BAB II. A. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. kewajiban-kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia itu.

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5

HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB I PENDAHULUAN. begitu besar meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

LEMBARAN-NEGARA Republik Indonesia No.42 Tahun 1996

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB III KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA. Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN diberlakukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak

BAB II TINJAUAN UMUM AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN, SERTIPIKAT HAK TANGGUNGAN DAN OVERMACHT

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract)

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR PENERIMA JAMINAN HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH. Oleh Rizki Kurniawan

KAJIAN YURIDIS PERALIHAN HAK ATAS TANAH WARISAN YANG SEDANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN JULIA FRANCISKA ABSTRACT

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

BAB II PROSES PERALIHAN OBJEK WARISAN SECARA AB INTESTATO BILA DI TINJAU DARI HUKUM PERDATA

BAB II. A. Tinjauan Umum Hak Tanggungan. 1. Pengertian Hak Tanggungan. Pengertian Hak Tanggungan secara yuridis yang diatur dalam ketentuan Pasal

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

PENERAPAN LEGITIME FORTIE (BAGIAN MUTLAK) DALAM PEMBAGIAN WARISAN MENURUT KUH PERDATA. SULIH RUDITO / D

Sertifikat hak guna..., Fransiska KrisnaniBudi Utami, FH UI, Universitas Indonesia

AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016. PROSES PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN Oleh : Naomi Meriam Walewangko 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) YANG BERSIFAT KHUSUS DAN UNDANG-

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

PRINSIP=PRINSIP HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. hutang menggunakan kelembagaan jaminan hipotik, karena pada waktu itu hak

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam rangka memelihara

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF. Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai

BAB II UPAYA HUKUM KREDITOR ATAS KELALAIAN MEMPERPANJANG HAK ATAS TANAH YANG DIAGUNKAN

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

Mengenai Hak Tanggungan. Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah

TINJAUAN YURIDIS AHLI AHLI WARIS AB INTESTATO MENURUT HUKUM PERDATA

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB 2 TINJAUAN UMUM MENGENAI LEMBAGA JAMINAN HAK TANGGUNGAN. A. Jaminan Kredit Dengan Menggunakan Hak Tanggungan

BAB II PROSES PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN ATAS OBJEK HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

Hak Tanggungan. Oleh: Agus S. Primasta 2

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGATURAN HUKUM HAK TANGGUNGAN. Tanggungan diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. 16 Hak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. E. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Tanggungan

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahun akan menimbulkan berbagai macam problema. Salah satunya

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR ATAS JAMINAN SERTIFIKAT HAK GUNA BANGUNAN YANG BERDIRI DI ATAS HAK PENGELOLAAN

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB I PENDAHULUAN. usaha dan pemenuhan kebutuhan taraf hidup. Maka dari itu anggota masyarakat

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Administratum, Vol. V/No. 9/Nov/2017. PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN ATAS PEMILIKAN RUMAH OLEH ORANG ASING DI INDONESIA 1 Oleh: Winerungan Julio 2

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Diskusi Mata Kuliah Gemar Belajar Perjanjian dan Waris

BAB 2. Tinjauan Tentang Hak Tanggungan Pengertian Hak Tanggungan dan Dasar Hukumnya

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN

Waris Menurut BW Bab I Pendahuluan

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN PADA PT. BANK. MANDIRI (PERSERO) Tbk. BANDAR LAMPUNG. Disusun Oleh : Fika Mafda Mutiara, SH.

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. A. Pemberian Hak Tanggungan dan Ruang Lingkupnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, baik materiil maupun spiritual. Salah satu cara untuk meningkatkan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB III PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN DENGAN SURAT KUASA YANG DIBERIKAN OLEH ORANG YANG BELUM MERUPAKAN PEMILIK SAH OBJEK HAK TANGGUNGAN TERSEBUT

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

*35279 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 24 TAHUN 1997 (24/1997) TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

Pengertian Perjanjian Kredit

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

Lex Crimen Vol. V/No. 7/Sep/2016

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam. rangka upaya peningkatan pembangunan nasional yang bertitik berat

TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara)

BAB 2 TEORI UMUM HAK TANGGUNGAN

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

Transkripsi:

25 BAB II PENGATURAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH WARISAN YANG SEDANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN MENURUT KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA DAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH A. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hukum Waris merupakan bagian dari hukum kekeluargaan, memegang peranan penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat itu. Hal ini disebabkan hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa yang sangat penting dalam hidupnya yang merupakan peristiwa hukum dan lazim disebut meninggal dunia. Meninggalnya seseorang menimbulkan akibat hukum, tentang bagaimana kelanjutan pengurusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia itu. Penyelesaian dan pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang sebagai akibat adanya peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang diatur oleh Hukum Waris. Hukum Waris itu dapat dikatakan sebagai himpunan dan Peraturan-Peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia oleh ahli waris atau badan hukum lainnya. 42 Hukum Waris itu memuat Peraturan-Peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang atau harta benda kepada 42 M, Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Kewarisan Islam dan Kewarisan Menurut HukumPerdata (BW),Jakarta, 1993, hlm.3 25

26 keturunannya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli warisnya dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia. 43 Istilah Hukum Waris diatas mengandung suatu pengertian yang mencakup kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur proses beralihnya harta benda dan hakhak serta kewajiban-kewjiban setiap orang yang meninggal dunia, tetapi ada juga hak dan kewajiban yang tidak dapat diwariskan kepada ahli warisnya yaitu hak dan kewajiban seorang laki-laki selaku ayah maupun selaku suami terhadap istri maupun anak-anaknya. selain itu pula hak dan kewajiban seseorang sebagai anggota dari suatu organisasi atau perkumpulan sosial maupun perkumpulan-perkumpulan komersial yang hanya bertujuan untuk mencari keuntungan belaka. Menurut Pasal 830 KUHPerdata dikatakan bahwa : Pewaris hanya terjadi atau berlangsung dengan adanya kematian. Kematian seseorang dalam hal ini orang yang meninggal dengan meninggalkan harta kekayaan merupakan unsur yang mutlak untuk adanya pewarisan, karena dengan adanya kematian seseorang maka pada saat itu pula mulailah harta warisan itu dapat dibuka atau dibagikan. Pada saat itu pula para ahli waris sudah dapat menentukan haknya untuk diadakan pembagian warisan, maka seluruh aktiva atau seluruh harta kekayaanya maupun seluruh pasiva atau seluruh hutang-hutangnya secara otomatis akan jatuh/beralih kepada ahli waris yang ada. 43 Abdulkadir Muhammad, Hukum Waris, Gema Insani Pers, Bandung.1990, hal 250

27 Ketentuan Pasal 584 KUHPerdata, mengandung makna bahwa pewarisan merupakan salah satu cara yang ditentukan untuk memperoleh Hak Milik, dan karena Hak Milik merupakan salah satu unsur pokok daripada benda, maka Hukum Waris diatur dalam Buku II KUHPerdata bersama-sama dengan pengaturan tentang benda yang lain. Pandangan bahwa pewarisan adalah cara untuk memperoleh Hak Milik sebenarnya terlalu sempit dan dapat menimbulkan salah pengertian, karena yang berpindah dalam pewarisan bukan hanya Hak Milik saja, tetapi juga hak-hak kebendaan yang lain (hak kekayaan) dan disamping itu juga kewajiban-kewajiban yang termasuk dalam Hukum Kekayaan. 44 Dimasukkannya Peraturan-Peraturan mengenai pewarisan di dalam Buku II KUHPerdata didasarkan atas anggapan, bahwa pewarisan merupakan salah satu cara untuk memperoleh Hak Milik. Namun harus diingat, bahwa yang berpindah berdasarkan pewarisan tidak hanya Hak Milik, tetapi juga hak-hak erfpacht, hak tagihan, bahkan tidak hanya hak-hak dalam lapangan hukum kekayaan, tetapi juga hak-hak tertentu yang berasal dari hubungan hukum kekeluargaan dan disamping itu juga turut beralih semua kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan. Sistem Hukum Waris Perdata, yaitu menganut : 1. sistem pribadi : ahli waris adalah perseorangan, bukan kelompok ahli waris; 2. sistem bilateral : mewaris dari pihak ibu maupun bapak; 44 E.M.Meijers, seri Asser, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands Burgelijkreht,Jilid ke-empat Erfrecht cetakan ke lima, PT. Citra Aditya Utama, Jakarta. 1985, hal.2.

28 3. sistem perderajatan :ahli waris yang derajatnya lebih dekat dengan si pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya. 45 Penggolongan ahli waris menurut KUHPerdata: 46 1. Golongan I terdiri dari : a. anak-anak atau sekalian keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata). Maksud sebutan anak disini adalah anak sah, yaitu anak yang sedarah dengan pewaris yang mempunyai hak yang sama besarnya dengan anak yang sedarah lainnya baik dari perkawinan dahulu maupun perkawinan yang sekarang (Pasal 852 ayat 2), maupun anak yang disahkan (Pasal 277 KUHPerdata) dan anak yang diadoptie secara sah, b. suami/istri yang hidup lebih lama. Adapun besarnya hak bagian seorang suami/istri atas warisan pewaris ditentukan sebesar bagian satu orang anak. Pada prinsipnya ahli waris harus mempunyai hubungan darah dengan pewaris, baik sah maupun tidak sah yang diakui sebelum terjadinya perkawinan yang sekarang. 2. Golongan II, terdiri dari : a. ayah dan ibu mewaris bersama saudara (Pasal 854 ayat 1). Apabila pewaris tidak memiliki keturunan maupun suami / istri sedangkan ayah dan ibunya serta saudara dari pewaris masih hidup. Dengan kata lain pewaris tidak meninggalkan ahli waris golongan I, 45 Effendi Perangin, SH, Hukum Waris, PT.Rajagrafindo Persada, Jakarta 2005, hal 4. 46 Ibid, hal 7

29 b. ayah atau ibu mewaris dengan saudara (Pasal 855). Apabila pewaris tidak memiliki keturunan, suami / istri maupun ibu atau ayah sedangkan ayah atau ibunya serta saudaranya masih hidup, maka ayah atau ibu yang hidup terlama beserta saudara pewaris yang menjadi ahli waris, c. saudara-saudara sebagai ahli waris (Pasal 856). Apabila pewaris tidak memiliki keturunan, suami / istri, ibu dan ayah, maka saudara-saudara dari pewaris yang menjadi ahli waris, 3. Golongan III, terdiri dari: setelah ahli waris golongan I dan golongan II tidak ada lagi, maka muncullah ahli waris golongan III (keluarga sedarah dalam garis ayah dan ibu lurus ke atas), yaitu kakek dan nenek baik dari ayah maupun ibu (Pasal 853). 4. Golongan IV, terdiri dari: ahli waris golongan IV muncul jika ahli waris golongan II dan golongan III tidak ada. Golongan IV merupakan sanak saudara dalam garis yang lain yang masih hidup. Dapat disimpulkan bahwa keluarga dalam garis lurus keatas baik dari ayah maupun ibu (Pasal 858). Sanak saudara dalam garis yang lain itu adalah keturunan dari paman dan bibi yang telah meninggal terlebih dahulu.

30 Ahli waris memiliki tanggung jawab untuk melunasi hutang-hutang yang ditinggalkan pewaris, baik hutang-hutang yang sudah ada pada saat pewaris meninggal dan hutang-hutang yang timbul sehubungan dengan kematian pewaris. Adapun kematian yang dimaksud dalam pasal 830 KUHPerdata ini masih bisa diartikan dalam pengertian yang sangat luas, karena kematian itu sendiri dibedakan menjadi 2 (dua) bagian,yaitu : a. Kematian yang didasarkan pada kenyataan pengertian kematian ini dalam bahasa sehari-hari diartikan bahwa pada saat seseorang menghembuskan nafasnya yang penghabisan maupun dengan berhenti detaknya jantung seseorang, maka saat itulah yang dinamakan kematian berdasarkan kenyataan. b. Kematian yang didasarkan atas adanya dugaan hukum. Pengertian kematian itu didasarkan dengan ketidakhadiran seseorang pada keadaan tertentu dan waktu tertentu pula. Untuk menentukan bahwa seseorang telah meninggal dunia berdasarkan dugaan hukum, maka jalan yang harus ditempuh yaitu pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal ini para ahli waris dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri agar Pengadilan Negeri menetapkan dugaan bahwa orang tersebut barang kali sudah meninggal dunia. Harta warisan adalah sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan passiva. Menurut ketentuan Undang-Undang hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum

31 meninggalkan harta kekayaanlah yang dapat diwarisi oleh para ahli waris, tetapi ketentuan ini masih memiliki pengecualian-pengecualian. Ada juga beberapa hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terletak dalam hukum kebendaan atau dalam hukum perjanjian sekalipun mempunyai nilai sebagai harta kekayaan tidak ikut beralih kepada para ahli waris. Hak-hak itu sebagai berikut: 47 a. Hak menarik hasil. Adalah hak yang diberikan seseorang kepada orang lain untuk menarik hasil dari benda atau barang di pemberi hak tersebut. Hak yang bersifat pribadi sehingga dengan meninggalnya orang yang diberi hak itu hapuslah haknya itu dan barang itu kembali kepada si pemberi. Orang yang diberi hak menarik hasil tidak bisa mewariskan haknya kepada ahli warisnya. b. Dalam perjanjian perburuhan untuk melakukan suatu pekerjaan dengan tenaga sendiri. Misalnya seseorang mendapat pesanan untuk melukis sesuatu, kemudian jika seseorang tersebut meninggal dunia maka tugas tersebut tidak bisa digantikan oleh anaknya. Hal ini karena orang yang mendapatkan tugas khusus untuk mengerjakan sendiri lukisan itu, yang diinginkan oleh pemesan adalah lukisan karya orang tersebut, bukan karya anaknya atau orang yang ditunjuk sebelum ia meninggal. 47 Habib Adjie,Hak Tanggungan sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah,Mandar Maju, Bandung, 2000, hal 47

32 Berdasarkan uraian di atas harta atau barang warisan yang dapat diwarisi oleh ahli waris hanyalah harta atau barang yang benar-benar menjadi milik si pewaris. Barangbarang yang bukan milik si pewaris misalnya barang-barang jaminan yang ada padanya tidak bisa diwaris oleh ahli waris. B. Pengaturan Peralihan Hak Milik Atas Tanah karena Warisan 1. Hukum Waris menurut BW Hukum Waris menurut konsepsi Hukum Perdata Barat yang bersumber pada BW, merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Oleh karena itu, hanyalah hak dan kewajiban yang berwujud harta kekayaan yang merupakan warisan dan yang akan diwariskan. Hak dan kewajiban dalam hukum publik, hak dan kewajiban yang timbul dari kesusilaan dan kesopanan tidak akan diwariskan, demikian pula halnya dengan hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum keluarga, ini jugatidak dapat diwariskan. Kiranya akan lebih jelas apabila kita memperhatikan rumusan hukum waris yang diberikan olehpitlodi bawah ini, rumusan tersebut menggambarkan bahwa hukum waris merupakan bagian dari kenyataan, yaitu : Hukum Waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenaikekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orangorang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antar mereka denganmereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga. 48 48 Badriyah Harun. Panduan Praktis Pembagian Waris, Cetakan Kedua, PustakaYustisia, Yogyakarta, 2010, hal 59

33 Adapun kekayaan yang dimaksud dalam rumusan di atas adalah sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva. Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematian. Oleh karena itu, pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi tiga persyaratan, yaitu : 1. Ada seseorang yang meninggal dunia; 2. Ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia; 3. Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris Salah satu sebab berakhirnya kepemilikan seseorang atas tanah adalah karena kematian. Dengan adanya peristiwa hukum ini mengakibatkan adanya peralihan harta kekayaan dari orang yang meninggal, baik harta kekayaan material maupun immaterial kepada ahli waris orang yeng meninggal tersebut. Dengan meninggalnya seseorang ini maka akan ada pewaris, ahli waris dan harta kekayaan. Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan, sedangkan ahli waris adalah orang yang berhak atas harta kekayaan dari orang meninggal dan harta kekayaan yang ditinggalkan bisa immaterial maupun material, harta kekayaan material antara lain tanah, rumah ataupun benda lainnya.hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak.hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam dan Hukum

34 Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai dengan sistem kekerababatan yang mereka anut. 49 Peralihan Hak Milik atas tanah diatur dalam Pasal 20 ayat 2 UUPA yaitu Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pengertian tentang kata beralih adalah suatu peralihan hak yang dikarenakan pemilik hak telah meninggal dunia maka haknya dengan sendiri menjadi beralih kepada ahli warisnya. Pasal 20 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa hak milik atas tanah dapat beralih dan dapat dialihkan. Peralihan Hak Milik atas tanah dapat terjadi karena perbuatan hukum dan peristiwa hukum. Peralihan Hak Milik atas tanah karena perbuatan hukum dapat terjadi apabila pemegang Hak Milik atas tanah dengan sengaja mengalihkan hak yang dipegangnya kepada pihak lain. Sedangkan peralihan Hak Milik atas tanah karena peristiwa hukum, terjadi apabila pemegang Hak Milik atas tanah meninggal dunia, maka dengan sendirinya atau tanpa adanya suatu perbuatan hukum disengaja dari pemegang hak, Hak Milik beralih kepada ahli waris pemegang hak. Pewarisan Hak Milik atas tanah tetap harus berlandaskan pada ketentuan Undang-undang Pokok Agraria dan Peraturan Pelaksanaannya. Penerima peralihan Hak Milik atas tanah atau pemegang Hak Milik atas tanah yang baru haruslah berkewarganegaraan Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 9 Undang-undang Pokok Agraria dan Pasal 21 ayat (1) UUPA bahwa warga Negara Indonesia tunggal saja yang dapat mempunyai Hak Milik, dengan tidak membedakan kesempatan antara 49Ali Afandi. Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian. Cetakankeempat, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hal 38

35 laki laki dan wanita yang mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Sebenarnya seorang warga Negara Asing dapat atau bisa memperoleh Hak Milik karena terbentur Pasal 21 ayat (1), karena pasal tersebut menyebutkan bahwa hanya warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik. Pasal 21 ayat (3) menyebutkan bahwa warga asing yang sesudah berlakunya Undang Undang ini harus mendaftarkan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun tidak mendaftarkan status kewarganegaraannya. Menurut Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang berhak menerima warisan wajib meminta pendaftaran peralihan hak tersebut dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak meninggalnya orang yang semula mempunyai Hak Milik tersebut dengan tidak melanggar ketentuan bahwa menerima Hak Milik atas tanah harus sesuai dengan Undang Undang Pokok Agraria pasal 21. Peralihan hak karena pewarisan terjadi karena hukum pada saat pemegang hak yang bersangkutan meninggal dunia. Dalam arti bahwa sejak saat itu para ahli waris menjadi pemegang haknya yang baru. Pendaftaran peralihan hak karena pewarisan juga diwajibkan dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada para ahli waris dan demi ketertiban tata usaha pendaftaran, agar data yang tersimpan dan disajikan selalu menunjukkan keadaan yang mutakhir.

36 Dalam Hukum Waris menurut BW berlaku suatu asas bahwa apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya.hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang beralih pada ahli waris adalah sepanjang termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Ciri khas Hukum Waris menurut BW antara lain adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan. Ini berarti, apabila seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di depanpengadilan, tuntutan tersebut tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Ketentuan ini tertera dalam Pasal 1066 BW, yaitu: a) Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak dapat dipaksa untuk memberikan harta benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagibagi di antara para ahli waris yang ada; b) Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut; c) Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja dilakukan hanya untuk beberapa waktu tertentu; d) Perjanjian penagguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima tahun, namun dapat diperbaharui jika masih dikehendaki oleh para pihak. Dari ketentuan Pasal 1066 BW tentang pemisahan harta peninggalan dan akibatakibatnya itu, dapat dipahami bahwa sistem Hukum Waris menurut BW memiliki ciri khas yang berbeda dari Hukum Waris yang lainnya. Ciri khas tersebut di

37 antaranya Hukum Waris menurut BW menghendaki agar harta peninggalan seorang pewaris secepat mungkin dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas harta tersebut. Kalau pun hendak dibiarkan tidak terbagi, harus terlebih dahulu melalui persetujuan seluruh ahli waris. 50 Pengertian yang dikemukakan oleh Pitlo ini, adalah Konsepsi Hukum Waris menurut Hukum Perdata Barat yang bersumber dari Burgerlijk Wetboek (BW).Hukum waris menurut konsepsi Hukum Perdata Barat merupakan bagian dari Hukum Harta Kekayaan. Oleh karena itu, hanya mengatur mengenai hak dan kewajiban terhadap harta kekayaan sebagai warisan dan yang akan diwariskan. Adapun kekayaan yang dimaksud dalam rumusan di atas adalah sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva. Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematian. (Pasal 830 KUH Perdata) Berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 830 KUH Perdata, di dalam Hukum Waris mengandung asas bahwa apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang beralih pada ahli waris adalah yang termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan. Peralihan hak dan kewajiban dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada sekalian ahli warisnya, terjadi secara sendiri atau 50 http://nurulfatimah123.wordpress.com/tag/hukum-perdata/ diakses tanggal 20 Januari 2013

38 otomatis, tanpa dibutuhkan tindakan tertentu dari ahli waris tersebut. (Pasal 833 ayat [1] KUH Perdata). Beralihnya hak dan kewajiban pewaris secara otomatis atau tanpa dibutuhkan tindakan tertentu dari ahli warisnya disebut dengan Hak Saisine, yaituahli waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut belum mengetahui tentang adanya warisan itu. Hak Saisine tidak hanya pada pewarisan menurut Undang-Undang saja, tetapi berlaku juga pada pewarisan dengan surat wasiat. (Pasal 955 KUHPerdata). Hak Saisine tidak dipunyai oleh negara. Dengan demikianhak Saisine membedakan negara sebagai ahli waris dengan ahli waris lainnya. Baru setelah ahli waris tidak ada, maka semua harta warisan akan jatuh kepada negara. Negara tidak secara otomatis memperoleh warisan tetapi harus dengan keputusan Pengadilan Negeri. 51 2. Hak Menuntut Pemisahan Harta Warisan Pada asasnya orang mempunyai kebebasan untuk mengatur mengenai apa yang akan terjadi dengan harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Seseorang pewaris mempunyai kebebasan untuk mencabut Hak Waris dari para ahli warisnya, tetapi untuk ahli waris ab intestato (tanpa wasiat) oleh Undang-Undang diadakan bagian tertentu yang harus diterima oleh mereka, bagian yang dilindungi oleh hukum, karena mereka demikian dekatnya hubungan kekeluargaan dengan si pewaris sehingga pembuat Undang-Undang menganggap tidak pantas apabila mereka tidak menerima apa-apa sama sekali. 52 51 A. Pitlo, Hukum Waris henurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (Alih Bahasa M. Isa Arief). Intermasa, Jakarta, 1979, Hal. 1 52 Mulyadi, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2011, hal.9

39 Undang-Undang melarang seseorang semasa hidupnya menghibahkan atau mewasiatkan harta kekayaannya kepada orang lain dengan melanggar hak dari para ahli waris ab intestato itu. Ahli waris yang dapat menjalankan haknya atas bagian yang dilindungi Undang-Undang itu dinamakan Legitimaris sedang bagiannya yang dilindungi oleh Undang-Undang itu dinamakan legitime portie. Jadi harta peninggalan dalam mana ada legitimaris terbagi dua, yaitu legitime portie (bagian mutlak) dan beschikbaar (bagian yang tersedia). Bagian yang tersedia ialah bagian yang dapat dikuasai oleh pewaris, ia boleh menghibahkannya sewaktu ia masih hidup atau mewasiatkannya. Legitime portie (Hak Mutlak) yang dimiliki oleh ahli waris ab intestato menjadi hak yang terpenting dan merupakan ciri khas dari Hukum Waris. Adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan. Ini berarti, apabila seorang ahli waris menuntut pemisahan/pembagian harta warisan di depan pengadilan, tuntutan tersebut tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1066 KUH Perdata, yaitu: Pasal 1066 1. Tiada seorang pun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tidak terbagi 2. Pemisahan harta itu setiap waktu dapat dituntut, biarpun ada larangan untuk melakukannya. 3. Namun dapatlah diadakan persetujuan untuk selama suatu waktu tertentu tidak melakukan pemisahan 4. Persetujuan demikian hanyalah mengikat untuk selama lima tahun, namun setelah lewatnya tenggang waktu itu, dapatlah persetujuan itu diperbaharui.

40 Dari ketentuan pasal 1066 KUHPerdata tentang pemisahan harta peninggalan dan akibat-akibatnya itu, dapat dipahami bahwa sistem Hukum Waris menurut KUHPerdata memiliki ciri khas yang berbeda dari Hukum Waris yang lainnya. Ciri khas tersebut di antaranya Hukum Waris menurut KUHPerdata menghendaki agar harta peninggalan seorang pewaris secepat mungkin dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas harta tersebut. Kalau pun hendak dibiarkan tidak terbagi, harus terlebih dahulu melalui persetujuan seluruh ahli waris. 3. Pengaturan Peralihan Hak Atas Tanah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yang dimaksud dengan Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah, termasuk pemberian surat tanda buktinya bagi bidang-bidang yang sudah haknya serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Dua macam data yang merupakan rangkaian kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan Pemerintah adalah : 1. Data fisik, yaitu keterangan mengenai letak, batas, dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya (Pasal 1 angka 6 PP No. 24 Tahun 1997),

41 2. Data yuridis, yaitu keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya (Pasal 1 angka 7 PP No.24 Tahun 1997). Kegiatan Pendaftaran Tanah menurut PP No. 24 Tahun 1997 dibagi menjadi 2, yaitu : 1. Kegiatan Pendaftaran Tanah untuk pertama kalinya, yaitu kegiatan Pendaftaran Tanah yang dilakukan terhadap objek Pendaftaran Tanah yang belum didaftarkan. 2. Kegiatan pemeliharaan data Pendaftaran Tanah, yaitu kegiatan Pendaftaran Tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah dan sertipikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian (Pasal 1 angka 12 PP No.24 Tahun 1997). Kegiatan pemeliharaan data fisik ini dilakukan apabila objek Pendaftaran Tanah telah terdaftar, segala perubahan data fisik / yuridis wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat. Peralihan hak karena pewarisan diatur pada Bab V, Paragraf 3 tentang Peralihan Hak Karena Pewarisan sebagaimana tersebut dalam Pasal 42 PP No. 24 Tahun 1997, yakni sebagai berikut: 1. Untuk peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah terdaftar, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah sebagai

42 warisan kepada Kantor Pertanahan, sertipikat yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai pemegang haknya dengan surat tanda bukti sebagai ahli waris. Peralihan hak karena pewarisan terjadi karena hukum pada saat yang bersangkutan meninggal dunia. Dalam arti, bahwa sejak itu para ahi waris menjadi pemegang hak yang baru. Mengenai siapa yang menjadi ahli waris diatur dalam Hukum Perdata yang berlaku. Pendaftaran peralihan hak karena pewarisan juga diwajibkan dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada para ahli warisnya dan demi ketertiban tatausaha Pendaftaran Tanah. Surat tanda bukti sebagai ahli waris dapat berupa Akta Keterangan Hak Mewaris, atau Surat Penetapan Ahli Waris atau Surat Keterangan Ahli Waris. 53 2. Jika bidang tanah yang merupakan warisan belum didaftar, wajib diserahkan dokumen-dokumen surat keterangan Kepala Desa / Kelurahan yang menyatakan orang bersangkutan menguasai tanah dan surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah tersebut belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan atau surat keterangan Kepala Desa / Lurah jika lokasi tanahnya jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan dari pemegang hak yang bersangkutan. Dokumen yang membuktikan adanya hak atas tanah pada yang mewariskan diperlukan karena pendaftaran peralihan hak ini baru dapat dilakukan setelah pendaftaran untuk pertama kali atas nama pewaris. 54 53 Penjelasan Pasal 42 ayat 1 Peraturan Permerintah Nomor 24 Tahun 1997. 54 Penjelasan Pasal 42 ayat 2 Peraturan Permerintah Nomor 24 Tahun 1997.

43 3. Jika penerima waris terdiri dari satu orang, maka pendaftaran peralihan hak tersebut dilakukan kepada orang tersebut berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris seperti tersebut pada angka 1 di atas. 4. Jika penerima warisan lebih dari satu orang dan waktu peralihan hak tersebut didaftarkan disertai dengan akta pembagian waris yang memuat keterangan bahwa hak atas tanah jatuh kepada seorang penerima warisan tertentu, pendaftaran Hak Milik atas tanah dilakukan kepada penerima warisan yang bersangkutan berdasarkan suatu tanda bukti sebagai ahli waris dan akta pembagian waris tersebut. Dalam hal akta pembagian waris yang dibuat sesuai ketentuan yang berlaku dan harta waris jatuh pada seorang penerima warisan tertentu, pendaftaran peralihan haknya dapat langsung dilakukan tanpa alat bukti peralihan hak lain, misalnya akta PPAT. 55 5. Warisan berupa hak atas tanah yang menurut akta pembagian waris harus dibagi bersama antara beberapa penerima warisan atau waktu didaftarkan belum ada akta pembagian warisnya, didaftar peralihan haknya kepada para penerima waris yang berhak sebagai hak bersama mereka berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris dan / atau akta pembagian waris tersebut. C. Pengaturan Hak Tanggungan Berdasarkan UUHT, objek yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam 55 Penjelasan Pasal 42 ayat 4 Peraturan Permerintah Nomor 24 Tahun 1997.

44 Pasal 4 UUHT tersebut dijelaskan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas Tanah Negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan serta hak-hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah. Dalam hal ini pembebanannya harus dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Pada prinsipnya, objek Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang memenuhi dua persyaratan, yakni wajib didaftarkan (untuk memenuhi syarat publisitas) dan dapat dipindahtangankan untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran utang yang dijamin pelunasannya. Hak Tanggungan juga terdapat subjek hukum yang menjadi Hak Tanggungan yang terkait dengan perjanjian pemberi Hak Tanggungan. Di dalam suatu perjanjian Hak Tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri, yaitu sebagai berikut : 56 1. Pemberi Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjaminkan objek Hak Tanggungan. 2. Pemegang Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menerima Hak Tanggungan sebagai jaminan dari piutang yang diberikannya. UUHT memuat ketentuan mengenai subjek Hak Tanggungan dalam Pasal 8 dan Pasal 9, yaitu sebagai berikut : 57 56 Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.54

45 1. Pemberi Hak Tanggungan, adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Kewenagan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan itu dilakukan. 2. Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Yang dapat menjadi subjek Hak Tanggungan selain Warga Negara Indonesia, dengan ditetapkannya Hak Pakai atas tanah Negara sebagai salah satu objek Hak Tanggungan, bagi Warga Negara Asing juga dimungkinkan untuk dapat menjadi subjek Hak Tanggungan apabila memenuhi syarat. Sebagai pemegang Hak Tanggungan dapat berstatus Warga Negara Indonesia, badan hukum Indonesia, Warga Negara Asing atau badan hukum asing tidak disyaratkan harus berkedudukan di Indonesia oleh karena itu jika perjanjian kreditnya dibuat di luar negeri dan pihak pemberi kreditnya orang asing atau badan hukum asing yang berdomisili di luar negeri dapat pula menjadi pemegang Hak Tanggungan, sepanjang perjanjian kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah Republik Indonesia (penjelasan Pasal 10 ayat (1) UUHT). Apabila salah satu pihak, pemberi Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan, berdomisili di luar Indonesia baginya harus pula mencantumkan domisili pilihan di Indonesia dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, 57 Gunardi dan Markus Gunawan, Op.Cit, hlm. 228-229

46 kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih. Bagi mereka yang akan menerima Hak Tanggungan, haruslah memperhatikan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UUHT yang menentukan, bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1) UUHT tersebut di atas harus ada (harus telah ada dan masih ada) pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Disamping itu, Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Hal ini berarti suatu Hak Tanggungan membebani secara utuh benda yang menjadi objeknya dan setiap bagian daripadanya. Oleh karena itu, apabila sebagian dari utang dibayar, pembayaran itu tidak membebaskan sebagian dari benda yang dibebani Hak Tanggungan. Penyimpangan terhadap asas ini hanya dapat dilakukan apabila hal tersebut diperjanjikan secara tegas di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Asas tidak dapat dibagi-bagi itu dapat disimpangi dalam hal Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah dan pelunasan utang yang dijamin dilakukan dengan cara angsuran sebesar nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut. Dengan demikian, Hak Tanggungan itu hanya akan membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi. Sifat lainnya dari

47 Hak Tanggungan adalah bahwa Hak Tanggungan merupakan ikutan (accessoir) pada perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang (perjanjian kredit). Dengan demikian, hapusnya Hak Tanggungan tergantung pada perjanjian pokoknya, yaitu utang yang dijamin pelunasannya tersebut. Hak Tanggungan dapat dibebankan lebih dari satu kali terhadap objek yang sama untuk menjamin pelunasan lebih dari satu utang. Hal ini menimbulkan adanya tingkatan-tingkatan bagi pemegang Hak Tanggungan. Peringkat Hak Tanggungan tersebut ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan. Selain beberapa asas Hak Tanggungan tersebut diatas, dalam pembebanan Hak Tanggungan juga terdapat beberapa janji-janji. Dalam ketentuan Pasal 11 ayat (2) UUHT disebutkan bahwa dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janjijanji, yaitu : 58 1. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/atau menentukan maupun mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa dimuka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan. Janji ini tidak saja mengikat para pihak, tetapi juga akan dapat dimajukan terhadap penyewa oleh pemegang Hak Tanggungan. 2. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan objek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan. Dengan janji ini berarti 58 Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 80-101.

48 pemberi Hak Tanggungan tidak dapat dengan bebas untuk mengubah bentuk maupun tata susunan dari benda yang ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan, kecuali mengenai hal itu telah mendapat persetujuan secara tertulis sebelumnya dari pemegang Hak Tanggungan. 3. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola Hak Tanggungan itu berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi objek Hak Tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh cidera janji. Dalam hal ini dapat diperjanjikan bahwa apabila debitur ternyata tidak memenuhi kewajibannya untuk melunasi utangnya, pemegang Hak Tanggungan berwenang untuk mengelola objek Hak Tanggungan itu untuk memperoleh pelunasan piutangnya berdasarkan penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri. 4. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan Undang-Undang. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan sesuatu demi menyelamatkan objek Hak Tanggungan apabila diperlukan ini dimaksud untuk melindungi kepentingan pemegang Hak Tanggungan agar objek Hak Tanggungan itu masih ada pada saat pelaksanaan eksekusi atau untuk menjamin bahwa hak atau tanah yang dijadikan objek Hak Tanggungan itu tidak hapus atau dicabut.

49 5. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji. Dalam hal ini dapat diperjanjikan dengan tegas bahwa apabila ternyata di kemudian hari debitur cidera janji yaitu jika uang pokok tidak dilunasi semestinya, atau jika bunga yang tertuang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan untuk menjual benda yang menjadi objek Hak Tanggungan dimuka umum, untuk mengambil pelunasan uang pokok maupun bunga, serta biaya-biaya yang dikeluarkan dari pendapatan penjualan itu. Pemegang Hak Tanggungan yang mencantumkan janji ini di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan memiliki paratel eksekusi. 6. Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan, pertama bahwa objek Hak Tanggungan tersebut tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan. Ini merupakan suatu janji mengenai larangan melakukan pembersihan Hak Tanggungan atas benda yang dijaminkan oleh pemilik baru atas benda tersebut apabila benda itu beralih kepemilikannya (baik karena jual beli maupun hibah). 7. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan itu tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan. Dengan dicantumkannya janji ini di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, pemberi Hak Tanggungan tidak boleh melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tersebut. Apabila ia akan melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tersebut, ia harus mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.

50 8. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima oleh pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum. Apabila ternyata terhadap objek Hak Tanggungan tersebut dilepaskan haknya untuk kepentingan umum, dengan janji ini, pemegang Hak Tanggungan berhak memperoleh pelunasan piutangnya dari ganti rugi yang diterima oleh penerima Hak Tanggungan itu. 9. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima oleh pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya jika objek Hak Tanggungan diasuransikan. Pemegang Hak Tanggungan berhak meminta diperjanjikan asuransi pada benda yang menjadi objek Hak Tanggungan. Dalam hal benda yang menjadi objek Hak Tanggungan ini telah diperjanjikan bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh uang asuransi tersebut jika terjadi keadaan yang tidak dapat diduga (overmacht) yang menimbulkan suatu kerugian yang menimpa benda yang diasuransikan tersebut, untuk pelunasan piutangnya, agar janji asuransi ini berlaku pula untuk perusahaan asuransi, janji ini harus diberitahukan kepada perusahaan asuransi tersebut. 10. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan. Ada kalanya barang yang dijaminkan dikuasai atau dihuni oleh pihak lain maupun oleh pemberi Hak

51 Tanggungan itu sendiri. Apabila terjadi demikian, hal tersebut akan mengakibatkan harga penawaran dan minat untuk membeli benda yang merupakan objek Hak Tanggungan itu menjadi menurun pada saat pelelangan. Sehubungan dengan hal itu, agar pihak pemegang Hak Tanggungan tidak dirugikan, atas kesepakatan kedua belah pihak di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dicantumkan janji pengosongan ini. 11. Janji yang menyimpangi bahwa sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan akan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Artinya para pihak dapat memperjanjikan bahwa pemberi Hak Tanggungan memberi kuasa dengan hak substitusi kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menerima dan menyimpan sertifikat tersebut sampai utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut lunas. Perlindungan terhadap kepentingan kreditor (pemegang Hak Tanggungan) ini mempunyai batasan yaitu bahwa pemegang Hak Tanggungan tidak boleh memiliki objek Hak Tanggungan. Oleh karena itu, janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji adalah batal demi hukum. Janji ini adalah untuk melindungi debitur (pemberi Hak Tanggungan) dari syarat-syarat yang diajukan kreditor. Menurut Pasal 13 ayat (1) UUHT, terhadap pembebanan Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selain itu di dalam Pasal 13 ayat (5) juncto ayat (4) UUHT juga dinyatakan bahwa Hak Tanggungan tersebut lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan, yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat

52 yang diperlukan bagi pendaftarannya. Dengan demikian, Hak Tanggungan itu lahir dan baru mengikat setelah dilakukan pendaftaran, karena jika tidak dilakukan pendaftaran itu pembebanan Hak Tanggungan tersebut tidak diketahui oleh umum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. Sedangkan berakhirnya Hak Tanggungan tertuang dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUHT, yang menyatakan bahwa Hak Tanggungan berakhir atau hapus karena beberapa hal sebagai berikut : 1. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan\ hapusnya utang itu mengakibatkan Hak Tanggungan sebagai hak accessoir menjadi hapus. Hal ini terjadi karena adanya Hak Tanggungan tersebut adalah untuk menjamin pelunasan dari utang debitur yang menjadi perjanjian pokoknya. Dengan demikian, hapusnya utang tersebut juga mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan. 2. Dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan. Apabila debitor atas persetujuan kreditor pemegang Hak Tanggungan menjual objek Hak Tanggungan untuk melunasi utangnya, maka hasil penjualan tersebut akan diserahkan kepada kreditor yang bersangkutan dan sisanya dikembalikan kepada debitor. Untuk menghapuskan beban Hak Tanggungan, pemegang Hak Tanggungan memberikan pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut kepada pemberi Hak Tanggungan (debitor). Pernyataan tertulis tersebut dapat digunakan oleh Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak

53 Tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertipikat hak tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan yang bersangkutan (Pasal 22 UUHT). 3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan suatu penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri. Pembersihan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri hanya dapat dilaksanakan apabila objek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan dan tidak terdapat kesepakatan diantara para pemegang Hak Tanggungan tersebut mengenai pembersihan objek Hak Tanggungan dan beban yang melebihi harga pembeliannya, dan apabila pembeli tersebut membeli benda tersebut dari pelelangan umum. Pembeli yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang (yang daerah kerjanya meliputi letak objek Hak Tanggungan yang bersangkutan) untuk menetapkan pembersihan tersebut dan sekaligus menetapkan ketentuan mengenai pembagian hasil penjualan lelang tersebut diantara para yang berpiutang (kreditor) dan peringkat mereka menurut peraturan Perundang-Undangan yang berlaku (Pasal 19 ayat (3) UUHT) Ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUHT tidak berlaku apabila : 1. Pembelian dilakukan secara sukarela (tanpa melalui lelang) 2. Dalam APHT yang bersangkutan secara tegas diperjanjikan oleh para pihak bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan (Pasal 11 ayat (2) huruf F UUHT).

54 Alasan hapusnya Hak Tanggungan yang disebabkan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat objektif sahnya perjanjian, khususnya yang berhubungan dengan kewajiban adanya objek tertentu, yang salah satunya meliputi keberadaan dari bidang tanah tertentu yang dijaminkan. Dengan demikian, berarti setiap pemberian Hak Tanggungan harus memerhatikan dengan cermat hal-hal yang dapat menyebabkan hapusnya hak atas tanah yang dibebankan dengan Hak Tanggungan tersebut. Oleh karena, setiap hal yang menyebabkan hapusnya hak atas tanah tersebut demi hukum juga akan menghapuskan Hak Tanggungan yang dibebankan diatasnya, meskipun bidang tanah dimana hak atas tanahnya tersebut hapus masih tetap ada, dan selanjutnya telah diberikan pula hak atas tanah yang baru atau yang sama jenisnya. Ketentuan-ketentuan dalam Perundang-Undangan mengenai Hipotek berasal dari zaman kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum adanyahukum tanah nasional, sebagaimana telah diatur dalam UUPA dan dimaksudkan untuk diberlakukan sementara waktu sampai terbentuknya Undang- Undang yang dimaksud dalam Pasal 51 UUPA, yaitu UUHT. 59 UUPA mengatur bahwa hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna 59 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999, hal. 2-3.

55 Bangunan. Dasar hukum mengenai Hak Tanggungan tersebut terdapat dalam Pasal 51 UUPA juncto Pasal 25, 33, 39 dan 57 UUPA. Berdasarkan rumusan tersebut apa yang disebut Hak Tanggungan meliputi 6 (enam) hal, sebagai berikut : 60 a. Objek Hak Tanggungan b. Pemberi dan pemegang Hak Tanggungan c. Tata cara pemberian pendaftaran, peralihan, dan hapusnya Hak Tanggungan d. Eksekusi Hak Tanggungan e. Pencoretan Hak Tanggungan f. Sanksi administratif. Dengan demikian UUHT memuat lengkap ketentuan yang menyangkut Hak Tanggungan sampai proses eksekusinya. Kehadiran UUHT, bertujuan untuk : 1. Menuntaskan unifikasi (kesatuan) Hukum Tanah Nasional, dengan menyatakan tidak berlaku lagi ketentuan hypotheek dan credietverband (Pasal 29 UUHT). 2. Menyatakan berlakunya UUHT dan Hak Tanggungan dinyatakan sebagai satu-satunya hak jaminan atas tanah. Oleh karena itu tidak berlaku lagi fidusia sebagai hak jaminan atas tanah. Boedi Harsono, menyatakan bahwa Hak Tanggungan sebagai hak penguasaan atas tanah, yang berisikan kewenangan bagi kreditor untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan, tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cidera janji 60 Sunaryo Basuki, HGU, HGB, Hak Pakai Sebagai Mana diatur Lebih Lanjut Dalam PP No. 40 Tahun 1996, Mata Kuliah Hukum Pokok-Pokok Hukum Tanah Nasional, Magister Kenotariatan Dan Pertanahan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hlm.31

56 (wanprestasi) dan mengambil hasilnya, baik seluruh atau sebagian sebagai pembayaran lunas utang debitur kepadanya. 61 Hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan wajib didaftarkan menurut ketentuan yang berlaku dan menurut sifatnya hak atas tanah tersebut dapat dipindahtangankan. 62 Hak atas tanah yang dapat dibebani hak jaminan atas tanah harus memenuhi empat syarat, yaitu : 1. dapat dinilai dengan uang 2. merupakan hak yang telah didaftarkan (daftar umum pendaftaran tanah sebagai syarat untuk memenuhi asas publisitas). 3. bersifat dapat dipindahtangankan (dalam hal debitor cidera janji benda tersebut dapat dijual dimuka umum). 4. memerlukan penunjukan dengan Peraturan Perundang-Undangan. 63 Objek Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas Tanah Negara. Pembebanan Hak Tanggungan harus dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan hanya dapat 61 Pendapat Boedi Harsono, sebagaimana dikutip oleh Urip Santoso (Selanjutnya disebut Urip Santoso II), dalam bukunya Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, 2010, hlm.412. 62 Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis,Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung.2008, hal. 334-335 63 Soegiarto, Hak Atas Tanah Negara, Jurnal Hukum Bisnis, Vol I, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1997, hal.97.

57 dilakukan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik. Subjek Hak Tanggungan ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT, dari ketentuan dua Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadi subjek hukum dalam pembebanan Hak Tanggungan adalah pemberi Hak Tanggungan dan pemegang. Pemberi Hak Tanggungan dapat berupa perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan.Pemegang Hak Tanggungan dapat berupa perorangan atau Badan Hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.kebiasaan dalam praktek pemberi Hak Tanggungan disebut sebagai debitur yaitu sebagai orang yang berutang, sedangkan pemegang Hak Tanggungan disebut sebagai kreditur yaitu orang atau Badan Hukum dan berkedudukan sebagai berpiutang. Dengan kata lain subjek Hak Tanggungan adalah pemberi Hak Tanggungan (orang atau pihak yang menjaminkan objek Hak Tanggungan) dan pemegang Hak Tanggungan (orang atau pihak yang menerima Hak Tanggungan sebagai jaminan dari piutang yang diberikannya). 64 Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan.sedangkan pemegang Hak Tanggungan adalah orang 64 Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal.20.

58 perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang (Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT). 65 Hak Tanggungan dapat dibebankan lebih dari satu kali terhadap objek yang sama untuk menjamin pelunasan lebih dari satu utang. Hal ini menimbulkan adanya peringkat Hak Tanggungan yang ditentukan menurut tanggal pendaftarannya di Kantor Pertanahan. Syarat sahnya pembebanan Hak Tanggungan yaitu : a. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 10 ayat (2) UUHT). b. Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat spesialitas (Pasal 11 ayat (1) UUHT) yang meliputi : i. nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan. ii. domisili para pihak, pemegang dan pemberi Hak Tanggungan iii. penunjukkan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan. iv. nilai tanggungan v. uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan Dengan demikian yang disebut syarat spesialitas adalah penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan (iii diatas) dan jika utangnya belum disebutkan nilai tanggungan 65 Gunardi dan Markus Gunawan, Op.Cit, hal. 228-229.