TEKNIK PENGELOLAAN DAN PENILAIAN KESEJAHTERAAN MURAI BATU (Copsychus malabaricus Scopoli, 1788) DI MEGA BIRD AND ORCHID FARM, BOGOR, JAWA BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
III. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

MATERI DAN METODE. Materi

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENANGKARAN BURUNG PARKIT (Melopsittacus undulatus)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGKARAN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rotschildi)

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ulat Sutera Bahan-Bahan Alat

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

JENIS DAN KARAKTER JANGKRIK Jangkrik di Indonesia tercatat ada 123 jenis yang tersebar di pelosok daerah. Namun hanya dua jenis saja yang umum dibudid

Penyiapan Mesin Tetas

MATERI DAN METODE. Materi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama

Karya Ilmiah Peluang Bisnis

TINJAUAN PUSTAKA Merpati Karakteristik Merpati )

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Ransum Penelitian Zat Makanan Jumlah (%)

MATERI DAN METODE. Tabel 3. Komposisi Nutrisi Ransum Komersial.

MATERI DAN METODE. a b c Gambar 2. Jenis Lantai Kandang Kelinci a) Alas Kandang Bambu; b) Alas Kandang Sekam; c) Alas Kandang Kawat

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor

PELUANG USAHA PENGEMBANGBIAKAN BURUNG LOVE BIRD

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di ruang penangkaran lovebird Jl. Pulau Senopati Desa

MATERI DAN METODE. Materi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ayam ayam lokal (Marconah, 2012). Ayam ras petelur sangat diminati karena

MATERI DAN METODE. Materi

BAB I PENDAHULUAN. permintaan sangat tinggi. Banyaknya para pencari kroto di alam yang tidak

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh Frekuensi dan Awal Pemberian Pakan terhadap

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

BAB III METODE PENELITIAN. Ayam Pedaging dan Konversi Pakan ini merupakan penelitian penelitian. ransum yang digunakan yaitu 0%, 10%, 15% dan 20%.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

PENDAHULUAN Latar Belakang

Cara Ternak Jangkrik

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat. Materi

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan Sumber : Dokumentasi penelitian (2011)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan

[Pemanenan Ternak Unggas]

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. adalah Day Old Duck (DOD) hasil pembibitan generasi ke-3 sebanyak 9 ekor itik

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kelinci lokal dengan

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi Ternak Percobaan. Kandang dan Perlengkapan

BAB II LANDASAN TEORI

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Konsumsi Pakan

Budidaya dan Pakan Ayam Buras. Oleh : Supriadi Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

TINJAUAN PUSTAKA. dari hasil domestikasi ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap dalam ransum

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. hidup sampai penelitian berakhir adalah 13 ekor jantan dan 10 ekor betina Itik

Panduan Ikan Louhan. anekaikanhias.com. 2. Ikan Louhan Kamfa

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.

Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh

TINJAUAN PUSTAKA Tikus

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bumirestu, Kecamatan Palas, Kabupaten

MATERI DAN METODE. Sumber : Label Pakan BR-611 PT. Charoen Pokphand Indonesia.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Limbah Ikan Bandeng (Chanos

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TUGAS KARYA ILMIAH TENTANG PELUANG BISNIS DAN BUDIDAYA IKAN PATIN

BAB III METODE PENELITIAN

Kebun Binatang Mini ala Fakultas Kedokteran Hewan

Enceng Sobari. Trik Jitu menangkarkan Lovebird. Sang Burung Primadona

II. TINJAUAN PUSTAKA. ayam yang umumnya dikenal dikalangan peternak, yaitu ayam tipe ringan

5 KINERJA REPRODUKSI

MATERI DAN METODE. Materi

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang dijadikan objek percobaan adalah puyuh betina yang

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

BAB III METODE PENELITIAN Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan ayam hutan hijau

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Sejarah Perusahaan 5.2. Struktur Organisasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

TINJAUAN PUSTAKA. Burung puyuh dalam istilah asing disebut quail yang merupakan bangsa

MATERI DAN METODE. Materi

I. PENDAHULUAN. Broiler adalah ayam yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari-Februari 2014 di

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan November - Desember 2014 di

PROPOSAL PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA BISNIS PEMBESARAN MURAI BATU SEBAGAI SARANA MENUJU MAHASISWA MANDIRI BIDANG KEGIATAN: PKM-K.

BAB III MATERI DAN METODE. berbeda terhadap tingkah laku burung puyuh petelur, dilaksanakan pada bulan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penetasan telur ada dua cara, yaitu melalui penetasan alami (induk ayam)

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Nopember sampai dengan

TINJAUAN PUSTAKA. Subphylum : Vertebrata. : Galiformes

BAB III MATERI DAN METODE. Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16

Pembesaran udang galah Macrobrachium rosenbergii kini mengadopsi

Transkripsi:

TEKNIK PENGELOLAAN DAN PENILAIAN KESEJAHTERAAN MURAI BATU (Copsychus malabaricus Scopoli, 1788) DI MEGA BIRD AND ORCHID FARM, BOGOR, JAWA BARAT ISNIA ESTU MARIFA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Teknik Pengelolaan dan Penilaian Kesejahteraan Murai Batu (Copsychus malabaricus Scopoli, 1788) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2014 Isnia Estu Marifa NIM E34100061

ABSTRAK ISNIA ESTU MARIFA. Teknik Pengelolaan dan Penilaian Kesejahteraan Murai Batu (Copsychus malabricus Scopoli, 1788) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh LIN NURIAH GINOGA dan BURHANUDDIN MASY UD. Populasi murai batu (Copsychus malabaricus) di habitat alaminya mengalami penurunan akibat perburuan, konversi dan degradasi hutan. Upaya konservasi yang dapat dilakukan yakni konservasi ek-situ melalui kegiatan penangkaran. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Juli 2014 di Mega Bird and Orchid Farm. Kandang murai batu di MBOF terdiri dari kandang pembesaran, kandang reproduksi dan inkubator. Jenis pakan yang diberikan pada murai batu yakni pur dan jangkrik. Ukuran keberhasilan penangkaran murai batu di MBOF pada tahun 2013 dan 2014 yakni persentase tingkat perkembangbiakan induk sebesar 70% dan 23.80%, daya tetas telur sebesar 66% dan 82.35% dan angka kematian 33.33% dan 21.43%. Penilaian kesejahteraan murai batu di MBOF menurut pengelola memiliki skor sebesar 69.35 dan menurut pengamat sebesar 64.25 yang memiliki arti pengelolaan yang dilakukan sudah cukup memenuhi kriteria kesejahteraan satwa. Kata kunci: daya tetas telur, kematian, kesejahteraan satwa, murai batu, perkembangbiakan ABSTRACT ISNIA ESTU MARIFA. Management Technique and Welfare Assessment of White-Rumped Shama (Copsychus malabaricus Scopoli, 1788) at Mega Bird and Orchid Farm, Bogor, West Java. Supervised by LIN NURIAH GINOGA and BURHANUDDIN MASY'UD. Population of white-rumped shama (Copsychus malabaricus) in their natural habitat tends to decrease due to hunting activity, and forest conversion and degradation. One of efforts to conserve this species is ex-situ conservation by means of birds-keeping. This research aims to analyze management technique and to assess the success of bird-keeping of white-rumped shama at Mega Bird and Orchid Farm (MBOF). This study was conducted from May to July 2014. Types of hutches at MBOF are development, reproduction and incubation buildings. Feedstocks used in this research were powder and crickets. The percentage of reproduction level in 2013 and 2014 were respectively 70% and 23.80% while the hatchability were 66% and 82.35% and mortality were 33.33% and 21.43%. Welfare assessment conducted by breeder is 69.35 while it is based on the research result is 64.25. The conclusion is that management of white-rumped shama by MBOF complies with animal welfare criteria. Keywords: animal welfares, hatchability, mortality, reproduction, white-rumped shama

TEKNIK PENGELOLAAN DAN PENILAIAN KESEJAHTERAAN MURAI BATU (Copsychus malabaricus Scopoli, 1788) DI MEGA BIRD AND ORCHID FARM, BOGOR, JAWA BARAT ISNIA ESTU MARIFA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Judul Skripsi : Teknik Pengelolaan dan Penilaian Kesejahteraan Murai Batu (Copsychus malabaricus, Scopoli 1788) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor, Jawa Barat Nama : Isnia Estu Marifa NIM : E34100061 Disetujui oleh Ir Lin Nuriah Ginoga, MSi Pembimbing I Dr Ir Burhanuddin Masy'ud, MS Pembimbing II Diketahui oleh Prof Dr Ir H Sambas Basuni, MS Ketua Departemen Tanggal Lulus:

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah penangkaran, dengan judul Teknik Pengelolaan dan Penilaian Kesejahteraan Murai Batu (Copsychus malabaricus, Scopoli 1788) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor, Jawa Barat. Karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik karena tidak luput dari dukungan berbagai pihak baik secara langsung ataupun tidak langsung. Penghargaan dan terimakasih diberikan kepada Ir Lin Nuriah Ginoga, MSi dan Bapak Dr Ir Burhanuddin Masy ud, MS sebagai dosen pembimbing yang dengan sepenuh hati mendukung dan senantiasa memberikan kritik dan saran. Diucapkan juga terimakasih kepada orang tua Bapak Sukandar dan Ibu Kurnia Harapini yang selalu bermurah hati untuk mendoakan penulis selama menempuh pendidikan dan mencari ilmu pengetahuan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf pengelola penangkaran Mega Bird and Orchid Farm yang telah membantu selama pengumpulan data karya ilmiah ini. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada teman-teman KSHE 47 dan pihak-pihak lain yang telah berpartisipasi dalam mensukseskan karya ilmiah ini secara tidak langsung yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Bogor, Desember 2014 Isnia Estu Marifa

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR vii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 METODE 2 Waktu dan Tempat 2 Objek Penelitian 2 Alat 2 Jenis dan Metode Pengumpulan Data 2 Analisis Data 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 7 Teknik Pengelolaan Penangkaran Murai Batu di MBOF 7 Penilaian Kesejahteraan Murai Batu di MBOF 21 SIMPULAN DAN SARAN 25 Simpulan 25 Saran 25 DAFTAR PUSTAKA 26

DAFTAR TABEL 1 Jenis dan metode pengumpulan data 3 2 Bobot parameter kesejahteraan satwa 7 3 Klasifikasi penilaian kesejahteraan satwa 7 4 Populasi murai batu sampai bulan Juli 2014 8 5 Jenis, ukuran, dan konstruksi kandang murai batu di MBOF 9 6 Fasilitas kandang murai batu 10 7 Perawatan kandang murai batu di MBOF 13 8 Jenis pakan dan minum murai batu di MBOF 14 9 Jumlah konsumsi pakan murai batu 15 10 Kandungan gizi pakan murai batu 15 11 Konsumsi protein dan energi murai batu di MBOF 16 12 Riwayat penyakit yang pernah diderita murai batu di MBOF 16 13 Perbedaan murai batu jantan dan betina 17 14 Klasifikasi harga jual murai batu di MBOF 19 15 Persentase tingkat keberhasilan breeding murai batu di MBOF periode tahun 2013 dan 2014 20 16 Penilaian tingkat kesejahteraan murai batu di MBOF 21 DAFTAR GAMBAR 1 Murai batu di MBOF 8 2 Fasilitas kandang reproduksi murai batu 11 3 Fasilitas kandang inkubator murai batu 11 4 Fasilitas kandang pembesaran murai batu 12 5 Suhu dan kelembaban kandang murai batu di MBOF 13 6 Sketsa murai batu: (a) jantan dewasa, (b) betina dewasa 17 7 Anakan murai batu usia 2 bulan: (a) jantan, (b) betina 18 8 Anakan murai batu 19

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Burung murai batu (Copsychus malabaricus) merupakan jenis burung dari famili Muscicapidae yang dikenal dengan sebutan kucica hutan. Burung murai batu atau dalam bahasa Inggris disebut white-rumped shama banyak digemari karena keindahan suaranya. Menurut Delacour (1947) diacu dalam Basuni et al. (2005) murai batu memiliki daya tarik yang cukup besar untuk dipelihara karena termasuk kelompok burung yang bersuara bagus (the best song birds), sehingga burung ini sangat digemari dan dicari oleh para penggemar burung. Murai batu dapat ditemukan di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan bahkan sampai ke Asia Tenggara dan India (Fauzi 2014, MacKinnon 2010). Saat ini murai batu sudah menjadi burung langka di Pulau Jawa dan Pulau Kangean (MacKinnon et al. 2010). Basuni et al. (2005) menjelaskan populasi murai batu di alam sudah mulai langka karena memiliki sifat teritorial yang kuat serta banyaknya perburuan akibat kekhasan suaranya sebagai burung kicau. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Jepson dan Ladle (2009) yang mengatakan bahwa murai batu merupakan burung yang memiliki suara luar biasa dan termasuk jenis yang populasinya terbatas akibat tingginya eksploitasi. Hasil penelitian di Hutan Wisata Pananjung Pangandaran menyebutkan bahwa kepadatan populasi murai batu yaitu 6 pasang per 10 ha (Basuni et al. 2005). Penyebab lain penurunan populasi murai batu di alam adalah terjadinya konversi dan degradasi hutan (Basuni et al. 2005) serta nilai ekonomi murai batu yang tinggi. Jepson et al. (2011) menjelaskan burung murai batu muda di Jakarta dijual seharga 2,5 juta rupiah per pasang. Semakin dewasa dan semakin bagus suara yang dihasilkan maka harga murai batu akan semakin tinggi. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) tahun 2013 menyatakan status murai batu berada pada kategori least concern atau resiko rendah. Burung murai batu juga belum termasuk ke dalam daftar Convention on International Trade in Endangered Species of wild fauna and flora (CITES) dan belum ditetapkan sebagai spesies yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan akan terjadi kelangkaan pada spesies tersebut akibat banyaknya perburuan dan eksploitasi. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya konservasi untuk tetap mempertahankan eksistensi murai batu dan menjaganya dari kepunahan. Salah satu upaya konservasi yang dapat dilakukan untuk mengurangi penangkapan murai batu di alam yaitu melalui kegiatan penangkaran. Manfaat lain dari kegiatan penangkaran yakni dapat memberikan keuntungan ekonomi. Salah satu penangkaran yang berhasil mengembangbiakkan murai batu adalah penangkaran Mega Bird and Orchid Farm (MBOF). Keberhasilan kegiatan penangkaran ditentukan oleh teknik pengelolaan yang dilakukan oleh pengelola. Pengetahuan mengenai tingkat kesejahteraan satwa juga penting diketahui untuk menjaga kelestarian satwa di penangkaran. Selain itu, menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 8 Tahun 1999 satwa yang dipelihara di suatu lembaga konservasi perlu diperhatikan dan dipenuhi kesejahteraannya.

2 Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian mengenai teknik pengelolaan dan penilaian kesejahteraan murai batu di MBOF perlu dilakukan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengkaji teknik pengelolaan dan menilai kesejahteraan murai batu (Copsychus malabaricus) di MBOF. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai bahan informasi bagi upaya pelestarian murai batu secara ek-situ. 2. Sebagai bahan masukan dan evaluasi bagi upaya pengembangan penangkaran murai batu, khususnya di penangkaran MBOF, Bogor, Jawa Barat. METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2014. Penelitian ini dilakukan di penangkaran Mega Bird and Orchid Farm (MBOF) yang berlokasi di Desa Cijujung Tengah, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan adalah murai batu (Copsychus malabaricus) yang berada di penangkaran MBOF. Murai batu yang dijadikan objek penelitian berjumlah 6 ekor. Alat Alat-alat yang digunakan meliputi termometer dry-wet, meteran, timbangan, kamera digital, kalkulator, panduan wawancara, dan alat tulis. Jenis dan Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan langsung, pengukuran, teknik wawancara serta penelusuran dokumen/studi pustaka. Jenis dan metode pengumpulan data lebih lengkap terangkum dalam Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan metode pengumpulan data 3 Jenis Data Data Primer Data Sekunder Data yang dikumpulkan A. Teknik pengelolaan: 1. Proses adaptasi 2.Manjemen kandang 3. Manajemen pakan 4. Manajemen kesehatan dan perawatan 5. Manajemen reproduksi 6. Pemanfaatan hasil 7. Tingkat keberhasilan B. Tingkat Kesejahteraan 1. Asal-usul bibit 2. Populasi 3. Sejarah penangkaran 4. Struktur organisasi 5. Jumlah tenaga kerja Metode pengambilan data Pengamatan Pengukuran Wawancara Dokumen / studi pustaka Data Primer A. Teknik pengelolaan Data-data yang dikumpulkan untuk mengkaji teknik pengelolaan penangkaran murai batu diantaranya : a) Proses adaptasi meliputi : perlakuan yang diberikan untuk adaptasi dan lama waktu adaptasi. Data dan informasi mengenai teknik adaptasi diperoleh dengan cara pengamatan langsung dan wawancara kepada pengelola. b) Manajemen kandang meliputi : jenis kandang, konstruksi kandang, jumlah kandang, ukuran kandang, perlengkapan kandang, suhu dan kelembaban kandang, serta perawatan kandang yang meliputi kegiatan membersihkan kandang, mengganti fasilitas di dalam kandang dan memperbaiki bagian kandang yang rusak. Data mengenai ukuran kandang dilakukan dengan cara mengukur panjang, lebar, dan tinggi kandang. Pengukuran suhu dan kelembaban kandang dilakukan juga selama 14 hari pada pagi (08.00 WIB),

4 siang (12.00 WIB), dan sore hari (16.00 WIB) dengan cara menggantungkan termometer dry-wet di dalam kandang. Informasi mengenai jenis, konstruksi, jumlah, perlengkapan dan perawatan kandang dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan wawancara dengan pengelola. c) Manajemen pakan meliputi : jenis pakan, waktu pemberian pakan, jumlah pemberian pakan, frekuensi, cara pemberian pakan, jumlah konsumsi, serta kebutuhan protein dan kalori. Pengamatan dan pengukuran jumlah konsumsi, kebutuhan protein dan kalori dilakukan selama 7 hari dengan cara menimbang setiap jenis pakan yang diberikan pengelola pada pagi dan sore hari. Pengumpulan data mengenai jenis, waktu pemberian, frekuensi, dan cara pemberian pakan dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan wawancara kepada pengelola. d) Manajemen kesehatan meliputi : jenis penyakit, bentuk pencegahan, upaya pengobatan, serta jenis obat dan vitamin yang diberikan. Pengumpulan data mengenai aspek kesehatan dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan wawancara kepada pengelola. e) Manajemen reproduksi meliputi : musim kawin di penangkaran, pemilihan bibit, penentuan jenis kelamin, sex ratio, jumlah anak per penetasan, pengaturan peneluran atau penetasan, pembesaran atau pengasuhan anak, serta tingkat keberhasilan breeding. Pengumpulan data mengenai aspek reproduksi dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan wawancara kepada pengelola. f) Pemanfaatan hasil meliputi : bentuk pemanfaatan, harga jual dan harga beli, teknik packing dan pengiriman, serta jalur pemasaran. Pengumpulan data mengenai pemanfaatan hasil dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan wawancara kepada pengelola. g) Tingkat keberhasilan meliputi : persentase perkembangbiakan induk betina, persentase daya tetas telur, dan persentase angka kematian. Pengumpulan data mengenai ukuran keberhasilan dilakukan dengan cara penelusuran dokumendokumen mengenai kegiatan penangkaran dan wawancara kepada pengelola. B. Penilaian kesejahteraan satwa Pengumpulan data penilaian kesejahteraan satwa dilakukan dengan cara wawancara kepada pengelola dan pengamatan langsung. Data yang dikumpulkan mengenai penilaian kesejahteraan satwa meliputi lima prinsip kesejahteraan satwa yakni: a) Bebas dari rasa lapar dan haus b) Bebas dari rasa tidak nyaman c) Bebas dari sakit, luka dan penyakit d) Bebas untuk mengekspresikan tingkah laku alami e) Bebas dari rasa takut dan tertekan Data Sekunder Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data mengenai asal-usul bibit murai batu yang ditangkarkan, populasi murai batu, sejarah kegiatan penangkaran murai batu di MBOF dan struktur organisasi penangkaran serta jumlah tenaga kerja (SDM).

5 Analisis Data Teknik Pengelolaan Data dan informasi mengenai teknik pengelolaan dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif. Data yang dianalisis secara deskriptif meliputi manajemen kandang, pakan, kesehatan, reproduksi, teknik adaptasi, pemanfaatan hasil dan ukuran keberhasilan serta data pendukung. Analisis deskriptif dilakukan dengan menguraikan semua data dan informasi yang diperoleh disertai dengan ilustrasi seperti tabel, grafik, serta kurva yang relevan. Data mengenai manajemen pakan dan ukuran keberhasilan dianalisis juga secara kuantitatif dengan menggunakan rumus berikut : 1. Jumlah konsumsi pakan Keterangan: JK = jumlah konsumsi B = berat pakan sebelum diberikan b = berat pakan sisa JK = B-b 2. Kandungan gizi pakan Kandungan gizi pakan murai batu dipenangkaran diperoleh melalui studi pustaka mengenai analisis proksimat yaitu analisis kimia untuk mengetahui kandungan zat makanan yang terdapat di dalam suatu bahan makanan. 3. Jumlah konsumsi protein dan energi Jumlah konsumsi pakan yang perlu dianalisis meliputi konsumsi protein dan energi. Rumus yang digunakan untuk menghitung konsumsi protein yaitu: KP = Konsumsi suatu pakan Konsumsi pakan keseluruhan X %PK Rumus untuk menghitung konsumsi energi: KKal = Konsumsi suatu pakan X Kalori (Kkal) Konsumsi pakan keseluruhan 4. Persentase perkembangbiakan induk betina PI = t Tt x 100% Keterangan : PI = perkembangbiakan induk t = induk betina yang berkembangbiak Tt = induk betina seluruhnya

6 5. Persentase daya tetas telur Keterangan : DTT = daya tetas telur α = telur yang menetas β = telur yang ditetaskan DTT = α β x 100% 6. Persentase angka kematian Keterangan : AM = angka kematian M = anakan yang mati Mt = total anakan AM = M Mt x 100% Hasil perhitungan presentase daya tetas telur, presentase perkembangbiakan induk dan presentase angka kematian dikategorikan dengan kriteria nilai yakni: 0% - 30% : Rendah 31% - 70% : Sedang 71% - 100% : Tinggi Penilaian Kesejahteraan Analisis data tingkat kesejahteraan satwa dilakukan dengan cara pengisisan tabel kriteria evaluasi kesejahteraan satwa yang mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal PHKA No. P6/IV-SET/2011. Masing-masing kriteria terdiri dari variabel-variabel yang telah ditetapkan sebelumnya kemudian dinilai dengan memberikan skor pada setiap variabel. Nilai skoring untuk setiap variabel yaitu 1 = buruk, 2 = kurang, 3 = cukup, 4 = baik, 5 = sangat baik/memuaskan. Penialaian dilakukan oleh pengelola dan pengamat agar didapatkan hasil penilaian yang objektif. Nilai dari setiap variabel dihitung untuk mendapatkan nilai terbobot dengan rumus: Nilai terbobot = bobot x skoring Penentuan bobot komponen penilaian kesejahteraan satwa dilakukan berdasarkan tingkat kepentingannya (Tabel 2). Komponen bebas dari rasa lapar dan haus memiliki bobot paling tinggi (30%) karena pakan merupakan faktor pembatas dan pemegang peran kunci dalam suatu usaha penangkaran (Thohari 1987). Komponen bebas dari rasa tidak nyaman dan bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit memiliki bobot 20%. Komponen bebas dari rasa takut dan tertekan serta komponen bebas mengekspresikan perilaku alamiah memiliki bobot terkecil yakni 15% (Ayudewanti 2013 dan Laela 2013).

7 Tabel 2 Bobot parameter kesejahteraan satwa Komponen Bobot Skoring (nilai skor) Nilai terbobot Bebas dari rasa lapar dan haus 30 1-5 30-150 Bebas dari ketidaknyamanan lingkungan 20 1-5 20-100 Bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit 20 1-5 20-100 Bebas mengekspresikan perilaku alami 15 1-5 15-75 Bebas dari rasa takut dan tertekan 15 1-5 15-75 Nilai kesejahteraan satwa dihitung dengan menggunakan rumus: Skor penilaian = Σ nilai terbobot 5 Hasil perhitungan skor penilaian selanjutnya dikategorikan kedalam beberapa klasifikasi yang mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal PHKA No. P.6/IV-SET/2011 tentang Pedoman Penilaian Lembaga Konservasi (Tabel 3). Tabel 3 Klasifikasi penilaian kesejahteraan satwa Klasifikasi Penilaian Nilai Sangat Baik 80.00 100.00 Baik 70.00 79.99 Cukup 60.00 69.99 Perlu Pembinaan <60.00 HASIL DAN PEMBAHASAN Teknik Pengelolaan Penangkaran Murai Batu di MBOF Sejarah dan Struktur Organisasi Penangkaran Penangkaran Mega Bird Farm didirikan pada tahun 1996. Penangkaran ini kemudian berganti nama menjadi Mega Bird and Orchid Farm pada tahun 2010. Burung yang pertama kali ditangkarkan salah satunya adalah murai batu (Gambar 1). Pemilik penangkaran pada awalnya membuat penangkaran burung karena hobi dan kecintaannya terhadap burung berkicau termasuk murai batu. Kondisi populasi murai batu yang mulai langka juga melatarbelakangi dibentuknya penangkaran tersebut. Pemilik penangkaran khawatir murai batu di alam akan habis akibat tingginya permintaan murai batu bahkan sampai sekarang banyak dimanfaatkan sebagai burung kontes. Jepson dan Ladle (2009) menjelaskan murai batu merupakan salah satu spesies yang popularitasnya semakin meningkat sejak tahun 1999. Struktur organisasi penangkaran MBOF terbagi dalam beberapa kategori pekerjaan. Secara keseluruhan penangkaran MBOF dipimpin oleh seorang direktur yang dibantu oleh seorang manajer dan seorang asisten manajer serta lima orang keeper. Selain itu, penangkaran ini memiliki lima orang tenaga keamanan yang bertugas menjaga keamanan lokasi sekitar penangkaran.

8 Tabel 4 Populasi murai batu sampai bulan Juli 2014 Kelas umur Jenis kelamin Jumlah (ekor) Keterangan* 0 s/d <5 bulan - - - 5 s/d <12 bulan 6 jantan, 5 betina 11 ekor Remaja 1 s/d <2 tahun 14 jantan, 8 betina 22 ekor Dewasa 2 s/d <3 tahun 24 jantan, 29 betina 53 ekor Dewasa (awal mampu bereproduksi) 3 tahun 33 jantan, 24 betina 57 ekor Indukan Total 77 jantan, 66 betina 143 ekor Populasi saat ini *Fauzi (2014) Gambar 1 Murai batu di MBOF Populasi Murai batu di MBOF Populasi murai batu yang ditangkarkan pada tahun 1996 berjumlah lima pasang. Murai batu yang ditangkarkan berasal dari burung milik sendiri dan membeli kepada para penangkar burung terutama murai batu betina. Murai batu tersebut dipelihara dan dijadikan indukan oleh pengelola sehingga populasinya semakin bertambah setiap tahunnya. Populasi murai batu di MBOF sampai pada bulan Juli 2014 bejumlah 143 ekor yang dibedakan berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin (Tabel 4). Proses Adaptasi Pengelola MBOF tidak menyediakan kandang khusus sebagai kandang karantina untuk murai batu yang baru didatangkan. Murai batu yang baru didatangkan langsung dimasukkan ke dalam kandang pembesaran kemudian disatukan dengan murai batu yang lain. Perlakuan yang diberikan oleh pengelola terhadap murai batu yang baru didatangkan sama seperti murai batu lainnya. Manajemen Kandang 1. Jenis, ukuran dan konstruksi kandang Jenis kandang murai batu yang terdapat di penangkaran MBOF terbagi kedalam tiga bagian yaitu kandang pembesaran, kandang reproduksi (indukan) dan kandang inkubator. Ukuran dan konstruksi dari masing-masing jenis kandang berbeda-beda (Tabel 5).

9 Tabel 5 Jenis, ukuran, dan konstruksi kandang murai batu di MBOF Jenis kandang Kandang reproduksi dan pemeliharaan induk Inkubator Kandang pembesaran Konstruksi kandang Dinding dari batako, atap berupa kawat ram dan asbes, lantai kandang berupa tanah Alas triplek, dinding kayu, dan kawat ram Triplek, kayu, dan besi Ukuran kandang (p x l x t) Unit 1,5 m x 3 m x 3 m 21 110 cm x 45 cm x 50 cm 50 cm x 50 cm x 70 cm Jumlah (ekor/unit) 2 1 6-7 86 1 Kandang merupakan salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam membangun sebuah penangkaran. Kandang reproduksi dan pemeliharaan induk berfungsi sebagai tempat untuk penjodohan dan perkawinan pasangan induk murai batu. Masing-masing kandang berisi satu pasang indukan murai batu. Kandang reproduksi murai batu di MBOF terbagi kedalam dua blok yaitu blok A dan blok C. Atap kandang reproduksi murai batu terbagi atas dua bagian yaitu bagian yang tertutup oleh asbes dan bagian yang terbuka dengan kawat ram. Kondisi atap tersebut dibuat sedemikian rupa agar sinar matahari dapat tetap masuk ke dalam kandang. Fauzi (2014) menyatakan kandang yang ideal adalah kandang yang memperoleh sinar matahari yang cukup karena baik untuk kesehatan burung. Lantai kandang reproduksi murai batu berupa tanah agar mempermudah proses dekomposisi feses. Fauzi (2014) dan Soemarjoto (2003) menyatakan kandang reproduksi yang baik adalah lantainya berupa tanah atau pasir agar kotoran burung mudah terurai. Kandang reproduksi murai batu di MBOF dibuat tertutup dan terletak di bagian dalam penangkaran agar proses reproduksi pasangan murai batu tidak terganggu oleh aktivitas manusia. Fauzi (2014) menjelaskan bahwa murai batu yang sedang mengerami telurnya tidak boleh terlalu didekati karena akan membuat induk tidak tenang dan sering keluar masuk sarang sehingga proses pengeraman telur menjadi tidak optimal. Kandang reproduksi di MBOF mempunyai dua buah pintu yang memiliki ukuran dan fungsi berbeda. Pintu yang berukuran besar memiliki ukuran 50x100 cm terletak dibagian bawah kandang yang berfungsi sebagai tempat masuknya keeper ke dalam kandang untuk membersihkan kandang, mengganti air minum dan memasukan indukan serta mengambil anakan murai dari sangkar. Pintu kecil memiliki ukuran 20x20 cm berfungsi untuk memberikan pakan kepada murai batu. Kandang inkubator murai batu terletak di dalam kantor penangkaran MBOF. Inkubator berfungsi untuk memelihara anakan yang berusia satu minggu sampai usia satu bulan. Kandang inkubator di MBOF dapat dikatakan sudah sesuai karena memiliki lubang sirkulasi udara. Lubang sirkulasi udara pada kandang inkubator terbuat dari kawat ram yang berbentuk persegi dengan panjang

10 sisi 15 cm. Suprijatna et al. (2008) menyatakan bahwa inkubator yang baik harus dapat mengatur sirkulasi udara dengan lancar. Berdasarkan hal tersebut, kandang inkubator di MBOF dapat dikatakan sesuai. Kandang pembesaran murai batu di MBOF jumlahnya lebih banyak dibandingkan kandang reproduksi dan kandang inkubator. Banyaknya kandang pembesaran disebabkan karena murai batu di MBOF dapat bertelur sebanyak 6-7 kali dalam setahun. Kandang pembesaran berfungsi untuk membesarkan anakan murai batu yang berumur satu bulan hingga menjadi murai batu dewasa yang siap untuk dijadikan indukan. Kandang pembesaran murai batu di MBOF dapat dikatakan sudah sesuai. Menurut Soemarjoto dan Prayitno (1999) ukuran kandang atau sangkar untuk murai batu sebaiknya berbentuk persegi empat dengan ukuran panjang dan lebar kurang lebih 50 cm dan tinggi kurang lebih 60 cm. 2. Fasilitas kandang Fasilitas atau perlengkapan kandang merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan untuk memenuhi kebutuhan hidup satwa. Fasilitas kandang murai batu di MBOF berbeda-beda tergantung dari jenis kandangnya (Tabel 6). Tabel 6 Fasilitas kandang murai batu Jenis kandang Fasilitas Fungsi Kandang reproduksi dan pemeliharaan induk Tempat pakan Tempat minum dan mandi Kayu tenggeran Pohon palem Kotak sarang Wadah pakan Wadah air minum sekaligus tempat mandi Untuk bertengger Untuk bertengger, agar sesuai dengan habitat alami Tempat untuk bertelur dan mengerami telur Inkubator Kandang pembesaran Tempat pakan Tempat minum Sarang Pot penyangga Lampu 5 wat Tempat pakan Tempat minum Kayu tenggeran Kandang mandi Wadah pakan Wadah air minum Wadah untuk menaruh anakan Wadah sarang Untuk menghangatkan tubuh anakan Wadah pakan Wadah air minum Untuk bertengger Untuk mandi Fasilitas kandang reproduksi murai batu di MBOF sudah sesuai dalam memenuhi kebutuhan murai batu untuk bereproduksi (Gambar 2). Soemarjoto (2003) menjelaskan bahwa kandang reproduksi yang baik perlu dilengkapi dengan tempat pakan, tempat minum, tempat mandi, tempat bertengger, pohon dan sarang. Tempat pakan dan minum murai batu di kandang reproduksi sama seperti kandang pembesaran yakni terbuat dari plastik. Pohon palem dalam kandang reproduksi digunakan juga sebagai tempat bertengger murai batu sekaligus sebagai pelindung agar meyerupai habitat alaminya.

Kotak sarang pada kandang reproduksi terbuat dari triplek yang berbentuk persegi panjang dengan lubang di bagian tengah untuk tempat keluar masuknya induk. Ukuran kotak sarang yakni memiliki panjang 20 cm, lebar 20 cm, dan tinggi 30 cm. Fauzi (2014) menyatakan wadah sarang bagi murai batu idealnya memiliki panjang 15-25 cm, lebar 15-20 cm dan tinggi 15-20 cm. Penempatan kotak sarang diletakkan di bagian atas dinding kandang yang tertutup oleh asbes agar tidak terkena air hujan dan panas matahari. Bahan penyusun sarang murai batu di MBOF terbuat dari ijuk dan daun pinus kering. Bahan penyusun sarang tersebut sebagian sudah dimasukkan kedalam kotak sarang oleh pengelola dan sebagian diletakkan di lantai kandang agar burung dapat membangun sarangnya sendiri. 11 Gambar 2 Fasilitas kandang reproduksi murai batu Kandang inkubator murai batu dilengkapi dengan fasilitas tempat pakan, minum, lampu, lubang sirkulasi udara, sarang dan pot penyangga (Gambar 3). Tempat pakan dan minum pada kandang inkubator diletakkan di luar kandang karena anakan murai batu diberi makan dengan cara disuapi oleh pengelola. Sarang pada kandang inkubator terbuat dari jerami yang disangga dengan pot kecil agar terhindar dari gangguan semut. Lampu 5 watt yang terdapat pada kandang digunakan untuk menghangatkan tubuh anakan murai batu. Gambar 3 Fasilitas kandang inkubator murai batu

12 Fasilitas kandang pembesaran murai batu di MBOF dinilai sudah sesuai untuk menunjang keberlangsungan hidup satwa. Untung dan Turut (1994) menjelaskan perlengkapan kandang yang diperlukan oleh murai batu adalah kayu untuk tenggeran, tempat pakan, tempat minum dan bak atau wadah untuk mandi. Tempat pakan dan minum pada kandang pembesaran terbuat dari plastik yang diletakkan dibagian sisi kandang (Gambar 4). Penggunaan plastik untuk tempat pakan dan minum bertujuan agar tidak mudah pecah jika terjatuh. Sudrajad (1999) menyatakan tempat pakan dan minum sebaiknya terbuat dari bahan yang tidak bocor dan tidak mudah pecah, seperti plastik, bambu dan alumunium. Kayu tenggeran pada kandang pembesaran terbuat dari ranting pohon yang diletakkan di tengah kandang. Menurut Turut (1999) tenggeran sebaiknya berupa cabang atau ranting kayu dengan diameter kurang lebih 2 cm. Murai batu yang berada di kandang pembesaran dimandikan setiap pagi oleh pengelola pada tempat mandi khusus yang terbuat dari besi. Air yang digunakan untuk mandi murai batu berasal dari air tanah. Fauzi (2014) menjelaskan bak mandi pada murai batu sebaiknya diisi dengan air yang bersih. Gambar 4 Fasilitas kandang pembesaran murai batu 3. Perawatan kandang Berdasarkan hasil pengamatan, perawatan kandang murai batu di MBOF terdiri dari beberapa jenis kegiatan. Perawatan kandang yang dilakukan meliputi pembersihan kandang dari feses, pembersihan tempat pakan dan minum, penjemuran sarang pada kandang inkubator, penggantian kayu tenggeran, penggantian tempat pakan, tempat minum dan kawat ram yang telah rusak dan pemberian desinfektan (Tabel 7). Perawatan kandang bertujuan untuk menghindari timbulnya penyakit akibat kandang yang kotor. Setio dan Takandjandji (2007) menjelaskan kebersihan kandang beserta kelengkapannya perlu diperhatikan karena berhubungan dengan kesehatan satwa. Perawatan kandang yang dilakukan oleh pengelola di MBOF dinilai sudah baik. Sudrajad (1999) menjelaskan upaya pemeliharaan kandang di suatu penangkaran dapat berupa perbaikan kawat ram atau dinding kandang yang rusak, pembersihan kandang dan fasilitasnya.

13 Tabel 7 Perawatan kandang murai batu di MBOF Jenis perawatan Waktu Kegiatan yang dilakukan Pembersihan kandang dari feses Setiap pagi hari Menyikat dan menyemprot bagian kandang yang kotor Pembersihan tempat pakan dan minum Setiap pagi hari Menggosok tempat pakan dan minum dengan kain Penjemuran sarang Situasional Menjemur sarang di bawah sinar matahari Penggantian kayu tenggeran, tempat pakan, minum dan kawat ram Situasional Mengganti kayu tenggeran yang lapuk, mengganti tempat pakan, minum dan kawat ram yang rusak Pemberian desinfektan Satu bulan sekali Menyemprotkan daerah sekitar kandang dengan desinfektan 4. Suhu dan kelembaban kandang Hasil pengamatan suhu di dalam kandang reproduksi murai batu di MBOF berkisar antara 26-29.2 o C dengan kelembaban 90-91% (Gambar 5). Suhu ( C) 30 29 28 27 26 25 24 91.2 91 90.8 90.6 90.4 90.2 90 89.8 89.6 89.4 Kelembaban (%) Waktu Kelembaban (%) Suhu ( C) Gambar 5 Suhu dan kelembaban kandang murai batu di MBOF MacKinnon et al. (2010) menjelaskan bahwa burung murai batu umumnya terdapat di dataran rendah sampai ketinggian 1.500 m. Basuni et al. (2005) menjelaskan bahwa murai batu dapat ditemukan di hutan wisata Pananjung Pangandaran. Kawasan hutan wisata Pananjung Pangandaran memiliki rata-rata suhu udara berkisar antara 25-30 o C dengan kelembaban udara 80-90% (Supriadi dan Wicaksono 2013). Suhu dan kelembaban rata-rata kandang reproduksi murai batu di MBOF yakni 27.8 o C dan 90.7%, hal ini sama seperti suhu dan kelembaban habitat murai batu di alam yakni sebesar 25-30 o C dan 80-90%. Pengukuran suhu dan kelembaban kandang dilakukan pada kandang reproduksi

14 karena dapat mempengaruhi keberhasilan reproduksi murai batu. Kosin (1969) dalam Masy'ud (2005) menjelaskan bahwa diantara faktor yang berpengaruh terhadap daya tetas telur adalah umur induk, suhu dan kelembaban kandang. Manajemen Pakan 1. Pemberian pakan dan minum Pakan merupakan salah satu komponen habitat yang penting dan dikategorikan sebagai faktor pembatas (limiting factor) karena berpengaruh terhadap kesejahteraan, pertumbuhan serta perkembangan populasi satwa. Jenis pakan dan minum pada murai batu di MBOF dibedakan berdasarkan kelas umur dan kualitas suara burung (Tabel 8). Pemberian pakan murai batu di MBOF sesuai dengan pakan murai batu di alam. Fauzi (2014) menjelaskan murai batu di alam memakan pakan yang berasal dari makhluk hidup seperti berbagai jenis serangga, cacing atau ikan kecil. Pengelola MBOF memberi pakan utama pada murai batu berupa jangkrik dan pur. Kroto terkadang diberikan oleh pengelola, namun frekuensi pemberian kroto dilakukan secara situasional karena jumlah kroto yang sangat terbatas. Menurut Fauzi (2014) dan Untung dan Turut (1994) beberapa jenis pakan yang dapat diberikan pada murai batu di penangkaran diantaranya jangkrik, kroto, kuning telur rebus, pur, belalang dan ulat hongkong. Tabel 8 Jenis pakan dan minum murai batu di MBOF Klasifikasi murai batu Anakan dan anakan (0-2 bulan) Anakan (3-5 bulan), Remaja (5-12 bulan) Dewasa (>1 tahun) Jenis pakan Pur dan mineral kalsium yang dicairkan dengan air hangat, jangkrik Pur, jangkrik, kroto Frekuensi pemberian pakan Setiap 1 jam dari pukul 06.00-22.00 WIB Pur setiap pagi hari dan jangkrik pagi dan siang hari Pur, jangkrik, kroto 1 kali sehari pada pagi hari Jenis minum Air mineral aqua Air tanah Air tanah, air aqua (khusus yang memiliki kualitas suara yang baik) Cara pemberian pakan pada anakan yaitu dengan disuapi atau diloloh oleh pengelola menggunakan sumpit kayu sedangkan pemberian minum dengan menggunakan pipet. Cara pemberian pakan dan minum pada murai batu remaja dan dewasa yakni langsung diletakkan di tempat pakan dan minum. Komposisi pur dan mineral kalsium untuk anakan murai batu usia 0-2 bulan yakni 5 sendok makan pur dicampur dengan 1 sendok makan mineral kalsium. Pemberian jangkrik pada murai batu diberikan dengan cara menghilangkan kaki belakangnya terlebih dahulu. Jangkrik memiliki kaki belakang yang bergerigi tajam dan dapat merusak pita suara burung sehingga harus dihilangkan (Sudrajad 1999).

Soemarjoto (2003) menjelaskan pemberian jangkrik pada burung dapat membuat burung cepat dan rajin berkicau. Pemberian air minum pada murai batu berasal dari air tanah dan air mineral aqua. Air aqua diberikan pada anakan dan murai batu dewasa yang memiliki kualitas suara yang baik. Untung dan Turut (1994) menjelaskan air minum yang diberikan pada murai batu sebaiknya air matang dan harus diganti setiap hari. Pengelola MBOF selalu mengganti pakan dan minum secara rutin setiap pagi hari. 2. Jumlah konsumsi pakan Pengukuran jumlah konsumsi pakan murai batu di MBOF dilakukan pada dua jenis kandang yaitu kandang pembesaran dan reproduksi (Tabel 9). Jumlah konsumsi merupakan selisih antara pakan yang diberikan dengan sisa pakan dalam waktu 24 jam (Imran et al. 2012). Jenis pakan Tabel 9 Jumlah konsumsi pakan murai batu Kandang pembesaran Jumlah konsumsi (g/hari/ekor) Kandang reproduksi Pur 1.76 ± 0.22 1.91 ± 0.15 Jangkrik 7.14 ± 0.15 3.84 ± 0.04 Berdasarkan hasil pengukuran, jumlah konsumsi pakan tertinggi pada kedua jenis kandang adalah jangkrik yakni 7.14 g dan 3.84 g. Tingkat konsumsi jangkrik yang tinggi dikarenakan jangkrik merupakan pakan alami murai batu di alam. Murai batu tidak menyukai pur karena memiliki serat kasar yang tinggi sehingga sulit dicerna. Hifizah (2013) menjelaskan kandungan serat kasar yang tinggi pada pakan menyebabkan daya cerna pakan tersebut rendah. Konsumsi pakan pada kandang pembesaran lebih banyak dibandingkan kandang reproduksi. Banyaknya konsumsi pakan pada kandang pembesaran disebabkan karena jumlah pakan yang diberikan lebih banyak. Murai batu yang masih muda memerlukan asupan gizi yang cukup untuk memacu pertumbuhannya. 3. Kandungan gizi pakan Nilai gizi yang terkandung dalam pakan akan menentukan kualitas suatu pakan. Kandungan gizi tertinggi pada jangkrik dan pur adalah energi, sedangkan kandungan protein terbanyak terkandung dalam pur (Tabel 10). Murai batu menyukai jangkrik karena memiliki kadar air yang tinggi. Air berfungsi untuk memperlancar proses metabolisme dan fisiologi tubuh (Tillman et al. 1989). Tabel 10 Kandungan gizi pakan murai batu Nilai gizi Jangkrik (a) Pur Kadar abu (%) - 9 Kadar protein (%) 13.70 18 Serat kasar (% ) 2.90 6 Kadar lemak(%) 5.30 4 Energi (kkal) 117 4402 (b) Kadar air (%) 76 12 (a) Koswara (2002) dalam Yunanti (2012); (b) Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB 15

16 4. Konsumsi protein dan energi Konsumsi protein dan energi murai batu di MBOF penting diketahui karena mempengaruhi proses pertumbuhan dan reproduksi pada satwa. Berdasarkan hasil perhitungan, konsumsi protein dan energi murai batu di MBOF yakni 15.08% dan 1492.62 kkal (Tabel 11). Tabel 11 Konsumsi protein dan energi murai batu di MBOF Jenis pakan Protein kasar (%) Energi (kkal) Pur 5.78 1413.18 Jangkrik 9.30 79.44 Jumlah 15.08 1492.62 Protein penting bagi satwa untuk meningkatkan produktivitas telur dan meningkatkan daya tetas telur serta berpengaruh terhadap berat telur yang berguna bagi perkembangan embrio (Ketaren 2010 dan Masy'ud 2005). Menurut Soemadi dan Mutholib (1995) protein juga berguna bagi tubuh burung sebagai bahan pembangun tubuh dan pengganti jaringan yang rusak. Untung dan Turut (1994) menjelaskan bahwa energi penting bagi murai batu untuk mendukung aktivitasnya. Manajemen Kesehatan dan Perawatan Kesehatan merupakan salah satu faktor penting yang akan menentukan keberhasilan penangkaran. Jenis penyakit yang pernah diderita murai batu di MBOF diantaranya diare, berak kapur, flu, gangguan pernapasan dan katarak (Tabel 12). Tabel 12 Riwayat penyakit yang pernah diderita murai batu di MBOF Jenis penyakit Gejala Obat Diare Feses cair Tony s treasure Berak kapur Feses cair, berlendir dan berwarna Tony s treasure putih Flu Paruh dan hidung berair, bersinbersin Tony s treasure Gangguan pernapasan Paruh selalu terbuka seperti sesak Tony s treasure napas Katarak Mata berair, berwarna putih Tidak dapat diobati Segala jenis penyakit yang menyerang murai batu di MBOF diobati dengan obat yang sama yaitu tony s treasure. Tony s treasure merupakan obat yang terbuat dari berbagai jenis antibiotik yang digunakan untuk mengobati segala macam penyakit. Cara pemberian obat pada anakan murai batu yakni dengan cara menghaluskan obat terlebih dahulu kemudian dicampurkan kedalam air minum. Pada indukan obat langsung diberikan dengan cara dimasukkan ke dalam paruh murai batu. Bentuk perawatan kesehatan lainnya yaitu dengan memberikan suplemen kepada anakan dan indukan murai batu serta melakukan penjemuran pada anakan

dan indukan. Penjemuran murai batu di MBOF dilakukan setiap pagi hari sekitar pukul 07.00-09.00 WIB selama 15-30 menit. Penjemuran dilakukan untuk membantu pembentukkan vitamin D pada murai batu. Suplemen yang diberikan kepada anakan murai batu yaitu scott s emulsion. Indukan murai batu diberikan suplemen TM-Vita. Tujuan pemberian suplemen pada indukan murai batu adalah untuk menjaga stamina burung agar selalu sehat dan meningkatkan poduktivitas. Perawatan juga diberikan bagi murai batu yang mengalami susut bulu (moulting). Murai batu yang sedang mengalami susut bulu diberikan minyak ikan agar merangsang pertumbuhan bulu. Minyak ikan diberikan dengan cara diolesi pada jangkrik yang menjadi pakan murai batu. Upaya pencegahan yang dilakukan pengelola MBOF agar terhindar dari serangan penyakit adalah selalu menjaga kebersihan kandang dan memandikan burung agar tubuh burung tidak kotor. Manajemen Reproduksi Beberapa aspek reproduksi yang penting untuk diperhatikan dalam penangkaran diantaranya penentuan jenis kelamin, pemilihan induk, penjodohan, pengeraman dan penetasan serta pembesaran anakan murai batu. 1. Penentuan jenis kelamin Perbedaan jenis kelamin murai batu sangat jelas secara kasat mata. Jenis Kelamin pada murai batu dapat dibedakan melalui warna bulu, panjang ekor dan variasi suara (Tabel 13). Tabel 13 Perbedaan murai batu jantan dan betina 17 Murai batu jantan Bertubuh besar Memiliki warna bulu hitam pekat pada kepala dan punggung Warna bulu dada cokelat atau kuning tajam Memiliki ekor panjang, biasanya lebih dari 17 cm Variasi kicauan yang dimiliki lebih beragam dengan volume suara besar Sumber : Fauzi (2014) Murai batu betina Ukuran tubuh kecil Memiliki warna bulu yang pudar atau keabu-abuan. Warna bulu dada lebih pucat Ekor lebih pendek dari ekor jantan antara 10-15 cm Variasi kicauan yang dimiliki monoton dan volume suara lebih kecil Gambar 6 Sketsa murai batu: (a) jantan dewasa, (b) betina dewasa

18 Pengelola MBOF dapat menentukan jenis kelamin pada murai batu saat usia 2 bulan. Perbedaan jenis kelamin murai batu di MBOF dibedakan berdasarkan ukuran tubuh dan bulu pada sayap. Ukuran tubuh jantan lebih besar dibandingkan betina. Bulu sayap pada jantan terdapat banyak bintik-bintik coklat sedangkan bulu sayap pada betina memiliki bintik-bintik coklat yang lebih sedikit. (gambar 7). Gambar 7 Anakan murai batu usia 2 bulan: (a) jantan, (b) betina 2. Pemilihan induk Murai batu yang dijadikan indukan oleh pengelola MBOF berasal dari kandang pembesaran. Murai batu yang akan dijadikan induk dipilih yang tidak berasal dari satu keturunan. Pemilihan induk murai batu di MBOF didasarkan dengan kriteria yang tidak cacat, sudah dewasa, memiliki ukuran tubuh yang besar dan memiliki kualitas suara yang baik. Murai batu dewasa memiliki ukuran tubuh sekitar 27 cm dengan berat sekitar 32 gram (MacKinnon et al. 2010, Fauzi 2014). Perbandingan seks ratio jantan dan betina di MBOF adalah 1:1. Artinya jantan dan betina selalu dipasangkan dalam dalam satu kandang. 3. Penjodohan Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjodohkan murai batu adalah umur dan tingkat birahi pada burung. Birahi atau estrus adalah suatu periode yang terjadi pada satwa betina dewasa yang siap untuk melakukan proses reproduksi dengan satwa jantan. Birahi pada satwa digambarkan dengan perubahan kadar hormon reproduksi sehingga menyebabkan satwa betina bersifat reseptif terhadap satwa jantan (Marcondes et al. 2002). Murai batu yang dijodohkan di MBOF berusia 3 tahun pada betina dan 5 tahun pada jantan. Fauzi (2014) menjelaskan burung murai batu mencapai tingkat kedewasaan kelamin pada usia 2 tahun pada jantan dan 1 tahun pada betina. Penjodohan murai batu di MBOF dilakukan dengan cara memasukkan jantan dan betina ke dalam kandang reproduksi. Murai batu jantan yang berada di kandang reproduksi dimasukkan ke dalam sangkar dan digantung di dinding kandang, sedangkan murai batu betina dilepaskan di dalam kandang. Tanda-tanda murai batu yang berjodoh yaitu murai betina akan sering mendekati sangkar yang berisi murai jantan. Penjodohan murai batu di MBOF dapat berlangsung selama 1-2 bulan. Apabila proses penjodohan berhasil maka murai batu jantan akan dilepaskan dari sangkar dan disatukan dengan betina pada kandang reproduksi. Murai batu yang tidak berjodoh akan diganti oleh pengelola dengan murai batu betina yang lain.

4. Peneluran, pengeraman, dan penetasan telur Peneluran, pengeraman, dan penetasan telur murai batu dilakukan di dalam kandang reproduksi. Jumlah telur yang dihasilkan murai batu di MBOF umumnya 2-3 butir. Proses pengeraman telur murai batu berlangsung selama 14-15 hari. Murai batu di penangkaran MBOF dapat bertelur sebanyak 6-7 kali dalam setahun. Penetasan telur murai batu di MBOF dilakukan secara alami tanpa menggunakan mesin tetas. Menurut Fauzi (2014) beberapa faktor penyebab kegagalan dalam penetasan burung murai batu diantaranya adalah proses pembuahan yang tidak sempurna, pengeraman yang kurang bagus, kondisi lingkungan yang buruk, serta gangguan dari binatang lain. Anakan murai batu yang baru menetas akan dibiarkan di kandang dan dipelihara oleh induknya selama beberapa hari. Setelah usia 5-7 hari pengelola memisahkan anakan murai batu dan memasukkannya ke dalam kandang inkubator untuk mendapatkan perawatan. 5. Pembesaran anakan murai batu Penanganan anakan dapat dilakukan melalui dua cara yaitu secara alami dan hand rearing. Pembesaran anakan murai batu di MBOF dilakukan secara hand rearing. Semiadi (1997) menjelaskan hand rearing adalah teknik pembesaran anak satwa yang dipisahkan dari induknya kemudian dipelihara dibawah pengaruh dan tangan manusia. Pembesaran dengan cara hand rearing dilakukan oleh pengelola agar pertumbuhan anakan terkontrol dan meminimalkan terjadinya kematian pada anakan serta agar induk murai batu dapat melakukan reproduksi kembali. Anakan murai batu (Gambar 8) dipelihara di kandang inkubator hingga mencapai umur <1 bulan. Saat mencapai umur satu bulan anakan akan dipindahkan ke kandang pembesaran serta dilakukan penandaan berupa pemasangan cincin (ring) pada kaki anakan murai batu. 19 Gambar 8 Anakan murai batu Pemanfaatan Hasil Penangkaran Murai batu di MBOF Murai batu merupakan salah satu jenis burung yang popularitas dan permintaanya cukup tinggi dipasaran (Fauzi 2014). Harga jual murai batu di penangkaran MBOF bervariasi tergantung usia burung (Tabel 14). Tabel 14 Klasifikasi harga jual murai batu di MBOF Klasifikasi burung Umur Suara Harga (Rp) Anakan 1-2 bulan Belum berkicau 3 500 000-5 000 000 Dewasa reproduktif 3 tahun Belum bagus 15 000 000-20 000 000 Dewasa 3 tahun Suara sudah bagus 40 000 000-60 000 000 Dewasa (Juara) 5 tahun Suara sudah bagus >100.000.000

20 Harga yang ditawarkan pengelola MBOF sudah termasuk kandang atau sangkar. Pembeli murai batu di MBOF umumnya berasal dari Jakarta, Bogor dan luar Pulau Jawa. Pengemasan burung yang akan dijual jarak jauh yakni dengan cara memasukkan kedalam boks atau kotak yang terbuat dari triplek. Pembeli yang berasal dari Pulau Jawa burung hanya dimasukkan ke dalam kandang atau sangkar dengan ditutupi koran atau kain. Murai batu yang banyak diminati oleh pembeli biasanya murai yang masih berumur 2 bulan dan murai batu dewasa yang sudah berproduksi. Penghasilan dari hasil penjualan murai tidak tentu setiap tahunnya, namun rata-rata dalam satu tahun terjual lima ekor anakan dan lima pasang murai yang sudah berproduksi. Penghasilan juga diperoleh dari hasil mengikuti kontes burung berkicau yang diselenggarakan setiap minggu untuk kelas latihan dan setiap 3 bulan untuk acara tingkat nasional. Pendapatan yang dapat diperoleh dari setiap mengikuti kontes berkisar antara Rp 500.000-800.000 untuk kelas latihan dan Rp 5.000.000 untuk tingkat nasional. Total pendapatan yang dapat diperoleh dari hasil penjualan dan mengikuti kontes murai batu di MBOF yakni ± Rp 180.000.000/tahun. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola, murai batu yang siap untuk kontes adalah murai yang memiliki volume suara yang tinggi serta mahir dalam berkicau karena mampu menirukan berbagai jenis kicauan burung lain. Pengelola MBOF melatih murai batu dengan cara memutar rekaman kicauan burung jenis lain setiap pagi hingga sore hari. Tingkat keberhasilan penangkaran murai batu Berhasil tidaknya suatu penangkaran ditentukan oleh banyak faktor, antara lain persentase daya tetas telur, persentase perkembangbiakan induk betina dan persentase angka kematian (Tabel 15). Tabel 15 Persentase tingkat keberhasilan breeding murai batu di MBOF periode tahun 2013 dan 2014 Tingkat keberhasilan 2013 Kategori 2014 Kategori Tingkat perkembangbiakan total betina 20 21 betina yang 14 5 berkembangbiak Hasil 70% Sedang 23.81% - Daya tetas telur telur yang ditetaskan 50 17 telur yang menetas 33 14 Hasil 66% Sedang 82.35% Tinggi Tingkat kematian total anakan 33 14 anakan yang mati 11 3 Hasil 33.33% Sedang 21.43% Rendah Jumlah induk yang berkembangbiak pada tahun 2013 lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2014. Total indukan murai batu yang berhasil berkembangbiak pada tahun 2014 adalah 5 ekor dari 21 ekor. Rendahnya persentase tingkat perkembangbiakan induk pada tahun 2014 disebabkan karena

murai batu yang ditangkarkan sedang mengalami susut bulu (moulting) sehingga tidak terjadi proses reproduksi. Selain itu, penelitian hanya dilakukan sampai pada bulan Juli 2014 sehingga tingkat perkembangbiakan belum dapat dikategorikan. Susut bulu (moulting) adalah lepasnya bulu-bulu burung yang lama dan usang secara periodik dan diganti dengan bulu yang baru (Jarulis et al.2013). Besarnya tingkat perkembangbiakan pada tahun 2013 disebabkan karena indukan murai batu tidak memelihara anakannya sendiri sehingga murai batu cepat bereproduksi kembali. Berdasarkan hasil perhitungan, persentase daya tetas telur murai batu di MBOF termasuk kategori sedang dan tinggi. Tingginya persentase daya tetas telur disebabkan kualitas pakan dan kondisi kandang reproduksi sudah baik. Menurut Kosin (1969) diacu dalam Masy'ud (2005) faktor yang berpengaruh terhadap daya tetas telur adalah umur induk, suhu dan kelembaban kandang serta kualitas pakan. Pakan yang diberikan kepada murai batu di MBOF memiliki kandungan protein yang cukup tinggi. Protein berguna bagi satwa untuk meningkatkan produktivitas telur. Persentase angka kematian anakan murai batu di MBOF berada pada kategori sedang dan rendah. Rendahnya persentase tingkat kematian dikarenakan pemeliharaan anakan murai batu dilakukan secara hand rearing sehingga segala kebutuhan anakan sudah disediakan oleh pengelola. Anakan yang dirawat oleh indukan akan lebih rentan dengan kematian. Pengelola MBOF membiarkan indukan memelihara anaknya selama kurang lebih 5-7 hari kemudian anakan diangkat oleh pengelola dan dipelihara di kandang inkubator. Penilaian Kesejahteraan Murai Batu di MBOF Berdasarkan hasil penilaian kesejahteraan murai batu yang dilakukan oleh pengelola dan pengamat diperoleh hasil skor kesejahteraan murai batu di MBOF menurut pengelola adalah 69.35 dan menurut pengamat adalah 64.25 (Tabel 16). Tabel 16 Penilaian tingkat kesejahteraan murai batu di MBOF No Komponen Bobot Skoring Nilai terbobot Pt Pa Pt Pa 1 Bebas dari rasa lapar dan haus 30 3.25 3.63 97.50 108.9 2 Bebas dari rasa tidak nyaman 20 3.50 3.63 70.00 72.60 3 Bebas dari rasa sakit, penyakit, 20 3.00 3.38 60.00 67.60 luka 4 Bebas untuk berperilaku alami 15 3.25 3.38 48.75 50.70 5 Bebas dari rasa takut dan 15 3.00 3.13 45.00 46.95 tertekan Rataan 64.25 69.35 Keterangan Cukup Cukup Keterangan: Pa =Pengelola; Pt =Pengamat Hasil penilaian tingkat kesejahteraan murai batu di MBOF menunjukkan kategori tingkat kesejahteraan yang sama antara pengamat dan pengelola. Selisih rataan penilaian yang dilakukan oleh pengelola dan pengamat tidak berbeda jauh dan termasuk dalam kategori cukup. Secara keseluruhan praktik pengelolaan 21