BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh)

SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi

LAMPIRAN A - Prosedur Patch Test

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

BAB 3 VERIFIKASI POSISI PIPA BAWAH LAUT PASCA PEMASANGAN

BAB I PENDAHULUAN I. I.1

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi

3. METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV

3. METODOLOGI PENELITIAN

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang

Jurnal Geodesi Undip Januari2014

BAB II SISTEM MULTIBEAM ECHOSOUNDER (MBES)

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2017

2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ketentuan International Hydrographic Organisation (IHO) Standards

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR

BAB 1 PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PETA LOKASI LAPANGAN MATINDOK-SULAWESI TENGAH LAMPIRAN A

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Kegiatan Pemasangan Pipa Bawah Laut Secara Umum

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB III MULTIBEAM SIMRAD EM Tinjauan Umum Multibeam Echosounder (MBES) SIMRAD EM 3002

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian.

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Pemasangan Pipa Bawah Laut Pre-Lay Survey

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

Gambar 3.1. Rencana jalur survei tahap I [Tim Navigasi Survei LKI, 2009]

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

BAB 2 DATA DAN METODA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Pembuatan Alur Pelayaran dalam Rencana Pelabuhan Marina Pantai Boom, Banyuwangi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 KALIBRASI DAN PENGOLAHAN DATA

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang

BAB IV PENGOLAHAN DATA MULTIBEAM ECHOSOUNDER MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK HIPS DAN ANALISISNYA

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI

PEMETAAN BATIMETRI UNTUK PERENCANAAN PENGERUKAN KOLAM PELABUHAN BENOA, BALI

Setelah mengikuti praktikum mata kuliah ini mahasiswa akan mampu memahami komponenkomponen

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KETELITIAN PETA DASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

BAB I PENDAHULUAN I.1

STUDI KASUS: SITE BAWEAN AREA, JAWA TIMUR

PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN

Pengertian Pasang Surut

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 3 PENGAMBILAN DATA DAN PENGOLAHAN DATA SURVEI HIDROGRAFI UNTUK PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (

BAB III PENGAMBILAN DAN PENGOLAHAN DATA

Jurnal Geodesi Undip Oktober2013

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi

Definisi Arus. Pergerakkan horizontal massa air. Penyebab

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses

BAB 2 TEORI DASAR. 2.1 Pekerjaan Survei Hidrografi

STUDI PENENTUAN DRAFT DAN LEBAR IDEAL KAPAL TERHADAP ALUR PELAYARAN (Studi Kasus: Alur Pelayaran Barat Surabaya)

BAB 4 ANALISIS. Gambar 4.1 Indikator Layar ROV (Sumber: Rozi, Fakhrul )

ANALISA PENENTUAN POSISI HORISONTAL DI LAUT DENGAN MAPSOUNDER DAN AQUAMAP

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah

STUDI APLIKASI MULTIBEAM ECHOSOUNDER DAN SIDE SCAN SONAR UNTUK MENDETEKSI FREE SPAN PADA SALURAN PIPA BAWAH LAUT

BAB II LANDASAN TEORI SUNGAI DAN PASANG SURUT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit altimetri pertama kali diperkenalkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA)

BAB 2 TEORI DASAR Maksud dan tujuan pelaksanaan survei lokasi Maksud dan tujuan utama dari pelaksanaan survei lokasi bagi anjungan minyak lepas

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN ANYER, BANTEN MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER SYSTEM (MBES)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

KARAKTERISTIK PASANG SURUT DI PERAIRAN KALIANGET KEBUPATEN SUMENEP

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

IDENTIFIKASI NILAI AMPLITUDO SEDIMEN DASAR LAUT PADA PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER ABSTRAK

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis

Perbandingan Akurasi Prediksi Pasang Surut Antara Metode Admiralty dan Metode Least Square

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN PANTAI PEJEM PULAU BANGKA BATHYMETRY MAPPING IN THE COASTAL WATERS PEJEM OF BANGKA ISLAND

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai PASANG SURUT. Oleh. Nama : NIM :

SURVEI HIDROGRAFI UNTUK KAJIAN ALKI DI PERAIRAN LAUT JAWA

STUDI PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER DI PERAIRAN PULAU KOMODO, MANGGARAI BARAT, NUSA TENGGARA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN I.1.

PENGARUH SOUND VELOCITY TERHADAP PENGUKURAN KEDALAMAN MENGGUNAKAN MULTIBEAMECHOSOUNDER DI PERAIRAN SURABAYA

JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERTAHANAN

RINGKASAN SKEMA SERTIFIKASI SUB BIDANG HIDROGRAFI

APLIKASI INSTRUMEN MULTIBEAM SONAR DALAM KEGIATAN PELETAKAN PIPA BAWAH LAUT (CONTOH STUDI PERAIRAN BALONGAN)

Gambar 2.1 Peta batimetri Labuan

BAB III PERENCANAAN PERAIRAN PELABUHAN

BAB III 3. METODOLOGI

Prosiding PIT VII ISOI 2010 ISBN : Halaman POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Echosounder merupakan alat pengukur kedalaman berbasis gelombang akustik. Dengan bantuan GPS sebagai penentu posisi echosounder memberikan data kedalaman suatu daerah dengan menghitung waktu saat gelombang ditembakkan sampai gelombang pantulan diterima kembali. Saat ini ada banyak tipe dari echosounder, namun yang biasa digunakan untuk mengetahui kedalaman adalah singlebeam echosounder dan multibeam echosounder. Singlebeam echosounder memberikan titik-titik kedalaman sesuai dengan stasiun perum yang ditentukan sedangkan multibeam echosounder memberikan area kedalaman berupa kolom-kolom memanjang. Menurut International Hydrographic Organization Spesial Publication 44 (2008) beberapa orde pekerjaan yang telah diatur memerlukan cakupan area 100%, biasanya untuk pekerjaan tersebut maka dipilihlah multibeam echosounder. Ada konsekuensi tersendiri ketika memilih alat multibeam dibandingkan dengan singlebeam. Konsekuensinya adalah pemrosesan data yang lebih kompleks. Meskipun saat ini sudah banyak perangkat lunak yang dapat melakukan pemrosesan data multibeam, kendala lainnya adalah mahalnya lisensi yang harus dibeli. Bila menggunakan perangkat lunak open source, belum bisa dipastikan bahwa perangkat lunak tersebut kinerjanya sama dengan perangkat lunak berlisensi. MB-system merupakan salah satu perangkat lunak open source yang di kembangkan oleh Lamont-Doherty Earth Observatory (LDEO) dan Monterey Bay Aquarium Research Institute (MBARI) untuk keperluan penelitian. MB-System sebagai perangkat lunak open source dapat menjadi alternatif pilihan untuk mengatasi kendala mahalnya lisensi. Untuk keperluan akademis perangkat lunak ini sangat dianjurkan karena tidak memerlukan biaya untuk pembelian lisensi. Hal ini dapat menguntungkan pula bagi pembuat proyek survei batimetri, dengan menggunakan 1

2 perangkat lunak ini biaya proyek dalam hal pembelian lisensi perangkat lunak tidak diperlukan. Sehingga akan meminimalkan biaya total proyek. Pada setiap pekerjaan selalu ditentukan terlebih dahulu kerangka acuan kerja agar data yang dihasilkan memenuhi standar dan kualitasnya tetap terjaga sesuai dengan kebutuhan pengguna. Pada pekerjaan ini data yang digunakan berkisar pada kedalaman 0 sampai 50 m, sesuai dengan penentuan orde pengukuran yang di atur oleh IHO SP 44 area pengukuran masuk pada orde spesial. Untuk dapat mempertahankan kualitas data yang dihasilkan, maka dilakukan pekerjaan kontrol kualitas yang mengacu pada standar yang telah ditetapkan International Hydrographic Organization (IHO) pada International Hydrographic Organization Spesial Publication 44 (IHO SP 44) pada orde spesial, sehingga data yang dihasilkan akan memenuhi standar dari IHO SP 44. Hasil akhir yang disajikan pada pekerjaan aplikatif ini berupa visualisasi 3D yang langsung di keluarkan oleh perangkat lunak ini. Visualisasi 3D dipilih karena tidak semua pengguna peta topografi bawah laut dapat dengan mudah mencerna peta kontur dengan titik-titik kedalaman. Jika peta topografi dasar laut ini disajikan dengan visualisasi 3D maka pengguna akan langsung melihat tampakan asli dari topografi area yang dipetakan, sehingga mereka dengan mudah memahami dan mudah untuk melakukan perencanaan lanjutan sesuai dengan keinginan mereka. Jadi hasil akhir dari pekerjaan ini berupa visualisasi 3D dan peta batimetri yang datanya telah teruji kualitasnya sesuai dengan standar IHO SP 44. I.2. Lingkup Kegiatan Pada pekerjaan pengolahan data Multibeam dengan menggunakan perangkat lunak MB-System ini, lingkup kegiatannya meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Pekerjaan ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak MB-System untuk pengolahan data Multibeam echosounder. 2. Data yang dipakai merupakan data hasil pengukuran oleh BPPT di daerah Penajam Paser Utara Kalimantan Timur.

3 3. Penyajian hasil dalam bentuk visualisasi 3D menggunakan perangkat lunak Generic Mapping Tool (GMT) yang termasuk dalam paket Linux Poseidon, pembuatan layout peta batimetri menggunakan QGIS. 4. Uji kualitas data mengacu pada standar IHO pada IHO Special Publication 44 tahun 2008 pada orde spesial, dengan sampel data sebanyak 40 pasang titik. 5. Hasil dari proyek ini adalah visualisasi 3D permukaan bawah laut dan peta batimetri. I.3. Tujuan Kegiatan aplikatif ini bertujuan untuk menghasilkan data kedalaman dasar laut hasil pengukuran multibeam echosounder sesuai dengan standar IHO Special Publication 44 tahun 2008 pada orde spesial menggunakan perangkat lunak MB- System. I.4. Manfaat Manfaat yang didapat dari pekerjaan aplikatif ini adalah : 1. Pemanfaatan perangkat lunak MB-System untuk penyelesaian masalah yang sejenis terkait dengan pengolahan data hasil pengukuran multibeam echosounder. 2. Sebagai referensi ilmu pengetahuan mengenai perangkat lunak yang dapat digunakan untuk memproses data multibeam echosounder, sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut untuk keperluan pengembangan keilmuan hidrografi. I.5. Landasan Teori I.5.1. Multibeam echosounder (MBES). I.5.1.1. Pengertian multibeam echosounder. Multibeam echosounder adalah sebuah instrumen hydrographic-acoustic yang digunakan untuk meningkatkan cakupan area, konsekuensi dan produktifitas dalam pembuatan peta laut (nautical chart). Hal ini dikarenakan banyaknya beam yang ditembakkan dalam satu kali sapuan, dengan demikian akan terbentuk kolom-kolom yang saling bertampalan sehingga menghasilkan cakupan area yang luas. Meskipun mempunyai prinsip yang

4 sama dengan singlebeam echosounder namun akurasi pengukurannya tidak lebih baik, karena pada kenyataannya akurasi berkurang seiring dengan meningkatnya sudut sapuan (de Jong dkk,2002). Awal pengembangan dari sistem ini adalah pada tahun 1970. Sistem ini dapat menghasilkan data dari wilayah yang luas secara akurat dan efektif, serta juga dapat dipergunakan untuk aplikasi oseanografi yang lain seperti pemetaan geologi serta investigasi ilmiah lainnya, survei ZEE dan survei untuk peletakan kabel bawah laut. Pada tahun 1990 sistem multibeam echosounder untuk area laut dangkal mulai dikembangkan secara pesat untuk keperluan survei laut dangkal seperti pembangunan dermaga serta survei konstruksi saluran air yang memerlukan 100% cakupan area dengan akurasi tinggi. Atas dasar keperluan teknik konstruksi perairan yang berkembang, maka multibeam echosounder mulai dikembangkan secara pesat hingga saat ini. I.5.1.2. Prinsip kerja multibeam echosounder. Multibeam echosounder bekerja dengan memanfaatkan gelombang akustik yang dapat merambat dengan baik di bawah air. Secara sederhana multibeam echosounder memancarkan gelombang akustik dan kemudian akan dipantulkan kembali ketika gelombang tersebut menyentuh material di dasar laut. Gelombang yang kembali dipantulkan akan diterima kembali oleh sensor dan akan dihitung beda waktu saat gelombang dipancarkan dan saat gelombang kembali diterima. Parameter inilah yang nanti akan diproses menjadi informasi mengenai kedalaman air. Dalam perkembangannya multibeam echosounder memiliki dua macam sistem pemancaran gelombang yaitu sistem sweep dan sistem swath. Sistem sweep bekerja dengan memancarkan banyak gelombang single atau dengan kata lain merupakan multi-single beam, sedangkan sistem swath bekerja dengan satu pancaran gelombang yang memiliki lebar dan panjang yang membentuk sebuah kolom dan dapat juga dipakai sebagai Side Scan Sonar (SSS) (de Jong dkk, 2002). Apabila sistem swath dan sistem sweep dibandingkan, sistem swath akan menghasilkan area lebih besar pada perairan dalam, namun pada perairan dangkal kedua sistem tersebut akan

5 menghasilkan cakupan area yang sama. Pada gambar I.1 akan di perlihatkan perbedaan sistem swath dan sistem sweep. Permukaan laut D ψ β Posisi MBES y Dasar laut jejak pada sudut swath maksimum Keterangan : D : Kedalaman y : Across-track position ψ : Sudut Swath β : Sudut Beam jejak pada sudut swath minimum (0 o ) Gambar I.1. Ukuran jejak MBES versus sudut swath ψ (Sumber : de Jong dkk, 2002) Baik sistem swath maupun sistem sweep multibeam echosounder selalu mempunyai alat yang bernama tranduser yang digunakan sebagai pemancar gelombang akustik dan dilengkapi sensor untuk menangkap kembali sinyal pantulan dari dasar laut. Tranduser ini merupakan gabungan dari beberapa projector yang disusun sedimikian rupa membentuk seperti array (matriks). Projector ini berfungsi sebagai saluran untuk memancarkan pulsa akustik menuju dasar laut dan pantulannya akan diterima kembali oleh rangkaian hydrophones. Gelombang akustik yang diterima kembali selanjutnya dianalisis oleh tranduser sehingga arah pantul gelombang yang berbeda dapat dipisahkan. Untuk melakukan pendeteksian tersebut tranduser pada MBES menggunakan 3 metode yaitu pendeteksian amplitudo, fase dan interferometrik.

6 Pada umumnya yang lebih banyak dipakai adalah metode interferometrik dengan mendeteksi sudut pantul menggunakan fungsi dari waktu. Informasi waktu menjadi penting dengan mengakumulasi sinyal akustik yang diterima dari 2 array terpisah dan kemudian akan membentuk pola yang akan menunjukkan hubungan fase pada setiap sinyal yang diterima. Apabila informasi ini kemudian dikombinasikan dengan jarak maka akan didapatkan data kedalaman (Sasmita, 2008). I.4.1.3. Kalibrasi multibeam echosounder. Pada setiap pengukuran pada dasarnya harus dilakukan kalibrasi terlebih dahulu untuk meminimalisir kesalahan sistematik karena alat. Setiap pengukuran mempunyai prosedur kalibrasi yang berbeda-beda. Sebelum pengukuran kedalaman menggunakan multibeam echosounder dilakukan perlu adanya kalibrasi pada alat multibeam echosounder. Menurut presentasi dari L3 Coomunication Elac Nautik (2009) ada lima jenis kalibrasi yang harus dilakukan sebelum pengkuran dimulai yaitu : 1. Kalibrasi nilai offset Nilai offset sangat penting pada pengukuran menggunakan multibeam. Pada saat pengukuran terkadang pemasangan alat tidak dalam posisi yang sama. Setiap posisi alat didefinisikan menjadi posisi X, Y, dan Z, hal ini menyesuaikan dengan bentuk kapal yang memiliki panjang lebar dan tinggi. Pada gambar I.2 akan diilustrasikan pendefinisian dari sistem posisi pada kapal. Gambar I.2. Ilustrasi posisi pada kapal (Sumber : L3 Communication Elac Nautik, 2009)

7 Nilai X positif selalu di definisikan dari titik tengah kapal ke arah kiri, sedangkan Y positif dari titik tengah ke arah depan kapal dan Z positif adalah dari titik tengah ke arah bawah kapal. Nantinya nilai ini akan dimasukkan pada perangkat lunak navigasi pada saat pengukuran pada bagian pendefinisian vessel serta offset yang ada untuk alat yang digunakan. Pada dasarnya nilai offset ini didefinisikan untuk mendapatkan nilai posisi sebenarnya dari titik pemeruman, karena terkadang posisi GPS dan tranducer tidak pada titik yang sama. Sehingga dari nilai offset yang ada maka akan dihitung posisi sebenarnya pada tranducer bukan pada titik GPS dipasang. 2. Kalibrasi roll Kalibrasi roll adalah kalibrasi yang digunakan untuk mengkoreksi kesalahan kedalaman akibat perubahan gerakan kapal pada arah sumbu X. Kesalahan ini juga bisa terjadi akibat pemasangan tranduser yang tidak sama rata antara kedua sisi (L3 Communication Elac Nautik, 2009). Figur kesalahan ini dapat dilihat pada gambar I.3. Arah yang seharusnya benar adalah sepanjang sumbu X namun terdapat kesalahan sebesar α. Nilai α ini dapat dicari dengan persamaan (I.1)sebagai berikut : α = Arctan x... (I.1) y Gambar I.3. Figur kesalahan roll (Sumber : L3 Communication Elac Nautik, 2009)

8 3. Kalibrasi pitch Kalibrasi pitch merupakan pekerjaan untuk meminimalisir kesalahan akibat putaran kapal searah sumbu Y. Kesalahan ini akan mengakibatkan pergeseran jalur akibatnya geometri dari jalur pengukuran menjadi tidak sesuai. Pada gambar I.4 akan di ilustrasikan kesalahan pitch. Gambar I.4. Ilustrasi kesalahan pitch (Sumber : L3 Communication Elac Nautik, 2009) Pada gambar I.4 jarak antara kesalahan figur pada kedua jalur disimbolkan sebagai da. Penjelasan lebih lanjut mengenai dabisa dilihat pada gambar I.5. Jalur 1 Gambar I.5. Penjelasan mengenai da (Sumber : L3 Communication Elac Nautik, 2009) Pada gambar I.5. bulatan putih merupakan letak dari objek yang sebenarnya,namun karena kesalahan pitch maka objek berubah posisi menjadi bulatan merah. Untuk mendapatkan nilai koreksi nya yaitu pitch offset maka bisa dicari dengan persamaan (I.2) sebagai berikut : Jalur 2 dα = arctan( da )... (I.2) 2z Keterangan :

9 dα : pitch offset da : jarak antara dua objek yang mengalami kesalahan z : kedalaman 4. Kalibrasi yaw (Gyro) Kalibrasi yaw adalah kalibrasi yang dilakukan untuk mengurangi kesalahan akibat perubahan dari heading kapal sepanjang survei berjalan. Kesalahan ini biasanya dikarenakan angin kencang yang menghempas kapal. Ilustrasi kesalahan akibat kesalahan yaw di gambarkan pada gambar I.6. Keterangan : y : jarak antara objek yang sebenarnya ke objek yang salah x : jarak antara jalur dengan objek r : jarang miring antara jalur dengan objek yang salah α : sudut antara objek yang sebenarnya dengan objek yang salah Gambar I.6. Ilustrasi kesalahan yaw (Sumber : L3 Communication Elac Nautik, 2009) 5. Kalibrasi time delay Kalibrasi ini dilakukan untuk mengurangi kesalahan akibat lamanya waktu tunggu saat posisi dikirimkan oleh GPS dan pada saat yang hampir bersamaan gelombang telah kembali ke tranduser, sehingga ada perbedaan posisi dan penerimaan kedalaman. Hal ini akan menyebabkan posisi dari nilai kedalaman menjadi tidak akurat. Berikut ini adalah ilustrasi dari kesalahan akibat time delay :

10 Gambar I.7. Ilustrasi kesalahan akibat time delay (Sumber : L3 Communication Elac Nautik, 2009) Kesalahan ini mirip seperti kesalahan pitch yang menyebabkan posisi bergeser tidak pada tempatnya. Untuk mendapatkan nilai kesalahan yang terjadi maka bisa digunakan persamaan (I.3) sebagai berikut : dt = da (Vh V1)... (I.3) Keterangan : da : jarak antara dua posisi yang mengalami kesalahan dt : time delay Vh : kecepatan maksimum V1 : kecepatan minimum I.5.2. Pasang Surut Dalam pekerjaan survei batimetri, pasang surut merupakan suatu komponen penting dalam penetuan hasil akhir dari pekerjaan tersebut. Dalam setiap pekerjaan survei batimetri akan dibarengi pula dengan pengamatan pasang surut pada waktu yang sama dengan pekerjaan, atau dapat pula surveyor meminta data pada stasiun pengamatan terdekat dalam kurun waktu yang sama dengan pada saat pekerjaan survei dilakukan. Namun terkadang, untuk mendapatkan nilai reduksi yang valid, pengamatan pasang surut akan dilakukan dalam waktu 15 sampai 30 hari dimana pada selang waktu tersebut mencakup hari dimana survei dilakukan. Dari data pengamatan pasang surut ini, nilai yang didapatkan akan digunakan sebagai koreksi pada hasil pekerjaan survei batimetri. Hal ini dilakukan karena waktu pekerjaan survei batimetri tidak hanya dilakukan dalam waktu singkat. Waktu pekerjaan survei ini dapat menempuh waktu sampai beberapa hari sehingga

11 permukaan laut berubah seiring dengan berjalannya waktu dikarenakan oleh pengaruh pasang surut laut. Pasang surut laut sendiri merupakan gerakan periodik dari tubuh air yang disebabkan oleh diferensial gaya gravitasi dari benda-benda langit (yang lebih banyak berpengaruh matahari dan bulan) di berbagai belahan bumi yang berotasi. Pasang surut biasanya diamati sebagai gerakan vertikal naik dan turun dari lautan yang mempunya periode 12,4 jam atau 24,8 jam (de Jong dkk, 2002). Karena fenomena ini merupakan fenomena periodik, pasang surut dapat di prediksi menggunakan teori keseimbangan yang dikembangkan oleh Newton. Teori keseimbangan ini mengesampingkan ukuran, kedalaman, friksi, masa tanah, inersia atau massa air dan gaya koriolis. Teori keseimbangan ini mengasumsikan bahwa bumi dibungkus oleh air dengan kedalaman dan densitas yang sama serta ketidak berhinggaan waktu menyebabkan keseimbangan dengan tujuan untuk menyelaraskan antar gaya hidrostatik dan gaya atraktif laut. Menurut de Jong dkk (2002) di seluruh perairan dunia terdapat empat macam jenis pasang surut yaitu : 1. Diurnal : memiliki satu puncak high water dan satu lembah low water. 2. Semi-Diurnal : memililiki 2 puncak high water dan 2 lembah low water. 3. Campuran, condong ke diurnal : mempunyai 2 puncak high water dan low water yang tidak penuh dengan spasi tidak tetap antar satu bulan penuh, atau hanya satu puncak high water dan low water dalam satu hari. 4. Campuran, condong ke semi-diurnal : memiliki 2 puncak high water dan low water antara satu bulan penuh dengan tinggi dan interval waktu yang tidak teratur Dengan demikian di setiap perairan dengan kondisi yang berbeda memiliki jenis pasang surut yang berbeda pula. Pengklasifikasian dari jenis pasang surut tersebut biasanya tidak hanya disebabkan faktor lintang dan bujur, namun juga disebabkan oleh pengaruh dari bentuk topografi dasar laut pada perairan tersebut. Dalam keilmuan geodesi pasang surut merupakan salah satu aspek penting dalam penetuan referensi dari koordinat vertikal atau ketinggian. Dalam hal ini pada topografi daratan, referensi ketinggian orthometrik mengacu pada geoid yang

12 merupakan model bumi yang berhimpit dengan nilai mean sea level (msl). Mean sea level merupakan duduk tengah antara kedudukan muka air tinggi dan muka air rendah saat bulan purnama atau saat bulan perbani (Robinson, 1894). Selain mean sea level terdapat pula referensi koordinat vertikal yang dipakai yaitu chart datum yang merupakan nilai muka surutan terendah dari air laut. Nilai chart datum ini hanya dipakai sebagai referensi dari peta batimetri ataupun peta laut. Dalam survei batimetri terdapat fungsi lain dari pasang surut selain untuk mengkoreksi nilai kedalaman akibat perubahan muka laut seiring dengan bergulirnya waktu pengukuran. Pasang surut juga digunakan sebagai referensi untuk reduksi kedalaman, sehingga kedalaman yang didapat tidak hanya merupakan kedalaman lokal namun telah merujuk pada referensi tertentu. Referensi yang dipakai pada peta batimetri atau peta laut biasanya adalah chart datum, namun terkadang nilai mean sea level juga dapat digunakan sebagai referensi. Chart datum lebih banyak digunakan karena alasan keselamatan pelayaran, karena kedalaman yang di rujuk pada peta batimetri atau peta laut sudah pada keadaan muka surutan terendah sehingga kapal dengan aman melintasi perairan ketika laut dalam keadaan surut sekalipun. I.5.3. Sound Velocity Profile Multibeam echosounder bekerja dengan menggunakan gelombang akustik yang ditembakkan ke perairan. Di dalam air gelombang akustik merambat dengan kecepatan normal sekitar 1500 m/s, namun dalam beberapa kondisi kecepatan ini dapat berubah menjadi lebih lambat ataupun lebih cepat, karena alasan ini pada saat pemrosesan data multibeam harus didefinisikan nilai yang benar dari sound velocity profile pada saat pengukuran dilaksanakan. Sound Velocity Profile (SVP) atau profil kecepatan suara merupakan gambaran perambatan gelombang akustik di dalam air. Di setiap perairan tentu memiliki SVP yang berbeda-beda tergantung dari salinitas, suhu serta tekanan yang ada pada perairan tersebut. Seperti yang telah disebutkan di atas, kecepatan suara umumnya merambat 1500 m/s di dalam air, nilai kecepatan ini meningkat seiring peningkatan salinitas, suhu dan tekanan. Kecepatan akan meningkat 3 m/s setiap kenaikan suhu, 1,2 m/s setiap kenaikan 1 part per thousand (ppt), dan akan naik 0,5 m/s setiap perubahan 30

13 meter kedalaman (Schmidt dkk, 2003). Karena hal tersebut perambatan gelombang akustik di dalam air tidak pernah konstan, seperti terlihat pada gambar I.8. yang menampilkan contoh dari profil kecepatan suara secara vertikal. Gambar I.8. Contoh profil kecepatan suara (Sumber : Ferreira, 2013) Dapat dilihat pada gambar tersebut ada perubahan bentuk setiap kenaikan kedalaman, dan agak sedikit melengkung di tengah biasanya diakibatkan oleh perubahan suhu atau salinitas, untuk perubahan tekanan akan konstan seiring bertambahnya kedalaman. Perbedaan salinitas bisa dikarenakan beberapa faktor misal, penumpukan sedimen dari sungai, atau pengaruh pasut yang menyebabkan penumpukan garam hal ini menyebabkan salinitas menjadi tinggi dan menaikkan kecepatan gelombang suara di dalam air. Sedangkan temperatur sendiri dipengaruhi oleh pemanasan oleh matahari, pendinginan saat malam hari atau pun pengaruh hujan sehingga temperatur dapat berubah-ubah. Jadi banyak faktor yang menyebabkan perbedaan SVP pada setiap perairan. Pada suatu daerah survei yang memiliki variasi kolom kedalaman akan banyak mempengaruhi kecepatan dari gelombang akustik yang ditembakkan. Perbedaan kolom kedalaman akan menyebabkan perbedaan faktor yang mempengaruhi kecepatan gelombang suara yang telah disebutkan sebelumnya. Perbedaan kolom kedalaman akan menyebabkan perbedaan salinitas temperatur dan suhu, semakin

14 dalam maka nilai suhu semakin turun dan tekanan makin meningkat sedangkan salinitas bergantung dari komponen yang dikandung pada perairan tersebut. Setiap perambatan gelombang akustik disetiap kolom kedalaman akan mengalami perubahan kecepatan yang sangat kompleks dikarenakan pengaruh dari ketiga faktor tersebut, karena setiap penambahan kedalaman perubahan dari ketiga faktor tersebut tidaklah konstan. Arah dari perambatan gelombang akustik dalam air akan berubah seiring dengan perubahan dari kecepatan gelombang akustik tersebut. Ketika gelombang suara merambat dari area dengan kecepatan yang tinggi mengarah ke kecepatan yang rendah maka arah dari gelombang akan membelok ke arah bawah dan begitu juga sebaliknya (L3 Communication SeaBeam Instrument, 2000). Penjelasan tersebut dapat dilihat pada gambar I.9. Gambar I.9. Perubahan arah gelombang akustik karena pengaruh perbedaan kolom kedalaman (Sumber : L3 Communication SeaBeam Instrument, 2000) Dalam pemrosesan data multibeam, profil kecepatan suara sangatlah penting. Jika ada kesalahan pada SVP akan menyebabkan jalur menjadi tidak horisontal atau melengkung. Kesalahan ini dapat terjadi karena salah dalam menentukan nilai sound

15 velocity dalam sebuah perairan yang dapat menggangu penghitungan waktu tembakan dan penerimaan beam, akibatnya kedalaman yang tercatat menjadi tidak valid. Tranduser memiliki hydrophones yang akan menembakkan gelombang akustik ke permukaan bawah laut dan akan memantul kembali sehingga gelombang tersebut akan diterima kembali oleh tranduser. Dari perjalanan gelombang tersebut tranduser akan menghitung lamanya waktu penjalaran gelombang dalam air, apabila terdapat kesalahan dalam menentukan kecepatan suara maka kedalaman yang akan dihitung menjadi salah pula, bila terlalu lambat maka nilai kedalaman bisa menjadi lebih dari yang sebenarnya dan bila terlalu cepat maka nilai kedalaman bisa saja kurang dari yang sebenarnya. Pada gambar I.10. akan ditampilkan bagaimana bentuk jalur jika ada kesalahan SVP. Gambar I.10. Kenampakan jalur saat adanya kesalahan SVP (Sumber : Brennan, 2009) Pada gambar I.10. bentuk smile atau bentuk figur setengah lingkaran yang menghadap ke atas menunjukkan bahwa nilai SVP terlalu besar, ini mengakibatkan kedalaman yang dihasilkan menjadi lebih pendek dari yang seharusnya, efek ini bisa dilihat pada ujung-ujung beam (yang dilingkari) menjadi lebih pendek dari yang seharusnya, begitu pula sebaliknya pada bentuk frown atau bentuk figur setengah lingkaran yang menghadap ke bawah.

16 I.5.4. Perangkat Lunak MB-System Pada penjelasan mengenai multibeam telah disebutkan bahwa ada konsekuensi tersendiri ketika memilih untuk memakai alat multibeam. Konsekuensinya adalah pemrosesan data menjadi lebih rumit, namun beberapa perangkat lunak diciptakan untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut, salah satu dari perangkat lunak tersebut adalah MB-System. MB-System adalah sebuah paket perangkat lunak open sources yang digunakan untuk mengolah dan menampilkan data citra batimetri, backscatter dari multibeam, Interferometry dan Side Scan Sonar (Ferreira, 2013). Awalnya MB-System dikembangkan di Lamont-Doherty Earth Observatory of Columbia University (L- DEO), namun seiring berkembangnya teknologi kini L-DEO berkolaborasi dengan Monterey Bay Aquarium Reasearch Institute (MBARI). Namun kini MB-System telah didukung pula perkembangannya oleh SeaBeam Instrumen dan juga National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Perangkat lunak ini tidak hanya dapat mengolah data multibeam echosounder, namun dapat pula mengolah data side scan sonar. Secara umum, pengolahan data yang dilakukan oleh perangkat lunak ini adalah berupa filterisasi data atau pembersihan data dari data-data outlier atau data spike. Namun beberapa fitur tersembunyi dapat digunakan untuk melakukan pemrosesan data lebih dari hal tersebut. I.5.5. Generic Mapping Tool Dalam pekerjaan ini tidak hanya sebatas melakukan pemrosesan data multibeam, namun juga untuk visualisasi data akhir hasil dari pemrosesan data. Pekerjaan tersebut dilakukan sengan menggunakan perangkat lunak lain yang juga telah ada di dalam satu paket sistem operasi Linux Poseidon yaitu Generic Mapping Tool. Generic Mapping Tool merupakan sebuah perangkat lunak open source yang dikembangkan oleh Universitas Hawaii (Wessel, dkk, 2014). Perangkat lunak ini memiliki 80 tool yang dapat digunakan untuk membuat peta, dengan didukung oleh 40 sistem koordinat (SOEST, 2006). Perangkat lunak ini memanfaatkan script untuk membuat peta atau bisa dibilang pengguna melukis

17 menggunakan angka. Perangkat lunak ini dapat dijalankan di sistem operasi berbasis Linux, Windows, dan Machintos. Script yang digunakan dalam perangkat lunak ini adalah shell script, pengguna harus mengeksekusi script tersebut sebelum memulai untuk membuat peta. Hasil akhir dari peta tersebut berbentuk post-script yang dapat di ubah kedalam format image apapun. Keunggulan dari perangkat lunak ini adalah gratis, pengguna tidak diharuskan membeli lisensi untuk menjalankan perangkat lunak ini. Dengan demikian semua kalangan dapat menggunakan perangkat lunak ini, namun pengguna harus sedikit lebih bersabar untuk menggunakannya karena pengguna harus membuat tampilan peta dari command yang ditulis satu persatu. I.5.6. Standardisasi Survei Hidrografi Dalam setiap survei atau pengukuran yang dilakukan selalu ada standar resmi yang telah di tetapkan untuk menjaga seluruh kualitas data hasil survei tetap baik. Ketetapan standar ini biasanya berskala nasional maupun internasional. Dalam keilmuan hidrografi, ketetapan internasional mengenai survei hidrografi diatur oleh International Hidrogaphic Organization (IHO). Di indonesia sendiri standar survei ini diatur pada SNI yang isinya pun merujuk pada ketentuan dari IHO. I.5.6.1. International Hydrographic Organization (IHO) Standards of hydrographic survey. International Hydrographic Organisation (IHO) merupakan badan internasional yang mengatur mengenai standar, publikasi serta menyiapkan saran-saran dalam bidang-bisang survei hidrografi, organisasi ini mengatur pula mengenai produksi dari peta laut (SNI, 2010). IHO sebagai organisasi internasional resmi di bidang hidrografi mengeluarkan standardisasi atau pokok-pokok aturan bagi survei hidrografi yaitu IHO Special Publication 44 (IHO SP 44). Special publication 44 sendiri adalah sebuah petunjuk yang berisikan standar minimum untuk survei hidrografi agar data survei hidrografi yang sesuai dengan standar ini cukup akurat dengan ketidakpastian data spasial yang diukur cukup memadai untuk digunakan secara aman oleh pelaut (komersial, militer atau rekreasi) sebagai pengguna utama informasi ini (IHO SP 44, 2008).

18 Seiring dengan berjalannya waktu, teknologi dalam dunia hidrografi makin berkembang pula sehingga terjadi banyak revisi atau perubahan susunan maupun isi dari IHO SP 44. Dari awal penerbitannya pada tahun 1968, IHO SP 44 telah menerbitkan 5 edisi sampai pada tahun 2008. IHO SP 44 yang di terbitkan pada tahun 2008 merupakan edisi paling baru yang telas disesuaikan dengan kondisi teknologi saat ini, dan panduan mengenai standar minimal survei yang harus dilakukan pun menjadi lebih baik. I.5.6.2. Standar Nasional Indonesia (SNI). Indonesia sebagai salah satu negara dengan mayoritas wilayahnya terdiri dari perairan memiliki acuan sendiri mengenai pelaksanaan survei hidrografi sebagai penunjang keselamatan dalam pelayaran. Acuan yang ditetapkan ini disusun dalam sebuah Standar Nasional Indonesia (SNI) yang isinya tetap merujuk pada ketentuan dari IHO. SNI dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional Indonesia, yang sebelumnya dirancang terlebih dahulu oleh ahli survei hidrografi dan maritim Indonesia. SNI yang mengatur mengenai survei hidrografi adalah SNI 7646-2010. Secara umum SNI 7646-2010 hanya mengatur mengenai survei hidrografi dengan menggunakan singlebeam echosounder, karena saat ini di Indonesia alat ini adalah yang paling banyak digunakan (Pramanda, 2013). Ketetapan dalam SNI meliputi ketentuan prosedur pelaksanaan, pengolahan data, penyimpanan data dan penyajian data serta pelaporan hasil dari survei hidrografi. I.5.7. Uji Kualitas Data Pemeruman Pada data multibeam terdapat daerah yang saling bertampalan, seperti pada lajur silang singlebeam, pada dasarnya nilai kedalaman pada daerah yang bertampalan antara lajur kanan dan kiri adalah sama. Pada kenyataannya pengukuran tidak ada yang sempurna pasti terdapat kesalahan di setiap pengukuran. Untuk menjaga kualitas data tetap baik maka pada daerah yang bertampalan tersebut diuji kualitasnya dengan acuan yang telah ditetapkan oleh IHO dan SNI. Meskipun ketetapan ini berlaku untuk singlebeam, namun karena prinsipnya yang sama jadi acuan ini juga bisa dipakai untuk menguji kualitan data pada pertampalan lajur pada data multibeam echosounder.

19 Acuan yang ditetapkan pada IHO dan SNI merupakan uji dengan tingkat kepercayaan 95%, persamaan yang digunakan adalah persamaan (I.4) sebagai berikut: ± a 2 + (b d) 2... (I.4) Keterangan : a b d : kesalahan independen : faktor kesalahan kedalaman yang dependen : kedalaman rata-rata (bxd) : kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah semua kesalahan kedalaman yang dependen) Konstanta a dan b yang akan digunakan dalam persamaan tersebut harus disesuaikan dengan orde survei yang telah diatur oleh IHO, konstanta tersebut akan diberikan pada tabel I.1. Tabel I.1. Konstanta ketelitian kedalaman Orde Spesial 1 1b 2 konstanta a = 0,25 a = 0,5 a = 0,5 a = 1,0 b = 0,0075 b = 0,013 b = 0,013 b = 0,023 (sumber: IHO SP 44, 2008) Uji ini dilakukan dengan mengambil 40 pasang sampel acak pada area pertampalan dua lajur. 40 pasang sampel acak ini diambil dari 2 titik beda lajur yang berdekatan ataupun pada posisi yang sama. Dari 2 titik sampel beda lajur yang berdekatan tersebut yaitu Hn dan Hn-1 diasumsikan memiliki kedalaman yang sama. Kemudian dari asumsi tersebut dicari selisih atara Hn dan Hn-1. dari selisih tersebut dicari nilai rata-rata dan rata-rata absolut, kemudian nilai standar deviasinya. Pada persamaan (I.5) disajikan persamaan untuk rata-rata dan persamaan (I.6) adalah persamaan standar deviasi. Berikut ini adalah persamaan tersebut : a. Rata-rata Ĥ = Σ(H n H n 1 )... (I.5) n b. Standar deviasi

20 Keterangan : S S = Σ(H i Ĥ) 2... (I.6) n 1 : Standar deviasi Hn : Kedalaman lajur 2 Hn-1 : Kedalaman lajur 1 Ĥ : rata-rata Hi : beda nilai kedalaman antara lajur 1 dan lajur 2 n : banyaknya sampel Selanjutnya dihitung nilai kesalahan beda kedalaman dengan tingkat kepercayaan 95% yang mengacu pada IHO SP 44 tahun 2008 yaitu sebesar 1,96 x S. Kualitas di uji berdasarkan hasil dari nilai kesalahan beda kedalaman tersebut, jika hasilnya masih dibawah dari toleransi pada persamaan (I.4) maka data tersebut masih diterima dalam batas toleransi, dan juga sebaliknya.