus ia duduki. Sejurus kemudian Pak Sunhadi masuk dan membagikan soal serta lembar jawaban ujian. Queensa begitu bahagia bisa menghabiskan waktu bersekolahnya di sana. Ia merasakan masa muda yang indah dan penuh warna di SMP Negeri I Tambakboyo itu. Bertolak belakang dengan hal itu, masih ada satu kegundahan yang masih ia simpan rapat-rapat. Ia tidak berani curhat tentang hal itu kepada siapa pun juga, termasuk kepada para sahabat baiknya. Apakah itu? Ia menyimpan gundah gulana karena sampai dengan lulus SMP, dialah satu-satunya anak gadis yang tidak dilirik oleh lelaki. Teman se-geng-nya semua sudah pernah didekati oleh lelaki. Sebenarnya dia juga pernah sih, tapi cuma sekali. Namanya Mico, beretnis Tionghoa. Bukan masalah Tionghoanya, tapi Mico sudah lulus SMA, dan masih pengangguran pula, sedangkan dia? Masih SMP. Itu pun prosesnya tak sekeren teman-teman se-gengnya yang ditembak pacarnya dengan cara yang dijemput di sekolah, kemudian diajak minum es kelapa muda di pantai sampai senja hari, atau dengan cara-cara lain yang menurutnya luar biasa. Satu-satunya yang ia terima dari Mico adalah dua lembar surat cinta. Hanya sekali pula. Itu saja sudah cukup membuat hatinya berbunga-bunga. Sebenarnya bisa jadi Queensa juga salah, mengapa surat Mico tak dibalasnya saat itu. Mungkin kalau dibalas, Belahan Jiwa Queensa 11