I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bank Perkreditan Rakyat (BPR) merupakan lembaga keuangan yang dibentuk terutama untuk melayani kebutuhan pelayanan jasa-jasa perbankan bagi masyarakat ekonomi lemah terutama usaha kecil di Indonesia. Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 pasal 1 ayat 6 menyatakan bahwa Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensiona dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Usaha Bank Perkreditan Rakyat dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 meliputi: (1) menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, (2) memberikan kredit, (3) menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah, dan (4) menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain. BPR telah tumbuh dan berkembang sebagai lembaga keuangan kecil di masyarakat dalam beberapa tahun terakhir ini. BPR merupakan ujung tombak dalam memacu pertumbuhan ekonomi khususnya untuk mengembangkan usaha kecil. BPR merupakan bank yang menjadi perhatian masyarakat, khususnya masyarakat usaha mikro dan kecil sejak tahun 2003. Kondisi itu wajar karena BPR memang lahir dari bawah oleh dan untuk masyarakat bawah, sehingga BPR tetap menyatu dengan masyarakat. Keberadaan BPR di Indonesia ternyata mampu menunjukkan perannya memberikan pelayanan jasa keuangan kepada usaha kecil. Beberapa tahun terakhir industri BPR menunjukkan perkembangan
yang positif. Dari kondisi tersebut, tergambar kepercayaan masyarakat terhadap BPR semakin meningkat. Peningkatan kepercayaan itu tidak hanya diakibatkan performance BPR yang semakin baik, tetapi ditunjang juga oleh semakin dipermudahnya pengucuran modal kepada pelaku usaha kecil (Luthan, 2006). Keberadaan BPR yang selama ini telah melayani usaha kecil semakin dirasakan penting. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik operasional BPR yang sesuai dengan nasabah yang dilayani yaitu prosedur yang sederhana dan waktu pemrosesan yang singkat (Bank Indonesia, 2006a). Peran BPR kepada usaha kecil dianggap penting bagi peningkatan pembiayaan usaha mikro dan kecil, karena selama ini usaha kecil sebagai sektor yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia memerlukan suntikan modal dari pihak luar. Peran usaha kecil yang besar ditunjukkan oleh kontribusinya terhadap produksi nasional, jumlah unit usaha dan pengusaha, serta penyerapan tenaga kerja. Kontribusi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam Poduk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2003 adalah sebesar 56.7 persen dari total PDB nasional, terdiri dari kontribusi usaha mikro dan kecil sebesar 41.1 persen dan skala usaha menengah sebesar 15.6 persen. Atas dasar harga konstan tahun 1993, laju pertumbuhan PDB UMKM pada tahun 2003 tercatat sebesar 4.6 persen atau tumbuh lebih cepat daripada PDB nasional yang tercatat sebesar 4.1 persen. Sementara pada tahun yang sama, jumlah UMKM adalah sebanyak 42.4 juta unit usaha atau 99.9 persen dari jumlah seluruh unit usaha, yang bagian terbesarnya berupa usaha skala mikro. UMKM tersebut dapat menyerap lebih dari 79.0 juta tenaga kerja atau 99.5 persen dari jumlah tenaga kerja, meliputi usaha mikro dan kecil sebanyak 70.3 juta tenaga kerja dan usaha menengah sebanyak 8.7 juta tenaga kerja (Badan Perencanaan Nasional, 2004). BPR mengalami perkembangan yang cukup pesat, baik dari segi jumlah BPR maupun kegiatan usaha yang dijalankan sejak tahun 2002. Pada Tabel 1
terlihat bahwa jumlah BPR dari tahun 2002 sampai 2004 mengalami peningkatan, namun sejak tahun 2005 terjadi sedikit penurunan jumlah BPR. Meskipun jumlah BPR mengalami penurunan, namun kegiatan usaha yang dijalankan seperti jumlah tabungan, jumlah deposito, jumlah kredit yang diberikan dan volume usaha tetap mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah nasabah BPR juga mengalami peningkatan setiap tahun, kecuali nasabah deposito yang mengalami penurunan pada tahun 2004 tapi kembali meningkat dari tahun 2005 sampai sekarang. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pasar BPR masih menjanjikan dan memerlukan dukungan dari berbagai pihak (Bank Indonesia, 2006b). Tabel 1. Perkembangan Jumlah dan Kegiatan Usaha Bank Perkreditan Rakyat Seluruh Indonesia Tahun 2002-2006 Aspek 2002 2003 2004 2005 2006 Jumlah BPR (unit) 2 141 2 141 2 158 2 009 1 901 Tabungan (Rp) 2 001 608 031 2 616 834 968 3 301 322 557 3 757 223 413 4 447 586 613 Deposito (Rp) 4 124 398 431 6 151 198 247 7 859 700 689 9 420 748 545 11 113 273 947 Kredit Yang Diberikan (Rp) 6 682 855 972 8 984 844 880 12 149 078 727 14 654 080 238 17 040 559 301 Jumlah nasabah tabungan (Org) 4 891 000 5 045 552 5 439 438 5 672 116 6 420 730 Jumlah nasabah deposito (Org) 438 000 489 359 321 557 332 299 361 423 Jumlah Debitur (Org) 1 825 000 1 993 128 2 166 685 2 478 390 2 486 725 Volume Usaha (Rp) 9 079 569 710 12 634 523 508 16 706 911 084 20 311 943 426 22 824 940 156 Sumber : Bank Indonesia, 2006b Namun demikian, peran BPR dalam pembiayaan usaha kecil tersebut masih menempati porsi yang relatif kecil dibandingkan pembiayaan oleh bank umum. Hal ini tidak terlepas dari kondisi BPR yang secara umum masih menghadapi berbagai kendala dan tantangan dalam memberikan pelayanan kepada usaha kecil, yaitu: (1) struktur pendanaan BPR belum didukung oleh permodalan yang kuat serta keterbatasan dalam menghimpunan dana masyarakat, (2) kualitas sumberdaya yang belum memadai baik ditingkat manajerial maupun teknis operasional sehingga menyebabkan tingginya biaya overhead dalam operasional BPR yang akhirnya menyebabkan suku bunga BPR
menjadi tinggi, (3) belum adanya sarana pendukung industri BPR seperti lembaga yang dapat berfungsi sebagai penyangga dana likuiditas bagi BPR, (4) lemahnya pengendalian dan inefisiensi kegiatan operasional, dan (5) terkonsentrasinya BPR di Jawa dan Bali yang menyebabkan pelayanan BPR kepada usaha kecil tidak merata di seluruh Indonesia (Bank Indonesia, 2006a). Berbagai tantangan dan kendala yang dihadapi BPR tersebut perlu diatasi dengan melibatkan berbagai pihak untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan BPR, sehingga pada akhirnya perkembangan BPR tersebut akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan usaha kecil di seluruh Indonesia. Sumatera Barat sebagai propinsi yang sektor usahanya didominasi oleh Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dan didukung oleh faktor sosial budaya masyarakat yang memiliki jiwa kewirausahaan yang relatif lebih tinggi, maka dengan kebijaksanaan pengembangan UMK yang terencana akan memberikan manfaat maksimum terhadap pembangunan ekonomi daerah seperti penciptaan lapangan kerja, penyediaan barang dan jasa, pemerataan pembangunan, dan alih teknologi. Jumlah UMKM yang ada di sumatera Barat sampai tahun 2003 adalah sekitar 42.000 unit, dan sekitar 90 persen dari jumlah tersebut merupakan usaha mikro dan kecil. Adanya lembaga keuangan lokal merupakan salah satu faktor penting untuk mendukung percepatan pengembangan UMK di daerah. Lembaga keuangan lokal yang telah banyak berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah di Sumatera Barat selama ini adalah Bank Perkreditan Rakyat (Herri, et al. 2006). Propinsi Sumatera Barat telah memiliki lembaga keuangan mikro yang telah berkembang dari zaman penjajahan. Lembaga keuangan mikro yang lebih berakar kepada masyarakat disebut Lumbung Pitih Nagari (LPN) yang sejak tahun 1990 berubah nama menjadi BPR-LPN. Perkembangan BPR di Sumatera
Barat sampai dengan akhir tahun 2005 berjumlah 103 BPR dengan jumlah kantor sebanyak 131 unit. Dari 103 BPR yang ada di Sumatera Barat, sebanyak 45 BPR merupakan BPR Binaan Bank Nagari sedangkan sisanya merupakan BPR Gebu Minang dan BPR lainnya. Adapun perkembangan kinerja BPR yang ada di Sumatera Barat untuk beberapa tahun terakhir tercantum dalam Tabel 2. Tabel 2. Perkembangan Kinerja Bank Perkreditan Rakyat di Sumatera Barat Tahun 2001-2005 (Juta Rupiah) No Kriteria Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 1. Jumlah Aktiva 119 015 178 902 257 376 354 879 430 288 2. Posisi dana simpanan 74 171 119 023 117 688 249 171 283 248 3. Posisi Kredit 81 189 121 407 169 436 246 710 298 469 Sumber : Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Daerah Sumatera Barat, 2006 Tabel 2 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah aktiva, posisi dana simpanan dan kredit setiap tahunnya. Peningkatan jumlah aktiva rata-rata setiap tahunnya adalah sebesar 38.33 persen. Perkembangan posisi dana simpanan juga menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Posisi dana simpanan pada tahun 2005 sebesar Rp. 283.248 miliar atau meningkat sebesar 281.9 persen dari tahun 2001, sedangkan peningkatan dana simpanan rata-rata pertahun adalah sebesar 92.28 persen. Perkembangan posisi kredit pada tahun 2005 sebesar Rp. 298.469 miliar atau meningkat sebesar 267.6 persen dari tahun 2001. Peningkatan rata-rata posisi kredit setiap tahunnya adalah sebesar 209.01 persen. Namun peranan BPR dalam pemberian kredit kepada usaha kecil sampai dengan akhir tahun 2005 hanya sebesar 7.62 persen dari jumlah kredit mikro dan kecil yang disalurkan perbankan di Sumatera Barat. Masih kecilnya proporsi kredit yang diberikan oleh BPR tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh BPR di Sumatera Barat selama ini.
1.2. Perumusan Masalah BPR di Sumatera Barat selama ini masih menghadapi berbagai masalah dalam melakukan kegiatan usahanya. Masalah-masalah tersebut antara lain adalah: (1) rendahnya kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) yang dimiliki, (2) terbatasnya kemampuan dalam menghimpun dana pihak ketiga dan tingginya tingkat persaingan dengan bank umum, (3) tingkat bunga kredit yang tinggi sehingga tidak dapat mengimbangi bank umum yang mempunyai segmen pasar yang sama dengan BPR, (4) keterbatasan modal dan teknologi informasi yang belum memadai, dan (5) belum berfungsinya kelembagaan pendukung BPR sebagai penyangga dana likuiditas BPR dalam rangka menciptakan efisiensi kegiatan operasional dan meningkatkan kapasitas BPR (Luthan, 2006). Permasalahan utama yang dihadapi BPR di Sumatera Barat yaitu belum sepenuhnya berfungsi lembaga pendukung industri BPR dalam rangka menciptakan efisiensi kegiatan operasional dan meningkatkan kapasitas BPR untuk mencari sumber-sumber pendanaan yang murah serta memperluas jaringan. Untuk mengatasi masalah yang dihadapi BPR dan untuk meningkatkan perkembangan BPR di Sumatera Barat, Bank Nagari telah melakukan pembinaan kepada beberapa BPR yang ada di Sumatera Barat. Kegiatan pembinaan dilakukan oleh Bank Nagari pada awalnya kepada Lumbung Pitih Nagari (LPN) sejak tahun 1978, dan seiring dengan perubahan nama LPN menjadi BPR-LPN maka Bank Nagari juga melakukan pembinaan kepada BPR- LPN yang sekarang disebut BPR. Peranan Bank Nagari dalam pengembangan BPR juga diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 15 Tahun 1992 tentang Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat, yaitu Bab V pasal 6 ayat 3 tentang Tugas dan Usaha: Sebagai alat kelengkapan otonomi Daerah, Bank mempunyai tugas antara lain, ikut serta membina dan
mengembangkan Bank Perkreditan Rakyat yang dibina dan dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Pembinaan terhadap BPR juga didukung oleh tugas pokok Bank Nagari sebagai Bank Pembangunan Daerah yang bertugas untuk membantu atau mendorong pembangunan daerah di segala bidang dan menambah sumber pendapatan daerah serta menunjang pengembangan dunia usaha dan pertumbuhan ekonomi dengan tujuan mempertinggi taraf hidup rakyat. Untuk melaksanakan tugas tersebut, kegiatan Bank Nagari meliputi kegiatan pengerahan dana, perkreditan, pemegang kas daerah, dan pembinaan kepada LPN atau BPR. Kegiatan pembinaan kepada BPR terutama bertujuan untuk membantu pembentukan BPR dan operasional BPR karena kendala-kendala yang dihadapi BPR. Pembinaan yang telah dilakukan Bank Nagari kepada BPR binaannya selama ini dalam bentuk antara lain pendirian BPR baru, penyertaan modal kepada BPR, pelatihan kepada karyawan BPR, pengawasan dan monitoring. Dengan adanya pembinaan tersebut, diharapkan BPR akan memiliki kinerja dan manajemen yang lebih baik. Untuk itu perlu dilihat sejauhmana pembinaan yang telah dilakukan oleh Bank Nagari kepada BPR binaannya selama ini? BPR yang telah tergabung dalam binaan Bank Nagari sampai tahun 2005 berjumlah 45 unit yang tersebar pada wilayah kecamatan di Kabupaten atau Kota di Sumatera Barat. Perkembangan BPR binaan Bank Nagari dapat dilihat pada Tabel 3. Pada Tabel 3 terlihat bahwa secara keseluruhan terjadi peningkatan volume neraca, jumlah tabungan, deposito dan kredit yang diberikan setiap tahunnya. Namun pada tahun 2005 persentase peningkatan perkembangan BPR binaan Bank Nagari mengalami penurunan. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2004 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sedangkan komposisi kredit yang diberikan menurut sektor ekonomi per Juli
2006 adalah sektor pertanian sebesar 14.18 persen, perdagangan sebesar 46.51 persen, perindustrian sebesar 1.5 persen, jasa-jasa sebesar 11.33 persen, dan lainnya sebesar 25.11 persen (Bank Nagari, 2006). Tabel 3. Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat Binaan Bank Nagari Tahun 2001 2005 No. Keterangan Posisi (miliar rupiah) 2001 2002 2003 2004 2005 1. Asset 64.806 98.828 (52.50) 128.15 (29.67) 222.19 (73.38) 265.499 (19.49) 2. Tabungan 34.377 46.408 (35.00) 51.298 (10.54) 94.506 (84.23) 108.19 (14.48) 3. Deposito 9.191 20.611 (124.25) 36.37 (76.46) 63.451 (74.46) 70.162 (10.58) 4. Kredit yg diberikan 43.205 65.819 (52.34) 96.618 (46.79) 152.63 (57.97) 187.362 (22.75) Sumber : Bank Nagari, Company Profile BPR Binaan Bank Nagari, 2006 Keterangan: (.) = Persentase pertumbuhan dibandingkan tahun sebelumnya Terjadinya peningkatan kinerja BPR binaan beberapa tahun terakhir mengindikasikan organisasi BPR binaan telah cukup baik. Namun demikian, kinerja BPR binaan Bank Nagari belum bisa dikatakan lebih baik dibandingkan dengan kinerja BPR non-binaan Bank Nagari. Untuk itu perlu diidentifikasi apakah BPR binaan Bank Nagari memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan BPR non-binaan, faktor-faktor apa yang mempengaruhi kinerja tersebut? Peningkatan kinerja BPR diharapkan akan mampu memberikan pelayanan yang lebih baik kepada usaha kecil. Permodalan yang lebih baik diharapkan akan meningkatkan kinerja dari usaha kecil. Peningkatan kinerja usaha kecil dapat dilihat dari segi ekonomi dalam hal peningkatan input yang digunakan, omset penjualan, keuntungan, dan jumlah asset yang dimiliki. Namun saat ini share BPR dalam membiayai usaha kecil masih relatif rendah. Berdasarkan komposisi kredit yang diberikan menurut kelompok bank di Sumatera Barat tahun 2004, terlihat porsi kredit yang disalurkan oleh BPR hanya 1.82 persen dari total kredit yang disalurkan oleh sektor perbankan yang ada di
Sumatera Barat dan dari total kredit usaha kecil yang disalurkan perbankan di Sumatera Barat hanya 7.62 persen yang disalurkan oleh BPR (Bank Indonesia, 2006c). Sedangkan dari sisi usaha kecil sendiri menunjukkan masih banyak usaha kecil yang menggunakan modal sendiri dan memiliki minat yang rendah untuk akses kepada BPR, sementara usaha kecil itu sendiri membutuhkan tambahan modal. Sebanyak 60 persen dari permodalan UKM di Sumatera Barat bersumber dari modal sendiri, dan 20 persen permodalan tersebut berasal dari keuangan keluarga yang digabungkan sehingga banyak UKM yang berbentuk usaha bersama anggota keluarga. UKM di Sumatera Barat diperkirakan baru sekitar 14 persen yang mengakses perbankan sebagai satu sumber permodalan. Dari kondisi tersebut maka perlu mengkaji bagaimana dampak BPR binaan Bank Nagari terhadap peningkatan kinerja usaha kecil di Sumatera Barat? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : 1. Menelaah perkembangan pembinaan terhadap BPR yang telah dilakukan oleh Bank Nagari selama ini. 2. Membandingkan kinerja BPR yang menjadi binaan Bank Nagari dengan BPR non-binaan Bank Nagari dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 3. Menganalisis dampak kredit BPR terhadap peningkatan kinerja usaha kecil di Sumatera Barat. 1.4. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan pada wilayah BPR binaan Bank Nagari di Sumatera Barat. Sampel BPR diambil berdasarkan BPR yang menjadi binaan Bank Nagari dan non-binaan Bank Nagari. Pengambilan sampel nasabah usaha
kecil diperoleh dari sampel BPR binaan dan BPR non-binaan Bank Nagari. Sampel nasabah yang diambil dibagi dalam 3 kategori, yaitu sektor pertanian, sektor perdagangan,dan industri kecil. Metode analisis yang digunakan yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Peningkatan kinerja yang dimaksud adalah peningkatan penggunaan tenaga kerja, omset penjualan, keuntungan, jumlah asset yang dimiliki dan pengembalian kredit.