KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN Kesimpulan Sebelum tahun 1984, masyarakat di Kampung Urumusu adalah penduduk Distrik Mapia. Mata pencaharian utama penduduk adalah petani kakao. Luas lahan kakao yang dimiliki masyarakat saat ini sudah mencapai 312 hektar. Secara georgafis, Kampung Urumusu berada pada posisi 4 0,15 LU - 4 0,40 LS dan 130 0 10 BB -130 0 45 BT. Luas wilayah adalah panjang 28 Km dan lebar 13 Km. Pemanfaatan lahan atau pola tata guna tanah di Kampung Urumusu didominasi oleh wilayah hutan tropis alami (60 %). Sedangkan lokasi pemukiman penduduk dan pertanian kakao (30 %), hutan ladang berpindah dan rawa (10%). Jaringan jalan primer, yaitu jalan yang menghubungkan Kabupaten Nabire dan Kabupaten Paniai. Jaringan listrik, telekomukasi, Pos dan air bersih masih belum membuka cabangnya. Fasilitas pemerintahan yang dimiliki adalah Balai Kampung, 1 unit SD Negeri Inpres dan 1 (satu) unit Polindes. Fasilitas perekonomian yang dimiliki adalah 1 (satu) Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Sedangkan Fasilitas peribadatan yang dimiliki adalah Gereja Katholik St. Yahanes dan GKII Bedeida. Menurut tingkat pendapatan Kepala Keluarga (KK), 83 % KK dari total 78 KK di Kampung Urumusu berpendapatan di bawah angka Upah Minimim Provinsi (UMP) Papua. Sedang berdasarkan mata pencaharian, 73 (94%) KK bermata pencaharian sebagai petani kakao. Menurut asal suku, sebanyak 256 jiwa atau 77% penduduk Kampung Urumusu berasal dari Suku Ekagi dan 82% penduduk Kampung Urumusu berpendidikan di bawah tamatan SD. Kondisi ekonomi, sosial dan politik masyarakat sedang tidak berdaya karena: 1) Pemerintah Kampung kurang mampu melaksanakan usaha-usaha pengentasan hama dan penyakit secara terpadu serta masalah sosial lainnya; 2) Pemerintah Kampung sering mempraktekkan ketidaktepatan sasaran, prosedur dan pengorganisasian dalam pelaksanaan tugas pembantuan dari pemerintah supra desa. 3) masyarakat masih trauma dengan bangkrutnya KUD dan Kopermas yang pernah dibangun bersama; 4) lembaga-lembaga kemasyarakatan kurang efektif dalam memperjuangkan aspirasi anggotanya; 5) Kepala Kampung sebagai pembina lembaga kemasyarakatan kurang efektif dalam melaksanakan tugas pembinaan dan pengawasan langsung pada lembaga kemasyarakatan; dan 6)
149 Pemerintahan Kampung kurang mampu melaksanakan usaha pembinaan modal sosial melalui kebijakan publik di tingkat kampung. Selain itu secara politik, masyarakat juga telah kehilangan ruang partisipasi aktif dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, pemeliharaan serta pengawasan dan evaluasi proses pembangunan Kampung. Yang menjadi penyebab ketidakberdayaan di bidang politik adalah: 1) Pemerintahan Kampung Urumusu kurang mampu menyelenggarakan Musrenbang Kampung dan proses APB Kampung sesuai prosedur yang merupakan satu kesatuan dari sistem perencanaan dan pembiayaan pembangunan nasional; 2) BPK Urumusu kurang efektif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya; dan 3) Pemerintah Kampung tidak pernah melaksanakan pertanggungjawaban dan evaluasi atas proses pembangunan, khususnya dalam pelaksanaan tugas pembantuan. Hasil evaluasi Program Pemberdayaan Kampung (PPK) menunjukan bahwa tujuan PPK untuk pengembangan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu dalam tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang berkelanjutan tidak tercapai karena realisasi PPK yang tidak demokratis, tidak prosedural, tidak terorganisir, tidak realistis dan tidak disertai dengan pendampingan. Kondisi ini mencerminkankan bahwa kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu tetap lemah. Lemahnya kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu berdampak pada ketidakmampuan pemerintahan kampung dalam memenuhi kebutuhan multi-pihak (stakeholder) di kampung, seperti: 1) belum mampu mengotimalkan kewenangan teknis dalam program pembantuan untuk mengsingkronisasikan dengan visi, misi dan Rencana Strategi Pembangunan Kabupaten; 2) kapasitas keorganisasian dalam melaksanakan ketatalaksanaan adminitrasi dan mengimplementasikan budaya organisasi yang baik masih lemah; 3) kapasitas SDM aparat pemerintahan dan masyarakat kampung masih lemah karena pelaksanaan PPK tidak menjadi sarana proses belajar masyarakat dalam melaksanakan tata pemerintahan; 4) kapasitas keuangan (penerimaan) dan pengelolaan keuangan seperti manajemen keuangan, penyusun sistem penganggaran serta melaksanakan pertanggungjawaban keuangan kampung masih lemah; 5) kapasitas sarana dan prasarana pemerintahan kampung dalam rangka menunjang pelayanan kepada masyarakat tidak memadai; 6) kapasitas fungsi perencanaan masih lemah sehingga tidak pernah melaksanakan proses Musrenbang dan APB Kampung secara partisipatif serta mengoptimalkan pelaksanaan fungsi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
150 Kampung (LPMK) dan lembaga kemasyarakatan lainnya sebagai lembaga perencana dan pelaksana dalam proses pembangunan; 7) fungsi pengawasan Pemda Kabupaten Nabire, masyarakat dan lembaga-lembaga kemasyarakatan di kampung tidak berjalan efektif; 8) kapasitas fungsi pendokumentasian masih lemah sehingga kualitas ketatausahaan administrasi kampung belum tercipta; 9) kapasitas fungsi artikulasi dan agregasi Badan Permusyawaran Kampung (BPK) sebagai lembaga permusyawaratan yang bertugas membangun demokratisasi melalui menggali, menyaring, menampung, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat belum berjalan secara optimal; 10) kapasitas fungsi legislasi BPK sebagai unsur penyelenggara pemerintahan kampung belum mampu merancang, merumuskan, membahas dan menetapkan berbagai Peraturan Kampung yang berhubungan dengan pembangunan kampung bersama kepala kampung sebagai bagian dari pembinaan modal sosial melalui kebijakan publik di tingkat kampung. Semua masalah ini juga tidak terlepas akumulasi dari berbagai kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire yang tidak memihak kepada peningkatan kualitas tata kelola pemerintahan kampung. Ketidakberpihakan Pemda tersebut dapat dilihat dari hal-hal berikut ini: 1. Pemerintahan Kampung Urumusu tidak diberikan kewenangan delegatif dari Pemda Kabupaten Nabire melalui Perda dan Surat Keputusan Bupati tentang desentralisasi fiskal (kewenangan pengaturan keuangan), desentralisasi administratif (kewenangan melaksanakan pelayanan publik) dan desentralisasi politik (kewenangan pengambilan keputusan). Hal ini memberikan dampak pada kehilangan sumber pendapatan kampung yang berasal dari desentralisasi fiskal, tidak dapat melaksanakan pelayanan publik dan tidak memiliki kekuasaan pengambilan keputusan yang terpenting dalam penyelenggaraan urusan pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan. 2. Beberapa Perda Kabupaten Nabire tentang Kampung yang berlaku sejak 2001-2007 tidak disosialisasikan kepada seluruh aparat Pementahan Kampung dan tidak diikuti dengan pelatihan, bimbingan dan pendampingan. Hal ini berdampak pada ketidakmampuan Pemerintahan Kampung dalam melaksanakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta tidak dapat melaksanakan fungsi manajemen organisasi pemerintahan, kurang mampu menata keorganisasian Kampung, kurang mampu mengoptimalkan tata laksana administrasi dan kurang mampu
151 mengembangkan budaya kerja dalam menyelenggarakan tata kelola Kampung. 3. Kantor (Balai) Kampung Urumusu dalam kondisi rusak berat dan tidak layak untuk digunakan serta tidak mendapat dukungan bantuan sarana dan prasarana kerja dari Pemerintahan supra desa. Dampak yang ditimbulkan dari masalah ini adalah: a) ketidakefektiktifan dalam membagun hubungan kerja kerena aparat kampung bekerja di rumahnya masing-masing; b) tidak dapat memberikan kualitas pelayanan yang baik dalam hal kecepatan dan ketepatan hasil kerja serta kualitas hasil kerja yang maksimal; dan c) ketidakpusaan kerja dan ketidakpusan memberikan pelayanan dari diri aparat kampung kepada masyarakat Kampung sehingga menjadikannya malas bekerja. 4. Kampung sebagai organisasi politik lokal tidak memiliki kemampuan dan kekuatan pengaturan dalam pengembangan wilayah karena Pemda Kabupaten Nabire dan Kantor Distrik tidak pernah melaksanakan kewajiban memfasilitasi Musrenbang dan memberikan kewenangan menata ruang kampung (desentralisasi politik). Hal ini berdampak pada hal-hal sebagai berikut: a) Pemerintahan Kampung tidak memiliki dokumen RPJM sebagai acuan rencana pembangunan selama lima tahun; b) Pemerintahan Kampung tidak mendapatkan ouput Musrenbang sebagai acuan RKP Kampung dan Renja-LPMK dan APB Kampung; c) tidak tercapai azas sinkronisasi antara rencana pembangunan Kampung, Daerah dan Pusat; d) Kampung sebagai organisasi politik lokal tidak dapat menjadi Growth Machine dalam mendorong pertumbuhan ekonomi desa secara terencara dan berkelanjutan. 5. Peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak memberikan ruang untuk BPK dan masyarakat kampung secara leluasa melaksanakan proses evaluasi pembangunan di Kampung kecuali oleh Bupati dari hasil Laporan Pertanggungjawaban Kepala Kampung. Hal ini berdampak pada masyarakat dan Pemerintahan Kampung tidak dapat mengukur hasil-hasil pembangunan seperti: a) pencapaian pembangun yang sudah dicapai baik kualitas maupun kuantitas; b) perkembangan tentang rencana dan realisasi telah dicapai; c) berapa biaya yang dikeluarkan (efisinsi) dan dampak bagi masyarakat (efektifitas); d) ketepatan atas metode atau pendekatan yang digunakan; e) pengalaman baru yang didapatkan sebagai proses belajar dan bertukar pengalaman; dan f) mendapatkan Informasi untuk formulasi berikutnya.
152 Pemerintahan kampung sebagai lembaga pemerintahan yang paling dekat dengan rakyat dan yang diberikan kewenangan untuk menyelenggaran urusaan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan harus berkemampuan dan memiliki kekuatan pengaturan agar dapat memberdayakan multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu melalui pelayanan publik. Yang menjadi kebutuhan dalam penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung adalah: 1. Pemerintahan Kampung Urumusu memiliki kewenangan fiskal, administratif dan politik agar dapat memberdayakan seluruh komponen yang berkepentingan di Kampung Urumusu secara mandiri dan berkelanjutan. 2. Aparat Pemerintahan Kampung Urumusu mendapatkan pelatihan, bimbingan, pendampingan secara berkelanjutan dalam pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kampung, penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung serta pelaksanaan APB Kampung. 3. Multi-pihak di Kampung Urumusu diberikan ruang partisipasi aktif dalam mengawasi dan mengevaluasi proses penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. 4. Pemerintahan Kampung Urumusu memiliki balai kampung, perlengkapan kantor, buku petunjuk dan modul-modul administrasi pemerintahan kampung. 5. Multi-pihak di Kampung Urumusu, khususnya BPK mendapatkan pelatihan, bimbingan dan pendampingan secara berkelanjutan dalam pelaksanaan fungsi artikulasi, agregasi dan legislasi. Metode pendekatan untuk penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung adalah strategi advokasi Kebijakan karena Perda-perda tentang pemerintahan kampung yang berlaku dari tahun 2001-2007 tidak diimplementasikan dan hanya ditetapkan untuk memenuhi syarat administrasi negara. Sedangkan Perda Kabupaten Nomor 32 Tahun 2007 Tentang Pengaturan Kewenangan Kampung diprediksi bahwa akan bernasib sama dengan perdaperda sebelumnya mengingat beberapa pasal yang memungkinkan untuk tidak melakukan penyerahan dan penarikan kembali kewenangan yang sudah diberikan.
153 Rekomendasi Kebijakan Rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan Kepada Pemerintah Kabupaten Nabire dalam rangka penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire sebaiknya melaksanakan desentralisasi fiskal, admistratif dan politik kepada Pemerintahan Kampung Urumusu. 2. Pemerinthan Kabupaten Nabire, khususnya Kantor Distrik Uwapa sebaiknya memfasiitasi, melatih, membimbing melalui pendampingan yang berkelanjutan dalam pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kampung, penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Kampung serta pelaksanaan APB Kampung. 3. Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire sebaiknya membuat Peraturan Daerah tentang Tata Cara Pelaporan dan Pertanggungjawaban Penyelenggaraan Pemerintahan Kampung dengan mengacu pada Kepmendagri Nomor 35 Tahun 2007 Tentang Pedoman Umum Tata Cara Pelaporan dan Pertanggungjawaban Penyelenggaraan Pemerintahanan Desa dan menambahkan pasal khusus yang dapat memberikan ruang partisipasi aktif bagi multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu dalam melaksanakan pengawasan dan evaluasi penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. 4. Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire sebaiknya mengalokasikan pembangunan balai kampung, perlengkapan kantor, menyediakan buku petunjuk dan modul-modul administrasi kampung melalui APBD Kabupaten Nabire. 5. Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire, khususnya Kantor Distrik Uwapa sebaiknya menyelenggarakan pelatihan, bimbingan dan pendampingan secara berkalanjutan dalam pelaksanaan tugas artikulasi, agregasi dan legislasi bagi Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) dan lembaga kemasyarakatan di kampung.