TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Boleng (Cylas formicarius (Fabr.))

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. Thrips termasuk ke dalam ordo Thysanoptera yang memiliki ciri khusus, yaitu

KEEFEKTIFAN CENDAWAN Metarhizium brunneum PETCH TERHADAP HAMA UBI JALAR Cylas formicarius FABRICIUS (COLEOPTERA: BRENTIDAE) AHMAD FAISHOL

TINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup lalat buah mengalami 4 stadia yaitu telur, larva, pupa dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Patogen serangga adalah mikroorganisme infeksius yang membuat luka atau

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

HASIL DAN PEMBAHASAN Uji patogenisitas M. brunneum , M. anisopliae terhadap Rayap S. javanicus dan B. bassiana, M. brunneum, M.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. memikat perhatian banyak mata. Pemuliaan anggrek dari tahun ke tahun,

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berikut adalah taksonomi pengisap polong kedelai (EOL, 2014):

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

I. TINJAUAN PUSTAKA. Kakao (Theobroma cacao) merupakan tumbuhan berbentuk pohon yang berasal

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut. : Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

TINJAUAN PUSTAKA. Hama Pengisap Polong Kedelai

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Hama Kedelai Cara Pengendalian

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros.

PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tumbuhan tropis

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara produsen kopi ke-empat terbesar di dunia. Data

TINJAUAN PUSTAKA. kerusakan daun kelapa sawit. Namun demikian, penggunaan insektisida kimia

TINJAUAN PUSTAKA. Berbentuk oval sampai bulat, pada permukaan atasnya agak datar. Jumlah telur

I. PENDAHULUAN. luas areal kakao yang cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika kumbang badak adalah

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max L. Merril) merupakan salah satu komoditas pangan bergizi

TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Pengendalian Hama Secara Hayati

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Isolat M. anisopliae pada Berbagai Konsentrasi terhadap

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum

TINJAUAN PUSTAKA. Telur Brontispa longissima berwarna coklat, berbentuk pipih dan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

I. PENDAHULUAN. Usaha produksi pertanian tidak terlepas kaitannya dengan organisme pengganggu

BAB VI. APLIKASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DENGAN TEKNIK PENULARAN UNTUK MENGENDALIKAN RAYAP TANAH COPTOTERMES Spp. DI LABORATORIUM

II. TINJAUAN PUSTAKA

PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK BUAH KOPI (PBKo) SECARA PHT UPTD-BPTP DINAS PERKEBUNAN ACEH 2016

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan siklus hidup rayap dapat dilihat pada gambar:

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Spodoptera litura F. (Lepidoptera : Noctuidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

Gambar 3. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq)

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

Gambar 1. Nimfa Helopeltis spp Sumber: Atmadja (2003) Gambar 2. Imago betina Helopeltis spp Sumber: Atmadja (2003)

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Blackman dan Eastop (2000), adapun klasifikasi kutu daun

TINJAUAN PUSTAKA. (Ostrinia furnacalis) diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Bojer. (Lepidoptera: Crambidae) Imago betina meletakkan telur secara berkelompok pada dua baris secara

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Conopomorpha cramerella (Lepidoptera: Gracillariidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda Entomopatogen

BAHAN DAN METODE. Bahan

UJI BEBERAPA KONSENTRASI

PENYEBAB LUBANG HITAM BUAH KOPI. Oleh : Ayu Endah Anugrahini, SP BBPPTP Surabaya

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Serangga Hypothenemus hampei Ferr. (Coleoptera : Scolytidae). Penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) merupakan serangga

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pengamatan para ahli, kedelai (Gycines max L. Merril) merupakan tanaman

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Pengaruh Beauveria bassiana terhadap Mortalitas Semut Rangrang Oecophylla smaragdina (F.) (Hymenoptera: Formicidae)

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

TINJAUAN PUSTAKA. imago memproduksi telur selama ± 3-5 bulan dengan jumlah telur butir.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Jumlah Jamur yang Terdapat pada Dendeng Daging Sapi Giling dengan Perlakuan dan Tanpa Perlakuan

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima

EFEKTIVITAS JAMUR Penicillium spp UNTUK PENGENDALIAN HAMA Lepidiota stigma PADA TANAMAN TEBU OLEH : NURYATININGSIH, SP.

Suplemen Majalah SAINS Indonesia

VIRULENSI BEBERAPA ISOLAT METARHIZIUM ANISOPLIAE TERHADAP ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F.) di LABORATORIUM

TINJAUAN PUSTAKA. bulu-bulu atau sisik dari induknya. Tiap kelompok telur maksimum terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), jamur Ceratocystis fimbriata

Manfaat NPV Mengendalikan Ulat Grayak (Spodoptera litura F.)

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.) Wei.

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran

TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana lazimnya makhluk hidup, tak terkecuali tumbuhan, tidak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan tumbuhan yang berbentuk pohon hidup

PENDAHULUAN. Eli Korlina PENDEKATAN PHT

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Telur P. castanae Hubner. Bentuk telur oval dan dapat menghasilkan telur sebanyak butir perbetina.

Keterangan : Yijk = H + tti + Pj + (ap)ij + Sijk. Sijk

Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen terhadap Coptotermes curvignathus Holmgren dan Schedorhinotermes javanicus Kemmer

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Suryanto, 2007). Hama diartikan sebagai organisme baik mikroba, tanaman,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cylas formicarius F Telur. Larva

TINJAUAN PUSTAKA. beberapa hari berubah menjadi coklat muda. Satu atau dua hari menjelang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kopi (coffea sp.) adalah tanaman yang berbentuk pohon termasuk dalam famili

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai

BAHAN DAN METODA. Ketinggian kebun Bah Birung Ulu berkisar m dpl pada bulan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen terhadap Coptotermes. curvignathus Holmgren dan Schedorhinotermes javanicus Kemmer.

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Boleng (Cylas formicarius (Fabr.)) C. formicarius merupakan kendala utama dalam peningkatan mutu ubi jalar (CIP 1991) dan tersebar di seluruh dunia seperti Amerika, Kenya, dan Indonesia. Serangan C. formicarius tidak hanya di lapangan tetapi juga menimbulkan kerusakan yang nyata di penyimpanan. Umbi yang rusak menghasilkan senyawa terpenoid yang menyebabkan umbi pahit dan tidak enak dikonsumsi (Jansson et al. 1987). Dalam perkembangannya, hama ini melewati siklus sempurna atau holometabola, yaitu meliputi telur, larva, pupa, dan imago. Telur. C. formicarius melakukan perkembangbiakan secara ovipar. Telur diletakkan di dalam suatu rongga kecil yang dibuat oleh kumbang betina dengan cara menggerek akar, batang, dan umbi. Telur diletakkan di bawah kulit atau epidermis, secara tunggal pada satu rongga dan ditutup kembali sehingga sulit dilihat (AVRDC 2004). Menurut Supriyatin (2001), telur C. formicarius sulit dilihat karena ditutup dengan bahan semacam gelatin yang berwarna cokelat. Telur C. formicarius memiliki ciri-ciri yaitu berukuran kecil antara 0,46 0,65 mm (Supriyatin 2001), mempunyai bentuk yang oval tak beraturan (AVRDC 2004) dan berwarna putih krem. Supriyatin (2001) mengungkapkan bahwa lama fase telur C. formicarius di Indonesia adalah 7 hari. Larva. Larva yang baru keluar dari telurnya tidak memiliki tungkai, berwarna putih, dan lambat laun berubah menjadi kekuningan (AVRDC 2004). Larva tersebut langsung menggerek batang atau umbi. Larva menggerek batang menuju ke arah umbi. Perkembangan larva C. formicarius terdiri atas tiga instar dengan periode instar pertama 8-16 hari, instar kedua 2 21 hari, dan instar ketiga 35 56 hari (Capinera 1998). Supriyatin (2001) melaporkan bahwa perkembangan larva C. formicarius terdiri dari lima instar dalam waktu 25 hari. Suhu merupakan faktor utama yang mempengaruhi tingkat perkembangan larva. Larva instar akhir berukuran panjang 7,5-8 mm dan lebar 1,8-2 mm (CABI 2001), berwarna putih kekuningan. Caput besar berukuran sepertiga dari panjang badan dan seperdua

dari lebar badan. Kepala berwarna kuning hingga cokelat, mandibel kuning kehitaman dan abdomen agak besar. Larva menyerang akar, batang, dan umbi dengan cara membuat lubang gerekan, dan menumpuk sisa gerekan sehingga menimbulkan bau khas. Pupa. Larva instar akhir membentuk pupa pada umbi atau batang, berbentuk oval, kepala dan elitra bengkok secara ventral. Panjang pupa berkisar antara 6-6,5 mm (Capinera 1998). Pupa berwarna putih dan kelamaan akan berubah menjadi abu-abu dengan kepala dan mata gelap. Periode pupa berkisar antara 7 10 hari, tetapi pada cuaca dingin dapat mencapai 28 hari (Capinera 1998). Imago. Imago ini menyerupai semut, mempunyai abdomen, tungkai, dan caput yang panjang dan kurus (CABI 2001). Kepala berwarna hitam sedangkan antena, thoraks, dan tungkai berwarna oranye sampai coklat kemerahan; abdomen dan elitra biru metalik (Capinera 1998). Menurut Supriyatin (2001) C. formicarius mempunyai kepala, abdomen, dan sayap depan berwarna biru metalik, sedangkan tungkai dan thoraks cokelat. Antena kumbang jantan berbentuk benang, ruas antena mempunyai jarak yang sempit yang tidak seragam, dan panjangnya lebih dari dua kali panjang flagellum. Antena kumbang betina berbentuk gada (CABI 2001). Perkembangan dan lama hidup imago C. formicarius bergantung pada beberapa faktor antara lain suhu dan makanan. Suhu optimum untuk dapat hidup dengan baik adalah 15 o C, sehingga serangga dapat hidup lebih dari 200 hari dengan makanan yang cukup. Namun, lama hidup kumbang menurun menjadi 3 bulan jika dipelihara pada suhu 30 o C dengan makanan, dan 8 hari tanpa makanan (Capinera 1998). C. formicarius betina mampu bertelur sebanyak 90-340 ekor telur semasa hidupnya. C. formicarius dapat terbang tetapi jarang terjadi dan jarak terbangnya relatif dekat.

Bioekologi Cendawan Beauveria bassiana Konidia cendawan bersel satu, berbentuk oval agak bulat sampai dengan bulat telur, hialin dengan diameter 2-3 μm. Konidiofor berbentuk zigzag merupakan ciri khas genus Beauveria (Barnett 1972). B. bassiana dapat diisolasi secara alami dari pertanaman maupun dari tanah. Epizootiknya di alam sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim, terutama membutuhkan lingkungan yang lembab dan hangat (Sutopo dan Indriyani 2007). Variasi virulensi cendawan entomopatogen disebabkan oleh beberapa faktor baik faktor dalam yaitu asal isolat maupun faktor luar seperti medium perbanyakan cendawan, teknik perbanyakan dan faktor lingkungan yang mendukung (Sudarmadji 1997). Pada medium perbanyakan B. bassiana dapat tumbuh pada senyawa yang dapat dimanfaatkan cendawan untuk membuat materi sel baru berkisar dari molekul sederhana seperti gula sederhana dan asam organik, hingga kepada senyawa kompleks seperti karbohidrat, protein, lipid, dan asam nukleat. Media tersebut dapat berupa potato dextrose agar (PDA), media jagung maupun beras. Suhu berpengaruh terhadap perkembangan koloni dan konidia yang berkecambah. Pada suhu yang tinggi perkembangan koloni lebih lambat dan konidia yang berkecambah menurun (Inglish et al. 1996). Suhu yang efektif untuk pertumbuhan cendawan ini berkisar antara 20-30 o C dengan kelembaban relatif di atas 90% (Junianto dan Sukamto 1995). Perkecambahan tidak terjadi di bawah 10 o C atau di atas 35 o C. Titik temperatur kematian konidia diketahui berkisar 50 o C selama 10 menit di air. ph optimal untuk pertumbuhannya adalah antara 5,7-5,9 dan untuk pembentukan konidia dibutuhkan ph 7-8 (Domsch et al. 1993) Di beberapa negara, cendawan ini telah digunakan sebagai agensi hayati pengendalian sejumlah serangga hama mulai dari tanaman pangan, hias, buahbuahan, sayuran, kacang-kacangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan hingga tanaman gurun pasir (Sutopo dan Indriyani 2007). B. bassiana mampu menginfeksi serangga pada berbagai umur dan stadia perkembangan. B. bassiana telah digunakan untuk pengendalian penggerek batang kakao, ulat kantong kelapa sawit, penghisap buah/pucuk kakao, hama bubuk buah kopi, dan belalang.

Bioekologi Cendawan Metarhizium brunneum Koloni awal cendawan bewarna putih, kemudian berubah menjadi hijau gelap dengan bertambahnya umur koloni. Menurut Ginting (2008) M. brunneum menghasilkan warna koloni kuning sampai coklat, miselium bersekat, konidiofor tersusun tegak, berlapis, dan bercabang yang dipenuhi dengan konidia. Konidia bersel satu berwarna hialin, berbentuk bulat silinder dengan ukuran 9,94 x 3,96 mµ. M. brunneum dapat tumbuh di berbagai lokasi seperti tanah gambut di USA dan Oregon (CABI 1998), sedangkan Desyanti (2007) mengisolasi M. brunneum dari tanah berpasir. Pertumbuhan cendawan ini memerlukan temperatur optimum sebesar 22-27 o C (Roddam dan Rath 1997). Keasaman yang dibutuhkan cendawan untuk tumbuh berkisar antara ph 3,3-8,5, sedangkan pertumbuhan optimal terjadi pada ph 6,5 (Domsch dan Gams 1980). Konidia akan membentuk kecambah pada kelembaban diatas 90%. Dalam pengembangannya M. brunneum dapat tumbuh dengan baik pada media PDA, jagung, dan beras (Ginting 2008). Penggunaan cendawan ini di areal pertanaman belum pernah dilakukan. Percobaan penggunaan M. brunneum baru dilakukan Desyanti (2007) dalam studi pengendalian rayap tanah Captotermes spp. Perlakuan M. brunneum terhadap rayap menunjukan hasil yang efektif sebagai agens hayati yang potensial. M. brunneum memiliki patogenisitas lebih tinggi yang dapat membunuh rayap dengan LC 50 terendah dibandingkan spesies M. anisopliae, B. bassiana, Fusarium oxysporum dan Aspergillus flavus (Desyanti 2007). Keefektifan dalam penggunaan cendawan tersebut didukung oleh daya kecambah dan konidia yang dihasilkannya. M. brunneum memiliki daya kecambah mencapai 97,20% dalam waktu 12-24 jam setelah inkubasi, sedangkan M. anisopliae memiliki daya kecambah antara 85-90%. Jumlah konidia yang dihasilkan M. brunneum lebih tinggi daripada M. anisopliae yaitu sebesar 223.66 x 10 7 /cawan Petri sedangkan M. anisopliae 6.18 x 10 7 /cawan Petri (Desyanti 2007). Hasil penelitian tersebut mendorong penelitian untuk pengujian lebih lanjut mengenai cendawan tersebut. Terhadap rayap Schedorhinotermes javanicus dan Captotermes curvignathus,

tingkat patogenisitas, sporulasi maupun viabilitas M. brunneum lebih tinggi daripada M. anisopliae, B. bassiana, dan Metarhizium roridum (Ginting 2008). Patologi Cendawan Entomopatogen Proses infeksi cendawan menurut St. Leger (1993) dibagi menjadi tiga tahap yaitu kejadian sebelum proses penetrasi meliputi penempelan serta pertumbuhan prapenetrasi, penetrasi ketubuh inang, dan pemapanan patogen dalam tubuh inang. Cendawan entomopatogen menginfeksi serangga dengan menempel dan melakukan penetrasi ke dalam tubuh melalui kontak diantara ruasruas tubuh serangga. Penetrasi dilakukan dengan menempelnya konidia pada kutikula atau mulut serangga. Konidia ini selanjutnya berkecambah dengan membentuk tabung kecambah. Apresorium yang awal dibentuk dengan menembus epitikula, selanjutnya menembus jaringan yang lebih dalam (Situmorang 1990). Boucias & Pendland (1998) mengemukakan, cendawan entomopatogen dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kultikula inang dan dapat tumbuh ke bagian internal inang (hemocoel) dan mengkonsumsinya sehinga nutrisi di hemolimph habis oleh pertumbuhan cendawan yang cepat sehingga inang akan mati. Cendawan juga dapat menghancurkan jaringan lainnya atau dengan melepaskan zat beracun yang mengganggu perkembangan inang secara normal. Zat beracun yang dihasilkan cendawan seperti beauvericin pada B. bassiana dan destruxins pada M. anisopliae. Pertumbuhan cendawan diikuti dengan produksi pigmen atau toksin yang dapat melindungi serangga dari mikroorganisme lain terutama bakteri. Ciri-ciri yang menyolok pada serangga yang terinfeksi cendawan adalah adanya miselia pada serangga yang mati setelah terinfeksi. Miselia cendawan mulai menembus kultikula luar dari tubuh serangga pada bagian yang mudah terserang yaitu ruasruas tubuh dan alat mulut dan akhirnya menutupi seluruh tubuh serangga. Miselia mulai tumbuh keluar tubuh satu hari setelah serangga mati (Neves dan Alves 2004). Pada kondisi optimal, kematian serangga akibat infeksi cendawan umumnya terjadi antara 3-5 hari setelah aplikasi (Inglish et al. 2001) sedangkan

dari penelitian (Neves dan Alves 2004) kematian serangga berkisar antara 2-3 hari. Cendawan tidak selalu keluar dari tubuh serangga, apabila kondisi tidak mendukung maka akan tetap berada di dalam tubuh serangga tanpa keluar menembus integumen (Santoso 1993). Salah satu faktor yang berperan penting dalam keberhasilan penggunaan cendawan entomopatogen adalah stadia penggunaan serangga. Tidak semua stadia dalam perkembangan serangga rentan terhadap infeksi cendawan (Inglis et al. 2001). Selain itu keberhasilan pengendalian hama dengan cendawan entomopatogen juga ditentukan oleh kerapatan konidia yang digunakan setiap ml air. Jumlah konidia berkaitan dengan banyaknya biakan yang dibutuhkan tiap hektar (Wikardi 1993 dalam Prayogo 2006).