BAB III KAJIAN TEKNIS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Pemetaan dimana seluruh data yg digunakan diperoleh dengan melakukan pengukuran-pengukuran dilapangan disebut : Pemetaan secara terestris Pemetaan yan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Materi : Bab II. KARTOGRAFI Pengajar : Ir. Yuwono, MS

KLASIFIKASI PENGUKURAN DAN UNSUR PETA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 rencana tata ruang itu digunakan sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan analisis dan proses síntesis penuangan rencana

Titiek Suparwati Kepala Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial. Disampaikan dalam Workshop Nasional Akselerasi RZWP3K

DUKUNGAN KEMENTERIAN UNTUK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR KEMENTERIAN

Penyusunan neraca spasial sumber daya alam - Bagian 3: Sumber daya lahan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BEST PRACTICES IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SATU PETA DALAM PENYEDIAAN DATA SPASIAL INVENTARISASI GRK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MEMBACA PETA RBI LEMBAR SURAKARTA MATA KULIAH KARTOGRAFI DASAR OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Tugas 1. Survei Konstruksi. Makalah Pemetaan Topografi Kampus ITB. Krisna Andhika

Dr. ir. Ade Komara Mulyana Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim. BADAN INFORMASI GEOSPASIAL

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Tinjauan Umum Deformasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015

KAJIAN ATAS DASAR HUKUM PENGADAAN TANAH BANJIR KANAL TIMUR TA 2008 DAN Landasan hukum pelaksanaan pengadaan tanah Banjir Kanal Timur (BKT)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

DRAINASE PERKOTAAN BAB I PENDAHULUAN. Sub Kompetensi

BUPATI BOGOR PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

Pelaksanakan survai dan pengolahan data adalah untuk memperoleh data dan informasi tentang kondisi awal kawasan perencanaan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

PERANCANGAN SISTEM DRAINASE

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEMETAAN DAN PENENTUAN POSISI POTENSI DESA

dimana, Ba = Benang atas (mm) Bb = Benang bawah (mm) Bt = Benang tengah (mm) D = Jarak optis (m) b) hitung beda tinggi ( h) dengan rumus

BAB V RENCANA DETAIL TATA RUANG KAWASAN PERKOTAAN

BAB IX JALUR TRANSMISI DAN UTILITAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PROFILE DINAS PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG KAB. BARITO KUALA

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

1. Gambaran permukaan bumi di atas suatu media gambar biasa disebut... a. atlas c. globe b. peta d. skala

Undang-Undang No. 2 tahun 2012

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 52 TAHUN 2000 TENTANG JALUR KERETA API MENTERI PERHUBUNGAN,

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI

Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

TUJUAN : INFASTRUKTUR : JARINGAN JALAN JARINGAN IRIGASI JARINGAN RAWA PEMUKIMAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.41/Menhut-II/2012 TENTANG

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

BAB IV ANALISIS. 4.1 ANALISIS FUNGSIONAL a) Organisasi Ruang

Home : tedyagungc.wordpress.com

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 5 TAHUN 2012 SERI E.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

BAB III: DATA DAN ANALISA PERENCANAAN

Syarat Bangunan Gedung

PENGERTIAN UMUM PETA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT

2013, No Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah diubah terakhir deng

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon K I S A R A N

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I Pendahuluan I-1

BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN

Gambar 7. Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

UU NO 4/ 1992 TTG ; PERUMAHAN & PERMUKIMAN. : Bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal/hunian & sarana pembinaan. keluarga.

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH SPESIFIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KEBIJAKAN SATU PETA DAN KONTRIBUSINYA DALAM MENDUKUNG PERUBAHAN IKLIM

Drainase P e r kotaa n

I. PENDAHULUAN. di wilayah Kabupaten Siak Propinsi Riau. Jaringan jalan yang terdapat di

PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG ANALISIS DAMPAK LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

機車標誌 標線 號誌選擇題 印尼文 第 1 頁 / 共 12 頁 題號答案題目圖示題目. (1) Tikungan ke kanan (2) Tikungan ke kiri (3) Tikungan beruntun, ke kanan dahulu

PERBANDINGAN AD WIKA DAN USULAN AD WIKA ANGGARAN DASAR PADA SAAT INI PENYESUAIAN ANGGARAN DASAR REFERENSI

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.

Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH

PERATURAN LEMBAGA PENGEMBANGAN JASA KONSTRUKSI NASIONAL NOMOR : 8 TAHUN 2014 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1. 1 Haryoto Kunto, hal 82 2 Tim Telaga Bakti, hal 1

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PURWOREJO PROVINSI JAWA TENGAH

Transkripsi:

BAB III KAJIAN TEKNIS Kajian teknis dilakukan dari data primer berupa Undang-Undang Informasi Geospasial (UU-IG) dan Permendagri No. 2 tahun 1987 yang telah dikumpulkan. Ketelitian posisi terkait erat dengan toleransi titik yang ditentukan sebelum pelaksanaan survey di lapangan. Sehingga dari data primer yang telah diseleksi dan diidentifikasi tersebut digunakan sebagai acuan untuk penyusunan pedoman teknis pelaksanaan survey pemetaan di kota. Sehingga proses kajian teknisnya dapat dilihat pada Gambar 3.1. Pengolahan Data Gambar 3. 1. Sistematika penulisan bab 3 24

3.1 Persiapan Sebelum melakukan proses kajian teknis secara keseluruhan, dilakukanlah persiapan yang berupa pengumpulan pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan dengan tugas akhir ini. Pengetahuan-pengetahuan itu berupa studi literatur dan artikel-artikel dari internet. 3.2 Pengumpulan Data Setelah melakukan tahap persiapan kemudian dilanjutkan dengan tahapan pengumpulan data. Data yang dikumpulkan adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan adalah Undang-Undang Informasi Geospasial (UU-IG) yang ada pada Lampiran 1 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 2 Tahun 1987 yang ada pada Lampiran 2. Sedangkan data sekunder yang dikumpulkan adalah data pengukuran kerangka dasar horisontal berupa sudut dan jarak yang didapatkan dari pengukuran kemah kerja kelompok 2 angkatan 2007 yang terdapat pada Tabel 3.1. 25

Tabel 3. 1. Data pengukuran kerangka dasar horisontal No Sudut horizontal (degree) 1 266.331944 2 93.8614931 3 184.9307813 4 140.309844 5 181.4940278 6 206.9178993 7 102.6553299 8 149.965 9 79.58409722 10 150.7139583 11 271.912309 12 130.9548958 13 176.749375 14 193.8266667 15 185.2584722 16 186.2896528 17 180.8305903 18 84.96579861 19 108.1153125 20 164.3404514 21 266.331944 Jarak horisontal 9.284 19.99775 17.80725 10.77475 47.20575 37.35275 20.6125 34.5475 28.3445 8.43875 22.2185 27.3365 19.971 8.90675 21.7725 13.40475 28.84575 41.17125 14.83925 34.916 3.3 Kajian Teknis Kajian teknis yang dilakukan adalah dengan menggunakan data primer. Sedangkan data sekunder diolah dengan menggunakan hitung perataan untuk mendapatkan residu tiap titik untuk digunakan pada analisis yang akan dibahas pada bab IV. Data primer berupa Undang-Undang Informasi Geospasial (UU- IG) kemudian diseleksi dan diidentifikasi ditinjau dari aspek ketelitian posisi. Sedangkan data primer berupa Permendagri No. 2 Tahun 1987 dilakukan seleksi dan identifikasi yang ditinjau dari definisi kota untuk menjabarkan objek-objek kota dan kerapatan objek di daerah kota. Hasil seleksi dan identifikasi data primer tersebut digunakan untuk menentukan toleransi titiktitik yang digunakan pada pengukuran di lapangan. Titik-titik yang akan 26

ditentukan toleransinya adalah titik detail, titik bantu, dan titik kerangka. Proses yang dilakukan untuk mendapatkan toleransi titik-titik tersebut adalah sebagai berikut: 3.3.1 Seleksi dan Identifikasi Data Primer Data primer yang diseleksi dan diidentifikasi adalah berupa Undang-Undang Informasi Geospasial (UU-IG). Proses seleksi dan identifikasi data tersebut adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Informasi Geospasial (UU-IG) Dasar dari penulisan Tugas Akhir ini adalah berasal dari pasal 2 poin E yang berkaitan dengan keakuratan. Sehingga pasal-pasal yang digunakan sebagai dasar adalah pasal-pasal yang membahas mengenai ketelitian pembuatan informasi geospasial yang disesuaikan dengan batasan masalah yang akan dibahas pada Tugas Akhir ini. Pasal-pasal Undang-Undang Informasi Geospasial (UU-IG) diseleksi menurut keterkaitannya dengan ketelitian posisi. Hasil seleksi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.2. 27

Tabel 3. 2. Hasil seleksi pasal-pasal (UU-IG) Pasal Isi Pasal 8 ayat 2 Koordinat JKHN ditentukan dengan metode pengukuran geodetik tertentu, dinyatakan dalam sistem referensi koordinat tertentu, dan diwujudkan dalam bentuk tanda fisik Pasal 8 ayat 3 JKHN diklasifikasikan berdasarkan tingkat ketelitian koordinat horizontal Pasal 20 Dalam membuat IGT dilarang: a. mengubah posisi dan tingkat ketelitian geometris bagian IGD; dan/atau b. membuat skala IGT lebih besar daripada skala IGD yang diacunya Pasal 36 Penyajian IG dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b sampai dengan huruf g wajib menggunakan skala yang ditentukan berdasarkan tingkat ketelitian sumber data dan tujuan penggunaan I Pasal 61 Setiap orang dilarang membuat IG yang penyajiannya tidak sesuai dengan tingkat ketelitian sumber data yang mengakibatkan timbulnya kerugian orang dan/atau barang Setelah proses seleksi dilakukan, kemudian dilnjutkan dengan proses identifikasi dari pasal-pasal yang telah diseleksi. Identifkasi tersebut merupakan penjabaran dari isi pasal-pasal yang telah diseleksi. Pasal 8 ayat dua menjelaskan bahwa koordinat Jaring Kerangka Horisontal Nasional (JKHN) ditentukan menggunakan metode pengukuran geodetik tertentu, dinyatakan dalam sistem referensi koordinat tertentu, dan dinyatakan dalam bentuk tanda fisik. Maksud dari pasal tersebut adalah yang dimaksud dengan pengukuran geodetik tertentu adalah cara pengukuran untuk menentukan posisi horisontal dengan ketelitian yang diperlukan, memanfaatkan teknologi penentuan posisi geodetik horisontal, baik secara diam (statis) maupun bergerak (kinematis/dinamis), secara sporadic maupun terus menerus (kontinyu), dan secara pasif maupun aktif. Sedangkan yang dimaksud dengan sistem referensi koordinat tertentu adalah sistem untuk menggambarkan koordinat dari titik kontrol geodetik horisontal. Dan yang 28

dimaksud dengan tanda fisik adalah suatu objek alam atau buatan yang bersifat permanen dan stabil digunakan sebagai titik kontrol geodetik horisontal. Pada pasal 8 ayat tiga menjelaskan bahwa Jaring Kerangka Horisontal Nasional (JKHN) diklasifikasikan berdasarkan tingkat ketelitiannya. Maksud dari pasal ini adalah ukuran nilai kedekatan nilai horisontal hasil pengukuran terhadap nilai sebenarnya. Pasal 20 menjelaskan larangan pengubahan posisi dan ketelitian geometris bagian Informasi Geospasial Dasar (IGD) dalam pembuatan Informasi Geospasial Tematik (IGT) dan membuat skala Informasi Geospasial Tematik (IGT) lebih besar daripada skala Informasi Geospasial Dasar (IGD). Maksud dari ketelitian geometris adalah ukuran kedekatan yang terkait dengan posisi, bentuk, panjang, luas, dan/atau tinggi. Pasal 36 menyatakan bahwa penyajian Informasi Geospasial (IG) dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 huruf b sampai dengan huruf g wajib menggunakan skala yang ditentukan berdasarkan tingkat ketelitian sumber data dan tujuan penggunaan informasi geospasial. Dan pasal yang terakhir adalah pasal 61 yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang membuat informasi geospasial yang penyajiannya tidak sesuai dengan tingkat ketelitian sumber data yang mengakibatkan timbulnya kerugian orang dan/atau barang. Hasil identifikasi tersebut dapat disimpulkan bahwa titik kerangka dasar horisontal harus memiliki klasifikasi ketelitian posisi tertentu. Ketelitian posisi kerangka dasar horisontal akan mempengaruhi dalam pembuatan informasi geospasial dasar dan tematik. Sedangkan ketelitian posisi ini dipengaruhi oleh ketelitian pengukuran dengan metode tertentu. Oleh karena itu diperlukan penentuan ketelitian posisi untuk kerangka dasar horisontal yang akan dibahas pada sub subab toleransi titik. 29

b. Permendagri No. 2 Tahun 1987 Pasal-pasal Permendagri No.2 Tahun 1987 diseleksi menurut keterkaitannya dengan pendefinisian kota. Hasil seleksi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.3. Tabel 3. 3. Hasil seleksi pasal-pasal Permendagri No.2 Tahun 1987 Pasal Pasal 1a Isi Kota adalah pusat pemukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundangan serta pemukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan Pasal 4c Pendekatan teknis yang menyangkut upaya mengoptimasikan pemanfaatan ruang kota, di antaranya meliputi memperbaiki lingkungan, meremajakan, manajemen pertanahan, memberikan fasilitas dan utilitas secara tepat mengefisiensikan pola angkutan dan menjaga kelestarian dan meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan sesuai dengan kaidah teknis perencanaan Setelah proses seleksi dilakukan, kemudian dilnjutkan dengan proses identifikasi dari pasal-pasal yang telah diseleksi. Identifkasi tersebut merupakan penjabaran dari isi pasal-pasal yang telah diseleksi. Definisi kota yang didapatkan dari pasal 1a menyatakan bahwa kota adalah pusat pemukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundangan serta pemukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan. Sedangkan pada elemen b dinyatakan bahwa perkotaan adalah satuan kumpulan pusat-pusat pemukiman yang berperan di dalam satuan wilayah pengembangan dan atau wilayah Nasional sebagai simpul jasa. Sedangkan pada elemen k dinyatakan bahwa Bagian Wilayah Kota adalah satu kesatuan wilayah dari kota yang bersangkutan yang merupakan wilayah yang terbentuk secara fungsional dan administratip dalam rangka pencapaian daya guna pelayanan fasilitas umum kota. 30

Pada pasal 4c menyatakan bahwa pendekatan teknis yang menyangkut upaya mengoptimasikan pemanfaatan ruang kota, di antaranya meliputi memperbaiki lingkungan, meremajakan, manajemen pertanahan, memberikan fasilitas dan utilitas secara tepat mengefisiensikan pola angkutan dan menjaga kelestarian dan meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan sesuai dengan kaidah teknis perencanaan. Dari proses seleksi dan identifikasi Permendagri No.2 Tahun 1987, dapat dijabarkan definisi kota. Dari definisi-definisi kota itu, dapat dijabarkan lagi kerapatan objek yang ada di daerah kota dan daftar objek-objek kota. Penjabaran kerapatan objek di daerah kota yaitu sebagai berikut: a. Kerapatan Objek di Daerah Kota Kerapatan objek di daerah kota perlu diperhitungkan sebelum melakukan pengukuran di lapangan. Sehingga metode pengukuran yang akan dilakukan dapat terencana dengan baik. Adapun kerapatan objek di daerah kota dibedakan menjadi tiga, yaitu: Kerapatan objek rapat Ciri-ciri kerapatan objek rapat adalah sebagai berikut: Ruang terbuka yang sedikit atau nyaris tidak ada di daerah tersebut Jarak antar bangunan yang nyaris tidak ada sehingga antara rumah satu dengan atap rumah yang lainnya saling bersinggungan bahkan tumpang tindih. Akses jalan yang dimiliki terlalu sempit, tidak dapat dilalui kendaraan roda empat. Umumnya tata bangunannya tidak teratur Contoh gambar kerapatan objek rapat dapat dilihat pada Gambar 3.2. 31

Gambar 3. 2.Contoh kerapatan objek rapat [sumber : http://rujak.org/2009/09/perumahan-di-pundak-generasi-muda/] Kerapatan objek sedang Ciri-ciri kerapatan objek sedang adalah sebagai berikut: Jarak antar bangunannya sempit bahkan nyaris tidak ada tetapi terdapat kapling yang merupakan kumpulan dari bangunan-bangunan tersebut. Terdapat jarak antar kapling yang sudah teratur. Terdapat lahan kosong yang tersedia walaupun sedikit. Adanya jalan penghubung atau jalan masuk yang menghubungkan dengan jalan umum ke pusat kota atau jalan umum pusat kota itu sendiri. Umumnya kaplingnya teratur. Contoh kerapatan objek sedang dapat dilihat pada Gambar 3.3. 32

Gambar 3. 3. Contoh kerapatan objek sedang [sumber : http://www.antaranews.com/berita/295007/rei--kebijakanperumahan-indonesia-mal-adapted] Kerapatan objek renggang Ciri-ciri kerapatan objek renggang adalah sebagai berikut: Masih banyak terdapat lahan kosong. Jarak antar bangunannya renggang. Adanya jalan penghubung atau jalan masuk yang menghubungkan dengan jalan umum ke pusat kota atau jalan umum pusat kota itu sendiri. Masih banyak terdapat objek tumbuhan. Contoh kerapatan objek renggang dapat dilihat pada Gambar 3.4. Gambar 3. 4. Contoh kerapatan objek renggang [sumber : foto udara tahun 2005 wilayah kota lhokseumawe] 33

Sedangkan penjabaran objek-objek kota berdasarkan definisi kota dapat dilihat pada Tabel 3.4. Tabel 3. 4. Daftar objek-objek di daerah kota OBJEK BUATAN MANUSIA Objek Infrastruktur Objek Air Objek Lainnya pemukiman penduduk bendungan batas administrasi perkantoran pintu air penamaan daerah tempat peribadatan penahan ombak pasar tambak pelabuhan saluran irigasi bandar udara saluran pembuangan stasiun kereta api kolam buatan terminal gorong-gorong pabrik taman kota bangunan perkebunan bangunan bersejarah sawah gardu listrik ladang lapangan jalan jalan tol rel kereta api jembatan jembatan layang pipa bahan bakar saluran drainase terowongan menara komunikasi OBJEK ALAM Objek Tanah Objek Air Objek Tumbuhan lahan kosong sungai hutan danau hutan belukar waduk semak belukar Sehingga penjabaran kerapatan objek dan daftar objek-objek di daerah kota merupakan dasar dari asumsi-asumsi jarak antar titik yang akan digunakan pada pengukuran untuk menentukan toleransi titik-titik tersebut. 34

3.3.2 Toleransi Titik Setelah mendapatkan hasil dari seleksi dan identifikasi data primer, selanjutnya dilakukan penentuan toleransi titik kerangka dasar horisontal sesuai dengan aturan dari pasal-pasal Undang-Undang Informasi Geospasial (UU-IG) yang terkait dengan ketelitian posisi. Proses penentuan toleransi titik kerangka dasar horisontal didapatkan dari toleransi titik bantu dengan menggunakan rumus perambatan kesalahan yaitu Rumus 2.6. Toleransi titik bantu didapatkan dari toleransi titik detail dengan menggunakan rumus perambatan kesalahan yaitu Rumus 2.6. Proses perhitungan toleransi titik-titik tersebut membutuhkan data berupa jarak antar titik. Jarak antar titik tersebut didapatkan dari asumsi yang didasarkan pada hasil dari seleksi dan identifikasi dari Permendagri No. 2 Tahun 1987. Sehingga proses penentuan toleransi titik-titik yang digunakan pada pengukuran di lapangan adalah sebagai berikut: a. Toleransi Titik Detail Toleransi titik detail untuk pengukuran horisontal didapatkan dari analisis visual kartografi yaitu sebesar 0,5 mm. Sehingga dengan skala peta 1:1000. maka ketelitian titik detail horisontal di lapangan adalah sebesar 0,5 m. b. Toleransi Titik Bantu Toleransi titik detail horisontal digunakan untuk mencari toleransi titik bantu dengan menggunakan rumus perambatan kesalahan pada Rumus 2.7 dengan menggunakan fungsi penentuan posisi horisontal pada Rumus 2.5. Pada perhitungan penentuan toleransi titik bantu dibutuhkan data berupa jarak antara titik detail-titik bantu, sudut jurusan, toleransi pengukuran jarak, dan toleransi pengukuran sudut horisontal. Toleransi pengukuran sudut horsisontal digunakan sebagai toleransi pengukuran sudut jurusan. Asumsi jarak antara titik detail-titik bantu adalah berkisar 5-55 m berdasarkan penjabaran kerapatan objek dan daftar objek-objek kota. Asumsi sudut jurusan 35

tersebut adalah sebesar 45 0. Karena sudut jurusan yang akan digunakan tidak akan berpengaruh pada toleransi titik, tetapi berpengaruh pada ketelitian X dan Y. Sedangkan Rumus yang digunakan untuk mencari toleransi pengukuran sudut horisontal, dapat dilihat pada Rumus 2.10. Hasil perhitungan toleransi titik bantu dapat dilihat pada Tabel 3.5. Tabel 3. 5. Hasil perhitungan penentuan toleransi titik bantu titik d turunan jarak SD jarak turunan sudut SD sudut (rad) SD X SD Y SD titik bantu 5-0.7071 0.2500-3.5355 0.0500 0.2493 0.2493 0.3526 bantu 55-0.7071 0.2500-38.8909 0.0045 0.2492 0.2492 0.3524 Sehingga didapatkan toleransi titik bantu adalah 0,352 m. c. Toleransi Titik Kerangka Toleransi titik bantu horisontal digunakan untuk mencari toleransi titik kerangka dengan menggunakan rumus perambatan kesalahan pada Rumus 2.7 dengan menggunakan fungsi penentuan posisi horisontal pada Rumus 2.5. Pada perhitungan penentuan toleransi titik bantu dibutuhkan data berupa jarak antara titik detail-titik bantu, sudut jurusan, toleransi pengukuran jarak, dan toleransi pengukuran sudut horisontal. Toleransi pengukuran sudut horsisontal digunakan sebagai toleransi pengukuran sudut jurusan. Asumsi jarak antara titik bantu-titik kerangka adalah berkisar 20-80 m berdasarkan penjabaran kerapatan objek dan daftar objek-objek kota. Asumsi sudut jurusan tersebut adalah sebesar 45 0. Karena sudut jurusan yang akan digunakan tidak akan berpengaruh pada toleransi titik, tetapi berpengaruh pada ketelitian X dan Y. Sedangkan Rumus yang digunakan untuk mencari toleransi pengukuran sudut horisontal, dapat dilihat pada Rumus 2.9. Hasil perhitungan toleransi titik bantu dapat dilihat pada Tabel 3.6. 36

Tabel 3. 6. Hasil perhitungan penentuan toleransi titik kerangka dasar horisontal titik d turunan jarak SD jarak turunan sudut SD sudut (rad) SD X SD Y SD titik kerangka 20-0.7071 0.1246-14.1421 0.0062 0.2158 0.2158 0.3052 kerangka 80-0.7071 0.1246-56.5685 0.0016 0.2158 0.2158 0.3052 Sehingga didapatkan toleransi titik bantu adalah 0,305 m. 3.3.3 Metode Pengukuran dan Toleransi Pengukuran Proses penentuan toleransi titik-titik tersebut menghasilkan metode pengukuran dan toleransi pengukuran antar titik. Metode pengukuran horisontal dan vertikal dari titik bantu ke titik detail dan dari titik kerangka ke titik bantu, menggunakan metode tachymetri, yaitu dengan mengukur sudut horisontal, sudut miring/sudut zenith, jarak miring, dan beda tinggi. Atau disesuaikan dengan kerapatan objek yang ada di lapangan. Metode pengukuran yang digunakan dari titik kerangka ke titik bantu adalah metode polar yaitu dengan mengukur sudut horisontal dan jarak mendatar. Sehingga penentuan posisinya menggunakan konsep yang sudah dibahas pada bab 2, subab konsep penentuan posisi. Sedangkan untuk toleransi pengukuran yang digunakan dari titik bantu ke titik detail dan titik kerangka ke titik bantu, bahwa ketelitian pengukuran tidak boleh melebihi setengah dari toleransi titik yang akan diukur. Sehingga ketentuan toleransi pengukurannya adalah sebagai berikut : Pengukuran titik detail dari titik bantu Toleransi pengukuran yang ditetapkan adalah dengan toleransi pengukuran sudut 13 24, toleransi pengukuran jarak 0,125 m. Pengukuran titik bantu dari titik kerangka Toleransi pengukuran yang ditetapkan adalah dengan toleransi pengkuran sudut 1 0 33 42, toleransi pengukuran jarak 0,25 m. 37

3.3.4 Ketentuan Kerangka Dasar Setelah mendapatkan toleransi titik kerangka dasar, maka dilakukan penurunan-penurunan terhadap toleransi titik kerangka dasar untuk menentukan ketentuan-ketentuan kerangka dasar yang lain. Ketentuanketentuan itu adalah sebagai berikut: a. Toleransi Pengukuran Titik-Titik Kerangka Dasar Perhitungan toleransi pengukuran sudut horisontal dapat dilihat pada Rumus 2.1. Sehingga hasil perhitungan toleransi pengukuran sudut horisontal dengan menggunakan ketelitian alat 1 adalah sebesar 4. Toleransi pengukuran jarak mendatar didapatkan dari penggunaan rumus perambatan kesalahan pada Rumus 2.12. Untuk mendapatkan toleransi pengukuran jarak mendatar menggunakan rumus perambatan kesalahan, dibutuhkan dtoleransi pengukuran jarak miring, toleransi sudut miring, jarak miring, dan sudut miring. Toleransi pengukuran jarak miring didapatkan dari pembidikan dan pembacaan alat, toleransi centering alat, dan ketelitian centering target. Sedangkan toleransi sudut miring diasumsikan sama dengan toleransi pengukuran sudut horsisontal. Jarak miring diasumsikan sama dengan asumsi jarak antar titik yaitu ± 100 m. Sedangkan asumsi untuk sudut miring adalah 5 0. Dengan menggunakan ketelitian alat sebesar 2 ± 5 ppm, maka hasil perhitungan ketelitian pengukuran jarak miring adalah 0,003 m. Sehingga toleransi pengukuran jarak antar titik kerangka adalah sebesar 0,003m. b. Jumlah titik dalam satu kring Penentuan jumlah titik dalam satu kring menggunakan toleransi pengukuran titik dalam satu kring dengan asumsi jarak antar titik yang memungkinkan di daerah kota adalah ±100 m dan toleransi titik kerangka dasar. 38

Toleransi titik kerangka dasar horisontal yang didapatkan adalah sebesar 0,305 m. Sehingga toleransi pengukuran kring yang diinginkan adalah 0,305 m untuk pengukuran horisontal. Sedangkan toleransi pengukuran n = 1 dengan jarak rata-rata sebesar ±100 m, toleransi pengukuran sudut horisontal dengan menggunakan alat yang memiliki ketelitian alat 1 adalah sebesar 4 dan toleransi pengukuran jarak mendatar menggunakan ketelitian alat sebesar 2 ± 5 ppm adalah sebesar 0,003 m. Untuk menentukan n (jumlah titik) dalam satu kring adalah dengan mencari n yang memenuhi toleransi titik kerangka yang sudah didapatkan dengan ketelitian pengukuran n = 1 yang sudah dihitung tersebut. Sehingga n dari ketiga toleransi pengukuran horisontal yang dapat memenuhi toleransi kring sebesar 0,305 m. Sehingga dengan n = 100 dan jarak antar titik kerangka ±100 m, maka luasan yang dapat diukur adalah sebesar 25 km 2. c. Salah Penutup Pengukuran dalam Satu Kring Salah penutup pengukuran horisontal dan vertikal dalam satu kring dengan n = 100 adalah sebagai berikut : Salah penutup pengukuran jarak Besar salah penutup pengukuran jarak adalah Salah penutup pengukuran sudut horisontal 0,305 mm 10 kkkk Besar salah penutup pengukuran sudut horisontal σσ ββ = 90" 3.4 Pengolahan Data Sekunder Data sekunder berupa pengukuran sudut horisontal dan jarak mendatar diolah menggunakan hitung perataan pada Rumus 2.14 dan 2.15 untuk menghasilkan residu tiap titiknya. Perhitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.7. 39

Tabel 3. 7. Hasil perhitungan residu data sekunder titik ukuran pendekatan V d 1-2 9.284 9.284054-5.4E-05 d 2-3 19.99775 19.99761 0.000141 d 3-4 17.80725 17.80723 2.38E-05 d 4-5 10.77475 10.7747 5.39E-05 d 5-6 47.20575 47.20569 6.16E-05 d 6-7 37.35275 37.35272 2.71E-05 d 7-8 20.6125 20.61242 7.82E-05 d 8-9 34.5475 34.54745 4.61E-05 d 9-10 28.3445 28.34456-6.2E-05 d 10-11 8.43875 8.438812-6.2E-05 d 11-12 22.2185 22.21846 4.22E-05 d 12-13 27.3365 27.33661-0.00011 d 13-14 19.971 19.97141-0.00041 d 14 15 8.90675 8.906389 0.000361 d 15-16 21.7725 21.77255-4.8E-05 d 16-17 13.40475 13.4048-5.1E-05 d 17-18 28.84575 28.8458-4.9E-05 d 18-19 41.17125 41.1713-4.8E-05 d 19-20 14.83925 14.83922 2.58E-05 d 20-1 34.916 34.91584 0.000157 B 1-2 266.3319 266.3305 0.001494 B 2-3 93.86149 93.87373-0.01224 B 3-4 184.9308 184.9349-0.0041 B 4-5 140.3098 140.3081 0.001782 B 5-6 181.494 181.4901 0.003939 B 6-7 206.9179 206.906 0.011881 B 7-8 102.6553 102.6316 0.023725 B 8-9 149.965 149.9428 0.022176 B 9-10 79.5841 79.57188 0.012219 B 10-11 150.714 150.7226-0.00865 B 11-12 271.9123 271.9051 0.007176 B 12-13 130.9549 130.9499 0.00497 B 13-14 176.7494 176.7493 4.92E-05 B 14-15 193.8267 193.8252 0.001499 B 15-16 185.2585 185.258 0.000428 B 16-17 186.2897 186.2895 0.000125 B 17-18 180.8306 180.8302 0.000373 B 18-19 84.9658 84.9899-0.02411 B 19-20 108.1153 108.1426-0.02725 B 20-1 164.3405 164.3341 0.006377 40