BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perubahan gaya hidup menyebabkan terjadi pergeseran penyakit di Indonesia. Pergeseran tersebut terjadi dari penyakit menular menjadi penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif yang muncul sangat bervariasi salah satunya adalah gagal ginjal kronik (GGK) yang dapat berkembang menjadi penyakit ginjal terminal (PGT). Penyakit ginjal terminal (PGT) adalah masalah yang sangat kompleks. Penyakit ini merupakan masalah medik, sosial dan ekonomi yang sangat besar bagi pasien keluarga dan negara, terutama negara-negara berkembang seperti di Asia dan Afrika. Negara berkembang biasanya tidak memiliki sumber daya yang cukup dalam menangani penyakit ini. Sebagian besar negara-negara ini jarang memiliki registrasi nasional untuk penyakit ginjal (Shcieppati & Remuzzi, 2005). Insidensi dan prevalensi PGT di Indonesia tidak diketahui secara pasti. Indonesia belum memiliki data yang lengkap di bidang penyakit ginjal, namun diperkirakan terdapat 1.5 juta orang tergantung dengan dialisis (Supriyadi, Wagiyo, Widowati, 2011). Insidensi penyakit ini di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya (Widiana, 2007). Menurut laporan Indonesian Renal Registry (2012) pada tahun 2009, tercatat sebanyak 5.450 1
2 pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis, meningkat pada tahun 2010 sebanyak 8.034 penderita dan meningkat lagi pada tahun 2011 sebanyak 12.804 penderita. Jawa Barat sebagai salah satu provinsi di Indonesia memiliki kontribusi penderita PGT yang cukup besar. Jumlah penderita GGT yang menjalani hemodialisis di Jawa Barat pada tahun 2009 tercatat 2.003 penderita. Tahun 2010 penderita meningkat menjadi 2.412 penderita, dan pada tahun 2011 tercatat sebanyak 3.038 penderita. Jumlah ini hanya berasal dari rumah sakit yang mempunyai unit hemodialisis saja, sehingga insidensi dan prevalensi pasien yang menderita GGT jauh lebih banyak dari jumlah tersebut (Indonesian Renal Registry, 2012). Peningkatan signifikan jumlah penderita GGT yang menjalani hemodialisis ini akan membuat permasalahan bagi penderitanya. Permasalahan ini akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan pasien selanjutnya. Pasien yang menjalani hemodialisis akan mengalami perubahan dalam kesehariannya. Hasil wawancara dengan pasien yang menjalani hemodialisis menunjukkan terjadi berbagai perubahan pada sistem dan fungsi tubuh yang mereka alami. Hal ini akan menyebabkan perubahan pada penampilan, peran, mobilitas fisik, dan pekerjaan sehari-hari. Pasien menganggap perubahan-perubahan tersebut sangat mempengaruhi mereka dalam menjalankan program terapi dan kehidupan sehari-hari. Masalah fisik, psikologis, dan perubahan gaya hidup termasuk penurunan fisik dan kondisi emosional yang menyertai dapat mempengaruhi
3 kualitas hidup pasien (Unruh, Welsbord, Kimmel et al, 2005). Kondisi kesehatan pasien yang mengalami gagal ginjal stadium akhir secara fisiologis membuat pasien mengalami perubahan yang cukup signifikan. Perubahan fungsi ginjal akan membuat pasien tidak dapat menjalankan aktivitas keseharian dengan optimal. Rutinitas terapi yang dijalani akan membuat pasien mengalami banyak hal baru yang membutuhkan penyesuaian individu (Leung, 2003). Waktu terapi yang semakin memendek, risiko kematian yang semakin besar, komplikasi yang muncul, dan harapan kesembuhan yang tidak pasti adalah beberapa hal yang membuat pasien yang menjalani hemodialisis menjadi stres jika tidak mampu untuk membangun mekanisme koping yang positif (Moskovits, Mounder, Cohen et al, 1999). Masalah lain yang berpotensi meningkatkan beban psikologis pasien adalah masalah pembiayaan. Terapi seumur hidup yang harus dijalani, membuat pembiayaan pengobatan pasien menjadi beban yang sangat berat bagi pasien dan keluarganya. Pasien hemodialisis harus memikirkan kondisi penyakit dan juga biaya yang harus ditanggung. Di sisi lain kapasitas fisik dan kemampuan kerja sudah sangat jauh menurun (Leung, 2003). Peningkatan beban psikologis ini dapat berpotensi untuk menurunkan kualitas hidup pasien (Asri dkk, 2006). Kondisi berbeda jika pasien mempunyai jaminan kesehatan yang menanggung pembiayaan pengobatan mereka. Bantuan pembiayaan yang diterima pasien membuat mereka lebih tenang secara psikologis, karena mereka tidak memikirkan biaya pengobatan lagi. Pasien yang mempunyai
4 jaminan kesehatan akan lebih terjamin intensitas hemodialisisnya dibandingkan pasien yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Intensitas hemodialisis akan berpengaruh terhadap pengeluaran sisa metabolisme pasien. semakin banyak sisa metabolisme di dalam tubuh akan membuat pasien mengalami lebih banyak keluhan. Banyaknya stresor yang dihadapi membuat pasien semakin sulit dan terpuruk. Kondisi ini akan membuat penurunan kualitas kesehatan pasien baik secara fisiologis maupun psikologis. Pasien memerlukan intervensi psikososial secepat mungkin untuk menurunkan efek distres yang dialaminya (Leung, 2003). Pasien memerlukan dukungan eksternal yang tepat, salah satunya adalah dukungan sosial. Dukungan sosial merupakan sumber penanggulangan yang paling utama dalam menghadapi stres (Stuart & Sundeen, 1998 ). Dukungan sosial yang baik sangat diperlukan oleh pasien. Dukungan sosial dapat diberikan oleh siapa saja yang berada di dekat pasien. Dukungan ini bisa dilakukan oleh keluarga, teman, petugas kesehatan dan komunitas yang mempunyai permasalahan kesehatan yang sama (Sarafino 1998). Hasil penelitian Lubis (2006) melaporkan bahwa dukungan sosial yang tepat dapat menurunkan stres yang dialami oleh pasien. Sebaliknya dukungan sosial yang tidak baik akan membuat pasien mendapatkan stres baru yang akan memperburuk kondisi, sehingga dukungan sosial yang diberikan harus terpola dan terintegrasi dalam layanan kesehatan. Layanan yang diberikan kepada pasien sering kali terfragmentasi, sehingga keholistikan layanan sering tidak terpenuhi. Hal ini membuat
5 dukungan sosial pada pasien terminal sering kali diabaikan oleh petugas kesehatan. Layanan yang diberikan lebih berfokus pada kebutuhan biologis dan kurang menyentuh aspek psiko-sosial-spiritual yang justru sangat diperlukan oleh pasien (Perry & Potter, 2005). Keperawatan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan memandang bahwa aspek bio-psiko-sosial-spiritual ini harus dipenuhi perawat dalam memberikan layanan, secara individu, keluarga maupun komunitas baik yang sehat maupun yang sakit sesuai dengan falsafah keperawatan (Perry & Potter, 2005). Ketika aspek bio-psiko-sosial-spiritual ini tidak terpenuhi dan pasien dalam kondisi penuh stres maka status kesehatan pasien dapat semakin menurun. Kondisi ini dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien. Penurunan kualitas hidup ini dapat digambarkan dengan penurunan kapasitas fungsional, kesehatan mental, fungsi emosional, fungsi sosial dan tidak adanya perasaan sejahtera. Penurunan kapasitas fungsional bisa kita lihat dari ketidakmampuan pasien untuk melakukan apa yang biasa dilakukan sehari-hari. Pasien menjadi imobilisasi dan sangat tergantung terhadap orang lain. Penurunan kesehatan mental dapat kita lihat dengan menurunnya memori, ketajaman perhatian, kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan membuat keputusan. Perubahan emosional dapat berupa perubahan perasaan hati, marah, rasa bersalah, rasa permusuhan, kecemasan dan depresi, sedangkan penurunan fungsi sosial dapat kita lihat dengan minimnya interaksi sosial yang dilakukan pasien (Leung, 2003).
6 Kondisi di atas mungkin kita anggap wajar pada pasien dengan kondisi terminal contohnya pada pasien dengan kanker, HIV AIDS, penyakit jantung dan GGT. Hal ini terjadi karena fungsi biologis pasien dalam kondisi yang terbatas. Pasien dengan penyakit terminal merupakan manusia utuh yang mempunyai berbagai aspek lain sebagai sebuah sistem yaitu bio-psiko-sosialspiritual, ketika aspek lain ini dikuatkan maka akan dapat mempengaruhi kualitas hidupnya. Aspek sosial adalah aspek penting dalam status kesehatan pasien di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang hidup berkelompok dan mempunyai kekerabatan yang sangat kuat, membuat dukungan sosial yang diberikan oleh orang-orang disekitar pasien akan mempengaruhi persepsi pasien terhadap penyakitnya (Sudiharto, 2007). Dorongan untuk bersabar dan menerima kondisi sakit pasien sebagai bagian dari ujian Tuhan akan mempengaruhi penerimaan diri pasien terhadap penyakit yang dideritanya, sehingga dengan koping religius yang positif akan mempengaruhi kualitas hidup pasien (Ramires et al, 2011) Penelitian yang sudah dilakukan tentang dukungan sosial sudah cukup banyak. Penelitian pada pasien dengan kanker payudara oleh Kornblith et al, (2001) menunjukkan bahwa dukungan sosial yang dilakukan bisa menjadi penahan efek psikologis akibat perubahan kehidupan yang penuh stres pada pasien kanker. Penelitian lain yang dilakukan oleh Kuntz (2006) pada pasien dengan gagal jantung kongestif memperkuat dari penelitian sebelumnya. Kuntz melaporkan bahwa dukungan sosial yang diberikan dapat meningkatkan
7 level kualitas hidup pasien. Penelitian yang dilakukan oleh Bosworth et al, (2006) melaporkan bahwa terdapat keterkaitan antara dukungan sosial yang rendah dengan kualitas hidup yang buruk pada pasien jantung koroner. Pasien dengan penyakit kronis dan terminal secara umum mempunyai kondisi yang hampir sama. Pasien biasanya mempunyai perubahan dalam kapasitas fisik, mendapatkan terapi seumur hidup, kondisi penuh stres yang menyebabkan meningkatnya beban psikologis serta perubahan gaya hidup dan interaksi sosial yang cukup drastis dari kondisi sebelum sakit. Keadaan ini membuat pasien terjadi perubahan pada derajat kesehatannya. Tempat penelitian di atas hampir seluruhnya dilakukan di negaranegara maju yang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara berkembang seperti Indonesia. Negara maju pada umumnya hampir semua masyarakatnya mempunyai jaminan kesehatan, penghasilan pertahun yang lebih tinggi, akses ke layanan kesehatan yang baik, tingkat pendidikan yang lebih tinggi, sarana dan prasarana kesehatan yang memadai dan mempunyai standar layanan yang baik (Shcieppati & Remuzzi, 2005). Negara berkembang seperti Bangladesh, India dan Indonesia sebagian besar masyarakatnya tidak memiliki jaminan kesehatan, akses ke layanan kesehatan yang sulit serta sarana dan prasarana dialisis yang kurang memadai dibandingkan dengan jumlah penderita, selain itu terjadi keterbatasan perawatan rutin untuk mesin dialisis serta keterbatasan anggaran untuk subsidi dan jaminan kesehatan untuk menanggung biaya dialisis yang tinggi. Pasien hemodialisis pada negara
8 berkembang sebagian besar meninggal atau berhenti melakukan terapi setelah 3 bulan. Hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan 10 pasien hemodialisis rutin pada tanggal 24-25 April 2012 yang terdiri dari 6 orang pasien dengan asuransi kesehatan dan 4 orang tanpa asuransi kesehatan. Hasil wawancara tersebut didapatkan data sebagai berikut : hampir seluruh pasien hemodialisis tanpa asuransi mengatakan bahwa mereka sering gelisah dan khawatir terhadap penyakit dan biaya perawatan mereka, mereka mengatakan lebih sering mengalami keluhan akibat penyakit mereka, seperti sesak, pusing, kram, penurunan nafsu makan, gatal-gatal, kelelahan yang berat dan kesulitan untuk tidur. Pasien yang mempunyai asuransi kesehatan mengatakan bahwa mereka lebih tenang dan jarang gelisah karena tidak harus memikirkan biaya perawatan yang besar. Hal lain yang memberatkan menurut mereka adalah proses adaptasi. Proses adaptasi pada awal didiagnosis harus dihemodialisis adalah masa yang sulit, dari 10 pasien diketahui 9 orang mengatakan bahwa proses adaptasi dengan penyakit yang mereka derita adalah sesuatu yang sangat berat. Mereka mengatakan sangat memerlukan dukungan orang lain pada saat itu. Sebanyak 6 orang pasien mengatakan tidak mendapat informasi yang lengkap mengenai hemodialisis, prospek kedepan dan komplikasi yang muncul selama proses hemodialisis. Sebanyak 5 orang pasien mengatakan bahwa mereka merasa jarang diperhatikan terutama oleh orang sekitarnya. Mereka merasa kurang digali sisi emosionalnya. Pasien juga mengatakan bahwa mereka jarang
9 dilibatkan dalam acara keluarga. Sebanyak 8 orang pasien mengatakan mereka merasa minder dengan penyakit yang dideritanya karena banyaknya komplikasi yang muncul. Pasien merasa jarang diberikan nasehat dan semangat untuk menjalani hidup. Sebanyak 7 pasien merasa tidak mempunyai teman mengobrol selama menjalani proses hemodialisis dan 9 pasien mengatakan tidak pernah mengajak atau diajak untuk mengikuti kegiatan di kelompok sosial tertentu setelah sakit. Kondisi kesehatan yang coba digali oleh peneliti didapatkan data, 8 orang pasien mengaku memiliki keterbatasan fisik karena penyakitnya. Sebanyak 7 orang merasa stres, takut dan cemas akan dampak penyakitnya sehingga mengganggu aktivitas keseharian mereka, sedangkan 6 orang mengaku jarang berinteraksi sosial dengan lingkungan sekitar semenjak sakit. Hampir semua pasien mengatakan bahwa kesehatannya secara umum sudah jauh menurun dibandingkan sebelum menjalani hemodialisis. Observasi yang dilakukan peneliti yang dilakukan di salah satu unit hemodialisis di Kota Bandung didapatkan bahwa aspek psiko-sosial-spiritual masih kurang diperhatikan oleh petugas dialisis. Petugas kesehatan yang ada di ruang Hemodialisis di salah satu rumah sakit juga mengatakan bahwa dukungan sosial untuk pasien sebenarnya sudah diberikan akan tetapi belum optimal dan terstruktur dalam Standar Prosedur Operasional (SPO) ruangan. Hal ini disebabkan karena kesibukan petugas dalam menangani jadwal hemodialisis pasien yang sangat padat. Ruang Hemodialisis di satu rumah
10 sakit biasanya menangani lebih dari 600 tindakan hemodialisis setiap bulannya. Data di atas menggambarkan bagaimana gambaran umum dukungan sosial yang diterima oleh pasien dan kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis rutin di Kota Bandung. Disini terlihat bahwa dukungan sosial belum menjadi fokus utama dalam pelayanan. Hasil wawancara dan observasi tersebut menjadi alasan peneliti untuk meneliti lebih lanjut bagaimana hubungan dukungan sosial dan kualitas hidup pada pasien hemodialisis rutin yang mempunyai jaminan dan tanpa jaminan kesehatan di Kota Bandung. 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian di atas maka perumusan masalah yang muncul dan harus dijawab adalah : 1. Apakah terdapat hubungan antara dukungan sosial dan kualitas hidup pasien hemodialisis rutin yang mempunyai jaminan kesehatan di Kota Bandung? 2. Apakah terdapat hubungan antara dukungan sosial dan kualitas hidup pasien hemodialisis rutin yang tidak mempunyai jaminan kesehatan di Kota Bandung? 3. Adakah perbedaan kualitas hidup yang bermakna antara pasien hemodialisis rutin yang memiliki jaminan kesehatan dan tanpa jaminan kesehatan di Kota Bandung?
11 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengidentifikasi hubungan dukungan sosial dan kualitas hidup pasien hemodialisis rutin dengan jaminan dan tanpa jaminan kesehatan di Kota Bandung. 1.3.2 Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup pasien hemodialisis rutin yang mempunyai jaminan kesehatan di Kota Bandung. 2. Mengidentifikasi hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup pasien hemodialisis rutin yang tidak mempunyai jaminan kesehatan di Kota Bandung. 3. Mengidentifikasi perbedaan kualitas hidup pasien hemodialisis rutin yang mempunyai jaminan kesehatan dan tanpa jaminan di Kota Bandung. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu keperawatan terutama dibidang kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis rutin dengan mengoptimalkan aspek lain selain aspek fisik. Selain itu kajian tentang pembiayaan pasien hemodialisis diharapkan dapat menjadi kajian untuk pemberian jaminan kesehatan pada pasien hemodialisis rutin.
12 1.4.2 Manfaat Praktis 1. Untuk Pemerintah Penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan dalam pemberian alokasi anggaran kesehatan terutama bagi pasien hemodialisis yang tidak memiliki jaminan kesehatan. 2. Untuk perawat Penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan perawat mengenai aspek lain selain aspek biologis dalam memberikan pelayanan kepada pasien GGT yang menjalani hemodialisis rutin, terutama aspek dukungan sosial baik pada pasien yang mempunyai jaminan kesehatan maupun tanpa jaminan kesehatan. Perawat juga diharapkan dapat melaksanakan tugasnya sebagai salah satu subjek dalam memberikan dukungan sosial kepada pasien yang menjalani hemodialisis rutin. 3. Untuk rumah sakit Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk membuat SPO khususnya dalam penatalaksanaan pasien secara holistik sehingga layanan kepada pasien yang menjalani hemodialisis rutin menjadi lebih prima.