BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sejatinya adalah pembentukan karakter, sifat dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Politik etis adalah politik balas budi atau politik kehormatan, namun

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan Barat, pendidikan di Sumatra Timur bersifat magis religius yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter yang diimplementasikan dalam institusi pendidikan, diharapkan dapat

BAB I PENDAHULUAN. Kampus secara harfiah adalah lapangan atau tegal. Ini di ambil dari bahasa latin yaitu Campus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar bukan hanya

BAB I Pendahuluan. tertentu dapat tercapai. Dengan pendidikan itu pula mereka dapat mempergunakan

BAB I LANDASAN KURIKULUM AL-ISLAM, KEMUHAMMADIYAHAN DAN BAHASA ARAB DENGAN PARADIGMA INTEGRATIF-HOLISTIK

MODUL POLA KEHIDUPAN BANGSA INDONESIA PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL HINGGA KEMERDEKAAN MATERI : HUBUNGAN POLITIK ETIS DENGAN PERGERAKAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi saat ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi

Daftar Isi PENDIRIAN MUSEUM MUHAMMADIYAH PROPOSAL 5 ASAS-ASAS 13 RENCANA 24 TAHAPAN PENDIRIAN 1 LATAR BELAKANG SEJARAH PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. telah berupaya meningkatkan mutu pendidikan. Peningkatan pendidikan diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. Islam, baik yang dilakukan oleh perorangan, maupun oleh kelompok atau

BAB I PENDAHULUAN. disesuaikan dengan sistem pendidikan yang dibuat pemerintah kolonial Belanda.

BAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah merupakan gerakan Islam, da wah amar ma rūf nahī

BAB I PENDAHULUAN. berkembang melalui penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan (BNSP, 2006: 5).

BAB I PENDAHULUAN. tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di

PERKEMBANGAN PERGERAKAN KEBANGSAAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yang mempengaruhi kehidupan manusia. Di dalam proses pembelajaran, guru

BAB I PENDAHULUAN. nahi munkar, beraqidah Islam dan bersumber dari Al-Qur an dan Sunnah.

BAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik

BAB I PENDAHULUAN. 34, disebutkan pada ayat 1 bahwa Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara

BAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah ialah karena dirasakan tidak efektifnya lembaga-lembaga. reformulasi ajaran dan pendidikan Islam.

PENDAHULUAN. Madrasah Tsanawiyah (MTs) Mathla ul Anwar merupakan salah satu. Madrasah Swasta yang di selenggarakan oleh Perguruan Mathla ul Anwar Kota

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tersebut mengantarkan orang untuk terbuka terhadap kebutuhan-kebutuhan

2014 PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN AL-ISLAMIYYAH DESA MANDALAMUKTI KECAMATAN CIKALONGWETAN KABUPATEN BANDUNG BARAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Guru sebagai teladan bagi peserta didik harus memiliki sikap dan

BAB I PENDAHULUAN. makna bagi dunianya melalui adaptasi ataupun interaksi. Pola interaksi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pemerintah kabupaten dan kota di

2015 PENANAMAN NILAI-NILAI KESUND AAN MELALUI PROGRAM TUJUH POE ATIKAN ISTIMEWA D I LINGKUNGAN SEKOLAH KABUPATEN PURWAKARTA

MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Pelaksanaan KKN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berkarakter dalam mengisi kemerdekaan. Namun, memunculkan jiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. ini berarti bahwa pembangunan itu tidak hanya mengejar lahiriah seperti

Pendidikan Dasar Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

BAB I PENDAHULUAN. Sastra tumbuh, hidup, dan berkembang seiring dengan kemajuan peradaban

BAB I PENDAHULUAN. Selama masa penjajahan Belanda, terjadi berbagai macam eksploitasi di

BAB IV DAMPAK KEBERADAAN PONDOK PESANTREN DALAM BIDANG SOSIAL, AGAMA DAN PENDIDIKAN BAGI MASYARAKAT TLOGOANYAR DAN SEKITARNYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. semangat dalam praksis pendidikan di Indonesia. Sejak awal kemerdekaan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sebuah proses yang ditempuh oleh peserta didik

BAB I PENDAHULUAN. yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah bangsa-bangsa telah menunjukkan bahwa bangsa yang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dapat dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu: Pendidikan formal,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB V PENUTUP. 1. Pendidikan Islam di Nusantara pada masa KH. Ahmad Dahlan sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Sejak zaman penjajahan Belanda dan Jepang, pondok pesantren merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan,

PENDIDIKAN PADA MASA KOLONIAL

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Sejarah Pendidikan di Kota Medan. dari keluarg, masyarakat sekelilingnya. Perkembangan pendidikan saat ini ini

POLITIK KOLONIAL KONSERVATIF, ) ENCEP SUPRIATNA

PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN PEMAHAMAN MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN PEMBELAJARAN HEURISTIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Saat ini globalisasi berkembang begitu pesat, globalisasi mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berkreasi, semakin dirasakan urgensinya. Otonomi dibidang

02/07/2014. Oleh Prof. Dr. H. Suyatno, M.Pd. Rektor Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. antara lain pemerintah, guru, sarana prasarana, dan peserta didik itu sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa saling

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan sebuah negara. Untuk menyukseskan program-program

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang majemuk secara etnik, agama, ras dan golongan.

PENERAPAN KONSEP PEMBELAJARAN HOLISTIK DI SEKOLAH DASAR ISLAM RAUDLATUL JANNAH WARU SIDOARJO PADA MATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. memiliki eksistensi yang lebih bermartabat. Pendidikan formal pada hakikatnya

TUGAS AKHIR PEMASYARAKATAN PANCASILA DALAM ERA GLOBALISASI

BAB I PENDAHULUAN. perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang. kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. kelompok atau lapisan sosial di dalam masyarakat. Kebudayaan ini merupakan suatu cara

-23- BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

PENGARUH POLITIK ETIS TERHADAP PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA TAHUN SKRIPSI. Oleh: Melinda Vikasari NIM

BAB I PENDAHULUAN. dewasa agar ia menjadi orang dewasa (Hasbullah, 2005: 1).

BAB I PENDAHULUAN. berpengaruh dalam bidang pendidikan khususnya di Sumatera Timur. perkembangan sehingga kekuasan wilayahnya semakin luas, disamping

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di dalam perkembangan peradaban dan kebudayaan suatu bangsa,

A. Latar Belakang Masalah

ANALISIS KEBIJAKAN PENAMBAHAN SEKOLAH MENENGAH NEGERI BARU DI KABUPATEN KEBUMEN TAHUN 2004

BAB I PENDAHULUAN. mencapai suatu tujuan cita-cita luhur mencerdaskan kehidupan bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan perubahan di segala bidang kehidupan. Kemajuan ini tentu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Eksistensi Pancasila dalam Konteks Modern dan Global Pasca Reformasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN BERBASIS POTENSI LOKAL MELALUI KEBIJAKAN LEADER CLASS DI DAERAH CILACAP. Oleh : Ma rifani Fitri Arisa

BAB I PENDAHULUAN. melalui pendidikan sekolah. Pendidikan sekolah merupakan kewajiban bagi seluruh. pendidikan Nasional pasal 3 yang menyatakan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta :

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan bangsa juga sekaligus meningkatkan harkat dan. peningkatan kehidupan manusia ke arah yang sempurna.

BAB I PENDAHULUAN. mengajar dengan materi-materi kajian yang terdiri dari ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan dan praktik penyelenggaraan dari Sekolah Bertaraf Internasional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan usaha untuk mengembangkan kepribadian dan

BAB I PENDAHULUAN. dapat mencapai tujuan akhir dari proses pendidikan. dan ilmu pengetahuan yang mereka miliki sangatlah minim sekali.

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENDIDIKAN DINIYAH DI KOTA TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. melestarikan dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam

BAB I PENDAHULUAN. berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis

BAB I PENDAHULUAN. baik oleh individu maupun masyarakat secara luas. teknologi telah melahirkan manusia-manusia yang kurang beradab.

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan hal itu, tidak akan pernah terlepas dari peran guru untuk selalu

BAB I PENDAHULUAN. sikap, perilaku, intelektual serta karakter manusia. Menurut Undang-Undang

2015 MENINGKATKAN MINAT BACA MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PERPUSERU DALAM PENGELOLAAN TAMAN BACAAN MASYARAKAT BERBASIS INFORMATION TECHNOLOGY

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama teknologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sistem yang harus dijalankan secara terpadu dengan

BAB I PENDAHULUAN. dapat membawa perubahan ke arah lebih baik. Pendidikan di Indonesia harus

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan

AL-QUR AN SEBAGAI PERANTARA PENGUATAN KARAKTER (RELIGIUS, TOLERANSI DAN DISIPLIN) MAHASISWA FKIP PGSD UMS ANGKATAN 2012

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan sejatinya adalah pembentukan karakter, sifat dan pemaksimalan kapasitas intelektual manusia. Bowls dan Gintis dalam Sanderson (2000: 493) mengungkapkan tujuan pendidikan yang tepat adalah meningkatkan penyelidikan intelektual yang terbuka, kreatifitas, dan pertumbuhan manusia yang positif. Jenis sistem pendidikan yang benar ialah sistem yang menjurus pada kepuasan pribadi dan pemenuhan intelektual dan emosional. Namun pendidikan justru telah digunakan oleh kaum kapitalis untuk dua tujuan utama: untuk membenarkan ketidaksamaan kelas dan untuk mendisiplinkan angkatan kerja dengan memasukkan kepada siswa-siswa itu bentuk-bentuk kesadaran kerja yang tepat. Dunia pendidikan terkait dengan sistem yang dibangun oleh institusiinstitusi pendidikan berkaitan dengan dominasi dunia kapitalis yang berbasis ideologi liberalisme. Pengalihan fungsi pendidikan dari tujuan memanusiakan manusia menjadi lahan untuk mencari keuntungan bagi para pemilik modal sangat jauh dari harapan dan tujuan mulia pendidikan tersebut. Jauh lebih dalam lagi dunia pendidikan berbasis ideologi liberalisme ini, secara afeksi mempengaruhi budaya masyarakat yang menegaskan ketidaksamaan kelas. Dunia pendidikan adalah salah satu media pembentukan kultur masyarakat, di mana menurut Kelner dalam Ritzer dan Goodman (2004:181) bahwa kultur masa adalah instrumen penting ideologi kapitalis, maka secara

ideologis para pemilik modal berlomba-lomba untuk menguasai dunia pendidikan baik dalam hal birokrasi maupun penanaman nilai-nilai dan budaya. Dalam dunia pendidikan para pelajar tidak lagi mengenal identitas dan karakter yang baik dalam kehidupan, baik secara umum maupun dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan yang mahal mengarahkan para pelajar menjadi orang yang tidak peduli dengan kondisi sosialnya, menjadi lebih apatis, individualis dan hedonis. Mereka tidak lagi memiliki nalar yang dibangun untuk menjadi manusia intelektual yang kritis terhadap kondisi sosial. Hal ini sangat jauh dari harapan dan tujuan ideal yang digambarkan oleh beberapa tokoh sosiologi yang mengaji permasalahan pendidikan. Dalam beberapa konteks, pendidikan tidak lagi dianggap sebagai media untuk mencari sebuah kebenaran, melainkan bertujuan untuk mencari kekuatan. Pendidikan seperti dikatakan Sargent dalam Dewifitriatulchairiyah.blogspot.com (2013) merupakan instrument untuk mengatasi kesenjangan, mencapai derajat kesetaraan yang tinggi dan mencapai tingkat kesejahteraan yang baik bagi siapa saja. Pembelajar memiliki semangat dan motivasi mengejar inspirasi menuju kemajuan dan usaha menjadi manusia yang terbaik. Pendidikan seperti dikatakan oleh Schofield dalam Dewifitriatulchairiyah.blogspot.com (2013) memposisikan diri sebagai tempat bagi mereka untuk mengembangkan diri berdasar keunikan potensi dan kepentinganya masing-masing. Chirzin dalam Batubara (2004:110) mengemukakan bahwa proses globalisasi dengan percepatan menggelindingnya liberalisasi ekonomi dan sistem perdagangan bebas secara global, menghadapkan dunia pendidikan pada tantangan-tantangan baru yang tidak sederhana. Globalisasi membuat dunia

menjadi sebuah kampung kecil yang memudahkan setiap warga dunia untuk berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Situasi yang demikian mengakibatkan terbukanya ide atau gagasan dari satu tempat ke tempat lain sehingga sulit disensor jika bertentangan dengan nilai-nilai budaya penerima ide atau gagasan tersebut. Gambaran pendidikan pada era globalisasi ini secara langsung ataupun tidak terus mengarahkan pada perubahan nilai dan norma di berbagai belahan dunia lainnya. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang mudah diakses di mana saja, dunia pendidikan kini telah menyingkirkan nilai-nilai dan budaya yang menjaga norma yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Tilaar dalam Batubara (2004:111) sistem pendidikan harus memperhatikan nilai-nilai budaya, karena budaya yang ada akan mendorong terjadinya pembudayaan dalam proses pendidikan yang diselenggarakan tersebut. Menghilangnya penanaman budaya dalam sistem pendidikan sama halnya dengan menghilangkan karakter suatu bangsa, di mana anak-anak bangsa tidak lagi mengenal kepribadian bangsanya, dan tidak lagi memiliki penyaring terhadap hal-hal baru yang bertentangan dengan karakter bangsa tersebut. Pada masa sekarang ini banyak media yang menggambarkan bagai mana budaya yang sejatinya tidak pantas untuk ditiru oleh para pelajar. Hal itu terus digandrungi oleh para pelajar pada era globalisasi ini. Ericson dalam Muslich (2011:35) mengungkapkan bahwa karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas SDM karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter

seseorang. Menurut Freud dalam Muslich (2011:35) kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak. Maka dalam hal ini pendidikan yang menegaskan karakter yang ditanamkan di lembaga-lembaga pendidikan sangat penting untuk diterapkan. Mengingat kondisi masyarakat yang semakin menuju kearah liberalisasi, baik dari segi budaya maupun ilmu pengetahuan, pendidikan karakter sangat penting untuk menanamkan nilai afeksi sebagai fondasi setiap anak bangsa dalam berpikir dan berprilaku dalam masyarakat. Pendidikan sendiri adalah hak dasar bagi setiap warga negara Indonesia. Sangat jelas tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Hal ini diwujudkan dengan berdirinya 144.228 Sekolah Dasar (SD), 28.777 Sekolah Menengah Pertama (SMP), 10.765 Sekolah Menengah Atas (SMA), 7.592 Sekolah Menengah Kejuruan dan 1.686 Sekolah Luar Biasa (SLB) yang tersebar di seluruh Indonesia baik sekolah swasta maupun negeri. (mustafatope.wordpress.com/2011/01/09/jumlah-sekolah-di-indonesia/) Sedangkan jumlah Perguruan Tinggi yang tersebar di seluruh indonesia, baik Pergutuan Tinggi Swasta (PTS) maupun Perguruan Tinggi Negeri (PTN) adalah sejumlah 3.151. Di mana sebanyak 3.068 atau 97% merupakan PTS, sedangkan PTN hanya berjumlah 83 atau 3% (kuliahmurahjakarta.blogspot.com/ 2014/01/jumlah-perguruan-tinggi swasta-dan.html).

Namun di lain pihak pada kondisi gobalisasi yang seharusnya akses untuk mendapatkan pendidikan lebih mudah, justru bertolak belakang dengan kondisi yang ada. Selain berpengaruh terhadap sistem pendidikan yang cenderung berbudaya liberal, globalisasi sendiri ternyata telah gagal dalam memberi kemudahan dalam akses pendidikan bagi bangsa Indonesia. Laporan tahunan UNICEF pada tahun 2012 mencatat sekitar 2,3 juta anak usia 7-15 tahun yang tidak bersekolah. (www.unicef.org/indonesia/id/unicef_annual_report_ (Ind)130731.pdf). Hal ini sangat bertentangan dengan amanat Undang-Undang Dasar yang menjamin pendidikan yang harusnya dapat diakses oleh setiap elemen masyarakat. Kegagalan globalisasi dengan dampak sistem pendidikan yang menularkan budaya liberalnya ternyata tidak menjadi jawaban atas ketertinggalan Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan dasar berupa pendidikan. Maka perlu ada sebuah formulasi di mana sistem pendidikan yang dibangun memiliki penyaring atas semua akses pendidikan yang masuk melalui berbagai media, untuk menjaga nilai-nilai, norma dan budaya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai pancasila dan nilai-nilai lain yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Di Indonesia sendiri sangat banyak model yang mewarnai dunia pendidikan. Mulai dari bantuk pendidikan umum hingga model pendidikan berbasis agama. Keberagaman ini juga yang membuat karakter siswa di berbagai sekolah menjadi beragam. Peneliti sendiri merasa tertarik untuk melakukan penelitian terhadap salah satu model pendidikan tersebut. Menurut peneliti pendidikan tingkat menengah atas (SMA) atau sederajat adalah tingkat teratas dalam pembentukan afeksi bagi setiap individu sebelum menuju tingkat

pendidikan di perguruan tinggi. Pembentukan afeksi sangat penting bagi seorang individu untuk membentuk karakter seorang siswa sebelum manuju tingkat pendidikan di perguruan tinggi yang cenderung lebih luas dalam hal cara berpikir dan bersikap. Peneliti memilih lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagai objek penelitian. Lembaga pendidikan Muhammadiyah sendiri memiliki karakter khusus yang diterapkan dalam kurikulum pendidikan tingkat dasar dan menengah. Sesuai dengan pasal 33 ayat 2 Qa idah Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah, yaitu Pada Pendidikan Dasar dan Menengah, Pendidikan Khusus diberikan Pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan dan Bahasa Arab yang Kurikulumnya ditetapkan oleh Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Hal ini diperkuat dengan pertimbangan bahwa Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi masyarakat yang mapan memiliki pengalaman yang panjang dalam memberikan peran di dunia pendidikan. Persyarikatan Muhammadiyah telah menyumbangkan peran dalam dunia pendidikan sudah sejak masa pemerintahan kolonial Belanda. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, tepatnya pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang salah satu poinnya adalah mengenai edukasi, yakni memperluas dalam bidang pengajaran

dan pendidikan. Namun semua itu hanyalah sebatas kedok untuk melancarkan sistem kolonial Belanda yang lebih modern. Terutama dalam hal pendidikan. Seperti yang dituliskan oleh Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah, praktik politik etis dalam bidang edukasi dijalankan dengan sangat diskriminatif. Selain tidak banyak sekolah yang didirikan, tidak semua Pribumi mendapatkan kesempatan bersekolah, kecuali putra bangsawan dan anak-anak etnis Cina serta Ambon. Diskriminasi juga diberlakukan dalam pemberian subsidi. Soemarsono Mestoko dalam Suryanegara (2010:440) menuturkan perbedaan jumlah subsidi dari pemerintah kolonial Belanda dalam mengaplikasikan Politik Etis di bidang edukasi. Eropeesche Lager School (ELS) dengan murid hanya berjumlah 2.500, yang terdiri dari anak eropa dan bangsawan, mendapatkan subsidi f. 2.677.000. Sebaliknya, Sekolah Rendah Pribumi, dengan murid berjumlah 162.000 Muslim, hanya mendapatkan subsidi sebanyak f. 1.399.000. Pendirian sekolah pribumi oleh pemerintah kolonial Belanda hanya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja terdidik untuk dipekerjakan di perkebunan dan pertambangan, serta proyek penjajahan lainnya. Apabila kebutuhan tenaga kerja terpenuhi, sekolah ditutup. Jadi, pendirian sekolah tersebut bukan untuk mencerdaskan anak Pribumi. Di bawah tantangan sistem pendidikan yang seperti ini, Persyarikatan Muhammadiyah menjawabnya dengan mendirikan sekolah yang serupa tapi tidak sama kurikulumnya. Di mana perbedaannya adalah terdapat mata pelajaran Al-Quran dalam sekolah yang didirikan oleh Persyarikatan Muhammadiyah.

Pendirian sekolah Muhammadiyah pada saat itu mengikuti sistem sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Selain adanya Sekkolah Desa atau Sekolah Rendah Angka Dua (Tweede Klasse) atau Sekolah Boemipoetra (Inlandsche School), sudah mulai didirikan Sekolah Rendah Kelas Satu, yang disebut Hol landsch Indische School (HIS) pada 1914 M. Sekolah ini disebut pula Sekolah Boemi Poetra-Belanda, khusus untuk anak bangsawan, pegawai Belanda, dan tokoh-tokoh terkemuka. Lama studinya tujuh tahun. Anak rakyat jelata tidak mungkin masuk ke sekolah ini. Dari fakta sejarah sekolah ini, terbaca diskriminasi politik etis di bidang pendidikan penjajah. Oleh karena itu HIS Muhammadiyah disebut HIS met de Quran. HIS yang demikian ini merupakan upaya Persyarikatan Muhammadiyah mengimbangi sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah kolonial belanda. Akan tetapi, pada masa penjajahan Persyarikatan Muhammadiyah tidak mungkin mendirikan perguruan tinggi. Baru pada 27 Rajab 1363 H/8 Juli 1945 pada masa pendudukan Balatentara Dai Nippon, Persyarikatan Muhammadiyah mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) DI Jakarta dengan Rektor Kahar Moezakkir. Karena Persyarikatan Muhammadiyah lebih fokus pada upaya pengadaan tenaga guru, didirikanlah Kweekschool. Dengan tersedianya tenaga guru, maka diperbanyaklah pendirian sekolah-sekolah Muhammadiyah. Pilihan yang demikian ini, disebabkan karena mayoritas Pribumi saat itu, umumnya buta huruf latin. Latar belakang yang demikian ini pula yang membuat Persyarikatan Muhammadiyah lebih cenderung mendirikan sekolah dari tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah. Akan tetapi, hal itu tidak berarti Persyarikatan

Muhammadiyah tidak membangun Pesantren dan sekolah Agama. Keduanya tetap menjadi bagian dari pengembangan sistem pendidikan dalam menjawab tantangan zamannya (Suryanegara, 2010:440-443). Pada tahun 1911, Ahmad Dahlan mendirikan sekolah rakyat, yang diberi nama Madrasha Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang menggabungkan dua sistem pendidikan, yaitu sistem pesantern dan pendidikan barat. Sistem pendidikan yang disebut terakhir ini masih asing khususnya mata pelajaran yang diajarkan, yaitu pengetahuan umum (Syaifullah, dalam Sudarno dkk, 2010:63-64) Hingga kini Persyarikatan Muhammadiyah adalah salah satu organisasi kemasyarakatan yang sangat berpengaruh di Indonesia. Persyarikatan Muhammadiyah memiliki kader dan simpatisan yang tersebar luas di seluruh tanah air. Persyarikatan Muhammadiyah memperluas pengaruhnya dalam berbagai aspek, baik dalam agama, sosial dan pendidikan. Dalam aspek keagamaan Persyarikatan Muhammadiyah memiliki gerakan khusus tentang Amar Ma ruf nahi munkar sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah. Dalam aspek sosial Persyarikatan Muhammadiyah memiliki amal usaha berupa kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang dimotori oleh para kader Persyarikatan Muhammadiyah. Dan dalam hal pendidikan sudah sangat jelas Persyarikatan Muhammadiyah sangat banyak berperan. Sejak zaman kolonial hingga kini Persyarikatan Muhammadiyah terus menjalankan perannya dalam dunia pendidikan. Hal tersebut dibuktikan dengan didirikannya 4.623 Taman Kanak-kanak, 2.604 Sekolah Dasar, 1.772 SMP, 1.143 SMA/sederajat, 67 Pondok Pesantren, dan 172 Perguruan Tinggi (www.muhammadiyah.or.id/ content-8-det-amal-usaha.html). Hal ini

membuktikan konsistensi Persyarikatan Muhammadiyah terhadap pembangunan masyarakat melalui pendidikan. Ditengah perkembangan globalisasi Muhammadiyah mampu beradaptasi mengikuti perkembangan zaman. Seperti yang diungkapkan oleh Abdullah dalam Khozin (2005:2) tampak dalam pengorganisasian gerakannya yang lebih sistematis dan efektif. Amal usaha Muhammadiyah yang secara garis besar dapat dikelompokkan dalam tiga bidang, yaitu: agama, sosial, dan pendidikan dikelola dengan cara-cara yang menurut ukuran ruang dan waktunya tergolong modern. Secara laten Persyarikatan Muhammadiyah melakukan proses pengaderan melalui lembaga pendidikan. Dalam masyarakat sendiri para kader Muhammadiyah memiliki karakter yang berbeda dengan masyarakat yang lain. Di dalam lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah terdapat beberapa organisasi yang di isi oleh para pelajar Muhammadiyah, seperti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Ikatan Pelajar Muhammadiyah diisi oleh para pelajar SMA Muhammadiyah sebagai ekstrakulikuler. Peneliti sendiri ingin melihat bagai mana pengaruh Persyarikatan Muhammadiyah terhadap masyarakat melalui lembaga pendidikan yang secara laten merupakan salah satu proses pengaderan sejak usia dini oleh Persyarikatan Muhammadiyah. Latar belakang sejarah dan konsistensi Persyarikatan Muhammadiyah ini lah yang memperkuat landasan peneliti untuk melakukan penelitian terhadap Model Pendidikan Muhammadiyah dalam Pembentukan Karakter Siswa untuk melihat seperti apa karakter masyarakat yang dibentuk oleh Persyarikatan Muhammadiyah melalui lembaga pendidikan.

1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti mencoba menarik suatu permasalahan. Maka hal yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagai mana model penerapan pendidikan Lembaga Pendidikan Muhammadiyah terhadap pembetukan karakter siswa SMA Muhammadiyah. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dibuat untuk mengungkapkan keinginan peneliti dalam suatu penelitian (Bungin, 2008:75). Maka tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: Untuk mengetahui bagai mana model penerapan pendidikan Lembaga Pendidikan Muhammadiyah terhadap pembetukan karakter siswa SMA Muhammadiyah 2 Medan. 1.4. Manfaat Penelitian Setiap penelitian yang dilakukan haruslah memiliki manfaat yang jelas, baik manfaat secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini adalah: 1.4.1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, pemahaman, sosialisasi nilai-nilai yang ditemukan dalam hasil

penelitian, menjadi model perbandingan dalam aspek kelembagaan pendidikan, serta sumbangan bagi mahasiswa hingga dapat menambah wawasan ilmiah. Selain itu juga dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang sisiologi pendidikan. 1.4.2. Mafaat Praktis a. Bagi penulis, penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan dan pengetahuan penulis dalam membuat karya tulis ilmiah. selain itu penelitian ini juga dapat memperkaya wawasan peneliti dalam bidang sosiologi pendidikan. b. Bagi masyarakat, Muhammadiyah itu sendiri, maupun pemerintah yang berkewajiban sebagai penyelenggara pendidikan, penelitian ini diharapkan menjadi model yang dapat diterapkan dengan model lembaga pendidikan sejenis. 1.5. Defenisi Konsep Untuk memperjelas maksud dan pengertian mengenai konsep yang digunakan dalam penelitian ini maka peneliti membatasi konsep-konsep yang digunakan.pemberian batasan konsep ini diperlukan untuk menuntun peneliti dalam menangani rangkaian proses penelitian bersangkutan seerta dalam menginterpretasikan hasil penelitian (Sanafiah Faisal 1998: 107). Adapun pendefenisian konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Model pendidikan Lembaga Pendidikan Muhammadiyah adalah sebuah sistem yang dibangun oleh Yayasan Pendidikan Muhammadiyah 2 Medan untuk membentuk karakter siswa SMA Muhammadiyah melalui pendidikan khusus (Pasal 33 ayat 2 Qa idah Pendidikan Dasar dan

Menengah Muhammadiyah) dan disiplin yang dibangun dalam Yayasan Pendidikan Muhammadiyah. b. Sosialisasi nilai kemuhammadiyahan adalah bagai mana bentuk dan pola interaksi yang dibangun dalam Lembaga Pendidikan Muhammadiyah dalam menginternalisasikan nilai-nilai kemuhammadiyahan terhadap siswa. c. Yang dimaksud dengan Yayasan Pendidikan Muahammadiyah dalam penelitian ini adalah SMA Muahammadiyah 2 Medan. d. Karakter dalam hal ini adalah, kepribadian yang dibentuk oleh SMA Muhammadiyah 2 Medan yang sesuai dengan model terapan program yang dilaksanakan oleh sekolah terhadap siswa.