KAJIAN TENTANG FAKTOR-FAKTOR KOMITMEN DALAM PERKAWINAN. Oleh : Dyah Astorini Wulandari*) ABSTRAK

dokumen-dokumen yang mirip
Komitmen Pada Perkawinan Ditinjau dari Kepuasan dalam Perkawinan

1. Pendahuluan KOMITMEN PADA PERKAWINAN (STUDI KASUS PADA PERKAWINAN GURU DI PURWOKERTO)

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. tugas dan sumber-sumber ekonomi (Olson and defrain, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

PELATIHAN KONSELING PERKAWINAN BERBASIS KOMUNITAS

GAMBARAN DUKUNGAN SOSIAL DAN KOMITMEN PADA INDIVIDU YANG BERPACARAN BEDA AGAMA

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS CINTA DAN KETERBUKAAN DIRI DENGAN KOMITMEN PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI ISTRI

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan romantis. Hubungan romantis (romantic relationship) yang juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-Undang No.1 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. pasangan (suami) dan menjalankan tanggungjawabnya seperti untuk melindungi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. individu saling mengenal, memahami, dan menghargai satu sama lain. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sindhi Raditya Swadiana, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN SEKSUAL DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. adalah intimancy versus isolation. Pada tahap ini, dewasa muda siap untuk

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KOMITMEN PERNIKAHAN PADA PASANGAN SUAMI ISTRI YANG SUAMINYA MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perempuan mendambakan pasangan hidup yang memang merupakan fitrah manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan jaman yang melaju sangat pesat dan persaingan global

BAB I A. Latar Belakang Masalah dewasa muda Tugas tugas pergembangannya Wanita Kebutuhan intimacy workaholic

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal ini adalah rumah tangga, yang dibentuk melalui suatu perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. didambakan tersebut menjadi hukum alam dalam diri tiap manusia. Akan tetapi,

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di zaman yang semakin maju dan modern, teknologi semakin canggih dari

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Manusia merupakan makhluk individu dan sosial. Makhluk individu

MENGHAYATI PERAN ISTRI

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENYESUAIAN DIRI REMAJA PUTRI YANG MENIKAH DI USIA MUDA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB II LANDASAN TEORI. A. Komitmen Pernikahan. dijalani dan ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya. Kedua, seseorang yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Locus Of Control. (Cvetanovsky et al, 1984; Ghufron et al, 2011). Rotter (dalam Ghufron et al 2011)

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari proses interaksi sosial. Soerjono Soekanto (1986) mengutip

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran individu lain tersebut bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. di dalamnya terdapat komitmen dan bertujuan untuk membina rumahtangga serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. telah memiliki biaya menikah, baik mahar, nafkah maupun kesiapan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Aji Samba Pranata Citra, 2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kasus perceraian bisa terjadi pada siapa saja, menurut Kepala

Bab 1. Pendahuluan. Ketika anak tumbuh didalam keluarga yang harmonis, ada satu perasaan yang

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 menjelaskan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap pasangan

Transkripsi:

KAJIAN TENTANG FAKTOR-FAKTOR KOMITMEN DALAM PERKAWINAN Oleh : Dyah Astorini Wulandari*) ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji tentang komitmen, aspekaspek komitmen, jenis komitmen dan peran komitmen dalam perkawinan. Kehidupan berkeluarga ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Membentuk dan membangun rumah tangga ternyata lebih mudah daripada mempertahankan keutuhan keluarga itu sendiri. Perkawinan yang kuat tidak terjadi dengan begitu saja tetapi perlu diupayakan dan diperjuangkan. Pasangan suami isteri harus punya niat yang kuat untuk berusaha meningkatkan hubungan mereka. Salah satu kunci untuk mempertahankan perkawinan yang kuat adalah komitmen. Kata Kunci : perkawinan, komitmen PENDAHULUAN Menurut Undang-undang No I tahun 1974 pasal 1 ayat 1 tentang Perkawinan disebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan undang-undang yang sangat mulia ini pada kenyataannya tidak mudah untuk dicapai. Kehidupan berkeluarga atau berumah tangga ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Membentuk dan membangun sebuah keluarga memang lebih mudah daripada mempertahankan keutuhan keluarga itu sendiri Meningkatnya angka perceraian di Indonesia merupakan satu bukti nyata betapa sulitnya mencapai tujuan perkawinan yang bahagia dan kekal. Data perceraian di Pengadilan Agama Bandung pada tahun 1998 terdapat 1145 kasus perceraian dan terus meningkat pada tahuntahun berikutnya yaitu 1212 kasus pada tahun 1999 dan 1387 kasus pada tahun 2000 (Sadardjoen, 2005). Data yang hampir sama diperoleh dari *) Dosen Fakultas Psikologi Univ. Muhammadiyah Purwokerto 1

PSYCHO IDEA, Tahun 7 No1, Februari 2009 ISSN 1693-1076 Pengadilan Agama Purwokerto yang mencatat 1335 kasus perceraian pada tahun 2005. Fakta yang tidak jauh berbeda tentang tingginya angka perceraian bisa kita saksikan di layar televisi tiga tahun terakhir ini. Tayangan infotaintment di hampir semua statsiun televisi swasta dipenuhi berita perceraian selebritis Indonesia. Berbagai penyebab peceraian diungkap, misalnya ketidakcocokan, ekonomi, dan kekerasan dalam rumah tangga. Tingginya angka perceraian tersebut menyebabkan munculnya pertanyaan mengapa orang mudah sekali mengucapkan janji perkawinan dan kemudian bercerai padahal mestinya janji perkawinan itu berlangsung selamanya. Penelitian Paul J. Jacobson (Hartini, 2007) tentang American marriage and Divorce pada tahun 1969 mengemukakan bahwa jumlah angka perceraian di Amerika sebanding dengan jumlah angka perkawinan sehingga diasumsikan bahwa mereka yang menikah akan bercerai. Meskipun angka perceraian dan perkawinan di Indonesia tidak sebanding dengan di Amerika akan tetapi arus informasi seperti televisi yang menayangkan gaya hidup selebriti di Indonesia, kehidupan rumah tangga mereka dan kemudahan mereka untuk memutuskan menikah dan memutuskan bercerai dianggap mewakili gaya hidup berkeluarga pada pasangan modern. Berbagai kenyataan di atas menimbulkan pertanyaan masih adakah perkawinan yang kuat? Jawabannya tentu ada. Dalam sebuah survey terhadap pasangan yang sudah menikah di Amerika menemukan bahwa satu pasangan suami isteri dari tiap empat perkawinan percaya bahwa mereka mempunyai perkawinan yang ideal. Perkawinan yang kuat tidak terjadi dengan begitu saja tetapi perlu diupayakan dan diperjuangkan. Pasangan suami isteri harus punya niat yang kuat untuk berusaha meningkatkan hubungan mereka. Kunci untuk perkawinan yang kuat adalah komitmen, berpikir positif, komunikasi, afeksi, penghargaan dan tujuan yang sama. Tulisan ini akan membahas tentang komitmen sebagai salah satu kunci untuk memperkuat perkawinan. KOMITMEN DALAM PERKAWINAN Komitmen (Commitment) dalam Kamus Bahasa Inggris (Echols dan Shadily, 1992) diartikan sebagai janji, tanggungjawab. Senada dengan pengertian tersebut, Cooper dan Makin (dalam Nurtjahjanti & Khasanah N (2006) menyatakan bahwa komitmen merupakan suatu keadaan batin untuk tetap mempertahankan hubungan yang meliputi 2

DYAH ASTORINI W,Kajian tentang Faktor-faktor Komitmen dalam Perkawinan... ketergantungan dan rasa percaya bahwa individu tidak akan meninggalkan hubungan tersebut. Oleh karenanya, Finkel dkk. (2002) menyatakan bahwa komitmen merupakan hal fundamental dalam suatu hubungan, khususnya hubungan romantis yang melibatkan perasaan yang lebih mendalam yaitu cinta, misalnya hubungan perkawinan. Komitmen sendiri oleh Finkel (2002) didefinisikan dalam tiga komponen, yaitu : a. Kecenderungan untuk tetap ada atau bertahan dalam suatu hubungan Komponen komitmen yang paling primitif adalah kecenderungan untuk tetap bertahan atau keputusan untuk tetap bergantung pada pasangan. Kecenderungan untuk tetap ada adalah primitif karena tidak dengan cara yang langsung (baik secara teoritis atau operasional) melibatkan kepentingan temporal yang lebih besar maupun kepentingan interpersonal yang lebih besar. b. Orientasi jangka panjang Komponen komitmen kedua melibatkan kepentingan temporal yang lebih besar atau orientasi jangka panjang. Individu-individu dengan orientasi jangka pendek mungkin menerima hasil yang relatif bagus dengan berperilaku sesuai dengan kepentingan pribadi langsung. Dengan adanya orientasi jangka panjang, menyebabkan pasangan mengembangkan pola kerjasama timbal balik. Artinya jika kita berusaha untuk mengerti dan memahami pasangan, kita berharap pasangan akan berusaha mengerti dan memahami kita juga sehingga konflik perkawinan bisa diminimalisir. c. Kepentingan pribadi atau kelekatan psikologis Komponen komitmen ketiga melibatkan kepentingan pribadi yang lebih besar atau kelekatan psikologis, tergantung pada persepsi bahwa well-being seseorang dan well-being pasangan saling berkaitan. Dalam suatu hubungan dengan komitmen, diri sendiri dan pasangan mungkin bergabung untuk alasan berangkat dari manfaat bahwa kepentingan pribadi pasangan tidak dirasakan sebagai lawan dari kepentingan diri sendiri. Juga, komitmen mungkin menghasilkan oreintasi komunal, termasuk kecenderungan untuk merespon kebutuhan pasangan dengan cara yang lebih tanpa syarat/mutlak. Individu yang punya komitmen mungkin mengerahkan usaha untuk mempertahankan hubungan tanpa memperhitungkan balasan yang akan mereka terima. Jadi komitmen 3

PSYCHO IDEA, Tahun 7 No1, Februari 2009 ISSN 1693-1076 menginspirasi tindakan sepenuhnya yang lebih berorientasi pada orang lain. ASPEK-ASPEK KOMITMEN DALAM PERKAWINAN Menurut Rusbult (Agnew, dkk, 1998) terdapat tiga aspek dalam komitmen pada hubungan perkawinan, yaitu : 1. Tingkat kepuasan tinggi Komitmen yang tinggi ditandai dengan tingkat kepuasan terhadap pasangan maupun perkawinan itu sendiri tinggi. Artinya perkawinan memenuhi kebutuhan paling penting individu, misalnya kebutuhan keintiman, seksualitas dan persahabatan. 2. Mengurangi pilihan-pilihan di luar perkawinan Pilihan-pilihan lain di luar perkawinan tidak terlalu menarik individu, sehingga individu tidak akan tertarik untuk memenuhi kebutuhan yang dianggapnya paling penting di luar perkawinan, misalnya keinginan untuk selingkuh 3. Meningkatkan investasi Komitmen terhadap perkawinan dikatakan tinggi jika sejumlah sumber penting secara langsung maupun tak langsung dihubungkan dengan perkawinan, seperti waktu, usaha, harta, dan jaringan persahabatan yang dulu merupakan milik pribadi kini meningkat menjadi milik dan dilakukan bersama pasangan. Dengan kata lain, individu menjadi lebih kaya bersama pasangan, punya teman yang lebih banyak, uang yang lebih banyak, relasi yang lebih luas. Sementara itu menurut Weiselquist dkk. (1999) aspek-aspek dalam komitmen termasuk di antaranya : (1) kecenderungan untuk mengabaikan atau menghina pilihan pasangan (2) kesediaan berkorban atau kecenderungan untuk meninggalkan aktivitas yang yang dulu-dulu yang diinginkan demi kebaikan perkawinan (3) perilaku akomodatif yaitu kecenderungan untuk menerima kekurangan pasangan (4) saling ketergantungan kognitif atau kecenderungan untuk berpikir dalam istilah kami, kita, milik kita, daripada saya, aku, punyaku (5) ilusi positif atau kecenderungan terhadap evaluasi berlebihan terhadap pasangan atau hubungan. Menurut Sadarjoen (www.kompas cyber media, diakses tanggal 12 Februari 2009), perkawinan menuntut kesediaan dua manusia 4

DYAH ASTORINI W,Kajian tentang Faktor-faktor Komitmen dalam Perkawinan... menjalin relasi dengan konsekuensi komitmen permanen. Perkawinan juga menuntut kesediaan kedua pasangan saling berbagi karena tidak mungkin interelasi untuk mempertahankan perkawinan dilakukan hanya satu pasangan, sejauh apa pun dia mengusahakan. Untuk hal itu pula pasangan perkawinan seyogianya menerima konsekuensi dari komitmen permanen sebagai berikut: 1. Komitmen terhadap diri sendiri tentang pertumbuhan, perubahan, serta menjadi pasangan dalam perkawinan yang membawa konsekuensi rasa tanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan finansial, seksual, sosial, dan sebagainya. 2. Komitmen terhadap pasangan yang terdiri dari, antara lain kesediaan seseorang menyanggupi keterikatan pada pasangan dalam upacara perkawinan. Artinya, pada dasarnya pasangan tersebut berjanji mencintai, setia, menghormati, dan menyenangkan satu sama lain serta jujur dalam berbagai masalah kehidupan dengan penuh tanggung jawab. 3. Komitmen dalam hubungan antarpasangan perkawinan dalam interrelasi yang tercipta dengan keluarga secara menyeluruh. Artinya, komitmen tersebut terkait dengan segala pertumbuhan dalam perkawinan itu sendiri, seperti saling menghormati, menghargai, mencintai, peduli, memberi kehangatan, saling memahami dan mendukung, serta memperkuat relasi antarpasangan. Komitmen tersebut juga menyertakan penerimaan tulus akan kehadiran anakanak dengan berbagai tanggung jawab sebagai orangtua. 4. Komitmen sosial sebagai pasangan perkawinan yang seyogianya memenuhi tuntutan peran sosial keluarga sebagai unit terkecil kehidupan bermasyarakat di lingkungan sosial mana keluarga berada. Tidak setiap individu berani menanggung konsekuensi komitmen permanen dalam ikatan perkawinan. Salah satu faktor yang memegang peranan adalah faktor kematangan kepribadian yang dipengaruhi oleh antara lain pola asuh orangtua pada masa lalu, predisposisi kondisi mental yang dibawa sejak lahir, dan trauma psikologis yang dialami pada masa lalu. Spesialis Perkawinan, Dr. Jeannett Lauer dalam bukunya Til Death Do Us Part (www. msucares.com) menyatakan komitmen merupakan faktor penting dalam perkawinan yang sehat. Komitmen memberikan perasaan bagi suami isteri untuk dapat bertahan dari setiap 5

PSYCHO IDEA, Tahun 7 No1, Februari 2009 ISSN 1693-1076 masalah dalam perkawinan. Paling tidak terdapat tiga jenis komitmen : pertama, komitmen pada perkawinan yang bahagia. Komitmen jenis ini terdengar bagus di permukaan, tetapi masalahnya komitmen jenis ini hanya bertahan selama pasangan merasa bahagia. Saat rasa bahagia hilang, komitmen berakhir dan perkawinan juga berakhir. Kedua, komitmen pada perkawinan itu sendiri. Pasangan suami isteri yang siap untuk bertahan dalam perkawinan apapun yang terjadi. Pasangan suami isteri ini diajarkan untuk mengabaikan rasa sakit dan menderita untuk mempertahankan perkawinan. Banyak wanita yang salah dalam memahami komitmen jenis ini. Mereka tetap bertahan dalam perkawinan atau hubungan bahkan meskipun mereka mengalami kekerasan dalam rumah tangga atau dalam hubungan tersebut. Ini disebut sebagai komitmen buta. Ketiga, komitmen pada perkawinan, kebahagiaan dan pasangan. Ini adalah komitmen yang sehat atau komitmen total. Ini adalah komitmen yang ditemukan dalam pasangan perkawinan yang bahagia. TINGKATAN-TINGKATAN KOMITMEN Menurut Berry (1999) (www. Hudzaifah.org) tingkat komitmen dapat berada pada suatu batas daerah kontinum, yang dapat dibedakan atas beberapa tingkat, yaitu: Interest in Alternatives, sebagai tingkat komitmen yang paling rendah, berikutnya Acquiescene, Cooperation, Enhancement, Identity, Advocacy, dan Ownership sebagai tingkat komitmen yang paling tinggi. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut : 1. Interest in Alternatives, yaitu komitmen yang timbul karena pasangan suami isteri merasa tidak ada pilihan lain. Mungkin mereka merasa memang inilah yang terbaik di antara pilihan yang ada. Tingkat komitmen ini sangat rendah, dan perkawinan bisa berakhir karena alasan-alasan yang sangat sederhana. Misalnya, karena salah satu pihak bertemu orang lain yang lebih ganteng atau lebih cantik. 2. Acquiescene, adalah suatu kesepakatan di antara pasangan suami isteri bahwa mereka akan menerima setiap persyaratan dan kebijaksanaan yang telah disepakati. Implementasinya dalam kehidupan rumah tangga, perkawinan akan tetap berlangsung bila isteri tidak bekerja tapi di rumah mengasuh anak. 6

DYAH ASTORINI W,Kajian tentang Faktor-faktor Komitmen dalam Perkawinan... 3. Cooperation, berasal dari bahasa latin, dimana co artinya bersama-sama (together), sedangkan operate artinya bekerja (to work). Cooperation adalah tingkat ketiga dari komitmen. Komitmen ini menggambarkan situasi dimana pihak-pihak yang mengadakan perkawinan bekerja bersama-sama untuk mencapai apa yang diharapkan. Dalam hal ini masing-masing pihak yang terlibat secara langsung mengusahakan tercapainya tujuan bersama. 4. Enhancement, merupakan komitmen tingkat keempat, yang berarti suatu komitmen dari pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan untuk mengadakan suatu ikatan secara sadar untuk saling memberikan kontribusi yang saling menguntungkan. Selalu berusaha untuk memperkuat ikatan hubungan masing-masing berdasarkan kepercayaan yang mendalam. Misalnya, bila suami atau isteri saling melengkapi, saling menghargai. 5. Identity, adalah tingkat komitmen yang hampir sama pengertiannya dengan enhancement, yaitu suatu identitas dari kuatnya hubungan antara suami dengan isteri yang tercermin dari sikap masing-masing pihak yang bersedia bekerjasama dalam suatu tim kerja (team work). Misalnya suami membantu isteri dalam pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak saat isteri sedang sibuk. Isteri mendukung karir suami, ibarat satu tim yang kompak. 6. Advocacy, tingkat komitmen ini berkaitan dengan keinginan pasangan untuk menyampaikan hal-hal yang baik mengenai pasangannya, saling menutupi aib/kekurangan pasangannya, tapi justru menceritakan kebaikan-kebaikan suami/isterinya. 7. Ownership, ini merupakan tingkar komitmen terakhir, rasa kepemilikan secara emosional bagi pihak-pihak yang mengadakan hubungan. Jenis komitmen ini merupakan peningkatan atau kombinasi dari coperation, enhancement, identity, dan advocacy. Dalam perkawinan, misalnya bisa suami telah bertindak sebagai pemimpin bagi isterinya, karena merasa bahwa isteri adalah amanahnya. Pun, isteri, bertindak taat pada suaminya, karena merasa bahwa sang suami memiliki hak yang besar atas dirinya. 7

PSYCHO IDEA, Tahun 7 No1, Februari 2009 ISSN 1693-1076 SIFAT KOMITMEN Menurut Nichols (2005) komitmen mempunyai beberapa sifat. Pertama, komitmen berbeda dengan attachment (kelekatan). Attachment (kelekatan) diartikan sebagai ikatan simbolis yang muncul di antara dua orang karena berbagi keyakinan, nilai-nilai, makna dan identitas. Seorang laki-laki mungkin terikat dalam perkawinan karena kebutuhan akan rasa aman dan status sosial tapi tetap mempunyai pasangan di luar perkawinan (wanita idaman lain WIL) kepada siapa dia berbagi hubungan yang erat secara emosional. Kedua, komitmen berbeda dengan kepuasan dalam perkawinan. Dalam penelitian yang dilakukan Jones, Adams dan Berry (1995) menyatakan bahwa komitmen dan kepuasan dalam perkawinan merupakan fenomena yang secara konseptual berbeda dalam pengukuran kepuasaan perkawinan dan skala komitmen. Ditemukan juga bahwa ada pasangan yang merasa tidak puas dalam perkawinan tapi memilih tetap bertahan dengan berbagai alasan. Ketiga, komitmen merupakan hal yang penting untuk kesuksesan dan stabilitas perkawinan. Pengamatan klinis dan penelitian terhadap 100 pasangan suami isteri menemukan sejumlah elemen yang dianggap mempunyai pengaruh terhadap ketakutan dalam perkawinan yang berhubungan dengan komitmen perkawinan antara lain takut kekurangan uang, takut akan masalah anak. KAJIAN PENULIS Mempertahankan perkawinan dan membuat perkawinan bahagia bukanlah hal yang mudah. Sejak seorang laki-laki dan seorang wanita mengikatkan diri dalam hubungan perkawinan berbagai hambatan muncul dan berpotensi mengganggu keutuhan perkawinan. Oleh karena itu sebelum mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan maka pasangan hendaknya melakukan persiapan-persiapan yang meliputi persiapan spiritual, psikologis, finansial dan terus menerus melakukan penyesuaian diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Perkawinan yang kuat tidak terjadi dengan begitu saja tetapi perlu diupayakan dan diperjuangkan. Pasangan suami isteri harus punya niat yang kuat untuk berusaha meningkatkan hubungan mereka. Kunci untuk perkawinan yang kuat adalah komitmen, berpikir positif, komunikasi, afeksi, penghargaan dan tujuan yang sama. Kedua pasangan harus bekerja keras agar semua pihak merasa puas dan mau berkomitmen dengan perkawinan mereka dan pada akhirnya keluarga yang kuat dan bahagia akan tercapai. 8

DAFTAR PUSTAKA DYAH ASTORINI W,Kajian tentang Faktor-faktor Komitmen dalam Perkawinan... Adams, J.M., Jones, W.H., and Berry, J.O., 1997. The Conceptualization of Marital Commitment : An Integrative Analysis. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 72. No. 5. p 1177-1196. Agnew, C.R., Van Lange, P.A.M., Rusbult, C.E., & Langston, C.A., 1998. Cognitive Interdependence : Commitment and the Mental Representation of Close Relationship. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 74. No. 4. p 939-954. Echols,J.M & Shadily, H., 1992, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta : Gramedia. Finkel, E.J., Rusbult, C.E., Kumashiro, M., & Hannon, P.A., 2002. Dealing With Betrayal in Close Relationships : Does Commitment Promote Forgiveness? Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 82. No. 6. p. 965-974. Hartini, N., 2007. Keutuhan dan Ketahanan dalam Kehidupan Berkeluarga. Proceeding Temu Ilmiah Nasional Optimalisasi Perkembangan Potensi Bangsa. Surabaya : Ikatan Psikolog Perkembangan Indonesia, Ikatan Psikolog Sosial dan Universitas Airlangga. Nichols, W.C. 2005. The First Years of Marital Commitment. In Handbook of Couples Therapy. (Ed. Michele Harway). Jhon Wiley and Sons. New Jersey. Nurtjahjanti, H & Khasanah, N., 2006, Hubungan antara Manajemen Diri dengan Komitmen Kerja pada Distributor Multi Level Marketing Higt Deseart di PT Harmoni Dinamik Semarang, Prosiding Seminar Nasional Isu-isu Kontemporer dalam Psikologi, Yogyakarta : UAD. Sadardjoen, 2005, Konflik Marital, Bandung : Grafika Aditama. Wieselquist, J., Rusbult, C.E., Foster, C.A., & Agnew, C.R. 1999. Commitment, Pro-Relationship Behavior, and Trust in Close Relationship. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 77. p.942-966. 9

PSYCHO IDEA, Tahun 7 No1, Februari 2009 ISSN 1693-1076 www.hudzaifah.org. Tingkat komitmen. Diakses tanggal 10 Februari 2009. www.kompas cyber media.com. Konsultasi Psikologi. diakses tanggal 12 Februari 2009. www.msucares.com. Keys to Building Strong Marriage : commitment. Diakses tanggal 12 Februari 2009. 10