IV. Hasil dan Pembahasan. pada Gambar 2 dan data hasil pengamatan disajikan pada Tabel 3.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Menurut seorang ilmuwan kuno yang bernama Eratosthenes Geografi berasal

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat,

KONDISI BEBERAPA KOMPONEN HIDROLOGI PADA TEGAKAN SENGON WURI HANDAYANI DAN EDY JUNAIDI

BAB III METODE PENELITIAN

EROSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OLEH: MUH. ANSAR SARTIKA LABAN

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif

EROSI DAN SEDIMENTASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah perbandingan relatif pasir, debu dan tanah lempung. Laju dan berapa jauh

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Sub DAS Kayangan. Sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Kayangan

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

KEJADIAN GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG PADA TANGGAL 20 APRIL 2008 DI KECAMATAN REMBON, KABUPATEN TANA TORAJA, PROVINSI SULAWESI SELATAN

MENENTUKAN PUNCAK EROSI POTENSIAL YANG TERJADI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LOLI TASIBURI DENGAN MENGGUNAKAN METODE USLEa

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

TINJAUAN PUSTAKA. Erodibilitas. jumlah tanah yang hilang setiap tahunnya per satuan indeks daya erosi curah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Dari hasil pembahasan dan analisa data diperoleh beberapa kesimpulan dan saran adalah sebagai berikut :

STUDI LOKASI TITIK-TITIK RENTAN EROSI DI SEPANJANG JALAN SEKITAR BUKIT SELASIH SAMPAI KECAMATAN LUBUK KILANGAN JURNAL

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*)

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengamatan dalam 5 kali periode hujan pada lahan pertanian jagung dengan

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Analisis Vegetasi 5.2 Model Arsitektur Pohon

TINJAUAN PUSTAKA. erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan

KAJIAN SIFAT FISIK TANAH DAN BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENDUGAAN EROSI TANAH. Oleh : Moch. Arifin 1)

IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

JIME, Vol. 3. No. 1 ISSN April 2017

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR. pengetahuan yang mencitrakan, menerangkan sifat-sifat bumi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lingkungan hidup menyediakan sumberdaya alam bagi kelangsungan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki lahan kering masam cukup luas yaitu sekitar 99,6 juta hektar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pangan saat ini sedang dialami oleh masyarakat di beberapa bagian belahan dunia.

LAMPIRAN. Lampiran 1. Data Jumlah Curah Hujan (milimeter) di Stasiun Onan Runggu Periode Tahun

ANALISIS DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN WAY KRUI TAHUN 2015 (JURNAL) Oleh. Catur Pangestu W

IDENTIFIKASI KERUSAKAN AKIBAT BANJIR BANDANG DI BAGIAN HULU SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LIMAU MANIS ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

LAMPIRAN. Lampiran 1. Data Jumlah Curah Hujan (milimeter) di Stasiun Onan Runggu Periode Tahun

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DISTRIBUSI PORI DAN PERMEABILITAS ULTISOL PADA BEBERAPA UMUR PERTANAMAN

KAJIAN EROSI DAN ALIRAN PERMUKAAN PADA BERBAGAI SISTEM TANAM DI TANAH TERDEGRADASI SKRIPSI. Vivin Alviyanti NIM

BAB I PENDAHULUAN. fungsi utama, yaitu sebagai sumber unsur hara bagi tumbuhan dan sebagai matriks

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. profil tanah. Gerakan air ke bawah di dalam profil tanah disebut perkolasi

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan

TINGKAT ERODIBILITAS TANAH DI KECAMATAN AMBARAWA KABUPATEN SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH

BAB V ANALISIS SEDIMEN DAN VOLUME KEHILANGAN AIR PADA EMBUNG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

θ t = θ t-1 + P t - (ETa t + Ro t ) (6) sehingga diperoleh (persamaan 7). ETa t + Ro t = θ t-1 - θ t + P t. (7)

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik

BKM IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter dan Kurva Infiltrasi

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

I. PENDAHULUAN. kerusakan akibat erosi dalam ekosistem DAS (Widianto dkk., 2004). Kegiatan

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Lampiran 1 : Data suhu udara di daerah Kebun Bekala Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang ( 0 C)

Bencana Benc Longsor AY 11

Yeza Febriani ABSTRACT. Keywords : Erosion prediction, USLE method, Prone Land Movement.

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Morfologi tanah adalah sifat-sifat tanah yang dapat diamati dan dipelajari di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kabupaten Temanggung terletak di tengah-tengah Propinsi Jawa Tengah

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT

Erosi. Rekayasa Hidrologi

BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Identifikasi dan Delineasi Daerah Rawan Longsor

TINJAUAN PUSTAKA. Longsor. Gerakan tanah atau lebih dikenal dengan istilah tanah longsor adalah

I. PENDAHULUAN. Ekosistem atau sistem ekologi merupakan satu kesatuan tatanan yang terbentuk

2016 STUDI PARAMATERIK PENGARUH INTENSITAS CURAH HUJAN TERHADAP JARAK JANGKAUAN DAN KECEPATAN LONGSOR BERDASARKAN MODEL GESEKAN COLOUMB SEDERHANA

BAB III METODE PENELITIAN. adanya dan mengungkapkan fakta-fakta yang ada, walaupun kadang-kadang

Transkripsi:

IV. Hasil dan Pembahasan 4.1 Hasil Setelah dilakukan survey diperoleh 13 titik lokasi longsor dengan lokasi disajikan pada Gambar 2 dan data hasil pengamatan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Data Hasil Penelitian Point Longsor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Koordinat Kedalaman Kelerengan Bidang (%) Luncur (m) Lebar (m) Bidang Longsor Panjang (m) S : 03 0 39 52,8 E : 102 0 33 56,4 75 6 4 15 S : 03 0 39 48,7 E : 102 0 33 48,1 70 3,2 9,3 12 S : 03 0 39 31,4 E : 102 0 33 16,0 85 3,5 7 8 S : 03 0 39 29,2 E : 102 0 33 13,3 75 5,8 12,5 17 S : 03 0 39 30,3 E : 102 0 33 08,6 100 2,8 9,6 12 S : 03 0 39 41,5 E : 102 0 33 03,1 91 5,5 10 20 S : 03 0 40 14,1 E : 102 0 32 54,7 89 3,6 60 23 S : 03 0 40 18,3 E : 102 0 32 52,2 75 4 15 18 S : 03 0 40 29,9 E : 102 0 32 41,2 91 3,2 12,5 15 S : 03 0 40 29,9 E : 102 0 32 41,2 63 1,9 10,7 16 S : 03 0 40 45,0 E : 102 0 32 38,9 73 2,1 7 8 S : 03 0 41 55,2 E : 102 0 31 01,2 65 3 21 10,5 S : 03 0 42 00,7 E : 102 0 30 55,7 68 4,3 13 19 Sumber : Data Penelitian Tekstur Tanah Berpasir Berpasir Berpasir Berliat Berliat Berliat Berpasir Struktur Tanah Remah Remah Remah Remah Lapisan Batuan Penutupan Lahan jenis Semak dan Kopi dan Semak dan Semak Penutupan (%) Perakaran (%) 65 60 65 60 65 55 50 55 Butiran Semak 50 55 Butiran Remah dan Semak dan Semak Pasir Berlempung Remah Remah Berpasir Liat Remah Berdebu Liat Berdebu Berliat Liat Berpasir Butiran Butiran Remah Kebun Kopi 60 65 65 55 80 70 85 75 70 65 60 60 45 50 80 70

20 Dari Tabel 3 dapat dicermati bahwa lokasi terjadinya longsor mempunyai kelerengan antara 63 %-100 %. Persen kelerengan terkecil (63 %) pada titik 10 dan tertinggi (100 %) pada titik 5, dengan kedalaman bidang luncur 1,9 m-6 m, dan kedalaman yang terendah dijumpai pada ttik 10 (1,9 m) dan tertinggi (6 m) pada titik 1. Lokasi-lokasi tersebut memilki lebar bidang lonsor 4 m-60 m dan panjang bidang longsor 8 m-23 m. Dari lebar dan panjang bidang longsor ini kita dapat melihat besar atau kecilnya longsor yang terjadi. Hasil pengamatan tekstur, 13 lokasi pengamatan umumunya memiliki tekstur yang berlempung. Sebanyak 5 lokasi memilki tekstur lempung berpasir, sebanyak 4 lokasi memiliki tekstur lempung berliat. Lokasi yang teksturnya lempung liat berpasir pada titik 10 dan 13, lempung liat berdebu pada titik 11, dan pada titik 8 memiliki tekstur pasir berlempung. Hampir seluruh lokasi pengamatan memiliki struktur remah yaitu sebanyak 9 titik lokasi dan 4 titik lainya memiliki struktur butiran. Penutupan lahan pada lokasi pengamatan, sebagian besar tertutup oleh hutan skunder, sumac belukar dan kombinasi dari keduanya, hanya pada titik 12 tertutup oleh kebun kopi dan titik 1 tertutup oleh kopi dan semak. Lokasi pengamatan memiliki persentase penutupan lahan yang beragam dengan kisaran antara 45 % sampai 85 %. Persentase penutupan terendah pada titik 12 dengan penutupan oleh kebun kopi dan tertinggi pada titik 9 dengan penutupan oleh hutan skunder. Persentase perakaran antara 50 % dan 75 %, dengan persentase perakaran terendah pada titik 12 dan tertinggi pada titik 9.

21 4.2 Pembahasan Dari data yang didapatkan kelerengan sangat mempengaruhi terjadinya erosi lahan. Semakin curam kelerengan suatu lahan maka potensi erosi yang terjadi akan semakin besar. Longsor merupakan salah satu bentuk erosi sehingga kelerengan sangat berpengaruh. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa lokasi tejadinya longsor mempunyai kelerengan 63 %-100 %. Terlihat bahwa faktor kelerengan memberikan pengaruh pada kelerengan lebih dari 63 %. Pada kelerengan yang lebih dari 63 % faktor kelerengan sudah menjadi salah satu penyebab terjadinya longsor. Hal senada dinyatakan oleh Suripin (2002) bahwa umumnya erosi akan meningkat dengan meningkatnya kemiringan dan panjang lereng. Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong, pada prinsipnya longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar daripada gaya penahan (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2007). Banyaknya perbukitan dengan lereng yang curam serta kondisi batuan yang lapuk dan hancur akibatnya ada rekahan batuan yang membuat daerah yang seperti ini sangat sering mengalami bencana tanah longsor (Perdana, 2006). Selain kelerengan, longsor akan terjadi bila adanya bidang luncur. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) dan Badan Koordinasi Nasional Penaggulangan Bencana dan Penangan Pengungsi (2003) longsor tejadi karena terdapat lapisan tanah yang tebal menumpang di atas lapisan batuan yang lebih keras dan kedap air. Arsyad dalam Suripin (2002) mengemukakan hal senada bahwa longsor akan terjadi dengan adanya lapisan di bawah permukaan massa tanah, yang agak kedap air dan lunak, akan menjadi bidang luncur. Pada setiap lokasi pengamatan terjadinya longsor memiliki

22 bidang luncur, pada penelitian di kawasan ini diperoleh kedalaman bidang luncur berkisar antara 1,9 m-6 m (Tabel 3). Sebagai sifat fisik tanah tekstur juga memberikan pengaruh terhadap terjadinya longsor, karena tekstur menunjukan kasar halusnya suatu tanah. Hal ini juga disampaikan oleh Seta (1987) bahwa tanah yang mengandung partikel-partikel berukuran halus (liat) akan tahan terhadap erosi karena adanya gaya kohesi yang tinggi antar partikel. Dari Tabel 3 diperoleh hampir seluruh lokasi pengamatan memiliki tekstur lempung, yang sebagian besar merupakan tekstur berpasir. Pada lokasi yang teksturnya lempung berpasir sangat mungkin untuk terjadi longsor, hal ini juga disampaikan oleh Suripin (2002) bahwa tanah dengan tekstur berpasir yang cepat jenuh air tingkat bahaya erosi sangat besar. Pada titik yang teksturnya memiliki kandungan liat yang besar memiliki kelerengan yang curam (Tabel 3). Selain kelerenganya curam lapisan yang kadar liatnya tinggi juga mempunyai laju infiltrasi yang kecil yakni 0,5 mm/jam (Tabel 2), setelah jenuh air akan bertindak sebagai bidang luncur. Hal ini juga disampaikan oleh Arsad dalam Suripin (2002) longsor terjadi karena adanya lereng yang curam, lapisan yang terdiri dari liat atau mengandung kadar liat yang tinggi setelah jenuh air akan bertindak sebagai bidang luncur. Struktur mempengaruhi terjadinya longsor karena struktur berhubungan dengan tata air, terutama terhadap permeabilitas atau kemampuan tanah untuk mengalirkan air. Menurut Suripin (2002) tanah remah memiliki pori di antara agregat yang lebih banyak dibandingkan yang berstruktur gumpal sehingga perembesan airnya lebih cepat. Pada

23 titik lokasi pengamatan hampir semua titik memiliki struktur remah dan hanya sebagian kecil berstruktur butiran dan memiliki lapisan batuan (Tabel 3). Pada titik yang berstruktur butiran memiliki kandungan liat yang tinggi. Sedangkan pada lokasi yang bertekstur lempung berpasir memiliki struktur remah. Dalam penelitian ini dijumpai adanya lapisan batuan pada setiap titik pengamatan. Keadaan penutupan lahan pada titik pengamatan hampir seluruhnya hutan skunder dan semak yang Memiliki persentase penutupan lahan beragam dengan kisaran antara 45 % sampai 85 % (Tabel 3). Pada persentase penutupan lahan yang kecil (45 %) juga memiliki persentase kemiringan yang kecil (65 %) dan pada persentase penutupan lahan yang besar (85 %) juga memiliki persentase kelerengan yang besar (91 %). Hal ini disebabkan karena vegetasi mempunyai pengaruh yang bersifat melawan terhadap pengaruh faktor yang menyebabkan longsor. Pernyataan di atas diperkuat oleh pendapat Seta (1987) yang menyatakan bahwa erosi yang dihasilkan oleh tanah yang terbuka jauh lebih besar dibanding tanah yang tertutup oleh tanaman. Karena adanya intersepsi air hujan oleh tajuk tanaman dan pengurangan aliran permukaan. Tanah longsor umumnya banyak terjadi disebabkan oleh penebangan hutan karena pada daerah yang relatif gundul pengikatan air sangat kurang (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2007). Rafi i (1985) berpendapat bahwa pada kejadian hujan biasa sepertiga air hujan akan melekat pada daun dan akan menguap sebelum sampai ketanah, air yang tidak masuk kedalam tanah akan terhalang mengalirnya oleh daun tanaman.

24 Persentase perakaran pada tiap lokasi pengamatan berkisar 50 %-75 %. Pada lokasi pengamatan yang memiliki persentase perakaran yang kecil (50 %) juga memilki persentase kelerengan yang kecil (65 %). Pada titik yang persentase perakaran yang besar (75 %) memiliki persentase kelerengan yang besar (91 %), jadi longsor akan tetap pada lereng yang persentase kelerenganya kecil jika memilki persentase perakaran yang kecil, hal ini disebabkan persentase perakaran memberikan pengaruh negatif pada terjadinya longsor. Hal senada juga disampaikan oleh Rahim (1995) yang menyatakan bahwa akar tanaman berperan sebagai pemantap agregat dan memperbesar porositas dengan demikian perakaran yang banyak akan menentukan jumlah air yang diserap oleh tanah. Menurut Fort (1988) akar dapat mengikat agregat tanah dan dapat meningkatkan stabilitas agregat tanah dengan meningkatkan kekuatan tanah, granularitas, dan porositas, sehingga dapat mengurangi terjadinya erosi. Anyaman akar tanaman akan manahan lapukan-lapukan sehingga bahaya longsor akan dapat berkurang, akar juga akan menghisap sebagian air hujan yang masuk ke dalam tanah dan kemudian akan diuapkan melalui daun (Evapotranspiration) (Rafi,i, 1985). Setelah diperoleh data-data di atas untuk dapat memperkirakan kapan longsor mungkin terjadi, digunakan data curah hujan bulanan Kecamatan Taba Penanjung selama lima tahun (Lampiran 3). Hujan sangat mempengaruhi terjadinya longsor karena hujan merupakan faktor yang menjadi pemicu terjadinya longsor, energi hujan yang jatuh ke tanah dapat merusak ketahanan tanah dan pada intensitas hujan yang tinggi kandungan air tanah akan mudah jenuh. Hal ini sependapat dengan Rahim (1995) yang

25 menyatakan bahwa pukulan air hujan maupaun aliran permukaan dan kemampuan tanah menyerap air hujan akan menentukan volume limpasan permukaan yang mengikis serta mengangkut hancuran dan masa tanah. Longsor merupakan suatu masalah yang sering terjadi dimusim hujan. Penyebab utama terjadinya longsor adalah curah hujan yang tinggi, ini disebabkan tanah jenuh air serta pengikat agregat tanah tidak berfungsi sehingga tanah dan materialnya meluncur kelereng bagian bawahnya ( Anonim, 2004). Curah Hujan (mm) 500 437,8 453,2 400 346,6 363,2 305 304,6 319 300 242,2 252 200 186,2 140,4 127,6 100 0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Bulan Curah Hujan Gambar 3. Grafik Jumlah Curah Hujan Bulanan Tahun 2002-2006 Jumlah Hari (Hari) 16 14 12 10 8 6 4 2 0 13,6 12,6 11,2 13,8 Gambar 4. Grafik Jumlah Hari Hujan Tahun 2002-2006 9,8 6,2 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Bulan Jumlah Hari hujan 8,6 4,8 5,6 9 12 15

26 Longsor mungkin terjadi di kawasan ini pada bulan Nopember sampai Mei karena memiliki jumlah hari dan curah hujan yang tinggi dengan jumlah hari hujan sebanyak 9.8 hari-15 hari dan curah hujan 304.6mm-453.2 mm (Gambar 3 dan Gambar 4) selama lima tahun terakhir. Pada bulan Desember dan bulan Januari, selama dua bulan berturut- turut jumlah hari dan curah hujan sangat besar dibanding bulan-bulan yang lain yaitu jumlah hari hujan 13.6 hari-15 hari dan curah hujan 437.8 mm-453.2 mm (Gambar 2 dan Gambar 3). Hal ini sependapat dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2007) yang menyatakan bahwa ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November karena meningkatnya curah hujan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Cirir-ciri lokasi yang rawan longsor di kawasan poros jalan utama yang menghubungkan Bengkulu-Curup pada Kecamatan Taba Penanjung yaitu memiliki kelerengan lebih dari 63 % dan kedalaman bidang luncur 1,9 m-6 m, mempunyai tekstur berlempung dan struktur yang remah serta adanya lapisan batuan, memiliki penutupan lahan hutan skunder dan semak serta kombinasi dari keduanya, dengan persentase penutupan lahan antara 45 % sampai 85 %, yang persentase perakaranya antara 50 % dan 75 %. 2. Longsor kemungkinan terjadi pada bulan November sampai April 5.2 Saran Agar bahaya tanah longsor dapat dikurangi pelu dilakukan tindakan perbaikan vegetasi pada lereng yang terjal dan jangan menebangi pohon yang ada di lereng yang terjal.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1986. Geografi Budaya dalam Wilayah Pembangunan Daerah Bengkulu. Bengkulu.. 1995. Buku Saku Bengkulu. Bengkululu. 2004. Pencegahan longsor dan kerusakan tebing. http//www.menlh. goid/gnrhl/htm2/pedoman//20ppl//202004htm - 101k 23 pebruari 2005. Badan Meteorologi dan Geofisika serta Badan Koordinasi Nasional Penaggulangan Bencana dan Penangan Pengungsi. 2003. Bahaya tanah longsor. www.kotatarakan.go.id/tarakan indo/ data_tarakan/rawanlongsor/011204.htm - 6k 23 maret 2005. Fort, H D. 1988. Dasar-dasar Imu Tanah. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Hakim, et al. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung. Islami, et al.1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman.Ikip Semarang Press, Semarang. Perdana, T S P. 2006. Mekanisme Terjadinya Tanah Longsor di Desa Kalangbancar Kecamatan Geyer Kabupaten Grobogan Propinsi Jawa Tengah. www.true geoglist@yahoo.com Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2007. Pengenalan Gerakan Tanah. http//merapi.vsi.esdm.go.id//static/gerakantanah/pengenalan.htm. Rafi`i, S. 1985. Ilmu Tanah. Angkasa, Bandung. Rahim, S.E. 1995. Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui Pengendalian Erosi Tanah. UNSRI. Palembang. Saleh,B dan B Hermawan. 2004. Petunjuk Praktikum Ilmu Konservasi Tanah Dan Air. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Bengkulu.

29 Sapoetra, A.G K dan M M Soetedjo. 1985. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Bumi Aksara, Jakarta. Seta, A K. 1987. Konservasi Sumberdaya Tanah dan Air. Kalam, Jakarta. Suripin. 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Andi, Yogyakartta. Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah (Dasar Kesehatan dan Kulitas Tanah). Gava Media, Yogyakarta.

Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan Lokasi Pengamatan 31

32 Lampiran 2. Data Curah Hujan bulanan Daerah Taba Penanjung Pada Tahun 2002-2006 Tahun Bulan 200 2 200 3 200 4 200 5 200 6 jumlah Rata-rata Januari Curah hujan (mm) 574 195 394 513 513 2189 437.8 Jumlah hari (Hari) 12 6 11 20 19 68 13.6 Februari Curah hujan (mm) 177 494 146 491 425 1733 346.6 Jumlah hari (Hari) 4 13 9 14 23 63 12.6 Maret Curah hujan (mm) 321 267 182 471 284 1525 305 Jumlah hari (Hari) 13 10 8 14 11 56 11.2 April Curah hujan (mm) 486 335 365 374 256 1816 363.2 Jumlah hari (Hari) 17 16 11 14 11 69 13.8 Mei Curah hujan (mm) 171 187 481 507 177 1523 304.6 Jumlah hari (Hari) 4 7 14 15 9 49 9.8 Juni Curah hujan (mm) 79 107 20 400 325 931 186.2 Jumlah hari (Hari) 5 6 2 9 9 31 6.2 Juli Curah hujan (mm) 299 65 250 438 159 1211 242.2 Jumlah hari (Hari) 6 3 15 12 7 43 8.6 Agustus Curah hujan (mm) 67 233 76 321 5 702 140.4 Jumlah hari (Hari) 2 5 4 10 3 24 4.8 September Curah hujan (mm) 116 65 335 101 21 638 127.6 Jumlah hari (Hari) 6 5 9 5 3 28 5.6 Oktober Curah hujan (mm) 15 534 169 518 24 1260 252 Jumlah hari (Hari) 1 13 8 17 6 45 9 Nopember Curah hujan (mm) 401 274 261 452 207 1595 319 Jumlah hari (Hari) 14 9 8 14 15 60 12 Desember Curah hujan (mm) 428 298 625 587 328 2266 453.2 Jumlah hari (Hari) 17 10 12 18 18 75 15 Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika

33 Lampiran 3. Tekstur (%) Point longsor T1 R1 RL1 T2 R2 RL2 KL % pasair % Liat % Debu 1 27 10 3 27 5 3 16.74 77.77 10.55 11.68 2 27 10 3 27 5 3 45.50 72.3 13.15 14.55 3 27 12 3 27 5 3 9.60 74.75 9.91 15.34 4 27 21 3 27 12 3 45.37 40.34 33.49 26.17 5 27 21 3 27 13 3 36.58 43.95 34.20 21.85 6 27 24 3 27 15 3 20.89 43.13 35.11 21.76 7 27 11 3 27 7 3 9.42 76.98 14.27 8.75 8 27 10 3 27 5 3 6.84 79.66 9.66 10.68 9 27 10 3 27 5 3 15.82 77.95 10.47 11.58 10 27 15 3 27 10 3 23.03 64.27 23.43 12.3 11 27 33 3 27 13 3 23.48 19.69 30.92 49.39 12 27 24 3 27 15 3 17.87 44.55 34.23 21.22 13 27 19 3 27 12 3 20.22 55.47 27.70 6.83 T1 : Suhu thermometer hari ke 1 R1 : Hidrometer hari ke 1 RL1 : Blanko hari ke 1 T2 : Suhu thermometer hari ke 2 R2 : Hidrometer hari ke 2 RL2 : Blanko hari ke 2 % Pasir : 100-(R1-RL1) + 0,36(T1-20)(100+KL) Wt % Liat : (R2-RL2) + 0.36(T2-20)(100+KL) Wt % Debu : 100- % Pasir - % Liat

34 Lampiran 4. Contoh Keadaan Lokasi Pengamatan Gambar 1. Lokasi longsor pada titik longsor No. 4 (S : 03 0 39 29,2 dan E : 102 0 33 13,3 ) Gambar 2. Lokasi longsor pada titik longsor No. 10 (S : 03 0 40 29,9 dan E : 102 0 32 41,2 )