BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Salah satu upaya untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang baik

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS PENGARUH PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN AKTIVA, EFISIENSI, DAN KINERJA KEUANGAN BUMD DI PROVINSI DIY.

BAB V PENUTUP. efisiensi dan kinerja keuangan BUMD di Provinsi DIY, maka dapat

BAB I PENDAHULUAN. daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH PADA BADAN USAHA MILIK DAERAH

BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 13 TAHUN 2013 T E N T A N G

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR 2 TAHUN 2016

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN BARAT,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN BARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 3 TAHUN 2012

PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH DAERAH KOTA PALU PADA PT. BANK SULTENG

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

BAB II KERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. II.1.1 Pengertian Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH DAERAH PADA PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROPINSI RIAU NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH DAERAH KOTA PALU PADA PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM (PDAM)

Bab I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam pelaksanaan urusan ini membutuhkan banyak. sumber daya dan kemampuan, diantaranya diperlukan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dari segala bidang. Pembangunan tersebut bertujuan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENYERTAAN MODAL KEPADA BUMD PT PERDANA MULTIGUNA SARANA BANDUNG BARAT

BAB I PENDAHULUAN. dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak. 1

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

WALIKOTA PALANGKA RAYA

RARANCANGAN) (Disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH PADA PIHAK KETIGA

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU NOMOR 05 TAHUN 2014 T E N T A N G

BUPATI SAMPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMPANG NOMOR : 2 TAHUN 2011 TENTANG

NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH PADA PT. JAMKRIDA NTB BERSAING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 19 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI NGANJUK NGANJUK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI SOLOK SELATAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOLOK SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS TAHUN 2013 NOMOR 5

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI BENGKAYANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU

BUPATI SOLOK SELATAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOLOK SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2016

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

PERATURAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH DAERAH KOTA PALU PADA PT. PUSAKA JAYA PALU POWER (PJPP)

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG

PROVINSI KALIMANTAN BARAT

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG

BUPATI SOLOK SELATAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOLOK SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. daerah dilaksanakan melalui berbagai arah kebijakan, utamanya adalah: berbagai lembaga ekonomi dan masyarkat di daerah;

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012

BUPATI TIMOR TENGAH UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN TAHUN 2008 NOMOR 8

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan berbangsa dan bernegara.tata kelola pemerintahan yang baik (Good

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122 TAHUN 2001 TENTANG TIM KEBIJAKAN PRIVATISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR SERI B PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2012

BAB II KINERJA SEKTOR PUBLIK. hendak dicapai. Tujuan tiap-tiap organisasi sangat bervariasi tergantung pada

PEMERINTAH KABUPATEN SELUMA

BAB I PENDAHULUAN. dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Tugas Pembantuan.

BAB I PENDAHULUAN. Setelah beberapa dekade pola sentralisasi dianut oleh Bangsa Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kepedulian terhadap potensi dan keanekaragaman daerah. daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH PADA BADAN USAHA MILIK DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN BARRU

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR... TAHUN... TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 10 TAHUN 2015

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

WALI KOTA SINGKAWANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 8 TAHUN 2015

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAIRI NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG PENAMBAHAN PENYERTAAN MODAL DAERAH PADA PT. BANK SUMUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2013 T E N T A N G

BUPATI TAPIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di Indonesia telah membawa

PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 12 TAHUN 2015

BUPATI PULANG PISAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PULANG PISAU NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA PEKALONGAN TAHUN 2011 NOMOR 2

Transkripsi:

19 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Salah satu upaya untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang baik adalah dengan sistem pembangunan ekonomi nasional. Sejak era reformasi bergulir, pemerintah dituntut untuk terus melakukan pembenahan dalam hal pembangunan nasional yang merata sampai ke tingkat daerah di seluruh Indonesia. Penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan akan berjalan optimal apabila diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Desentralisasi Fiskal, dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan, diantaranya melalui hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan yang bersumber dari bagian laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) maupun hasil kerjasama dengan pihak ketiga. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, salah satu tujuan dari pemberian otonomi kepada daerah diantaranya adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat yakni mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat sesuai dengan potensi dan keanekaragaman sumber daya lokal yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Dengan demikian, pemerintah daerah tentunya dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam membangun daerahnya serta memiliki daya saing yang

20 tinggi untuk mengkombinasikan antara faktor kondisi ekonomi, kualitas kelembagaan publik, sumber daya manusia dan teknologi yang secara keseluruhan membangun kemampuan daerah untuk lebih berkembang dan berdaya saing. Semenjak undang-undang tentang otonomi daerah tersebut diterapkan, persoalan kemampuan daerah secara ekonomi dan politis mulai menjadi sorotan. Salah satu isu ekonomi yang menarik adalah seputar daya dukung sumber pendapatan daerah dalam menggantikan penerimaan yang diperoleh dari pemerintah pusat. Isu ini memang strategis mengingat pelaksanaan otonomi juga dapat diartikan sebagai kemandirian daerah dari sisi pembiayaan pembangunan. Upaya yang giat dilakukan dalam rangka pengembangan daerah agar dapat mandiri adalah dengan pendirian Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai salah satu basis yang paling mendasar di daerah, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Agar dapat memperoleh manfaat dan keuntungan yang maksimal bagi pengelolaan BUMD/perusahaan daerah, maka sangat diperlukan jiwa entrepreneurship yang baik di kalangan pemerintah daerah (eksekutif daerah) sebagai pemegang saham utama BUMD/perusahaan daerah (Sudarno, dkk, 2010). Selama ini sumber penerimaan daerah terdiri dari sumbangan pemerintah pusat, pajak daerah dan penerimaan lain seperti laba perusahaan daerah atau BUMD. Dengan berkurangnya porsi subsidi pemerintah pusat, tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan pemerintah daerah selain menggali

21 dan mengoptimalkan sumber pendapatan asli daerah. Persoalan yang muncul adalah, mampukah daerah melakukannya mengingat keterbatasan sumber-sumber pendapatan daerah, khususnya bagi daerah yang miskin sumber daya alamnya. Secara umum kondisi BUMD/perusahaan daerah dapat dikatakan sama dengan apa yang dialami oleh kebanyakan BUMN. Persoalan BUMD kurang terekspos karena memang secara makro posisinya kurang strategis bila dibandingkan dengan BUMN. Dilihat dari misi pendiriannya, BUMN jelas memiliki peran yang sangat signifikan dalam mendukung perekonomian nasional. Sebegitu pentingnya, pemerintah pun perlu membuat kementerian khusus yang menangani BUMN. Hal ini berbeda dengan BUMD yang kurang mendapat perhatian secara khusus dari pemerintah. Dalam artikelnya yang berjudul Membuka Belenggu BUMD Sunarsip (2009) mengatakan bahwa, Badan Usaha Milik Daerah yang ada di Indonesia masih banyak menghadapi permasalahan yang pelik dan rumit. Permasalahan yang dimaksud adalah : dari segi governance, institusi BUMD masih diperlakukan sama dengan institusi pemerintah, padahal BUMD bukanlah institusi pemerintah; Tidak adanya equal treatment bagi BUMD (yaitu perusahaan yang dituntut harus laba) menyebabkan BUMD tidak dapat bersaing secara seimbang dengan BUMN dan swasta yang lebih lincah. Selain itu, minimnya permodalan akibat kurangnya perhatian dari pemilik (dalam hal ini pemerintah daerah), kalaupun ada perhatian lebih

22 masih harus menghadapi ganjalan politik, karena interpretasi yang keliru dari politisi DPRD dalam memahami peraturan, akibatnya proses penguatan permodalan BUMD menjadi tidak efisien. Afandi, (2013) dalam artikelnya yang berjudul Anak Terlantar Bernama BUMD, menyoroti BUMD yang belum mempunyai payung hukum sendiri. Sejak tahun 2006 RUU BUMD sudah pernah masuk Program Legislasi Nasional, tapi beberapa tahun terakhir hilang dari daftar. Lebih lanjut, Afandi (2013) mengatakan bahwa sejumlah daerah menyiasati persoalan payung hukum ini dengan menjadikan BUMD sebagai perseroan terbatas. Cara ini lebih memberi kepastian hukum kepada pengelola BUMD serta menjadikan gerak bisnis BUMD lebih luwes dan lincah. Persoalannya, masih banyak kepala daerah yang enggan menjadikan BUMD berbadan hukum perseroan terbatas. Alasannya, BUMD dikhawatirkan tidak bisa menjalankan fungsi public services karena harus dikelola dengan pendekatan bisnis murni. Selain persoalan belum adanya payung hukum, Afandi (2013) juga menyoroti Potensi BUMD yang bisa menjadi penggerak ekonomi daerah (mesin ekonomi). Menurutnya, BUMD bisa menjadi instrumen untuk menjalankan fungsi pelayanan publik dengan lebih cepat dan sekaligus menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi di daerah. Namun peran ini baru bisa dirasakan ketika BUMD dikelola secara benar dan profesional. BUMD yang sehat dan dikelola secara profesional sangat mungkin menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah.

23 Kondisi BUMD/perusahaan daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak seluruhnya mengalami persoalan yang sama. Dengan jumlah BUMD/perusahaan daerah yang cukup banyak, persoalan yang dihadapi pun berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hampir setiap tahunnya, surat kabar lokal tidak luput menyoroti kinerja BUMD/perusahaan daerah yang berada di DIY. Sebagian besar Badan Usaha Milik Daerah yang ada di DIY masih minim kontribusinya pada pendapatan asli daerah (Harian jogja, senin, 18 Februari 2013). Padahal suntikan dana lewat anggaran pendapatan dan belanja daerah terus diberikan. BUMD milik Pemprov DIY misalnya ada Perusahaan Daerah Taru Martani, PT. Anindya Mitra Internasional, Badan Usaha Kredit Pedesaan serta Bank Pembangunan Daerah yang diharapkan mampu menyetor PAD. Dari empat BUMD tersebut, dua di antaranya kini dilanda krisis finansial dan kondisi paling parah terjadi pada PT. AMI (Harian jogja, senin, 18 Februari 2013). Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan APBD DIY menyebutkan, dalam rentang 2008-2011 perusahaan ini hanya sekali menyumbang PAD senilai Rp123 juta. Padahal total penyertaan modal dari APBD yang telah digelontorkan ke perusahaan dari 2004 (awal perubahan status menjadi PT), hingga saat ini mencapai Rp15,6 miliar. BUMD berkinerja baik justru ditunjukan Badan Usaha Kredit Pedesaan (Harian jogja, senin, 18 Februari 2013). Lembaga ini sedianya tidak ditarget lantaran tujuannya untuk misi sosial yakni menggelontorkan dana bergulir ke masyarakat untuk usaha mikro. Justru lembaga ini rutin

24 setiap tahun menyumbang PAD. Terakhir pada 2011 dengan sumbangan hingga Rp 2,8 miliar. Sedangkan BPD memberi sumbangan terakhir 2011 mencapai hingga Rp 25,6 miliar. Kondisi tidak jauh berbeda terjadi pula pada beberapa BUMD yang lain. Bukan hanya BUMD milik pemprov DIY, bahkan di setiap kabupaten pun terjadi hal yang sama. Selama tahun 2012 dan 2013, Perusahaan Daerah Aneka Dharma yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Bantul belum memberikan kontribusi positif bagi kas daerah. Dari laporan pertanggungjawaban (LPJ) Bupati Bantul Sri Surya Widati, beberapa BUMD yang ada di Bantul memperoleh penghasilan sebesar Rp 9 miliar, tetapi Aneka Dharma belum dapat memperlihatkan kontribusinya (Tribun Jogja, Selasa, 3 Juni 2014). Problematika seperti masih miskinnya keuntungan BUMD, kurang efisiennya penggunaan anggaran, serta minimnya permodalan yang dimiliki menyebabkan BUMD terus-menerus dihadapkan pada persoalan-persoalan yang pelik dan tidak kunjung selesai. Pada akhirnya BUMD tidak dapat berkontribusi pada penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan berujung pada rendahnya kinerja BUMD. Pemerintah daerah sebagai pemegang saham utama berusaha semaksimal mungkin untuk mengoptimalkan kinerja BUMD. Penyertaan modal yang diberikan oleh pemerintah daerah seharusnya mampu dikelola secara baik oleh BUMD yang ada di Provinsi DIY. Pentingnya pengelolaan penyertaan modal

25 bertujuan untuk melakukan investasi yang produktif, mewujudkan efisiensi serta meningkatkan kinerja keuangan. Mencermati berbagai permasalahan yang dihadapi oleh BUMD pada umumnya, dan berbagai persoalan khususnya yang dihadapi oleh BUMD di Provinsi DIY, penulis termotivasi untuk melakukan penelitian ini dengan judul Analisis Pengaruh Penyertaan Modal Pemerintah Daerah Terhadap Pertumbuhan Aktiva, Efisiensi dan Kinerja Keuangan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. I.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang telah diuraikan diatas, penulis dapat merumuskan permasalahnya adalah : 1. Apakah terdapat pengaruh penyertaan modal yang diberikan oleh pemerintah daerah terhadap pertumbuhan aktiva BUMD di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta? 2. Apakah terdapat pengaruh penyertaan modal yang diberikan oleh pemerintah daerah terhadap efisiensi BUMD di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta? 3. Apakah terdapat pengaruh penyertaan modal yang diberikan oleh pemerintah daerah terhadap kinerja keuangan BUMD di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta? I.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah menguji kembali model penelitian (riset) yang dilakukan oleh Sudarno, dkk (2010) dengan obyek penelitian

26 yang baru yakni Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. I.4 Kontribusi Penelitian I.4.1 Kontribusi Teori : Memberikan informasi terbarukan pentingnya penyertaan modal yang bukan saja dikaitkan dengan pertumbuhan aktiva dan kinerja keuangan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tetapi juga bagaimana kaitannya dengan efisiensi. I.4.2 Kontribusi Praktek : Dengan adanya penyertaan modal dari pemerintah daerah, diharapkan penelitian ini berkontribusi memberikan masukan kepada pihak BUMD, baik jajaran direksi maupun jajaran dibawahnya untuk memperbaiki kinerja yang lebih baik, mengurangi inefisiensi biaya, serta dapat meningkatkan pertumbuhan aktiva yang lebih baik. I.4.3 Kontribusi Kebijakan : Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pemerintah daerah (pemegang saham utama) dalam membuat kebijakan-kebijakan yang lebih baik dan memihak kepada BUMD melalui peraturan-peraturan yang dibuat. Sedangkan bagi BUMD sebagai pengelola, khususnya jajaran direksi dapat menjadi bahan masukan dalam mengambil kebijakan yang lebih baik untuk keberlangsungan BUMD.