II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kota Surakarta Sejarah

dokumen-dokumen yang mirip
PERENCANAAN LANSKAP JALUR INTERPRETASI WISATA SEJARAH BUDAYA JALAN SLAMET RIYADI KOTA SURAKARTA MUHAMMAD IQBAL

Bab VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kawasan stasiun Pasar Nguter, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SABRINA SABILA L2D

BAB I PENDAHULUAN. untuk perusahaan yang menjual jasa kepada wisatawan. Oleh karena itu,

IV. KONDISI UMUM KAWASAN PERENCANAAN

BAB VI KESIMPULAN dan ARAHAN PENATAAN

PERANSERTA STAKEHOLDER DALAM REVITALISASI KAWASAN KERATON KASUNANAN SURAKARTA TUGAS AKHIR. Oleh: YANTHI LYDIA INDRAWATI L2D

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peran city walk sebagai faktor pendukung perkembangan pariwisata kota Solo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Budaya Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari waktu ke waktu (Plachter dan

BAB I PENDAHULUAN. Pusat Rekreasi Area Car Free Day Solo (Penekanan pada Aktivitas Kuliner)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gambar 1-3 Gambar 1. Geger Pecinan Tahun 1742 Gambar 2. Boemi Hangoes Tahun 1948 Gambar 3.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. : Pokok pangkal atau yang menjadi tumpunan (berbagai urusan, hal. dan sebagainya (Wikipedia, 2015).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kasus Proyek

1.1.1 KONDISI TEMPAT WISATA DI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1 ( balai pustaka Kamus Bahasa Indonesia 1988 ) 2 Ibid 3 Ibid

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi wisata

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah remaja di Indonesia memiliki potensi yang besar dalam. usia produktif sangat mempengaruhi keberhasilan pembangunan daerah,

REVITALISASI TAMAN BALEKAMBANG SEBAGAI TEMPAT REKREASI DI SURAKARTA

Tugas akhir ismail yakub BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. A. JUDUL Terminal Bus Tipe A di Surakarta, dengan penekanan pada tampilan arsitektur modern.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. baru, maka keberadaan seni dan budaya dari masa ke masa juga mengalami

STUDI PARTISIPASI PEDAGANG DAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PARTISIPASI DALAM REVITALISASI KAWASAN ALUN-ALUN SURAKARTA TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks,

BAB I PENDAHULUAN. :Pengembangan adalah suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, dan konseptual. -pengembangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

PENGEMBANGAN MASJID AGUNG DEMAK DAN SEKITARNYA SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA

STUDI PENGEMBANGAN PECINAN LASEM SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA TUGAS AKHIR. Oleh : Indri Wahyu Hastari L2D

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah dalam bahasa Indonesia merupakan peristiwa yang benar-benar

BAB I PENDAHULUAN. Pasar Klewer Solo merupakan sebuah pasar tradisional di kota Solo dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mendapatkan gambaran tentang pengertian DESAIN KAWASAN. WISATA PUSAT KERAJINAN PERAK, KAB. BANTUL, perlu diketahui

BAB I PENDAHULUAN. sektor perdagangan, sektor perekonomian, dan sektor transportasi. Dari segi. transportasi, sebelum ditemukannya mesin, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Bengawan Solo :

BAB I PENDAHULUAN. halnya di daerah Sumatera Utara khususnya di kabupaten Karo, rumah adat

STUDI PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA TEGAL MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI KOTA TUGAS AKHIR. Oleh : PRIMA AMALIA L2D

by NURI DZIHN P_ Sinkronisasi mentor: Ir. I G N Antaryama, PhD

PENATAAN KAWASAN GEDONG BATU SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA DI SEMARANG

1BAB I PENDAHULUAN. KotaPontianak.Jurnal Lanskap Indonesia Vol 2 No

BAB I PENDAHULUAN. TABEL 1.1 JUMLAH WISATAWAN MANCANEGARA DAN NUSANTARA KE OBJEK WISATA KOTA BANDUNG Jumlah. Jumlah Tahun.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

mempertahankan fungsi dan mutu lingkungan.

TERMINAL BUS TIPE A DI SURAKARTA

POTENSI LOKASI PUSAT PERDAGANGAN SANDANG DI KOTA SOLO (Studi Kasus: Pasar Klewer, Beteng Trade Center dan Pusat Grosir Solo) TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia, JABODETABEK adalah wilayah dengan kepadatan penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN Kawasan Ampel (Koridor Jalan Nyamplungan - Jalan Pegirian)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan

GEDUNG WAYANG ORANG DI SOLO

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan serta menggalakan dunia kepariwisataan kini semakin giat

BAB V KESIMPULAN. Proses terbentuknya kawasan Pecinan Pasar Gede hingga menjadi pusat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang LAPORAN TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Winda Inayah W L2B

V. KONSEP PENGEMBANGAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

ARAHAN PENYEDIAAN RUANG PEJALAN KAKI DI KAWASAN ALUN-ALUN LOR KOTA SURAKARTA TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN JUDUL

BAB VI INFRASTRUKTUR

STUDI IDENTIFIKASI ATRAKSI WISATA RAWAPENING YANG DIMINATI PASAR WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SUSILOWATI RETNANINGSIH NIM L2D398188

REDESAIN GEDUNG BIOSKOP DI KAWASAN MALIOBORO, YOGYAKARTA BAGIAN I. Pendahuluan dan Latar Belakang UKDW TUGAS AKHIR WILFRIDUS GALIH PRAKOSA

BAB I PENDAHULUAN. Sumber : id.wikibooks.org/wiki/wisata:solo PUSAT KULINER KHAS SOLO

PASAR IKAN DAN PASAR FESTIVAL IKAN DI SUNDA KELAPA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Kawasan Wisata

BAB II DESKRIPSI LOKASI OBJEK PENELITIAN. Batang Hari. Candi ini merupakan peninggalan abad ke-11, di mana Kerajaan

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan

PERANCANGAN KOTA BAB IV ANALISA ALUN ALUN KABUPATEN WONOGIRI MENURUT 8 ELEMEN KOTA HAMID SHIRVANI. 4.1 Analisa Tata Guna Lahan Alun alun Wonogiri

BAB I PENDAHULUAN. fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era globalisasi ini, bangunan bersejarah mulai dilupakan oleh

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENGEMBANGAN SOBOKARTTI SEBAGAI JAVA HERITAGE CENTER

BAB I PENDAHULUAN SURAKARTA. Gambar 1.1. Jaringan Transportasi Kota Surakarta dengan Kota Kota di Pulau Jawa Sumber : Widiyanto_2005,Analisis Penulis

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Pengertian Judul Penataan dan Pengembangan Wisata Kampung Rebana di Tanubayan, Bintoro, Demak. I.1.1.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dengan semakin berkembangnya kegiatan perekonomian dan untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PULO CANGKIR

PERANCANGAN KOTA. Lokasi Alun - Alun BAB III

BAB II FIRST LINE. ditinggalkan dan diabaikan oleh masyarakatnya sendiri. pada tahun yang berisi pengembangan Transit Oriented Development

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI

PENGEMBANGAN TAMAN JURUG SEBAGAI KAWASAN WISATA DI SURAKARTA

3. Pelayanan terhadap wisatawan yang berkunjung (Homestay/Resort Wisata), dengan kriteria desain : a) Lokasi Homestay pada umumnya terpisah dari

Bab I PENDAHULUAN April :51 wib. 2 Jum'at, 3 Mei :48 wib

BAB I PENDAHULUAN. ragam bentuk seni kerajinan yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Sejak

Revitalisasi PG. Colomadu sebagai Kawasan Agrowisata di Kecamatan Colomadu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTABARU YOGYAKARTA. Theresiana Ani Larasati

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah salah satu daerah yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab I PENDAHULUAN. sarana dan prasarana mencakup pada sarana transportasi. Transportasi merupakan

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR CITY HOTEL DI BENTENG VASTENBURG SURABAYA

PENATAAN BUNDARAN KALIBANTENG SEBAGAI SIMPUL KOTA DENGAN KORIDOR JALAN JENDERAL SUDIRMAN SEMARANG

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kota Surakarta 2.1.1. Sejarah Pada abad XVIII, Kota Solo memanfaatkan sungai terpanjang di Pulau Jawa, yaitu Sungai Bengawan Solo sebagai jalur transportasi utama yang menghubungkan Solo dengan Bandar Surabaya. Kota Solo mendapat julukan Kota Bengawan karena site-nya berada di tepian Sungai Bengawan Solo. Wilayah ini merupakan dataran rendah di antara vulkan-vulkan (intermountain-plain) Merapi dan Merbabu di sebelah barat dan Lawu di sebelah timur (Hadi 2001). Kota Solo atau Surakarta pada awalnya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram. Melalui Perjanjian Gianti pada tahun 1755, Kerajaan Mataram pecah menjadi Kerajaan Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat. Perjanjian Salatiga tahun 1757 menyebabkan Kerajaan Surakarta pecah menjadi dua, Kasunanan dan Mangkunegaran. Kota Surakarta tetap menjadi tempat kedudukan kedua kerajaan tersebut sampai saat ini. Pemerintahan Kota Surakarta dimulai sejak ditetapkan sebagai ibukota karesidenan pada tahun 1946, dan kemudian pada tahun 1965 ditetapkan sebagai Ibukota Daerah Tingkat II Kotapraja Surakarta dan sekarang berstatus kotamadya (Hadi 2001). Lebih lanjut, Hadi (2001) mengambil kesimpulan bahwa Solo Lama adalah pusat pemerintahan Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Solo Lama merupakan kawasan deliniasi antara Keraton Surakarta dan Keraton Mangkunegaran. Pada kawasan ini sampai sekarang masih terdapat nama-nama pasar tempat penduduk melakukan transaksi, lekat dengan fungsinya sebagai pasar musiman dalam nama-nama hari Jawa. Pola penyebaran pasar-pasar ini membentuk konfigurasi kota yang cenderung berkembang mengikuti pola grid bentukan pengaruh kolonial. Pasar-pasar tradisional yang tumbuh saat Solo sebagai pusat Kerajaan Surakarta, antara lain Pasar Kliwon, Pasar Pon, Pasar Legi, Pasar Gedhe, Pasar Slompretan (sekarang Klewer), Pasar Kembang, dan Pasar Ngapeman.

6 2.1.2. Perkembangan Kota a. Perkembangan Tata Ruang Luas administrasi Kota Surakarta adalah 4.404 hektar terdiri dari 5 wilayah kecamatan dan 51 kelurahan (Hadi 2001). Sebuah jalan yang lurus dan lebar memanjang dari barat ke timur, yaitu Jalan Slamet Riyadi, membagi Kota Surakarta menjadi dua bagian, yaitu bagian utara yang bersifat profane/tercemar dan bagian selatan yang bersifat sakral. Kompleks Keraton dan kedua alun-alun jelas termasuk ke bagian Kota Selatan yang sakral. Pemukiman orang asing yang beragama lain dan daerah bekas teritorial seperti Mangkunegaran dan Kota Eropa terdapat di bagian utara kota (Santoso 2008). Selanjutnya, Hadi (2001) menyampaikan bahwa pengembangan kota ke arah barat dan selatan cenderung didominasi oleh industri dan komersial tanah di wilayah tersebut dikembangkan dari endapan alluvial vulkanik muda yang subur dan merupakan aquifer yang baik. Potensi air tanah memungkinkan untuk penyediaan air baku industri. Masalah yang mungkin timbul adalah tejadinya konflik kepentingan antara kebutuhan tanah untuk industri dan tanah untuk pertanian. Demikian juga eksploitasi air tanah untuk industri dan limbah industri yang akan mencemari sungai-sungai sebagai badan air yang menerima limbah antara lain Kali Pepe dan Kali Wingko karena industri-industri tersebut letaknya di hulu. Pengaruh regulasi makro yang menetapkan Kota Surakarta sebagai pusat pengembangan Jawa Tengah bagian selatan dan timur (Pusat Pertumbuhan Wilayah IV) dan pusat zona industri Solo-Yogya telah membawa perkembangan tata ruang kota sesuai dengan fungsi baru yang harus didukung atau pengembangan fungsi lamanya (Hadi 2001). Di dalam wilayah kota, Hadi (2001) melihat bahwa pusat kota berkembang di sekitar kedua keraton yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran yang pada awalnya pusat pemerintahan, berkembang menjadi daerah perdagangan, jasa perkantoran, hiburan, dan wisata. Beberapa perumahan di pemukiman ini menjadi tinggi intensitasnya dan beralih fungsi menjadi kawasan komersial dan dunia usaha. Pusat-pusat kegiatan lain di luar pusat kota berkembang secara linier maupun terpusat, menggeser fungsi pemukiman/perumahan termasuk perumahan tipe vila

7 (perumahan besar) di jalan-jalan utama yang berkembang menjadi daerah komersial, niaga, dan jasa. Berbagai kegiatan industri, manufaktur, jasa, juga berkembang di pinggiran kota di luar wilayah admisnistratif Kota Surakarta karena memerlukan tanah yang luas dan harga tanah yang relatif murah. Pertumbuhan ke luar kotamadya ini didukung oleh prasarana dan sarana transportasi yang memadai. b. Karakteristik Transportasi Menurut Hadi (2001) perkembangan kota secara fisik pada arah barattimur dipengaruhi oleh perkembangan jalur transportasi (jalan raya) Solo-Yogya dan Solo-Semarang, juga oleh berkembangnya pangkalan udara Adi Sumarmo menjadi Bandara Internasional di sektor barat; sedangkan ke arah timur dipengaruhi oleh perkembangan jalur transportasi darat (jalan raya) Solo- Surabaya dan perkembangan kawasan industri Palur. Perkembangan tata ruang kota dan perluasannya ke wilayah-wilayah kabupaten di sekitarnya melahirkan wilayah perkembangan terpadu Subosuka (Surakarta-Boyolali-Sukoharjo- Karanganyar). Letak Solo yang berada di tengah jalur antara Semarang dan Yogya menjadikan Solo menjadi kota yang cukup ramai dan berkembang. Subosuka terletak pada jalur lintas selatan sistem transportasi regional Pulau Jawa yang terdiri dari beberapa rute moda transportasi, yaitu; a. Lintas utama KA dari Jakarta, Bandung, Yogya, Semarang menuju Surabaya. Sebuah cabang dari jalur ini menuju ke Purwodadi di bagian utara. Jalur lain yang berasal dari Solo adalah ke Wonogiri di bagian selatan. b. Jalan Arteri Primer yang menghubungkan bagian timur dan barat Subosuka dengan jalan utama di pusat Kota Solo yaitu Jalan Slamet Riyadi menghubungkan jalan menuju Semarang, Yogya, dan Surabaya. c. Sistem transportasi darat ini mendukung sistem transportasi iregional dengan wilayah lain, yaitu Bandara Adi Sumarmo (Hadi 2001). 2.1.3. Lanskap Sejarah dan Budaya Menurut Santoso (2008), hanya kota-kota (peninggalan sejarah kerajaan Mataram) seperti Solo dan Yogya yang masih bisa mempertahankan bentuk asli mereka sampai batas-batas tertentu. Peran sejarah Kota Solo sejak jaman pra-

8 kerajaan hingga jaman kemerdekaan tidak dapat diabaikan. Hal tersebut terlihat dari banyaknya peninggalan bersejarah di Kota Solo. Tabel 1 merupakan hasil identifikasi bangunan-bangunan kuno berdasarkan studi Zaida (2004). Tabel 1. Bangunan-Bangunan Kuno Bersejarah di Kota Solo No Bangunan Bersejarah 1 Keraton Surakarta Hadiningrat 2 Benteng Vastenberg Tahun Keterangan Dibangun 1745 Merupakan cikal bakal pembentukan Kota Surakarta dengan ciri arsitektur tradisional Jawa. Namun keraton saat ini hanya menjadi sebuah situs bersejarah seperti layaknya candi. 1745 Berfungsi sebagai titik pertahanan kolonial di Jawa Tengah dengan bangunan bergaya kolonial. Namun kondisinya saat ini lebih menyerupai puing-puing, beberapa bagian atap di bangunan utama sudah tidak bergenting. 1757 Menggambarkan percampuran antara arsitektur tradisional dengan arsitektur barat. 3 Pura Mangkunegaran 4 Masjid Agung 1777 Dibangun dengan arsitektur tradisional Jawa. Kondisi saat ini masih cukup terawat namun di sekitar bangunan ini banyak berdiri bangunan-bangunan modern yang bersifat komersial. 5 Stasiun Balapan - Merupakan bangunan gaya kolonial yang berfungsi sebagai sarana transportasi yaitu kereta api. Kondisi cukup terawat hingga saat ini. 6 Stasiun Purwosari 1875 Sebagai pendukung Stasiun Balapan. Bangunan berarsitektur barat ini masih berfungsi sebagai stasiun kereta api namun kondisinya kurang terawat. 7 Loji Gandrung - Bangunan berarsitektur kolonial ini sekarang digunakan sebagai rumah dinas Walikota Surakarta dan masih utuh kondisinya. 8 Vihara Avalokiteswaru 9 Vihara Po-An-Kiong 10 Pasar Gede Hardjonagoro - Merupakan rona arsitektur yang berbeda dengan lingkungannya karena pengaruh Cina mendominasi. Kondisi cukup terawat dan masih berfungsi sebagai tempat ibadah agama Budha. 1881 Ciri arsitektur Cina sangat tercermin dari bentuk maupun ornamen-ornamennya. Kondisi saat ini masih cukup terawat. 1893 Bangunan ini merupakan persenyawaan antara bentuk kolonial (dinding tebal / kolom yang besar / tegas) dengan konsep tradisional (bentuk atap bentuk joglo atau limasan). Pada tahun 1927 pernah dilakukan perbaikan, kondisi saat ini masih cukup baik. 11 Taman Sriwedari 1899 Taman ini telah mengalami perubahan sebagai taman yang memiliki unsur budaya menjadi kawasan bernilai ekonomi dan wisata. 12 Stasiun Jebres 1900 Bangunan bergaya kolonial ini tetap seperti aslinya, belum pernah ditambah atau dikurangi meskipun saat ini telah berkembang sebagai stasiun peti kemas. 13 Gereja St. Antonius 1905 Bangunan yang didirikan dengan gaya arsitektur barat ini belum pernah mengalami perubahan bentuk maupun fungsinya. 14 Javache Bank 1908 Merupakan kantor bank pertama kali di Surakarta dengan arsitektur kolonial. Sekarang menjadi gedung Bank Indonesia, kondisinya baik. 15 Taman Balekambang 1916 Sebagai bekas taman dan pemandian putri pemerintahan Mangkunegaran. Sumber: Zaida 2004 Berdasarkan letak-letak bangunan kuno bersejarah di Kota Solo, Zaida (2004) mengidentifikasi kawasan Solo Lama. Terdapat beberapa area yang mempunyai nilai sejarah di Kota Solo yang dapat menjadi linkage area untuk

9 dikembangkan sebagai motor penggerak aktivitas kota dan perlu dibenahi untuk meningkatkan karakter Kota Solo. Linkage area terdiri dari tapak bersejarah dan ruang terbuka bersejarah (Gambar 2). Kawasan Berikat Tapak Bersejarah (Integrated Linkage of Historical Area) Kawasan- kawasan yang tercakup di dalamnya adalah kawasan Keraton Kasunanan Surakarta, kawasan Pura Mangkunegaran, kawasan Balaikota-Pasar Gedhe, serta kawasan benteng Vastenberg yang berada di pusat kota dan sebagai kawasan perdagangan dan pemerintahan. Zaida (2004) menganalisis bahwa di sekitar kawasan ini sering terjadi perbenturan nilai-nilai tradisional dengan nilainilai yang timbul kemudian. Untuk itu pada kawasan ini perlu didesain sebuah kawasan perdagangan yang tetap mengacu kepada kedudukan Keraton dan Mangkunegaran. Sesuai dengan konsep manca-pat 2, kawasan inti Keraton (istana, alun-alun, masjid, dan pasar) dan Mangkunegaran harus steril dari kegiatan perdagangan. Pusat-pusat pertokoan dan pedagang kaki lima (PKL) tidak seharusnya berada di sekitar kawasan keraton ataupun alun-alun, karena jika mengacu konsep manca-pat telah dibangun Pasar Gedhe di luar keraton. Kawasan Berikat Ruang Terbuka Bersejarah (Integrated Linkage of Historical Open Space) Kawasan yang tercakup di dalamnya adalah Taman Sriwedari, kawasan Taman Balekambang, dan Kawasan Taman Jurug. Ketiga kawasan ini merupakan bagian dari sejarah perkembangan Kota Solo dimana fungsinya adalah sebagai ruang terbuka publik dan sarana rekreasi bagi warga kota. Selain berfungsi sebagai sarana rekreasi dan hiburan, dapat pula sebagai kegiatan industri wisata seperti pameran pembangunan serta kegiatan promosi wisata dan kebudayaan yang menarik minat wisatawan. Dalam perencanaan kawasan ini, dapat dihadirkan elemen-elemen lanskap baik elemen keras seperti jalur pedestrian, plasa, jalan, pagar, gedung kesenian, dan lain-lain ataupun elemen lunak seperti vegetasi dan air, bernuansa masa lalu sehingga warga kota ataupun pengunjung dapat merasakan bentuk kota tradisional pada masa lampau (Zaida 2004). 2 Manca-pat diartikan oleh Santoso (2008) sebagai sebuah satuan ruang yang disucikan dengan membaginya menjadi empat bagian (pat ) yang berpusat di tengah (alun-alun utara), yaitu sebelah barat melambangkan ukhrowi ditandai dengan Masjid Agung (1), selatan melambangkan istana raja ditandai dengan istana (2), timur melambangkan duniawi ditandai dengan Pasar Gedhe Hardjonagoro (3), dan utara melambangkan pemerintahan ditandai dengan adanya kepatihan (4).

10 Sumber : Zaida 2004 a. Linkage of Historical Area b. Linkage of Historical Open Space Gambar 2. Historical Linkage Perencanaan kota harus tetap mempertahankan nilai-nilai sejarah dan budaya yang telah ada sebelumnya. Dalam merencanakan sebuah kawasan kota yang terdapat banyak obyek sejarah, harus dipertimbangkan keberadaan obyekobyek sejarah tersebut. Menurut Zaida (2004) alasan tentang pemberian perhatian pada bangunan kuno bersejarah sebagai pertimbangan dalam perencanaan dan pembangunan kota adalah sebagai berikut: 1. lingkungan dan bangunan kuno bersejarah dengan ragam arsitekturnya yang khas merupakan asset yang sangat berharga dalam bidang pariwisata; 2. peninggalan karya arsitektur kuno, baik tradisional maupun peninggalan kolonial, merupakan rekaman sejarah dalam bentuk visual yang menyiratkan kesinambungan peri kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu; 3. pada masa-masa yang penuh perubahan cepat, lingkungan dan bangunan kuno bersejarah memberikan suasana tersendiri yang unik, segar akrab serta dapat menjadi tengeran atau landmark untuk orientasi; 4. generasi mendatang membutuhkan rasa aman dan kebanggaan, yang akan diperoleh melalui peluang untuk melihat, menyentuh, dan merasakan bukti fisik sejarah serta kekayaan budaya nenek moyang; 5. dengan dilestarikannya bangunan kuno bersejarah di segenap tempat, khasanah wajah lingkungan akan menjadi lebih kaya; 6. keberhasilan perencanaan dan perancangan lingkungan binaan akan menjadi bekal dan pelajaran berharga bagi kegiatan serupa di masa depan.

11 2.2. Jalan Slamet Riyadi 2.2.1. Karakteristik Menurut Malik (2007), pada abad ke-19 tepat berhadapan dengan benteng Vastenberg, menjadi pusat pemukiman Belanda yang dinamakan Kampung Baru. Di pusat pemukiman Belanda terdapat jalan ke arah barat menuju Kartasura dan ke Semarang. Santoso (2008) mengemukakan jalan yang lurus dan lebar tersebut memanjang dari barat ke timur membagi Solo menjadi dua bagian, yaitu bagian utara yang telah tercemar (profane) dan bagian selatan yang sakral. Kompleks Keraton dan kedua alun-alun termasuk ke dalam bagian Kota Selatan yang sakral (Santoso 2008). Dengan dibukanya jalan menuju Semarang, terjadi pertumbuhan ekonomi dan kultural pada masyarakat Solo. Sejak itu keberagaman etnis, tradisi dan kesenian tumbuh di masyarakat wilayah utara dan selatan kota (Malik 2007). Jalan yang pada mulanya dinamakan Wihelminaan ini sekarang bernama Jalan Slamet Riyadi (Malik 2007). Jalan ini merupakan jalan utama/arteri di pusat Kota Surakarta yang menghubungkan bagian timur dan barat Subosuka dan juga menghubungkan Surakarta dengan Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya (Hadi 2001). Selain itu, di Jalan Slamet Riyadi terdapat sebuah rel kereta api yang menyatu dengan jalan dan berada di sebelah selatan jalan. Rel kereta api yang merentang di Jalan Slamet Riyadi ini, adalah rel jurusan Solo-Wonogiri (Primartantyo 2008). Jalan Slamet Riyadi memiliki nilai-nilai sejarah dan budaya yang sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan obyek-obyek sejarah kolonial dan budaya Jawa yang masih terlihat hingga saat ini, termasuk kedua keraton, yaitu. Kasunanan dan Mangkunegaran. Menurut Hadi (2001), pusat kota berkembang di sekitar kedua keraton, yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran, menjadi daerah perdagangan, jasa perkantoran, hiburan, dan wisata yang pada awalnya merupakan pusat pemerintahan. Jalan Slamet Riyadi, juga ikut berkembang menjadi daerah komersial, niaga, dan jasa. 2.2.2. Rencana Pengembangan Zaida (2004) memaparkan bahwa di sepanjang Jalan Slamet Riyadi yang diperuntukkan sebagai perkantoran, pertokoan, dan jasa pelayanan, dalam perencanaanya dapat dikembangkan dengan desain bangunan atau perabot jalan

12 (street furniture) yang mengacu pada arsitektur tradisional, sehingga tercipta kesatuan ruang. Dari hasil perencanan kawasan ini, dapat dikembangkan kegiatan wisata budaya yang dipadukan dengan wisata belanja. Rejeki (2006) menyatakan bahwa bangunan-bangunan di sepanjang Jalan Slamet Riyadi juga menampilkan bangunan bercorak kolonial-jawa sebagai ciri khas Kota Surakarta. Lebih lanjut Rejeki (2006) menyampaikan bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Solo saat ini telah mengembangkan konsep city walk di sepanjang Jalan Slamet Riyadi sehingga bisa digunakan untuk berjalan dan menarik para wisatawan. Pada tahap awal pengembangan city walk, Pemkot Surakarta telah menata pedagang kaki lima (PKL) dengan menertibkan dan membangun shelter PKL. Solo City Walk dibangun di sebelah selatan Jalan Slamet Riyadi, mulai dari Purwosari hingga ke Bundaran Gladak dan Pasar Gede. Jalur pedestrian dilebarkan dengan cara menghilangkan jalur lambat dan menggabungkannya dengan trotoar yang sudah ada sehingga terbentuk jalur pedestrian baru selebar lima meter. Jalur pedestrian ini dilengkapi dengan kursi-kursi bagi pejalan kaki, taman, dan penambahan pepohonan. Selanjutnya Primartantyo (2008) menyebutkan bahwa PT Kereta Api telah mempertimbangkan untuk mengoperasikan trem di jalur kereta api yang merentang sepanjang jalan utama Kota Surakarta ini. Trem beroperasi di sejumlah kota Indonesia sejak zaman Belanda. Setelah zaman merdeka, perlahan trem-trem ini dihentikan operasinya dan diganti bus kota sebagai angkutan massal. Selain sebagai angkutan, trem juga bisa diarahkan untuk paket wisata, sepanjang jalur kereta di pinggir Jalan Slamet Riyadi banyak bangunan bersejarah seperti Museum Radya Pustaka, Keraton, dan lainnya. 2.3. Wisata 2.3.1. Pengertian Wisata Menurut Gunn (1993), wisata merupakan perjalanan sementara yang dilakukan orang menuju sebuah tujuan selain tempat asal mereka bekerja dan tinggal, mereka melakukan aktivitas selama di tujuan tersebut dan fasilitasfasilitas dibuat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Menurut Pendit (2002), wisata sebagai istilah bahasa Indonesia adalah padanan istilah bahasa Inggris tourism yang dipakai oleh Negara-negara Eropa

13 Barat dan travel oleh orang Amerika Utara, yang mengandung makna kepergian orang-orang, dalam jangka waktu pendek, sementara, ke tempat-tempat tujuan diluar tempat tinggal dan bekerja sehari-harinya serta kegiatan-kegiatan mereka selama berada ditempat-tempat tujuan tersebut untuk berbagai motivasi asal usaha mereka tidak untuk mencari nafkah. Wisata adalah salah satu jenis industri baru yang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektor-sektor produktif lainnya. 2.3.2. Wisata Sejarah Untuk sumber-sumber sejarah, tipe pengembangan dapat dilakukan pada obyek-obyek seperti: tempat yang bersejarah, arsitektur bersejarah, tempat yang suci, museum yang menggambarkan berbagai era sejarah, pusat budaya, pawai sejarah, festival, landmark, dan taman bersejarah. Untuk keperluan wisata, tapak, stuktur, serta kegiatan yang berkaitan dengan tempat tersebut merupakan dasar atraksi wisata (Gunn 1993). Menurut Gunn (1993), perlu usaha lebih agar pemilik situs-situs sejarah yang vital terdorong agar mempercayakan wewenang perlindungan dan pengelolaan kepada pihak negara. Dibutuhkan sebuah program untuk meningkatkan dorongan guna pelestarian kembali sumber-sumber sejarah. Hal ini dapat diantisipasi dengan pembuatan zona baru yang berhubungan dengan aspek sejarah guna identifikasi sumber-sumber sejarah selama proses perencanaan keseluruhan. Suatu daerah tertentu sedikit banyaknya memiliki ciri sejarah berupa benda acuan (landmark). Pengetahuan terhadap letak dan kegunaan benda acuan ini sangat berharga untuk suatu penafsiran terhadap daerah yang akan dikelola secara menyeluruh, juga dalam hal meletakkan tampilan khusus dan menjadikannya sebagai pusat perhatian. Beberapa aspek pada tapak yang merupakan ciri sejarah: rute bersejarah, bangunan bersejarah, tapak bersejarah (Chiara dan Koppelmen 1994).

14 2.3.3. Wisata Budaya Lanskap wisata sejarah juga sangat berkaitan erat dengan budaya masyarakat lokal karena hasil interaksi serta persepsi masyarakat lokal terhadap warisan sejarah merupakan kebudayaan yang tidak ternilai harganya. Menurut Marbun (1994), kota Indonesia masa kini dan masa depan tidak perlu menjiplak model dari dunia luar, tetapi harus menggali nilai-nilai/budaya Indonesia dan memadukan secara harmonis sesuai dengan kemajuan teknologi. Wisata budaya adalah wisata yang dilakukan atas dasar keinginan, untuk memperluas pandangan hidup seseorang dengan jalan mengadakan kunjungan atau peninjauan ke tempat lain atau keluar negeri, mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan, dan adat istiadat mereka, cara hidup mereka, budaya dan seni mereka. Perjalanan ini sering disatukan dengan kesempatan-kesempatan mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan budaya, seperti eksplorasi seni, atau kegiatan yang bermotif kesejarahan dan sebagainya (Pendit 2002). 2.4. Jalur Interpretasi 2.4.1. Pengertian Interpretasi Tilden dalam Sharpe (1982) mengemukakan bahwa interpretasi adalah aktivitas pendidikan yang bertujuan untuk mengungkapkan makna dan asal-usul sebuah obyek bersejarah dengan berbagai media ilustrasi. Selanjutnya Sharpe (1982) menyimpulkan bahwa interpretasi merupakan hubungan komunikasi antara pengunjung dengan obyek yang dikunjunginya. Knudson dalam Damayanti (2003) menyatakan bahwa interpretasi adalah mengkomunikasikan arti sebuah tempat dan kejadian, serta memunculkan maknamakna yang tersembunyi. Secara umum, interpretasi adalah penerjemahan dari fenomena sejarah, budaya, dan alam sehingga para pengunjung dapat memahami dengan baik dan menikmati apa yang disampaikan. 2.4.2. Teknik dalam Pengembangan Jalur Interpretasi Peter Howard dalam Riyanto (2008) mengulas tentang interpretation in practice dan beberapa butir penting menyangkut hal ini antara lain adalah: 1) interpretasi merupakan salah satu dari tiga bagian utama heritage selain konservasi dan manajemen;

15 2) interpretasi memiliki berbagai makna berkaitan dengan mengkomunikasikan heritage kepada masyarakat yang meliputi interpretasi langsung dan kemasan (design); 3) persoalan dalam interpretasi antara lain adalah menyangkut apa yang harus disampaikan, bagaimana caranya, dan untuk siapa; 4) interpretasi dengan kemasan (design) akan menyangkut beberapa hal seperti: a) diperlukan keahlian dalam mengemas (mendesain), b) sasarannya adalah kelima panca indra pengunjung, c) bentuknya meliputi: pameran, leaflet, label, audio-video, sistem teknologi informasi (multi media), tata suara, musik, replika, contoh/peniruan, d) prosesnya meliputi tiga tahapan: strategi, taktis, pelaksanaan. Ham dalam Damayanti (2003) menyebutkan beberapa teknik presentasi interpretasi yaitu: (1) penyampaian lisan, tulisan; (2) pemandu perjalanan wisata; (3) brosur dan publikasi; (4) pameran; (5) penanda; (6) self-guided trails. Untuk mendukung pelaksanaan teknik interpretasi dibutuhkan kelengkapan interpretasi seperti tempat pameran, penanda, bangku, jalur, kelengkapan sepanjang jalur, dan amphitheater. Gunn (1993) berpendapat bahwa untuk pengembangan wisata yang berkelanjutan dibutuhkan kontrol oleh pengelola, dalam hal ini pemerintah, dan pihak pengunjung demi kenyamanan mereka sendiri. Beberapa kontrol yang berpengaruh untuk menyeimbangkan penggunaan wisata dengan perlindungan situs-situs bersejarah yaitu pos masuk, pusat pengunjung, pelaksanaan peraturan yang santun dan efektif, pengelolaan sumber-sumber sejarah, pengenalan dan interpretasi lingkungan. Salah satu kontrol yang paling penting adalah pusat interpretasi. Pusat interpretasi pengunjung adalah sebuah fasilitas dan program yang didesain untuk melengkapi pengetahuan dan wawasan pengunjung terhadap sumber-sumber wisata alami maupun budaya. Alokasi ruang untuk fasilitas pusat interpretasi terbukti telah membuat pengalaman wisatawan lebih mengenang dan tidak terlupakan (Gunn 1993). Hal ini karena pengunjung lebih mengetahui tempat mana saja yang harus dikunjungi sesuai dengan waktu yang dimiliki.

16 2.5. Perencanaan Lanskap Wisata Menurut Hall (2000), perencanaan wisata tidak hanya mengarah kepada spesifikasi pengembangan wisata dan promosi walaupun hal tersebut memang penting. Wisata harus terintegrasi dengan proses perencanaan secara menyeluruh agar tujuan utama dari pengembangan ekonomi, sosial, dan lingkungan dapat sesuai dengan pengembangan wisata. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam mengembangkan kawasan wisata adalah ketersediaan obyek dan atraksi wisata, pelayanan wisata, dan transportasi pendukung. Obyek dan atraksi wisata merupakan andalan utama untuk mengembangkan kawasan wisata. Wisata harus direncanakan untuk memastikan bahwa wisatawan dapat dengan bebas memperkaya diri dengan mendapatkan sesuatu yang baru, petualangan, dan penghargaan terhadap diri sendiri dengan mencapai obyek yang diinginkan (Gunn 1993). Berikut ini adalah pertimbangan dalam penelitian daya tarik wisata sejarah dan budaya. Tabel 2. Kriteria Penelitian Daya Tarik Wisata Sejarah dan Budaya (Pendit 2002) Aspek Jenis Obyek/Atraksi Wisata Sejarah Peninggalan Purbakala Bekas istana, tempat peribadatan, kota tua dan bangunan-bangunan purbakala, peninggalan sejarah, dongeng atau legenda. Budaya Adat Istiadat Pakaian, makanan dan tatacara hidup daerah, pesta rakyat, kerajinan tangan dan produk-produk lokal lainnya. Seni Bangunan Arsitektur setempat seperti candi, pura, masjid, gereja, industri, bangunan adat, dan sebagainya. Pentas dan Pagelaran Gamelan, musik, seni tari, pekan olahraga, kompetisi, pertandingan dan sebagainya. Pameran Pekan Raya Pekan raya-pekan raya bersifat industri komersial.