BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Ini memberikan implikasi terhadap

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan pemerintahan di Indonesia semakin pesat dengan adanya era

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah. didalamnya menetapkan kebijakan tentang desa dimana penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

B U P A T I N G A W I PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI,

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. langsung dengan masyarakat menjadi salah satu fokus utama dalam. pembangunan pemerintah, hal ini dikarenakan sebagian besar wilayah

BAB I PENDAHULUAN. besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya diatur dalam undangundang.

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

I. PENDAHULUAN. hakekatnya ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BARRU TAHUN 2011 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARRU NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB I. tangganya sendiri (Kansil, C.S.T. & Christine S.T, 2008). perubahan dalam sistem pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke desa.

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

I. PENDAHULUAN. Belanja Daerah (APBD). Dampak dari sistem Orde Baru menyebabkan. pemerintah daerah tidak responsif dan kurang peka terhadap aspirasi

BAB IV BENTUK LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DESA

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, maupun kemasyarakatan maupun tugas-tugas pembantuan yang

BAB 1 LATARBELAKANG. adanya era reformasi dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem sentralisasi ke desentralisasi menjadi salah satu wujud pemberian tanggungjawab

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. Indenosia tersebar di desa-desa seluruh Indonesia. diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. aparatur dalam berbagai sektor terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pasal 1 ayat (h) Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang pemerintah

I. PENDAHULUAN. kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi

penduduknya bekerja sebagai petani dan tingkat pendidikan relatif rendah, dengan

I. PENDAHULUAN. Desa menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang. Pemerintahan Daerah, merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. wadah negara kesatuan RI yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara merata bagi seluruh rakyat Indonesia yang sesuai dengan sila

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. utuh, sehingga wilayah negara Indonesia terbagi ke dalam daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Dokumen anggaran daerah disebut juga

T E N T A N G LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU UTARA

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia telah mencanangkan reformasi birokrasi

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. termasuk diantaranya pemerintah daerah. Penganggaran sector publik terkait

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 5 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG

PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA (Studi Kasus di Desa Ngrambe Kecamatan Ngrambe Kabupaten Ngawi 2013) NASKAH PUBLIKASI

I. PENDAHULUAN. terselenggaranya tata pemerintahan yang baik (good governance). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. dilakukan langsung oleh pemerintah pusat yang disebar ke seluruh wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1979 bercorak sentralistik. Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 32 Tahun

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di berbagai aspek kehidupan. Salah satu dari perubahan tersebut adalah

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

I. PENDAHULUAN. Otonomi daerah di Indonesia saat ini di dasarkan pada Undang-Undang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

BAB V PENUTUP. menyimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Desa memasuki babak baru ketika pelaksanaan UU No. 6 tahun 2014 akan segera

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia telah melewati serangkain

PELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA MELALUI PEMBANGUNAN BKM

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 23 TAHUN 2007

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PADA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN WONOGIRI DAN KABUPATEN KARANGANYAR DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA

BAB I PENDAHULUAN. merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan senantiasa memerlukan sumber penerimaan yang memadai dan

I. PENDAHULUAN. kesejahteraan hidup masyarakat suatu bangsa. Indonesia saat ini sedang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

BAB I PENDAHULUAN. yang telah di amandemen menjadi Undang-Undang No. 32 dan No. 33 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan satu paket kebijakan tentang otonomi daerah yaitu: Undang-

BAB 1 PENDAHULUAN Hal ini berdasarkan dikeluarkannya Undang Undang No. 22 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. perubahan regulasi dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. saat ini telah di limpahkan ke masing-masing daerah melalui otonomi daerah.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 6 SERI D

BAB I PENDAHULUAN. memburuk, yang berdampak pada krisis ekonomi dan krisis kepercayaan serta

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN PATI TUGAS AKHIR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

PERATURAN DESA GIRIPANGGUNG NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG. RENCANA KERJA PEMERINTAH DESA (RKPDes)TAHUN 2018 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah berimplikasi pada pergeseran sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Ini memberikan implikasi terhadap perubahan sistem manajemen pembangunan daerah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat menyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, mengandung konsekuensi-konsekuensi tertentu yang harus dipersiapkan oleh masing-masing daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi. Dalam masalah keuangan, dibutuhkn kemampuan sumber-sumber keuangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini karena selama ini sektor-sektor pembiayaan pembangunan daerah pada umumnya masih sangat bergantung pada pemerintah pusat. Setelah diberlakukannya otonomi daerah, maka pembiayaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah harus diusahakan oleh pemerintah daerah otonom, sedangkan subsidi dari pemerintah pusat hanya bersifat sebagai pelengkap, karenanya pemerintah daerah otonom harus mampu menggali berbagai potensi sumber daya daerah sehingga dapat menopang pembangunan dan penyelenggaraan pada daerah yang bersangkutan. Ketiga, 1

2 sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk memperlancar pekerjaan, kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah, Keempat organisasi dan manajemen faktor ini tidak kalah pentingnya dengan ketiga faktor tersebut diatas karena penyelenggaraan pemerintahan daerah sangat ditentukan oleh berjalannya fungsifungsi manajemen dalam menjalankan kegiatan pemerintahan. Implementasi otonomi daerah bagi desa akan menjadi kekuatan bagi pemerintah desa untuk mengurus, mengatur dan menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, sekaligus bertambah pula beban tanggung jawab dan kewajiban desa, namun demikian penyelenggaraan pemerintahan tersebut tetap harus dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban yang dimaksud diantaranya adalah pertanggungjawaban dalam pengelolaan anggaran desa. Berdasarkan hal tersebut, desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat sesuai kondisi sosial dan budaya termasuk dalam pengaturan keuangan. Penyelenggaraan pemerintahan desa diharapkan dapat mendorong peningkatan kapasitas dan kemandirian melalui partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk sistem pemerintahan yang mengatur rencana pengembangan jangka panjang, kebijakan dan peraturan desa serta sumber pembiayaan pembangunan. Oleh karena itu, perlu adanya pengaturan secara tegas dan konsisten tentang anggaran biaya pembangunan desa baik di tingkat nasional hingga daerah. Kewenangan daerah untuk mengatur proporsi anggaran pembangunan desa sangat penting sebagai wujud keberpihakan kepada masyarakat desa.

3 Pelaksanaan otonomi desa mendorong pemerintah dan masyarakat desa untuk lebih mandiri dalam mengatur dan mengurus rumah tangga desa, termasuk dalam hal ini adalah mengatur dan mengurus Anggaran dan Pendapatan Belanja Desa (APBDes), Pendapatan Asli Desa (PADes) sebagai salah satu sumber anggaran penerimaan atau pendapatan Desa memainkan peran yang sangat penting dalam pembangunan Desa, dan bagi pelaksanaan otonomi Desa. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) merupakan bagian integral dari perangkat kebijakan pembangunan dan rumah tangga desa. Dalam mendukung pelaksanaan pembangunan di desa diperlukan kepastian biaya yang berasal dari berbagai sumber baik pemerintah, swasta maupun masyarakat setempat. Dalam UU nomor 32/2004 dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintahan menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam undangundang tersebut diatur tentang desa sebagai kesatuan hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul, adat istiadat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di dalam wilayah kabupaten. Sistem pengelolaan dana desa yang dikelola oleh pemerintah desa termasuk didalamnya mekanisme penghimpunan dan pertanggungjawaban merujuk pada Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa pendanaan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah termasuk didalamnya pemerintah desa menganut prinsip money follows

4 function yang berarti bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan. Dengan kondisi tersebut maka transfer dana menjadi penting untuk menjaga/menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum (Simanjuntak, 2002). APBDes adalah instrusmen penting yang sangat menentukan tewujudnya tata pemerintahan yang baik (Good Governance) di desa. Tata pemerintahan yang baik antara lain dapat diukur melalui proses penyusunan dan pertanggungjawaban APBDes. Sebagai pemegang otonomi asli, desa bisa mengambil prakrasa dan inisiatif dalam mengelola keuangan desa, Tampa adanya intervensi dari pemerintah diatasnya atau supra desa. Hal ini berarti dengan adanya otonomi desa, maka desa lebih leluasa dalam menentukan arah kebijakan pembangunan desa dengan dibingkai APBDes. Anggaran pendapatan belanja desa (APBDes) pada perinsipnya merupakan rencana pendapatan dan pengeluaran desa selama satu tahun kedepan yang dibuat oleh Kepala Desa bersama-sama BPD yang dituangkan kedalam peraturan desa dan sesuai pedoman yang di buat oleh Bupati. Meskipun dalam penyususan APBDes ini berpedoman pada Perda Kabupaten, tapi prioritas masing-masing Desa bisa berbeda. Ini sangat tergantung dari kondisi riil masing-masing Desa, dan menyangkut potensi dan harus disesuaikan dengan kebutuhan dari Masyarakat itu sendiri, sehingga diharapkan APBDes menjadikan APBDes yang partisipatif. Besar kecilnya partisipasi masyarakat merupakankan faktor penting dalam proses pembangunan, karena pada kenyataannya pembangunan desa sangat memerlukan adanya keterlibatan

5 aktif dari masyarakat. Keikutsertaan masyarakat tidak saja dalam perencanaan tetapi juga pelaksanaan program-program pembangunan di desa. Sehingga penilaian terhadap aparatur desa tidak negatif dalam menjalankan tugas utama untuk memberikan pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Persepsi akan timbul bilamana dalam menjalankan tugas tidak sesuai dengan harapan masyarakat desa. Prosedur yang dipersulit dijadikan kepentingan pribadi atau komunitas yang dipergunakan untuk kepentingan pribadi. Pada tingkat pelaksanaannya, saat ini masih banyak masalah yang dirasakan oleh sebagian besar desa terkait keterbatasan dalam keuangan desa. Seringkali Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) tidak berimbang, antara penerimaan dengan pengeluaran. Kenyataan yang demikian disebabkan oleh empat faktor utama. Pertama: desa memiliki APBDes yang kecil dan sumber pendapatannya sangat tergantung pada bantuan yang sangat kecil pula. Kedua: kesejahteraan masyarakat desa rendah. Ketiga: rendahnya dana operasional desa untuk menjalankan pelayanan. Keempat: bahwa banyak program pembangunan masuk ke desa, tetapi hanya dikelola oleh dinas. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat desa tidak mau terlalu jauh turut campur dalam urusan Pemerintahan, apakah itu dikarenakan mereka tidak memahami dalam urusan pemerintahan atau sengaja tidak mau ambil pusing. Masyarakat di desa lebih disibukkan dengan kepentingan keluarganya. Peraturan Desa, dan di sisi lain BPD diharapkan menjadi ruang bagi artikulasi politik,

6 partisipasi Masyarakat dan kontrol terhadap pemerintah desa dalam pelaksanaan dan pengelolalan APBDes. Partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan, untuk mendukung perkembangan desa untuk lebih baik. Maka dari itu dibutuhkan transparansi dari aparatur desa serta masyarakat. Juga menjalin komunikasi yang baik antara elemen yang bekepentingan (Masyarakat dan aparatur Desa). Fungsi kontrol ini sangat penting untuk melihat sejauhmana transparansi pengelolaan keuangan pemerintah desa selama satu tahun berjalan. Meskipun dana yang dimiliki oleh suatu desa tidak besar, tetapi bila tidak diatur dengan baik dalam perencanaan dan penggunaannya, maka akan mengakibatkan dana tersebut menjadi sia-sia atau tidak bisa memberikan hasil yang maksimal kepada desa tersebut. Menurut Sukasmanto (2004:73), dalam proses implementasi anggaran desa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: transparansi, akuntabilitas, partisipasi masyarakat, penyelengaraan pemerintahan yang efektif, tanggap terhadap aspirasi yang berkembang di masyarakat, dan disusun secara profesional. Kaitannya dengan pendidikan kewarganegaraan adalah kita pernah menempuh mata kuliah pemerintahan daerah, menyusun APBDes ini dilakukan di pemerintahan desa. Pemerintahan desa termasuk dalam pemerintahan daerah. Berdasarkan hal tersebut dibutuhkan peran-peran dari semua pihak di desa untuk merencanakan dan menyusun APBDes dengan lebih realistis sesuai dengan kondisi keuangan dan asset desa. Seluruh aparat pemerintahan desa memiliki tanggung jawab dalam pelaksanaan APBDes. Hubungan kerja antara lembaga

7 kemasyarakatan dengan Pemerintahan Desa bersaifat kemitraan, konsultatif dan koordinatif. Peran anggota masyarakat desa dalam menyusun dan melaksanakan APBDes di desa, menurut PP 72/2005, adalah sebagai berikut: (a) mengajukan usul, saran, dan apirasi kepada kepala desa atau forum BPD (b) melaksanakan pengawasan personal terhadap pelaksanaan APBDes (c) menumbuh-kembangkan semangat memanfaatkan, memelihara, dan mengembangkan hasil-hasil pembangunan di desa. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul: Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (Studi Kasus di Desa Ngrambe Kecamatan Ngrambe Kabupaten Ngawi). B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut: 1. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah memberikan konsekuensi bagi daerah dalam menyediakan sumber-sumber keuangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. 2. Implementasi otonomi daerah menambah beban, tanggung jawab dan kewajiban desa dalam mempertanggungjawabkan pengelolaan anggaran desa. 3. Kemampuan desa untuk lebih mandiri dalam mengatur dan mengurus rumah tangga desa, termasuk dalam hal ini adalah mengatur dan mengurus Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), 4. Pada tingkat pelaksanaannya, saat ini masih banyak masalah yang dirasakan oleh sebagian besar desa terkait keterbatasan dalam keuangan desa. Seringkali

8 Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) tidak berimbang, antara penerimaan dengan pengeluaran. 5. Masyarakat desa tidak mau terlalu jauh turut campur dalam urusan Pemerintahan, apakah itu dikarenakan mereka tidak memahami dalam urusan pemerintahan atau sengaja tidak mau ambil pusing. Masyarakat di desa lebih disibukkan dengan kepentingan keluarganya. 6. Dibutuhkan peran-peran dari semua pihak di desa untuk merencanakan dan menyusun APBDes dengan lebih realistis sesuai dengan kondisi keuangan dan aset desa. C. Pembatasan Masalah Berdasarkan beberapa permasalahan yang muncul di atas maka agar penelitian dapat dilakukan secara fokus, maka masalah dalam penelitian ini dibatasi pada: 1. Proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) 2. Peran anggota masyarakat dan pemerintahan desa dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) D. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes)?

9 2. Bagaimanakah peran anggota masyarakat dan pemerintahan desa dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes)? 3. Hambatan apa saja yang timbul dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes)? E. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mendeskripsikan proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) 2. Mendeskripsikan peran anggota masyarakat dan pemerintahan desa dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) 3. Mendeskripsikan hambatan yang timbul dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) serta penyelesaiannya. F. Manfaat atau Kegunaan Penelitian 1. Manfaat atau Kegunaan Teoritis a. Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi bagi perkembangan ilmu pemerintahan, khususnya pemerintahan desa b. Menambah cakrawala pengetahuan khususnya mengenai proses penyusunan APBDes

10 2. Manfaat atau Kegunaan Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan masukan yang berguna bagi aparat pemerintahan desa dalam memahami proses penyusunan APBDes b. Memberi sumbangan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan partisipasinya untuk pembangunan desa.