BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Teknik Penangkaran Perkandangan Kandang merupakan salah satu syarat yang diperlukan di dalam penangkaran mambruk. Untuk membuat kandang mambruk sebaiknya tidak terlalu besar atau tidak terlalu kecil dan harus disesuaikan dengan jumlah burung yang ada atau akan direncanakan dalam penangkaran (Warsito 2010). Untuk mendapatkan kondisi seperti di habitat alaminya, terdapat beberapa persyaratan dalam memilih lokasi kandang burung antara lain (Setio & Takandjandji 2007): a. Berada pada tempat yang bebas banjir pada musim hujan. b. Jauh dari keramaian dan kebisingan. c. Berada pada tempat yang mudah diawasi dan mudah dicapai. d. Tidak terganggu oleh berbagai polusi (debu, asap, dan bau gas). e. Tidak berada pada tempat yang lembab, becek atau tergenang air karena akan menyebabkan timbulnya berbagai penyakit. f. Di dalam kandang hendaknya ditanami pohon-pohon pelindung agar terasa sejuk dan burung merasa seperti di habitat alaminya. g. Terisolasi dari pengaruh binatang atau ternak lain. h. Tersedianya sumber air yang cukup untuk minum dan mandi burung serta untuk pembersihan kandang. i. Mudah untuk mendapatkan pakan dan tidak bersaing dengan manusia Jenis dan ukuran kandang Jenis kandang mambruk victoria di MBOF merupakan jenis kandang pemeliharaan. Kandang ini dibuat secara permanen yang berbentuk persegi panjang dengan atap yang lebih tinggi agar mambruk lebih leluasa dalam pergerakan sayapnya atau terbang dan sebaiknya kandang tersebut minimal memperoleh 80% terkena sinar matahari langsung (Warsito 2010). Kandang mambruk di MBOF memiliki ukuran panjang 40 m, lebar 25 m, dan tinggi 5 m atau seluas 1000 m 2. Kandang tersebut biasa digunakan oleh mambruk untuk melakukan segala tingkah lakunya antara lain makan, minum, istirahat, kawin,

2 22 dan sebagainya. Selain itu, mambruk juga berasosiasi dengan jenis lain khususnya dalam hal makanan yakni dengan merak (Pavo sp.) dan itik mandarin (Aix galericulata Linnaeus, 1758) Konstruksi kandang Konstruksi kandang mambruk di MBOF dibuat secara permanen dengan bahan-bahan antara lain dinding tembok, besi berdiameter 5 cm, dan kawat ram sebagai atap kandang. Pembuatan dinding tembok dilakukan untuk menghindari adanya gangguan yang dapat menyebabkan ketenangan burung menjadi terganggu. Selain itu, pembangunan kandang permanen untuk pemeliharaan mambruk memiliki keunggulan yaitu segi pemakaian yang lebih tahan lama daripada kandang yang terbuat dari bahan kayu atau bambu yang hanya bertahan 3 4 tahun (Warsito 2010) Fasilitas di dalam kandang Secara umum, fasilitas yang terdapat di dalam kandang burung antara lain tempat bertengger yang terbuat dari batang pohon sehingga tampak alami dan tempat makan dan minum yang terbuat dari bahan plastik bermutu baik yang bertujuan untuk menghindari kandungan racun yang terdapat dalam plastik tersebut yang dapat mengganggu kesehatan satwa yang ditangkarkan (Dharmojono 1996, diacu dalam Nasution 2005). Beberapa fasilitas yang terdapat di dalam kandang mambruk victoria di MBOF antara lain tempat makan dan minum, tempat bertengger, tempat bersarang, dan kolam (Gambar 5). Gambar 5 Fasilitas di dalam kandang mambruk victoria, (A) tempat makan; (B) tempat minum; (C) tempat bersarang; (D) tempat bertengger; dan (E) kolam.

3 23 Selain fasilitas tersebut, di dalam kandang mambruk victoria juga terdapat beberapa tumbuhan yaitu jambu air (Syzigium sp.) dan pepaya (Carica papaya). Selain sebagai tempat berlindung bagi mambruk victoria, tumbuhan tersebut juga berguna sebagai pakan buah alami (Warsito 2010). Berdasarkan hasil pengamatan di MBOF, pengelola menyediakan ranting-ranting pohon yang sengaja diletakkan di dalam kandang agar mambruk victoria dapat membuat sarang sendiri seperti di habitat alaminya. Menurut Waluyo et al. (1993), sarang mambruk victoria di habitat alaminya berdiameter antara mm dengan kedalaman mm Perawatan dan sanitasi kandang Kebersihan kandang beserta kelengkapannya perlu diperhatikan karena termasuk ke dalam aspek perawatan kandang dan akan berhubungan dengan kesehatan burung. Menurut Setio dan Takandjandji (2007), beberapa tindakan yang diperlukan untuk merawat dan menjaga kebersihan kandang antara lain: a) Mengeruk, menyikat, dan menyapu kotoran yang melekat pada bagianbagian kandang untuk dibuang pada tempat pembuangan yang telah disediakan. b) Menyemprot atau menyiram dengan air pada bagian kandang yang telah dibersihkan secara rutin dua kali sehari. c) Menyemprot kandang dengan desinfektan secara teratur tiap sebulan sekali. Kegiatan perawatan kandang di MBOF meliputi pembersihan kandang dari feses burung, sisa-sisa makanan burung, daun-daun kering, pembersihan tempat makan dan minum burung, serta penggantian dan perbaikan kawat ram atau besi yang sudah rusak. Kegiatan pembersihan di dalam kandang dilakukan secara rutin setiap dua kali sehari. Hal ini dilakukan untuk menghindari timbulnya serangan berbagai penyakit sebagai akibat dari kandang yang kotor (Setio & Takandjandji 2007). Selain itu, perawatan tidak hanya dilakukan di dalam kandang, melainkan juga dilakukan di luar kandang. Kegiatan perawatan di luar kandang meliputi pembersihan sampah-sampah atau daun-daun kering dan perawatan tanaman di sekitar kandang agar terlihat lebih indah. Berdasarkan hasil pengamatan di MBOF, alat-alat yang digunakan dalam merawat dan

4 24 membersihkan kandang antara lain sapu lidi, pengki, gunting rumput, karung, gerobak dorong, selang air, dan sikat Suhu dan kelembaban kandang Berdasarkan hasil pengamatan, suhu di dalam kandang mambruk victoria di MBOF berkisar antara o C yang dapat dilihat pada Gambar 6. Suhu ( o C) Waktu (WIB) Gambar 6 Grafik suhu dalam kandang mambruk victoria. Selain itu, kelembaban udara di dalam kandang mambruk victoria di MBOF berkisar antara 57 78% yang dapat dilihat pada Gambar 7. Kelembaban (%) Waktu (WIB) Gambar 7 Grafik kelembaban udara dalam kandang mambruk victoria. Berdasarkan hasil pengamatan, suhu dalam kandang mambruk victoria tergolong tinggi dengan kelembaban udara yang rendah jika dibandingkan dengan kondisi suhu dan kelembaban udara yang sangat disukai mambruk victoria di habitat alaminya yakni dengan suhu sekitar o C dan memiliki kelembaban

5 25 udara sekitar 80 90% (Warsito 2010). Menurut Notanubun (2002) dan Tribisono (2002), mambruk pada umumnya senang hidup pada bagian hutan yang memiliki pohon besar dan terdapat sumber air dengan suhu berkisar antara o C dan kelembaban udara berkisar antara 80 92% serta pada ketinggian mdpl. Suhu dan kelembaban udara dalam kandang mambruk victoria di MBOF yang berbeda dengan habitat alaminya lebih dikarenakan kondisi kandang yang lebih terbuka. Selain itu, vegetasi di dalam kandang mambruk victoria sangat sedikit dan hanya memiliki tinggi sekitar 2 3 meter. Menurut Warsito (2010), meskipun mambruk victoria menyukai daerah yang lembab, sinar matahari tetap diperlukan untuk menghangatkan tubuhnya dan hal ini sesuai dengan kondisi kandang mambruk victoria yang terdapat di MBOF yang terbuka sekitar 80% dan mendapatkan sinar matahari langsung Kesehatan Burung mambruk victoria yang terdapat di dalam penangkaran dapat terjangkiti penyakit apabila pemeliharaan dan perawatan yang dilakukan kurang baik, sehingga perlu diberikan obat-obatan dan vitamin yang dibutuhkan oleh mambruk victoria yang dipelihara di penangkaran. Berdasarkan hasil pengamatan, sejak pertama kali didatangkan pada tahun 2005 hingga pertengahan tahun 2011, mambruk victoria yang terdapat di MBOF pernah terjangkiti beberapa penyakit yaitu CRD (Chronic Respiratory Disease), cacingan, dan kaki bengkak. Menurut Sauvani (2008), diacu dalam Warsito (2010), gejala klinis, penyebab, pengendalian, dan pengobatan dari penyakit CRD (Cronic Respiratory Disease) dan penyakit cacingan yang biasa diderita oleh mambruk victoria yaitu: 1. CRD (Chronic Respiratory Disease) a) Gejala: Mambruk seperti menderita pilek atau flu (keluar lendir melalui hidung) yang disertai ngorok dan sulit untuk bernafas. b) Penyebab: Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycoplasma galisepticum yang dapat mengakibatkan kekurusan pada satwa dan keluarnya cairan bernanah pada hidung (Pusat Kesehatan Hewan 2008).

6 26 c) Pengendalian: Pengendalian dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan kandang, pakan, air minum, dan alat sanitasi kandang. d) Pengobatan: Pengobatan biasanya dilakukan dengan cara memberikan Tetra chlorine capsule melalui oral dengan dosis dua kali sehari berturutturut selama sakit atau menggunakan antibiotik seperti Tylocin atau Mitraflox-12 yang dilarutkan di dalam air minum. 2. Cacingan a) Gejala: Mambruk mengalami mencret yang disertai lendir yang berwarna putih mirip berak kapur. Gejala lebih lanjut adalah mambruk tampak kurus, lemah dan lesu, nafsu makan berkurang, jambul atau mahkota tidak berdiri tegak, dan apabila mengeluarkan kotoran (feses) akan keluar cacing. b) Penyebab: Penyakit ini disebabkan oleh Cestoda (cacing pita), Nematoda (cacing askaris), dan cacing mata akibat sanitasi kandang yang buruk atau kandang yang terlalu lembab. Serangan parasit ini dapat menyebabkan radang usus dan dapat merusak mata. c) Pengendalian: Pengendalian dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan kandang, pakan, air minum, dan alat sanitasi kandang. d) Pengobatan: Pengobatan untuk serangan cacing mata dapat dilakukan dengan cara memberikan Kreolin 5% yang diteteskan pada mata, sedangkan untuk serangan cacing pita dapat menggunakan Dichloropen dengan dosis 300mg/kg dan di N butyl laurat 500 mg/kg. Sementara itu, untuk serangan cacing askaris dapat menggunakan Piperazin, Hygromycin B, Vermixon atau Nethyridine dengan dosis mg/100 ml air minum.

7 27 Untuk penyakit kaki bengkak, pengelola MBOF biasanya mengobati dengan menggunakan salep Thrombophob dengan cara mengoleskan pada kaki mambruk selama kaki bengkak hingga kaki kembali seperti semula. Kaki bengkak biasanya disebabkan oleh kaki mambruk yang terjepit atau keseleo. Selain itu, pengelola MBOF juga memberikan vitamin berupa kurkumavit dengan dosis 1g/2 liter air minum dengan waktu pemberian setiap lima hari sekali yang dicampurkan ke dalam air minum. Pemberian vitamin bertujuan untuk menambah nafsu makan mambruk dan meningkatkan stamina mambruk sehingga mambruk menjadi cukup kuat, segar, dan sehat (Warsito 2010) Pengaturan reproduksi Reproduksi merupakan kunci keberhasilan dalam penangkaran untuk meningkatkan populasi dan produktivitas, sehingga memiliki pengetahuan tentang biologi dan perilaku reproduksi jenis satwa yang ditangkarkan sangat penting karena dapat memberikan arah pada tindakan manajemen yang diperlukan untuk menghasilkan produksi satwa yang ditangkarkan sesuai dengan harapan (Setio & Takandjandji 2007). Kegiatan pengelolaan reproduksi yang dilakukan oleh pengelola MBOF antara lain sumber dan jumlah bibit, penentuan jenis kelamin, pemilihan bibit untuk dijadikan sebagai indukan, teknik penjodohan, pembesaran piyik atau anakan yang baru menetas, dan tingkat keberhasilan breeding Sumber dan jumlah bibit Sumber bibit burung mambruk victoria (Goura victoria Fraser, 1844) yang terdapat di Mega Bird and Orchid Farm (MBOF) berasal dari Papua yang diambil langsung dari alam atau hutan. Burung tersebut pertama kali didatangkan pada tahun 2005 sebanyak satu pasang. Berdasarkan hasil pengamatan, populasi mambruk victoria di MBOF sampai pertengahan tahun 2011 adalah lima ekor yang terdiri dari dua individu jantan dan tiga individu betina. Berdasarkan kondisi populasi tersebut, untuk kelas umur dewasa atau indukan sebanyak dua ekor yang terdiri dari satu individu jantan dan satu individu betina, sedangkan untuk kelas umur remaja sebanyak tiga ekor yang terdiri dari satu individu jantan dan dua individu betina.

8 28 Jumlah individu mambruk victoria di MBOF sampai pertengahan tahun 2011 tergolong sedikit. Hal ini disebabkan sulitnya mambruk victoria dalam menghasilkan telur karena telur yang dihasilkan dalam satu musim perkawinan atau tiap tahunnya hanya 1 2 butir telur (Warsito 2010). Selain itu, penyebab lain sedikitnya jumlah individu mambruk victoria di MBOF adalah terganggunya proses perkawinan mambruk victoria karena adanya burung merak (Pavo sp.). Burung merak di lokasi tersebut cukup mendominasi sehingga proses perkawinan (kopulasi) mambruk victoria sulit terjadi. Hal ini ditunjukkan dengan dirusaknya sarang mambruk yang terdiri dari ranting-ranting pohon oleh burung merak ketika mambruk akan membuat sarang Penentuan jenis kelamin Menurut Wahyuningsih (1991), diacu dalam Notanubun (2002) dan Rumbino (1997), burung jantan dan burung betina mambruk victoria dapat dibedakan dari bentuk tubuh, bagian atas kepala, dan ukuran paruh. Burung jantan memiliki bentuk tubuh yang membulat, sedangkan pada burung betina memiliki bentuk tubuh yang agak memanjang dengan bagian atas kepala pada burung jantan agak melengkung dan pada burung betina agak mendatar, sedangkan untuk ukuran paruh, pada burung jantan memiliki ukuran paruh yang besar dan agak panjang, sedangkan pada burung betina memiliki ukuran paruh yang kecil dan agak pendek. Perbedaan ukuran tubuh mambruk victoria jantan dan mambruk victoria betina yang terdapat di MBOF dapat dilihat pada Tabel 5, Gambar 8, dan Lampiran 4. Tabel 5 Perbandingan ukuran tubuh mambruk victoria jantan dan betina di MBOF No. Indikator Ukuran tubuh Jantan Betina 1 Panjang badan (cm) Lingkar badan (cm) Panjang paruh (cm) 5,35 4,85 4 Tinggi mahkota (cm) Panjang kaki (cm) Panjang ekor (cm) Rentang sayap (cm) 48 45

9 29 Gambar 8 Mambruk victoria betina (A) dan mambruk victoria jantan (B) di MBOF Berdasarkan hasil pengukuran terhadap mambruk victoria yang terdapat di MBOF, terdapat perbedaan ukuran morfologi tubuh mambruk victoria jantan dan mambruk victoria betina. Individu jantan memiliki ukuran mahkota yang lebih besar dan lebih tegak, memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dan lebih bulat, dan memiliki perilaku yang lebih agresif dibandingkan dengan individu betina. Jika dilihat dari ukurannya, sifat morfologi tersebut tidak hanya dipegaruhi oleh genetik tetapi juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan tempat satwa tersebut hidup seperti iklim, makanan, dan sebagainya (Notanubun 2002) Pemilihan induk dan teknik penjodohan Pemilihan induk yang baik dan dapat dijadikan sebagai bibit atau induk produktif juga termasuk salah satu teknik dalam menangkarkan mambruk. Menurut Warsito (2010), beberapa langkah untuk mendapatkan induk produktif, antara lain: 1. Burung dewasa yang sehat dengan usia 1 1,5 tahun. 2. Memiliki bulu badan halus (tidak kusam), warna cerah dan bersih, serta bulu ekor tidak rebah ke tanah. 3. Memiliki mata yang terang, jernih, dan agak menonjol ke luar. 4. Memiliki jambul (mahkota) yang berdiri tegak dan tidak lemah atau rebah ke samping atau ke belakang. 5. Mempunyai nafsu makan yang tinggi. 6. Memiliki gerakan yang lincah yang tampak pada saat lari, berjalan, maupun akan terbang.

10 30 Pemilihan indukan mambruk victoria oleh pengelola MBOF dilakukan dengan cara memilih indukan yang sehat, tidak cacat, dan terhindar dari penyakit. Selain itu, proses penjodohan indukan mambruk victoria yang dilakukan oleh pengelola di MBOF adalah dengan cara membiarkan indukan mambruk tersebut melakukan perkawinan sendiri di dalam kandang. Usia indukan siap kawin (minimum breeding age) pada mambruk victoria berkisar antara umur 1 1,5 tahun atau bulan (Warsito 2010; Kiman 1979, diacu dalam Indasari 2001). Selain itu, mambruk victoria merupakan jenis burung yang menganut pola perkawinan monogami (tidak berganti pasangan) dengan proses perkawinan yang terjadi sepanjang tahun dengan intensitas perkawinan tertinggi terjadi pada bulan April Juli dan bulan November Maret (Warsito 2010) Pengaturan peneluran dan penetasan Setelah melakukan perkawinan, burung jantan dan betina biasanya selalu bersama atau beriringan tanpa terganggu oleh kehadiran burung mambruk lainnya (Warsito 2010). Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola MBOF, musim bertelur mambruk victoria di MBOF biasa terjadi pada bulan Juli Agustus dengan telur yang dihasilkan setiap satu kali musim kawin adalah sebanyak satu butir telur. Hal ini sesuai dengan pendapat Warsito (2010) dan Waluyo et al. (1993) yang menyatakan bahwa telur yang dihasilkan oleh indukan betina mambruk victoria selama musim perkawinan sebanyak satu butir telur dengan ukuran 55 mm 38 mm. Namun sampai pertengahan tahun 2011, jumlah individu mambruk victoria sejak pertama kali datang di MBOF pada tahun 2005 hanya berjumlah lima ekor. Hal ini dikarenakan dalam proses pengeraman, mambruk victoria mengalami banyak gangguan, baik gangguan dari mambruk lainnya (mambruk cristata) maupun dari burung jenis lain yakni burung merak (Pavo sp.). Hal ini sesuai dengan pendapat Waluyo et al. (1993) yang menyatakan bahwa apabila induk mambruk yang sedang mengerami telur mendapatkan gangguan akan berdampak pada induk mambruk yang akan meninggalkan sarangnya, sehingga proses pengeraman akan terganggu dan akan menyebabkan telur tersebut tidak akan menetas.

11 31 Di MBOF, penetasan telur mambruk victoria juga dilakukan secara alami oleh indukan dan tidak menggunakan mesin tetas. Menurut Warsito (2010) dan Waluyo et al. (1993), masa pengeraman telur mambruk victoria rata-rata hari dengan proses pengeraman yang dilakukan secara bergantian oleh induk jantan maupun induk betina Pengasuhan atau pembesaran piyik Proses pengasuhan dan pembesaran anakan mambruk di MBOF dilakukan dengan cara pengelola membiarkan induk mambruk mengasuh dan membesarkan anaknya sendiri secara alami. Proses pengasuhan anakan mambruk biasanya dilakukan oleh induk jantan dan induk betina yang bergantian menyuapi anaknya sampai anakan tersebut berumur tiga bulan dan pada umur tersebut, bulu anakan mambruk victoria sudah berubah seperti induknya (Waluyo et al. 1993). Menurut Warsito (2010), anakan mambruk victoria dijaga dan diasuh secara bersama-sama oleh kedua induknya. Secara naluriah, anakan mambruk dilatih untuk mencari makan dengan cara mengais tanah atau mematuk-matuk. Setelah anakan mencapai usia dewasa (umur 8 10 bulan), secara alamiah indukan mambruk akan berjalan sendiri seakan mau memisahkan sendiri dengan anaknya dan pada akhirnya kedua indukan mambruk victoria sudah dapat berkembang biak lagi Tingkat keberhasilan breeding Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola di MBOF mengenai tingkat keberhasilan breeding mambruk victoria, dapat diketahui bahwa sejak tahun 2005 hingga pertengahan tahun 2011, indukan mambruk victoria di lokasi tersebut telah menghasilkan enam telur. Namun dari keenam telur tersebut, hanya tiga butir telur yang berhasil menetas dan mampu hidup hingga mencapai usia dewasa pada saat ini. Tingkat keberhasilan breeding pada mambruk victoria di MBOF dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Persentase tingkat keberhasilan breeding pada mambruk victoria di MBOF No. Indikator Persentase (%) Kriteria 1 Daya tetas telur 50 sedang 2 Angka kematian 0 rendah 3 Tingkat perkembangbiakan 100 tinggi

12 32 Berdasarkan informasi tersebut, dapat diketahui bahwa persentase daya tetas telur adalah 50% dengan jenis kelamin jantan sebanyak satu individu dan jenis kelamin betina sebanyak dua individu. Nilai persentase tersebut menunjukkan bahwa daya tetas telur mambruk victoria di MBOF tergolong sedang karena dalam proses pengeraman, indukan mambruk victoria sering mengalami berbagai gangguan dari satwa lain yakni adanya burung merak yang dikumpulkan dalam satu kandang dengan mambruk victoria sehingga terdapat telur yang tidak menetas. Hal ini sesuai dengan pendapat Waluyo et al. (1993) yang menyatakan bahwa apabila induk mambruk yang sedang mengerami telur mendapatkan gangguan akan berdampak pada induk mambruk yang akan meninggalkan sarangnya, sehingga proses pengeraman akan terganggu dan akan menyebabkan telur tersebut tidak akan menetas. Untuk persentase kematian adalah 0% karena sejak tahun 2005 hingga pertengahan tahun 2011 belum ada anakan mambruk yang mati. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kematian mambruk victoria di MBOF tergolong rendah. Selain itu, untuk untuk persentase tingkat perkembangbiakan mambruk victoria di MBOF adalah sebesar 100%. Nilai persentase tersebut menunjukkan bahwa tingkat perkembangbiakan mambruk victoria di MBOF tergolong tinggi karena dari total indukan yang ada yang terdiri dari satu pasang indukan (jantan dan betina), hanya satu pasang indukan tersebut yang berhasil melakukan perkawinan dan mampu bertelur hingga menghasilkan tiga ekor anak yang berhasil hidup sampai saat ini Pakan Salah satu aspek yang penting dalam pemeliharaan burung adalah penyediaan pakan. Di alam bebas, burung dapat memenuhi kebutuhan gizinya sendiri dengan memanfaatkan makanan yang tersedia di alam, sedangkan jika telah dipelihara oleh manusia, ruang gerak burung akan dibatasi oleh kandang atau sangkar dan untuk memenuhi kebutuhan gizinya, burung hanya mengandalkan makanan yang diberikan oleh pemeliharanya (Soemadi & Mutholib 1995).

13 Jenis pakan Jenis pakan yang biasa dimakan oleh mambruk victoria di habitat alaminya berupa buah-buahan hutan yang jatuh seperti buah pohon beringin, jambu hutan, dan kenari (Notanubun 2002). Jenis pakan utama mambruk victoria yang diberikan oleh pengelola MBOF terdiri dari beras merah, jagung giling kuning, kacang hijau, dan beras menir (Gambar 9). Selain itu, mambruk victoria juga diberikan pakan tambahan berupa sayuran yang terdiri dari sawi, tauge kacang hijau, daun pepaya, dan jagung muda kuning (Gambar 10). Menurut Handini et al. (1992), mambruk victoria menyukai pakan dalam bentuk butiran yang sudah dipecahkan dan tidak menyukai bahan pakan berbentuk tepung tetapi juga menerima bahan pakan berbentuk pelet. Gambar 9 Jenis pakan utama mambruk victoria di MBOF yang terdiri dari (A) beras merah; (B) beras menir; dan (C) jagung giling kuning. Gambar 10 Jenis pakan tambahan mambruk victoria di MBOF yang terdiri dari campuran jagung muda kuning, sawi, daun pepaya, dan tauge kacang hijau.

14 34 Dari jenis pakan utama yang diberikan oleh pengelola MBOF terhadap mambruk victoria, pakan yang sering dimakan oleh mambruk adalah jenis jagung giling kuning, beras merah, kacang hijau, dan beras menir. Mambruk victoria di lokasi tersebut kurang menyukai pakan yang berbentuk pur. Menurut Handini et al. (1992), mambruk yang dikandangkan biasanya lebih menyukai pakan dalam betuk butiran yang sudah dipecahkan seperti jagung pecah, tauge kacang hijau, ulat, dan kelapa iris. Pakan berupa pelet atau pur biasanya sangat diperlukan bagi perkembangan anakan mambruk yang masih berusia beberapa hari (Warsito 2010) Jumlah pakan yang diberikan Pakan yang terdapat di kandang pemeliharaan diberikan oleh pengelola MBOF tidak hanya untuk mambruk victoria saja, melainkan untuk semua individu atau untuk semua jenis burung yang dipelihara dalam satu kandang dengan mambruk victoria. Jumlah pakan utama yang diberikan di MBOF setiap harinya berkisar g, sedangkan untuk jumlah pakan tambahan berkisar g atau dengan jumlah total pakan yang diberikan berkisar g. Berdasarkan jumlah pakan yang diberikan (baik pakan utama maupun pakan tambahan), mambruk victoria di MBOF mampu menghabiskan pakan sebanyak 41,28 g/ekor/hari dengan asumsi bahwa dari total pakan yang diberikan oleh pengelola, pakan tersebut dihabiskan oleh semua individu yang terdapat di dalam kandang tersebut dalam jumlah yang sama (Tabel 7). Tabel 7 Persentase jumlah pakan yang diberikan pada mambruk victoria di MBOF No. Jenis bahan pakan Jumlah (g) Persentase (%) 1 Beras merah 5,16 12,5 2 Jagung giling kuning 5,16 12,5 3 Kacang hijau 5,16 12,5 4 Beras menir 5,16 12,5 5 Sawi 5,16 12,5 6 Tauge kacang hijau 5,16 12,5 7 Daun pepaya 5,16 12,5 8 Jagung muda kuning 5,16 12,5 Jumlah 41,28 100

15 Kandungan gizi pakan Hal yang harus diperhatikan dalam penyediaan pakan burung adalah kandungan gizi, jenis pakan yang disukai, dan tidak membosankan bagi burung. Menurut Soemadi dan Mutholib (1995), kandungan gizi yang kurang akan menyebabkan kondisi kesehatan burung menurun dan dapat menyebabkan penampilan burung menjadi kurang menarik. Namun, jika kelebihan gizi juga akan berpengaruh tidak baik pada kesehatan burung yakni dapat menyebabkan kegemukan sehingga burung terlihat lamban dan malas. Secara umum, kandungan dan peranan zat-zat makanan yang terdapat dalam pakan burung meliputi (Soemadi & Mutholib 1995; Widodo 1995): 1) Energi Sebagian besar, energi digunakan untuk kebutuhan hidup pokok yang meliputi berbagai tingkah laku burung sehari-hari. Energi bisa dihasilkan dari karbohidrat maupun lemak. Peranan karbohidrat selain sebagai sumber energi adalah untuk membakar lemak, membantu memperkecil oksidasi protein menjadi energi, dan memelihara fungsi alat pencernaan makanan agar berjalan normal. Selain energi yang dihasilkan oleh karbohidrat, energi juga dihasilkan dari lemak. Selain sebagai sumber energi, lemak juga berperan untuk mengatur suhu tubuh, melindungi organ tubuh, membawa vitamin (A, D, E, K), membawa asam lemak esensial, dan sebagai bahan baku pembentukan hormon steroid. 2) Protein Protein yang dibutuhkan burung berbeda-beda tergantung dari berbagai faktor yang mempengaruhinya yaitu suhu lingkungan, umur, jenis spesies, kandungan asam amino, dan bobot badan. Dalam tubuh burung, protein memiliki peranan sebagai bahan pembangun tubuh, pengganti sel-sel tubuh yang telah rusak, bahan baku pembentukan enzim, hormon, dan antibodi serta sebagai pengatur peredaran cairan tubuh dan zat yang larut di dalamnya.

16 36 3) Vitamin Vitamin memiliki peran sebagai mediator dalam sintesis atau degradasi suatu zat tanpa ikut menyusun zat yang disintesis atau dipecah serta sebagai pemeliharaan dan pertumbuhan jaringan dalam tubuh burung. 4) Mineral Secara umum, peranan mineral adalah untuk memelihara kondisi ionik dalam tubuh, memelihara keseimbangan asam basa tubuh, memelihara tekanan osmotik cairan tubuh, dan menjaga kepekaan otot dan syaraf. 5) Air Air memiliki peranan yang sangat penting dalam tubuh yakni sebagai komponen penyusun darah dan cairan limfa yang merupakan organ vital dalam proses kehidupan, sebagai media pengangkut zat-zat makanan dalam proses metabolisme, sebagai bahan pelembut bahan makanan, dan sebagai stabilisator suhu tubuh. Dari total pakan yang diberikan oleh pengelola MBOF untuk semua jenis burung yang terdapat di dalam kandang pemeliharaan, mambruk victoria mampu menghabiskan jumlah pakan sebanyak 41,28 g/ekor/hari. Berdasarkan pakan yang diberikan, terdapat delapan jenis bahan penyusun pakan yang memiliki kandungan gizi yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil perhitungan kandungan gizi pada pakan mambruk victoria di MBOF, kandungan energi yang terdapat pada pakan mambruk victoria di MBOF adalah sebesar 1.257,34 kkal/ekor/hari dengan kandungan protein sebesar 5,72% (Tabel 8). Berdasarkan jumlah kebutuhan energi minimum pada unggas yakni sebesar kkal dan protein minimum pada unggas yakni sebesar 10 30%, maka jumlah kandungan energi pada pakan mambruk victoria di MBOF masih kurang (Widodo 1995; Sudarwo & Siriwa 1999). Oleh karena itu, perlu dibuat suatu formulasi pakan bagi mambruk victoria yang terdapat di MBOF. Jenis bahan pakan yang digunakan dalam penyusunan formulasi pakan bagi mambruk victoria di MBOF antara lain jagung (41 g), kacang hijau (25 g), buah kenari (15 g), bungkil kedelai (15 g), sawi (10 g), dan belalang (5 g), sehingga berat total bahan pakan yang digunakan dalam penyusunan formulasi pakan bagi

17 37 mambruk victoria adalah 111 g. Kandungan gizi dari formulasi pakan yang dibuat untuk mambruk victoria di MBOF dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 8 Kandungan gizi pakan mambruk victoria di MBOF No. Jenis Bahan Pakan Energi (kkal) Protein (%) Lemak (%) Kandungan Zat Gizi Kalsium (%) Fosfor (%) Kadar abu (%) Serat kasar (%) Kadar air (%) 1 Beras Merah 159,96 0, Jagung giling 95,72 0,86 0,37 0,25 0,04 0,80 0,34-3 Kacang hijau 121,26 1,15 0,01 1,68 1,73 0,02 0, Beras menir 137,26 0, , Sawi 161,66 1,28 0,02 4,94 2,06 0,04 0, Tauge 6 kacang hijau 192,83 0,15 0, Daun pepaya 211,66 0,87 0,44 0,24 0,02 0,64 0,84-8 Jagung 176,99 0,46 0,20 0 0,01 0,12 0, Total 1.257,34 5,72 1,05 7,11 3,86 1,61 1,51 10,48 Sumber: Abun (2006); Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia (2010); Widodo (1995). Tabel 9 Kandungan gizi formulasi pakan untuk mambruk victoria di MBOF No. Jenis Bahan Pakan Energi (kkal) Protein (%) Lemak (%) Kandungan Zat Gizi Kalsium (%) Fosfor (%) Kadar abu (%) Serat kasar (%) Kadar air (%) 1 Jagung 1816,30 3,69 1,60 0,01 0,04 0,92 0,82 2,61 2 Kacang hijau 587,50 6,00 0,05 8,14 8,36 0,07 0,30 10,16 3 Buah kenari 98,10 2,23 5,74 6,62 23,36 0,42 0,45 0,27 4 Belalang 21,00 3,11 0, ,12 0,35 5 Sawi 313,30 2,49 0,03 9,58 4,00 0,08 0,31 8,86 6 Bungkil kedelai 334,50 6,90 0,14 0,08 0,10 0,73 1,10 1,28 Total 3.170,70 24,42 8,08 24,42 35,85 2,22 3,10 23,53 Sumber: Abun (2006); Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia (2010); Widodo (1995). Dari hasil penyusunan formulasi pakan mambruk di MBOF diperoleh hasil total energi sebesar 3.170,70 kkal/ekor/hari dengan kandungan protein sebesar 24,42%. Kandungan lemak pada pakan mambruk victoria yang biasa diberikan oleh pengelola adalah 1,05%, sedangkan kandungan lemak pada formulasi pakan adalah 8,08%. Kandungan lemak tersebut masih masuk dalam standar kebutuhan lemak pada pakan unggas yaitu batas maksimum kebutuhan lemak pada pakan unggas adalah sebesar 10% dari total pakan yang diberikan (Waluyo et al. 1993).

18 Pemanfaatan atau pengelolaan hasil Menurut Warsito (2010), perdagangan mambruk victoria merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat di Papua. Hal ini dikarenakan selain sebagai sumber protein, burung ini juga memiliki keindahan morfologis berupa mahkota yang indah dan keunikan tingkah laku yang menjadi daya tarik tersendiri bagi kolektor burung (Tribisono 2002). Namun, permintaan dan harga yang cukup tinggi menyebabkan perdagangan secara ilegal tetap marak terjadi (Warsito 2010). Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola MBOF, mambruk victoria di lokasi tersebut diperoleh dari kolektor burung dengan harga + Rp ,00 per pasang. Oleh pengelola MBOF, harga tersebut mengalami kenaikan jika ada pembeli yang berminat untuk membelinya. Pengelola MBOF memberikan harga sekitar + Rp ,00 tiap pasang mambruk victoria dan harga tersebut belum ditambah dengan biaya pengiriman. Namun, sampai saat ini masih belum ada calon pembeli yang berminat untuk membeli mambruk victoria hasil penangkaran di MBOF. Di lokasi tersebut, calon pembeli masih lebih tertarik pada jenis burung lain selain mambruk seperti jalak bali, murai batu, dan cucak rawa. Namun jika melihat harga jual mambruk victoria di Indonesia, harga tersebut masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan harga jual mambruk victoria di luar negeri. Menurut Brancato (2004), harga jual mambruk di luar negeri bisa mencapai US$. Jika terdapat calon pembeli yang berminat untuk membeli mambruk victoria di MBOF, pengelola biasanya memperlakukan burung yang akan dijual sama seperti burung-burung lainnya yang telah terjual seperti jalak bali, murai batu atau cucak rawa. Penanganan terhadap mambruk victoria yang akan dijual adalah burung tersebut akan dipisahkan dari kelompoknya dan diletakkan dalam satu kandang tersendiri. Setelah itu, pengelola biasanya akan mengurus surat-surat pengiriman dan akta kelahiran ke Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA). Setelah mendapatkan surat-surat dari Dirjen PHKA, burung yang siap dijual dimasukkan ke dalam boks atau kotak yang terbuat dari triplek. Untuk calon pembeli di Pulau Jawa, pengelola biasanya mengantar langsung burung yang dibeli ke rumah calon pembeli. Hal ini selain

19 39 untuk mengurangi resiko selama pengiriman, calon pembeli biasanya juga meminta untuk diantar langsung (khusus untuk Pulau Jawa). Namun, jika terdapat pembeli dari luar Pulau Jawa, pengelola MBOF biasanya menggunakan jasa pengiriman atau kargo. Hal ini dilakukan untuk menghemat biaya pengeluaran (biaya pengiriman) yang dikeluarkan oleh pengelola MBOF karena biaya pengiriman yang dikeluarkan jika menggunakan jasa pengiriman kargo lebih kecil jika dibandingkan dengan pengelola yang harus mengantarkan sendiri burung yang sudah terjual ke rumah pembeli yang berada di luar Pulau Jawa Teknik adaptasi satwa Selain kegiatan pemeliharaan, pembersihan di dalam dan di luar kandang, serta pengobatan dan penanggulangan penyakit, kegiatan pengelolaan penangkaran yang lain yang juga dilakukan oleh pengelola di MBOF adalah kegiatan adaptasi satwa. Proses adaptasi satwa bagi mambruk victoria yang terdapat di MBOF adalah mambruk victoria yang baru datang diletakkan di dalam satu kandang terpisah (kandang karantina) untuk menghindari mambruk tersebut menjadi stress. Lama proses adaptasi mambruk victoria yang sudah pernah dilakukan oleh pengelola di MBOF sekitar dua minggu. Menurut Warsito (2010), untuk perlakuan pada mambruk yang di karantina, pada hari pertama hingga hari kelima kandang karantina ditutup dengan kain berwarna gelap untuk mengurangi cahaya dan gangguan di sekitarnya. Selanjutnya, pada hari berikutnya secara bertahap kain tersebut dibuka dari % untuk mendapatkan cahaya. Pembukaan kain diawali dari bagian atas kandang hingga dibuka pada bagian dinding kandang. Perlakuan ini dapat dilakukan hingga minggu ketiga atau perilaku mambruk menjadi lebih tenang. Perlakuan yang diberikan oleh pengelola MBOF terhadap mambruk victoria yang sedang berada di dalam kandang karantina adalah sama seperti perlakuan pada burung lainnya yakni pemberian makan dan minum serta pemberian vitamin dan obat-obatan untuk mencegah mambruk yang terdapat di dalam kandang karantina terserang penyakit.

20 Faktor Penunjang Keberhasilan dalam Kegiatan Pengelolaan Penangkaran di MBOF Menurut Setio dan Takandjandji (2007), dalam penangkaran burung terutama dalam hal pengadaan dan pemeliharaannya, perlu memperhatikan tata cara dan peraturan yang berlaku yang dapat mengacu kepada peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan PP No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar. Apabila dalam suatu penangkaran belum terdapat Standar Operasional Prosedur (SOP) mengenai pengadaan dan pemeliharaan satwa yang akan ditangkarkan, maka pengelola bisa membuat peraturan sendiri SOP tersebut. Hal ini yang dilakukan oleh pengelola MBOF dalam menangkarkan burung, khususnya mambruk victoria di lokasi tersebut. Pengelola MBOF membuat sendiri peraturan dalam hal pengadaan dan pemeliharaan burung-burung yang ditangkarkan. Namun SOP yang dibuat oleh pengelola MBOF tidak secara tertulis, melainkan secara lisan yang disampaikan langsung oleh manajer MBOF kepada karyawan yang bekerja langsung dalam mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan perawatan dan pemeliharaan burung yang ditangkarkan di MBOF. Penerapan SOP dalam kegiatan pengelolaan penangkaran dimaksudkan agar burung yang dipelihara dapat hidup dan berkembang biak dengan baik serta menjaga lingkungan tetap sehat dan bersih dari segala sumber penyakit (Setio & Takandjandji 2007). SOP yang dibuat oleh pengelola MBOF meliputi tatacara pengadaan dan pengiriman burung, penerimaan dan karantina burung, adaptasi dan penempatan burung, pengelolaan pakan dan obat-obatan, sanitasi kandang dan lingkungan serta pengelolaan kesehatan dan pengendalian penyakit. Pengelolaan penangkaran yang dilakukan di MBOF dengan mengacu pada SOP yang telah ada membuat kegiatan penangkaran di lokasi tersebut cukup baik dan teratur, sehingga burung-burung yang ditangkarkan di MBOF dapat hidup dan berkembang biak dengan baik. Oleh karena itu, selain adanya SOP yang merupakan suatu peraturan yang telah dibuat oleh pengelola MBOF dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan penangkaran, beberapa hal yang menjadi faktor penunjang keberhasilan dalam kegiatan pengelolaan penangkaran di MBOF antara lain:

21 41 a. Letak kandang yang jauh dari kebisingan dan gangguan manusia. b. Kebersihan, keamanan, dan perawatan kandang yang selalu terjaga. c. Pakan yang rutin diberikan tiap pagi dan sore hari. d. Pemberian obat dan vitamin secara rutin untuk menjaga kesehatan dan mencegah terserangnya penyakit pada burung yang ditangkarkan. e. Menjaga kemurnian genetik dan menghindari terjadinya inbreeding. 5.3 Aktivitas Harian Alokasi waktu aktivitas harian mambruk victoria Mambruk merupakan salah satu burung yang memiliki perilaku unik, dimana aktivitas harian lebih banyak dilakukan di lantai hutan atau tanah untuk mencari makan, bermain, dan kawin (Warsito 2010). Jika dilihat dari alokasi waktu aktivitas harian mambruk victoria di MBOF, aktivitas harian mambruk victoria di lokasi tersebut lebih banyak dilakukan di atas tanah daripada di atas pohon atau tempat bertengger (Tabel 10). Tabel 10 Alokasi waktu aktivitas harian mambruk victoria di MBOF No. Jenis Tingkah Laku Jantan Betina Menit/hari % Menit/hari % 1 Berjalan 42,98 7,16 54,67 9,11 2 Memanggil 0,97 0,16 0,23 0,04 3 Membuang kotoran 0,12 0,02 0,12 0,02 4 Mematuk benda 3,90 0,65 4,96 0,83 5 Diam 228,39 38,07 206,08 34,35 6 Makan 62,90 10,48 86,31 14,38 7 Minum 0,63 0,11 0,60 0,10 8 Mandi Menyelisik bulu 168,70 28,12 183,60 30,60 10 Siaga 47,34 7,89 21,22 3,54 11 Kawin Menari 0,27 0, Berjemur 19,80 3,30 17,05 2,84 14 Istirahat 5,03 0,84 8,03 1,34 15 Terbang 8,90 1,48 0,43 0,07 16 Membersihkan paruh 0,82 0,14 0,77 0,13 17 Saling menyelisik bulu 0,12 0, Saling mendekati 5,86 0,98 11,75 1,96 19 Saling mengejar 2,45 0,41 2,60 0,43 20 Saling mematuk 0,83 0,14 1,58 0,26

22 42 Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa tingkah laku yang paling banyak dilakukan oleh mambruk victoria di MBOF selama 10 hari pengamatan, pada individu jantan adalah tingkah laku diam dengan 228,39 menit atau 38,07% diikuti dengan tingkah laku menyelisik bulu dengan 168,70 menit atau 28,12%, sedangkan pada individu betina adalah tingkah laku diam dengan 206,08 menit atau 34,35% diikuti dengan tingkah laku menyelisik bulu dengan 183,60 menit atau 30,60%. Jenis tingkah laku yang tidak dijumpai selama pengamatan adalah tingkah laku mandi dan tingkah laku kawin. Bentuk aktivitas yang terjadi lebih banyak dilakukan di pagi hari dimana mambruk biasanya memulai aktivitasnya di pagi hari dengan turun dari sarangnya untuk mencari makan (Warsito 2010). Ratarata sebaran waktu temporal aktivitas harian mambruk victoria di MBOF dapat dilihat pada Lampiran Karakteristik aktivitas harian mambruk victoria Aktivitas harian pada individu jantan dan betina mambruk victoria di MBOF memiliki pola tingkah laku yang hampir sama. Namun, dalam setiap tingkah laku yang dilakukan terdapat satu perbedaan tingkah laku yakni tingkah laku menari yang hanya dilakukan oleh individu jantan untuk menarik perhatian individu betina mambruk victoria sebelum melakukan proses perkawinan (Warsito 2010). Aktivitas harian yang ditunjukkan oleh individu jantan selama pengamatan cenderung lebih aktif dibandingkan individu betina. Hal ini sesuai dengan pendapat Houpt dan Thomas (1982) yang menyatakan bahwa pada umumnya satwa jantan lebih agresif dibandingkan dengan satwa betina, baik dalam hubungan interspecies maupun intraspecies Tingkah laku berjalan Tingkah laku berjalan merupakan salah satu tingkah laku yang paling banyak dilakukan oleh mambruk victoria di MBOF setelah tingkah laku diam dan menyelisik bulu. Tingkah laku berjalan dominan dilakukan di atas tanah dan pada saat berjalan ekornya bergerak ke atas dan ke bawah (Gambar 11).

23 43 Gambar 11 Tingkah laku berjalan pada mambruk victoria di MBOF. Frekuensi tingkah laku berjalan yang dilakukan oleh mambruk victoria jantan dan mambuk victoria betina selama pengamatan terdapat perbedaan yang dapat dilihat pada Gambar 12. Frekuensi (%) Jantan Betina Gambar 12 Persentase frekuensi tingkah laku berjalan berdasarkan waktu pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa tingkah laku berjalan mambruk victoria terjadi dengan frekuensi yang berbeda setiap jamnya. Persentase frekuensi tingkah laku berjalan pada mambruk victoria jantan di MBOF mencapai puncak tertinggi pada pukul yaitu sebesar 23,25% dari seluruh tingkah laku berjalan yang dilakukan mambruk victoria jantan selama periode waktu pengamatan, sedangkan pada mambruk victoria betina di MBOF mencapai puncak tertinggi pada pukul yaitu sebesar 22,18% dari seluruh tingkah laku berjalan yang dilakukan mambruk betina selama periode waktu pengamatan. Waktu Pengamatan

24 44 Persentase frekuensi tingkah laku berjalan sudah meningkat di pagi hari sejak pukul dan menurun pada pukul Namun, antara pukul persentase tingkah laku berjalan mambruk victoria di MBOF relatif stabil kemudian cenderung menurun. Persentase tingkah laku berjalan mambruk victoria sudah cukup tinggi sejak pagi hari dikarenakan pada pagi hari biasanya mambruk turun dari sarang untuk mencari makan di atas tanah (Warsito 2010) Tingkah laku memanggil Young (1989), diacu dalam Rekapermana (2005) menyatakan bahwa suara yang dikeluarkan oleh burung terdiri dari dua macam yaitu suara panggilan (call note) yang digunakan untuk peringatan terhadap burung lain dan komunikasi sosial lainnya serta nyanyian (song) yang berhubungan dengan penguasaan wilayah teritori, pembentukan, dan pembangunan sarang. Tingkah laku memanggil dilakukan oleh mambruk victoria biasanya ditandai dengan suara hoooomm yang dikeluarkan secara berulang-ulang untuk memanggil temantemannya agar dapat bergabung bersama (Warsito 2010). Frekuensi tingkah laku memanggil yang dilakukan oleh mambruk victoria selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 13. Frekuensi (%) Jantan Betina Waktu Pengamatan Gambar 13 Persentase frekuensi tingkah laku memanggil berdasarkan waktu pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa tingkah laku memanggil yang dilakukan oleh mambruk victoria di MBOF terjadi antara pukul Namun, dalam pengamatan juga dijumpai tingkah laku memanggil

25 45 yang dilakukan oleh mambruk victoria di lokasi tersebut yakni pada pukul Persentase frekuensi tingkah laku memanggil pada mambruk victoria jantan mencapai puncaknya terjadi pada pukul yaitu sebesar 36,36% dari tingkah laku memanggil yang dilakukan mambruk victoria jantan selama periode waktu pengamatan dan antara pukul frekuensi tingkah laku memanggil yang dilakukan oleh mambruk victoria jantan cenderung stabil. Dalam pengamatan juga dijumpai tingkah laku memanggil yang dilakukan oleh membruk victoria betina yang terjadi pada pukul yaitu sebesar 83,33% dari seluruh tingkah laku memanggil yang dilakukan mambruk victoria betina selama periode waktu pengamatan Tingkah laku membuang kotoran Tingkah laku membuang kotoran merupakan salah satu dari beberapa tingkah laku utama yang terjadi pada satwa (Alikodra 2002; Lehner 1979). Tingkah laku membuang kotoran dilakukan dengan cara mengeluarkan kotoran (feses) yang agak lembek dan biasanya berwarna sesuai dengan makanan yang telah dikonsumsinya (Purnama 2006). Frekuensi tingkah laku membuang kotoran yang dilakukan oleh mambruk victoria selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 14. Frekuensi (%) Jantan Betina Waktu Pengamatan Gambar 14 Persentase frekuensi tingkah laku membuang kotoran berdasarkan waktu pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa tingkah laku membuang kotoran yang dilakukan oleh mambruk victoria di MBOF terjadi pada pukul , , dan Tingkah laku membuang kotoran yang dilakukan oleh individu jantan dan betina mambruk victoria

26 46 memiliki persentase yang sama yakni sebesar 25% dari seluruh tingkah laku membuang kotoran yang dilakukan mambruk victoria selama periode waktu pengamatan Tingkah laku mematuk benda Mambruk victoria yang diamati biasanya mematuk-matuk tanah sambil berjalan atau dalam kondisi diam. Frekuensi tingkah laku mematuk benda yang dilakukan oleh mambruk victoria selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 15. Frekuensi (%) Jantan Betina Waktu Pengamatan Gambar 15 Persentase frekuensi tingkah laku mematuk benda berdasarkan waktu pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa tingkah laku mematuk benda yang dilakukan oleh individu jantan mancapai puncaknya pada pukul yakni sebesar 24,14% dari seluruh tingkah laku mematuk benda yang dilakukan oleh mambruk victoria jantan selama periode waktu pengamatan. Namun, pada pukul mengalami penurunan dan di waktu-waktu selanjutnya tingkah laku mematuk benda yang dilakukan oleh individu jantan cenderung stabil. Untuk tingkah laku mematuk benda yang dilakukan oleh individu betina mencapai puncaknya pada pukul yakni sebesar 27,27% dari seluruh tingkah laku mematuk benda yang dilakukan oleh mambruk victoria betina selama periode waktu pengamatan. Persentase tingkah laku mematuk benda yang dilakukan oleh individu betina juga sama seperti yang dilakukan oleh individu jantan yakni mengalami penurunan. Namun, pada pukul tingkah laku mematuk benda yang dilakukan oleh

27 47 individu betina kembali mengalami peningkatan yakni sebesar 21,21%. Di waktuwaktu berikutnya tingkah laku mematuk benda yang dilakukan oleh individu betina kembali mengalami penurunan. Hal ini lebih disebabkan tingkah laku yang dilakukan oleh mambruk victoria biasanya diakhiri pada sore hari karena mambruk victoria akan kembali beristirahat di sore hari (Warsito 2010) Tingkah laku diam Tingkah laku diam yang dilakukan oleh mambruk victoria di MBOF merupakan tingkah laku yang paling banyak dilakukan dibandingkan tingkah laku lainnya. Tingkah laku diam yang dominan adalah tingkah laku diam berdiri (Gambar 16). Gambar 16 Tingkah laku diam pada mambruk victoria di MBOF. Frekuensi tingkah laku diam yang dilakukan mambruk victoria di MBOF memiliki perbedaan antara individu jantan dan individu betina (Gambar 17). Frekuensi (%) Jantan Betina Waktu Pengamatan Gambar 17 Persentase frekuensi tingkah laku diam berdasarkan waktu pengamatan.

28 48 Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa puncak frekuensi tingkah laku diam mambruk victoria jantan adalah pada pukul yakni sebesar 18,37% dari seluruh tingkah laku diam yang dilakukan selama periode waktu pengamatan dan pada individu betina terjadi pada pukul yakni sebesar 17,06% dari seluruh tingkah laku diam yang dilakukan selama periode waktu pengamatan. Tingkah laku diam yang terjadi pada mambruk victoria di MBOF mengalami penurunan setelah pukul Namun, tingkah laku diam kembali mengalami peningkatan sampai pukul Setelah itu, tingkah laku diam mambruk victoria di MBOF kembali mengalami penurunan tetapi penurunan tingkah laku yang terjadi cenderung stabil. Penurunan tingkah laku diam yang terjadi lebih dikarenakan pada sekitar pukul adalah waktu yang digunakan mambruk untuk berjemur di bawah sinar matahari (Warsito 2010) Tingkah laku makan Tingkah laku makan yang dilakukan oleh mambruk victoria di MBOF terjadi pada pagi hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Goodwin (1978), diacu dalam Indasari (2001) dan Warsito (2010) yang menyatakan bahwa di habitat aslinya mambruk akan memulai tingkah laku pagi harinya dengan turun dari sarangnya untuk mencari makan. Tingkah laku makan pada mambruk victoria dapat dilihat pada Gambar 18. Gambar 18 Tingkah laku makan pada mambruk victoria di MBOF.

29 49 Frekuensi tingkah laku makan yang dilakukan mambruk victoria di MBOF memiliki perbedaan antara individu jantan dan individu betina yang dapat dilihat pada Gambar 19. Frekuensi (%) Jantan Betina Waktu Pengamatan Gambar 19 Persentase frekuensi tingkah laku makan berdasarkan waktu pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa frekuensi tingkah laku makan mambruk victoria sudah meningkat sejak pagi hari pukul tetapi mulai menurun pada pukul dan meningkat lagi pada pukul Namun, fluktuasi frekuensi tingkah laku makan mambruk victoria terjadi secara stabil. Puncak persentase frekuensi tingkah laku makan pada individu jantan adalah sebesar 28,57% dan pada individu betina adalah sebesar 29,33%. Persentase tingkah laku makan pada mambruk victoria di MBOF yang sudah meningkat di pagi hari lebih dikarenakan hal tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi untuk tingkah laku di siang harinya (Indasari 2001). Namun, dalam pengamatan ditemukan persaingan dalam perebutan makanan antara mambruk victoria dengan merak dan jenis burung lain yang lebih kecil. Sebelum melakukan tingkah laku makan, mambruk victoria di MBOF akan mengamati lingkungan sekitarnya sampai kondisi aman dan nyaman untuk memulai tingkah laku makannya. Menurut Indasari (2001), persaingan yang terjadi dalam perebutan makanan antara mambruk dengan merak lebih disebabkan karena mambruk merasa bahwa tubuh merak lebih besar sehingga merak dianggap lebih dominan atau memiliki tingkat hirarki yang lebih tinggi tetapi jika menghadapi burung yang lebih kecil, mambruk akan mengusirnya karena selain

30 50 ukuran tubuhnya lebih besar, mambruk merasa memiliki tingkat hirarki yang lebih tinggi dibandingkan burung-burung yang lebih kecil Tingkah laku minum Tingkah laku minum yang dilakukan oleh mambruk victoria di MBOF termasuk salah satu tingkah laku yang jarang dilakukan. Hal ini bisa disebabkan oleh pakan yang diberikan telah cukup mengandung air (Indasari 2001). Frekuensi tingkah laku minum mambruk victoria di MBOF dapat dilihat pada Gambar 20. Frekuensi (%) Jantan Betina Gambar 20 Persentase frekuensi tingkah laku minum berdasarkan waktu pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa tingkah laku minum yang dilakukan oleh mambruk victoria di MBOF terjadi secara konstan yakni sebesar 25% dari seluruh tingkah laku minum yang dilakukan berdasarkan periode waktu pengamatan, baik pada individu jantan maupun individu betina. Tingkah laku minum terjadi sejak pukul Namun, terdapat perbedaan tingkah laku minum yang dilakukan yakni tingkah laku minum pada individu jantan terjadi pada pukul dan pada pukul , sedangkan pada individu betina terjadi pada pukul Menurut Indasari (2001), tingkah laku minum berhubungan dengan suhu karena dengan minum, maka cairan yang keluar setelah proses metabolisme akan terganti Tingkah laku menyelisik bulu Waktu Pengamatan Tingkah laku menyelisik bulu yang dilakukan oleh mambruk victoria di MBOF meliputi daerah sayap, punggung, dada, dan ekor. Menurut Indasari (2001), tingkah laku menyelisik bulu dilakukan dengan cara memutar leher ke

31 51 samping badan untuk mencapai sayap bagian dalam sambil mengangkat atau mengembangkan sayap tersebut, sedangkan pada bagian punggung dapat dicapai dengan memutar leher ke belakang dan pada bagian leher dilakukan cukup dengan cara menundukkan kepala serta pada bagian ekor dilakukan dengan cara menarik ekor ke samping dan mengembangkannya yang diikuti dengan pembersihan yang dilakukan oleh paruh mambruk. Tingkah laku menyelisik bulu pada mambruk victoria dapat dilihat pada Gambar 21. Gambar 21 Tingkah laku menyelisik bulu pada mambruk victoria di MBOF. Persentase frekuensi tingkah laku menyelisik bulu yang terjadi pada mambruk victoria di MBOF terdapat perbedaan antara individu jantan dan individu betina yang dapat dilihat pada Gambar 22. Frekuensi (%) Jantan Betina Waktu Pengamatan Gambar 22 Persentase frekuensi tingkah laku menyelisik bulu berdasarkan waktu pengamatan.

32 52 Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa persentase frekuensi tingkah laku menyelisik bulu sudah meningkat sejak pagi hari pada pukul Persentase frekuensi tingkah laku menyelisik bulu pada individu jantan adalah sebesar 17,10%, sedangkan pada individu betina sebesar 15,89% dari seluruh tingkah laku menyelisik bulu yang dilakukan. Dari hasil pengamatan juga diketahui bahwa persentase tingkah laku menyelisik bulu mengalami kenaikan dan penurunan yang stabil dari pagi hari hingga sore hari. Persentase frekuensi tingkah laku menyelisik bulu paling sedikit dilakukan pada pukul Persentase frekuensi tingkah laku menyelisik bulu yang dilakukan pada pukul tersebut adalah 4,15% pada individu jantan dan 2,65% pada individu betina. Tingkah laku menyelisik bulu yang dilakukan berguna untuk menghilangkan semua kotoran yang menempel pada bulu dan untuk menetralkan kembali panas tubuhnya (Purnama 2006) Tingkah laku siaga Tingkah laku siaga yang dilakukan oleh mambruk victoria di MBOF lebih disebabkan karena adanya bentuk gangguan, baik dari manusia maupun dari jenis burung yang lain sebelum burung mambruk menghindar atau terbang untuk menyelamatkan diri. Tingkah laku siaga pada mambruk victoria dapat dilihat pada Gambar 23. Gambar 23 Tingkah laku siaga pada mambruk victoria di MBOF. Bentuk tingkah laku siaga yang ditunjukkan oleh mambruk victoria biasanya dengan menggerakkan ekornya ke atas dan ke bawah sambil berjalan bolak-balik (Balen et al. 2005). Persentase tingkah laku siaga pada mambruk

33 53 victoria di MBOF terdapat perbedaan antara jantan dan betina yang dapat dilihat pada Gambar 24. Frekuensi (%) Jantan Betina Gambar 24 Persentase frekuensi tingkah laku siaga berdasarkan waktu pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa persentase frekuensi tingkah laku siaga sudah mencapai puncaknya sejak pagi hari pukul Persentase terbesar tingkah laku siaga pada individu jantan adalah 18% dari seluruh tingkah laku siaga yang dilakukan selama periode waktu pengamatan, sedangkan pada individu betina adalah 21% dari seluruh tingkah laku siaga yang dilakukan selama periode waktu pengamatan. Namun, persentase tingkah laku siaga yang terjadi mengalami penurunan dan kenaikan secara stabil dari pukul Tingginya persentase frekuensi tingkah laku siaga yang terjadi di pagi hari lebih disebabkan karena di pagi hari mambruk memulai tingkah lakunya dengan tingkah laku makan dan hal ini yang memungkinkan lebih banyak tingkah laku siaga yang terjadi di pagi hari karena adanya bentuk persaingan dalam perebutan makanan antara mambruk victoria dengan merak sehingga hal ini menyebabkan mambruk victoria di MBOF lebih waspada atau siaga dalam melakukan tingkah laku makan agar tidak diganggu oleh merak. Hal ini sesuai dengan pendapat Indasari (2001) yang menyatakan bahwa mambruk akan lebih banyak melakukan tingkah laku siaga pada saat melakukan tingkah laku makan untuk menghindari perselisihan antara mambruk dengan merak jika makanan yang diberikan kepada mambruk diletakkan satu tempat dengan makanan yang diberikan kepada merak. Waktu Pengamatan

34 Tingkah laku menari Tingkah laku menari merupakan tingkah laku yang sangat jarang ditemui selama pengamatan. Tingkah laku menari yang dilakukan oleh mambruk victoria merupakan suatu bentuk perilaku yang dilakukan oleh mambruk jantan untuk menarik perhatian mambruk betina sebelum melakukan proses perkawinan (Warsito 2010). Persentase tingkah laku menari yang dilakukan oleh mambruk victoria di MBOF dapat dilihat pada Gambar 25. Frekuensi (%) Jantan Betina Waktu Pengamatan Gambar 25 Persentase frekuensi tingkah laku menari berdasarkan waktu pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa tingkah laku menari pada mambruk victoria hanya dilakukan oleh individu jantan saja. Tingkah laku menari yang dilakukan oleh mambruk victoria jantan selama pengamatan hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu, yakni pada pukul , , dan pada pukul Hal ini sesuai dengan pendapat Warsito (2010) yang menyatakan bahwa tingkah laku menari yang merupakan perilaku awal sebelum mambruk victoria melakukan proses perkawinan biasanya terjadi di atas tanah di saat mambruk sedang bermain atau istirahat, dimana tingkah laku menari biasanya terjadi di saat hari menjelang siang dan pada saat istirahat atau di waktu sore hari. Persentase frekuensi tingkah laku menari yang terjadi memiliki nilai yang sama yakni sebesar 33,33% dari seluruh tingkah laku menari yang dilakukan oleh individu jantan selama periode pengamatan. Tingkah laku menari merupakan tingkah laku yang dilakukan oleh individu jantan untuk menarik perhatian individu betina sebelum melakukan

35 55 proses perkawinan (Warsito 2010). Menurut Goodwin (1978), diacu dalam Indasari (2001), tingkah laku kawin yang ditunjukkan oleh sepasang mambruk diawali dengan tingkah laku burung jantan yang menundukkan kepala yang diikuti dengan gerakan menari dengan sayap yang terbentang dan burung betina akan menanggapi dengan mengangkat sayapnya tinggi-tinggi kemudian akan berlari mengelilingi burung jantan dengan membengkokkan kakinya dan mendekatkan paruhnya sambil mengeluarkan suara-suara pendek. Setelah proses percumbuan selesai dan burung betina siap untuk kawin, maka burung betina akan membungkukkan badannya yang diikuti burung jantan yang berlari mengelilingi tubuh betina satu hingga dua kali dan setelah itu burung jantan menaiki punggung burung betina sehingga terjadi kopulasi dan selang waktu kopulasi burung mambruk terjadi selama detik Tingkah laku berjemur Tingkah laku berjemur yang dilakukan oleh mambruk victoria di habitat aslinya biasanya terjadi pada saat menjelang siang dan tingkah laku ini dilakukan dengan cara mambruk victoria berbaring di atas tanah dengan satu atau kedua sayap yang terbuka (Indasari 2001; Warsito 2010). Tingkah laku berjemur yang dilakukan oleh mambruk victoria di MBOF dapat dilihat pada Gambar 26. Gambar 26 Tingkah laku berjemur pada mambruk victoria di MBOF. Persentase frekuensi tingkah laku berjemur yang terjadi pada mambruk victoria di MBOF terdapat perbedaan antara individu jantan dan individu betina yang dapat dilihat pada Gambar 27.

36 56 Frekuensi (%) Jantan Betina Gambar 27 Persentase frekuensi tingkah laku berjemur berdasarkan waktu pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa perbedaan yang terjadi dalam tingkah laku berjemur pada mambruk victoria di MBOF tidak hanya dalam jumlah presentasenya, melainkan juga dalam jumlah frekuensi yang dilakukan. Selama periode pengamatan, tingkah laku berjemur yang dilakukan oleh individu jantan adalah sebanyak tiga kali yang terjadi pada pukul dan pukul , sedangkan pada individu betina adalah sebanyak empat kali yang terjadi pada pukul Persentase puncak frekuensi tingkah laku berjemur yang dihasilkan juga memiliki perbedaan yakni pada individu jantan sebesar 40% dan pada individu betina sebesar 37,50%. Secara keseluruhan, tingkah laku berjemur yang dilakukan oleh mambruk victoria di MBOF terjadi pada saat menjelang siang hingga siang hari, dimana sudah terdapat sinar matahari yang cukup. Hal ini sesuai dengan pendapat Indasari (2001) dan Warsito (2010) yang menyatakan bahwa tingkah laku berjemur yang dilakukan oleh mambruk adalah dimulai pada saat hari menjelang siang atau antara pukul karena waktu tersebut adalah waktu yang ditunggu mambruk untuk istirahat atau berjemur Tingkah laku istirahat Waktu Pengamatan Tingkah laku istirahat pada mambruk victoria biasanya dilakukan dengan berdampingan dengan mambruk victoria yang lain. Menurut Indasari (2001) dan Warsito (2010), tingkah laku istirahat yang ditunjukkan mambruk victoria biasa dilakukan di lantai hutan dan apabila sedang bertengger, mambruk victoria akan

37 57 mencari pohon yang tidak terlalu tinggi dan memiliki dahan yang kuat untuk beristirahat. Tingkah laku istirahat pada mambruk victoria di MBOF dapat dilihat pada Gambar 28. Gambar 28 Tingkah laku istirahat pada mambruk victoria di MBOF. Terdapat perbedaan frekuensi tingkah laku istirahat yang dilakukan oleh mambruk victoria, baik pada individu jantan maupun pada individu betina. Perbedaan frekuensi tingkah laku istirahat dapat dilihat pada Gambar 29. Frekuensi (%) Jantan Betina Waktu Pengamatan Gambar 29 Persentase frekuensi tingkah laku istirahat berdasarkan waktu pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan, tingkah laku istirahat mambruk victoria di MBOF terjadi sejak pukul Persentase tingkah laku istirahat pada individu jantan mengalami puncaknya pada pukul sebesar 46,15% dari seluruh tingkah laku istirahat yang dilakukan selama periode waktu pengamatan, sedangkan pada individu betina, puncak tingkah laku istirahat terjadi pada pukul dan pukul sebesar 25% dari seluruh

38 58 tingkah laku istirahat yang dilakukan selama periode waktu pengamatan. Tingkah laku istirahat yang ditunjukkan oleh mambruk victoria di MBOF paling banyak dilakukan dalam posisi berdiri. Tingkah laku istirahat yang dilakukan mambruk victoria dalam posisi berdiri lebih disebabkan karena kondisi kandang yang luas sehingga memberikan ruang gerak yang lebih luas dan dilakukan di sela-sela tingkah laku berjalan (Indasari 2001) Tingkah laku terbang Tingkah laku terbang yang dilakukan oleh mambruk victoria di MBOF merupakan salah satu tingkah laku yang paling jarang dilakukan. Hal ini dikarenakan mambruk victoria merupakan jenis burung yang lebih banyak melakukan tingkah lakunya di atas tanah (Indasari 2001; Warsito 2010). Persentase aktivivtas terbang yang dilakukan oleh mambruk victoria di MBOF dapat dilihat pada Gambar 30. Frekuensi (%) Jantan Betina Waktu Pengamatan Gambar 30 Persentase frekuensi tingkah laku terbang berdasarkan waktu pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa persentase tingkah laku terbang mambruk victoria pada individu jantan sudah mengalami peningkatan sejak pukul yaitu sebesar 40% dari seluruh tingkah laku terbang yang dilakukan selama periode waktu pengamatan. Namun pada pukul , persentase tingkah laku terbang pada individu jantan mengalami penurunan dan kembali mengalami peningkatan pada pukul Persentase tingkah laku terbang pada individu betina menunjukkan nilai yang konstan dari pukul yaitu 28,57% dari seluruh tingkah laku

39 59 terbang yang dilakukan selama periode waktu pengamatan. Namun, persentase tingkah laku terbang pada individu betina juga mengalami penurunan pada pukul Tingkah laku terbang yang terjadi pada mambruk victoria di MBOF lebih disebabkan adanya bentuk gangguan dari manusia atau dari jenis lain seperti dari burung merak. Hal ini menyebabkan mambruk victoria merasa terancam dan langsung terbang ke dahan tempat bertengger untuk menyelamatkan diri. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Warsito (2010) yang menyatakan bahwa tingkah laku terbang biasanya terjadi apabila mambruk victoria berada dalam kondisi terancam atau terkejut sehingga burung tersebut akan terbang ke pohon untuk menyelamatkan diri Tingkah laku membersihkan paruh Tingkah laku membersihkan paruh yang dilakukan oleh mambruk victoria termasuk dalam salah satu tingkah laku membersihkan diri selain tingkah laku menyelisik bulu (Indasari 2001). Tingkah laku membersihkan paruh pada mambruk victoria dilakukan dengan cara mengangkat kaki dan menggarukkan ke paruh sampai semua kotoran yang menempel di paruh hilang atau bersih. Tingkah laku ini biasanya dilakukan untuk membersihkan kotoran sisa pakan yang menempel di sekitar paruh (Purnama 2006). Persentase frekuensi tingkah laku membersihkan paruh dapat dilihat pada Gambar 31. Frekuensi (%) Jantan Betina Waktu Pengamatan Gambar 31 Persentase frekuensi tingkah laku membersihkan paruh berdasarkan waktu pengamatan.

40 60 Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan antara individu jantan dan individu betina terhadap persentase frekuensi tingkah laku membersihkan paruh yang dilakukan. Persentase frekuensi tingkah laku membersihkan paruh yang dilakukan oleh individu jantan telah meningkat sejak pagi hari dari pukul sebesar 31,25% dari seluruh tingkah laku membersihkan paruh yang dilakukan selama periode waktu pengamatan. Namun, hal berbeda terjadi pada nilai persentase frekuensi tingkah laku membersihkan paruh yang dilakukan oleh individu betina yang mengalami puncak tingkah laku membersihkan paruh pada pukul dengan nilai persentase sebesar 38,10% dari seluruh tingkah laku membersihkan paruh yang dilakukan selama periode waktu pengamatan. Tingkah laku membersihkan paruh paling banyak terjadi pada saat bersamaan dengan tingkah laku makan yakni pada pagi hari Interaksi sosial antar individu mambruk victoria Interaksi sosial merupakan interaksi yang terjadi diantara dua individu atau lebih yang berupa hubungan kerjasama maupun kompetisi atau hubungan secara netral (Suratmo 1979). Interaksi sosial yang terjadi pada mambruk victoria yang diamati antara lain saling menyelisik bulu, saling mendekati, saling mengejar, dan saling mematuk. Tingkah laku sosial yang teramati sering terjadi di pagi, siang, dan sore hari. Perilaku saling menyelisik bulu cenderung mengarah pada perilaku seksual yaitu terjadinya percumbuan antara kedua individu, sedangkan perilaku saling mendekati dilakukan untuk mencari kecocokan antara kedua individu atau untuk menyingkirkan individu lainnya serta perilaku saling mengejar dan saling mematuk lebih mengarah pada perilaku pertentangan (Rekapermana 2005) Tingkah laku saling menyelisik bulu Tingkah laku menyelisik bulu merupakan salah satu bentuk perilaku kerjasama yang dilakukan oleh kedua individu untuk saling menyelisik bulu pada bagian tubuh yang tidak dapat dijangkau oleh paruhnya sendiri antara lain pada bagian kepala dan leher dan tingkah laku ini juga dapat dikatakan sebagai bentuk interaksi sosial yang mengarah pada percumbuan antar kedua individu (Suratmo 1979). Persentase frekuensi tingkah laku saling menyelisik bulu dapat dilihat pada Gambar 32.

41 61 Frekuensi (%) Jantan Betina Waktu Pengamatan Gambar 32 Persentase frekuensi tingkah laku saling menyelisik bulu berdasarkan waktu pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa tingkah laku saling menyelisik bulu hanya dilakukan oleh individu jantan dan tingkah laku tersebut terjadi di pagi hari pada pukul dan di siang hari pada pukul Persentase frekuensi tingkah laku saling menyelisik bulu yang terjadi adalah sebesar 50% dari seluruh tingkah laku saling menyelisik bulu yang dilakukan berdasarkan periode waktu pengamatan. Selama pengamatan tidak ditemui tingkah laku saling menyelisik bulu antar individu dengan jenis kelamin yang sama (individu jantan dengan individu jantan atau sebaliknya) Tingkah laku saling mendekati Tingkah laku saling mendekati dapat terjadi pada individu berjenis kelamin sama maupun pada individu berbeda jenis kelamin. Tingkah laku saling mendekati pada dua individu berjenis kelamin sama cenderung mengarah pada perilaku agonistik yang berupa pengusiran, sedangkan pada dua individu yang berjenis kelamin berbeda cenderung bertujuan untuk mencari kecocokan dan saling melindungi (Rekapermana 2005). Tingkah laku saling mendekati yang dilakukan oleh mambruk victoria di MBOF dapat dilihat pada Gambar 33.

42 62 Gambar 33 Tingkah laku saling mendekati pada mambruk victoria di MBOF (a) betina; (b) jantan. Frekuensi tingkah laku saling mendekati yang dilakukan oleh mambruk victoria jantan dan mambuk victoria betina selama pengamatan terdapat perbedaan antara jantan dan betina yang dapat dilihat pada Gambar 34. Frekuensi (%) Jantan Betina Waktu Pengamatan Gambar 34 Persentase frekuensi tingkah laku saling mendekati berdasarkan waktu pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa persentase tertinggi frekuensi tingkah laku saling mendekati terjadi di pagi hari yaitu sebesar 30,77% pada individu jantan dan 31,43% pada individu betina. Berdasarkan pengamatan, hal ini lebih disebabkan karena di pagi hari mambruk memulai tingkah lakunya dengan tingkah laku makan, sehingga hal tersebut memungkinkan untuk terjadinya tingkah laku saling mendekati, baik antar sesama jenis maupun berbeda jenis. Selama pengamatan, tingkah laku saling mendekati yang dijumpai pada sesama mambruk jantan bertujuan untuk saling mengusir guna mendapatkan

43 63 makanan, sedangkan tingkah laku saling mendekati yang dilakukan oleh mambruk betina dan mambruk jantan adalah untuk saling melindungi. Adanya suara panggilan dari mambruk jantan juga merupakan suatu perilaku awal sebelum mambruk saling mendekat untuk menikmati pakan yang ada (Warsito 2010) Tingkah laku saling mengejar Tingkah laku saling mengejar lebih mengarah pada perilaku pertentangan (agonistic behaviour) yang sering terjadi pada pasangan yang telah berjodoh maupun pada individu yang akan mencari pasangan (Rekapermana 2005). Tingkah laku mengejar pada mambruk victoria di MBOF dapat dilihat pada Gambar 35. Gambar 35 Tingkah laku saling mengejar pada mambruk victoria di MBOF. Persentase frekuensi tingkah laku saling mengejar pada mambruk victoria di MBOF dapat dilihat pada Gambar 36. Frekuensi (%) Jantan Betina Waktu Pengamatan Gambar 36 Persentase frekuensi tingkah laku saling mengejar berdasarkan waktu pengamatan.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Teknik Penangkaran Secara umum terdapat beberapa aspek teknik manajemen penangkaran satwa yang diketahui dapat menentukan keberhasilan penangkaran suatu jenis satwa. Aspek

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGKARAN DAN AKTIVITAS HARIAN MAMBRUK VICTORIA (Goura Victoria Fraser, 1844) DI MEGA BIRD AND ORCHID FARM BOGOR, JAWA BARAT

TEKNIK PENANGKARAN DAN AKTIVITAS HARIAN MAMBRUK VICTORIA (Goura Victoria Fraser, 1844) DI MEGA BIRD AND ORCHID FARM BOGOR, JAWA BARAT TEKNIK PENANGKARAN DAN AKTIVITAS HARIAN MAMBRUK VICTORIA (Goura Victoria Fraser, 1844) DI MEGA BIRD AND ORCHID FARM BOGOR, JAWA BARAT Captivity Technique and Daily Activities of Victoria Crowned Pigeon

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Mega Bird and Orchid farm, Bogor, Jawa Barat pada bulan Juni hingga Juli 2011. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN Oleh : Taufik Rizky Afrizal 11.12.6036 S1.SI.10 STMIK AMIKOM Yogyakarta ABSTRAK Di era sekarang, dimana ekonomi negara dalam kondisi tidak terlalu baik dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ayam ayam lokal (Marconah, 2012). Ayam ras petelur sangat diminati karena

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ayam ayam lokal (Marconah, 2012). Ayam ras petelur sangat diminati karena 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Petelur Ayam petelur dikenal oleh sebagian masyarakat dengan nama ayam negeri yang mempunyai kemampuan bertelur jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan ayam ayam

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 26 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Teknik Penangkaran 5.1.1 Sumber dan Jumlah Bibit Sebagian besar burung-burung yang terdapat di penangkaran burung MBOF berasal dari orang-orang yang memiliki hobi dalam mengoleksi

Lebih terperinci

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah : BUDIDAYA SAPI POTONG I. Pendahuluan. Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara besar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Organisasi Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama dalam suatu pembagian kerja untuk mencapai tujuan bersama (Moekijat, 1990). Fungsi struktur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Burung jalak bali oleh masyarakat Bali disebut dinamakan dengan curik putih atau curik bali, sedangkan dalam istilah asing disebut dengan white starling, white mynah,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Merpati Karakteristik Merpati )

TINJAUAN PUSTAKA Merpati Karakteristik Merpati ) TINJAUAN PUSTAKA Merpati Menurut Yonathan (2003), penyebaran merpati hampir merata di seluruh bagian bumi kecuali di daerah kutub. Merpati lokal di Indonesia merupakan burung merpati yang asal penyebarannya

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENANGKARAN BURUNG PARKIT (Melopsittacus undulatus)

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENANGKARAN BURUNG PARKIT (Melopsittacus undulatus) ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENANGKARAN BURUNG PARKIT (Melopsittacus undulatus) Oleh: Rizki Kurnia Tohir Rizki Amalia Adinda Putri Priyatna Windya Giri E34120028 E34120047 E34120074 DEPARTEMEN KONSERVASI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking TINJAUAN PUSTAKA Itik Peking Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah China. Setelah mengalami perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking dapat dipelihara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Penangkaran UD Anugrah Kediri, Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada bulan Juni-Juli 2012.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Kondisi Lingkungan Kelinci dipelihara dalam kandang individu ini ditempatkan dalam kandang besar dengan model atap kandang monitor yang atapnya terbuat dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Kelinci, Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan selama dua bulan, yaitu pada bulan Agustus 2012 sampai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

JENIS DAN KARAKTER JANGKRIK Jangkrik di Indonesia tercatat ada 123 jenis yang tersebar di pelosok daerah. Namun hanya dua jenis saja yang umum dibudid

JENIS DAN KARAKTER JANGKRIK Jangkrik di Indonesia tercatat ada 123 jenis yang tersebar di pelosok daerah. Namun hanya dua jenis saja yang umum dibudid RUANG LINGKUP BUDIDAYA PEMELIHARAAN JANGKRIK KALUNG KUNING A. UDJIANTO Balai Penelitian Ternak, Po Box 221, Ciawi Bogor RINGKASAN Komoditas jangkrik ini dapat memberikan tambahan penghasilan disamping

Lebih terperinci

Budidaya dan Pakan Ayam Buras. Oleh : Supriadi Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau.

Budidaya dan Pakan Ayam Buras. Oleh : Supriadi Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau. Budidaya dan Pakan Ayam Buras Oleh : Supriadi Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau. PENDAHULUAN Ayam kampung atau ayam bukan ras (BURAS) sudah banyak dipelihara masyarakat khususnya masyarakat

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pembuatan pellet dilakukan di

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Merak hijau 2.1.1 Taksonomi Grzimek (1972) menyatakan bahwa klasifikasi merak hijau jawa (Pavo muticus muticus) sebagai berikut : Kingdom Phyllum : Animalia : Chordata

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian mengenai teknik penangkaran dan analisis koefisien inbreeding jalak bali dilakukan di penangkaran Mega Bird and Orchid Farm (MBOF),

Lebih terperinci

MENGENAL SECARA SEDERHANA TERNAK AYAM BURAS

MENGENAL SECARA SEDERHANA TERNAK AYAM BURAS MENGENAL SECARA SEDERHANA TERNAK AYAM BURAS OLEH: DWI LESTARI NINGRUM, S.Pt Perkembangan ayam buras (bukan ras) atau lebih dikenal dengan sebutan ayam kampung di Indonesia berkembang pesat dan telah banyak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Peking Itik Peking merupakan itik tipe pedaging yang termasuk dalam kategori unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem pemeliharaan itik Peking

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor 29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Telur Tetas Itik Rambon Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor dengan jumlah itik betina 42 ekor dan itik jantan 6 ekor. Sex ratio

Lebih terperinci

TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN 2. BIBIT

TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN 2. BIBIT TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN Ternak kambing sudah lama diusahakan oleh petani atau masyarakat sebagai usaha sampingan atau tabungan karena pemeliharaan dan pemasaran hasil produksi (baik daging, susu,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pelaksanaan penelitian mulai bulan Februari 2012 sampai dengan bulan April 2012. Pembuatan pakan dilaksanakan di CV. Indofeed. Analisis Laboratorium dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV Kendala utama penelitian walet rumahan yaitu: (1) rumah walet memiliki intensitas cahaya rendah, (2) pemilik tidak memberi ijin penelitian menggunakan metode pengamatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, tribus Anatini dan genus Anas (Srigandono,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Tabel 3. Komposisi Nutrisi Ransum Komersial.

MATERI DAN METODE. Tabel 3. Komposisi Nutrisi Ransum Komersial. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di CV. Mitra Mandiri Sejahtera Desa Babakan, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jarak lokasi kandang penelitian dari tempat pemukiman

Lebih terperinci

Karya Ilmiah Peluang Bisnis

Karya Ilmiah Peluang Bisnis Karya Ilmiah Peluang Bisnis STMIK AMIKOM YOGYAKARTA Kampus terpadu : Jl. Ring Road Utara, Condong Catur, Depok, Sleman, Yogyakarta DI SUSUN OLEH : Nama : M.Ghufron.Wiliantoro NIM : 10.12.4963 Jurusan :

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Penangkaran Merak Hijau Jawa di Taman Burung Taman Mini Indonesia Indah 5.1.1.1 Kandang sebagai habitat buatan Kandang merupakan tempat hidup habitat buatan satwa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Konsumsi Pakan HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Kandang adalah salah satu kebutuhan penting dalam peternakan. Fungsi utama kandang adalah untuk menjaga supaya ternak tidak berkeliaran dan memudahkan pemantauan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan Sumber : Dokumentasi penelitian (2011)

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan Sumber : Dokumentasi penelitian (2011) MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Ternak Ruminansia Kecil (Kandang B), Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di peternakan merpati di area Komplek Alam Sinar Sari, Desa Sinarsari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini berlangsung selama bulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN ,8 ton (49,97%) dari total produksi daging (Direktorat Jenderal Peternakan,

I. PENDAHULUAN ,8 ton (49,97%) dari total produksi daging (Direktorat Jenderal Peternakan, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging ayam broiler adalah bahan pangan sumber protein hewani yang berkualitas tinggi karena mengandung asam amino esensial yang lengkap, lemak, vitamin, dan mineral serta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk, kebutuhan pangan semakin meningkat pula. Pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat jenisnya beragam, salah satunya pemenuhan

Lebih terperinci

MATERI. Lokasi dan Waktu

MATERI. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembuatan pelet ransum komplit

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. a b c Gambar 2. Jenis Lantai Kandang Kelinci a) Alas Kandang Bambu; b) Alas Kandang Sekam; c) Alas Kandang Kawat

MATERI DAN METODE. a b c Gambar 2. Jenis Lantai Kandang Kelinci a) Alas Kandang Bambu; b) Alas Kandang Sekam; c) Alas Kandang Kawat MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan penelitian dimulai

Lebih terperinci

Peluang Usaha Budi Daya Ikan Lele

Peluang Usaha Budi Daya Ikan Lele Peluang Usaha Budi Daya Ikan Lele Oleh : Rangga Ongky Wibowo (10.11.4041) S1Ti 2G STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011/2012 Kata Pengantar... Puji syukur saya ucapkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, atas limpahan

Lebih terperinci

1. Penyakit Tetelo (ND=Newcastle Disease) Penyebab : Virus dari golongan paramyxoviru.

1. Penyakit Tetelo (ND=Newcastle Disease) Penyebab : Virus dari golongan paramyxoviru. Ayam kampong atau kita kenal dengan nama ayam buras (bukanras) merupakan salah satu potensi unggas lokal, yang mempunyai prospek dikembangkan terutama masyarakat di perdesaan. Ayam buras, selain memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Subphylum : Vertebrata. : Galiformes

TINJAUAN PUSTAKA. Subphylum : Vertebrata. : Galiformes TINJAUAN PUSTAKA Puyuh Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama kali diternakkan di Amerika Serikat

Lebih terperinci

TERNAK KELINCI. Jenis kelinci budidaya

TERNAK KELINCI. Jenis kelinci budidaya TERNAK KELINCI Peluang usaha ternak kelinci cukup menjanjikan karena kelinci termasuk hewan yang gampang dijinakkan, mudah beradaptasi dan cepat berkembangbiak. Secara umum terdapat dua kelompok kelinci,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Suhu Kandang Selama Lima Minggu Penelitian Pengukuran Suhu ( o C) Pagi Siang Sore 28-32

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Suhu Kandang Selama Lima Minggu Penelitian Pengukuran Suhu ( o C) Pagi Siang Sore 28-32 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Mikro Kandang Kandang Penelitian Kandang penelitian yang digunakan yaitu tipe kandang panggung dengan dinding terbuka. Jarak lantai kandang dengan tanah sekitar

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Burung puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek. Burung ini merupakan burung liar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi potong merupakan

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. adalah Day Old Duck (DOD) hasil pembibitan generasi ke-3 sebanyak 9 ekor itik

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. adalah Day Old Duck (DOD) hasil pembibitan generasi ke-3 sebanyak 9 ekor itik III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Objek Penelitian 3.1.1 Ternak Percobaan Itik Rambon dan Cihateup yang digunakan sebagai bahan penelitian adalah Day Old Duck (DOD) hasil pembibitan generasi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Divisi Persuteraan Alam, Ciomas, Bogor. Waktu penelitian dimulai

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDL dan LDL

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDL dan LDL 6 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDL dan LDL Darah Itik Peking yang Diberi Tepung Temu Hitam dilaksanakan 31 Desember 2015 s.d 1 Februari 2016 di Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase 38 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase Terfermentasi Terhadap Konsumsi Pakan, Konversi Pakan dan Pertambahan Bobot

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Pembibit Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock dan merupakan hasil pemeliharaan dengan metode perkawinan tertentu pada peternakan generasi

Lebih terperinci

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING A. Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah peternak yang mengusahakan anakan ternak sapi dengan jumlah kepemilikan sapi betina minimal 2 ekor.

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 hingga Februari 2012. Pemeliharaan dan penyembelihan ternak dilakukan di Laboratorium Lapang Blok B, Unit Unggas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat menunjang kegiatan usaha budidaya perikanan, sehingga pakan yang tersedia harus memadai dan memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

Penyiapan Mesin Tetas

Penyiapan Mesin Tetas Dian Maharso Yuwono Pemeliharaan unggas secara intensif memerlukan bibit dalam jumlah yang relatif banyak, sehingga penetasan dengan mesin semakin diperlukan. Penetasan telur unggas (ayam, itik, puyuh,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ayam Pedaging dan Konversi Pakan ini merupakan penelitian penelitian. ransum yang digunakan yaitu 0%, 10%, 15% dan 20%.

BAB III METODE PENELITIAN. Ayam Pedaging dan Konversi Pakan ini merupakan penelitian penelitian. ransum yang digunakan yaitu 0%, 10%, 15% dan 20%. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Onggok Kering Terfermentasi Probiotik dalam Ransum Terhadap Konsumsi Pakan, Pertambahan Bobot Badan Ayam

Lebih terperinci

BAB VII KANDANG DAN PERKANDANGAN

BAB VII KANDANG DAN PERKANDANGAN SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB VII KANDANG DAN PERKANDANGAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persiapan Kolam Pemijahan Kolam pemijahan dibuat terpisah dengan kolam penetasan dan perawatan larva. Kolam pemijahan yang digunakan yaitu terbuat dari tembok sehingga mudah

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan 16 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan kadar protein dan energi berbeda pada kambing Peranakan Etawa bunting dilaksanakan pada bulan Mei sampai

Lebih terperinci

PELUANG USAHA PENGEMBANGBIAKAN BURUNG LOVE BIRD

PELUANG USAHA PENGEMBANGBIAKAN BURUNG LOVE BIRD PELUANG USAHA PENGEMBANGBIAKAN BURUNG LOVE BIRD Nama : Angga Rio Pratama Kelas : S1 TI 2C NIM : 10.11.3699 Lingkungan Bisnis STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2010/2011 Peluang Usaha Pengembangbiakan Love Bird (

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pakan Ayam Pakan merupakan bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, hewan,ataupun bahan lain yang diberikan kepada ternak. Pakan tersebut diberikan kepada ayam dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dari hasil domestikasi ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan

TINJAUAN PUSTAKA. dari hasil domestikasi ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Kampung Ayam kampung merupakan turunan panjang dari proses sejarah perkembangan genetik perunggasan di tanah air. Ayam kampung diindikasikan dari hasil domestikasi ayam hutan

Lebih terperinci

TEKNIK PENGELOLAAN DAN PENILAIAN KESEJAHTERAAN MURAI BATU (Copsychus malabaricus Scopoli, 1788) DI MEGA BIRD AND ORCHID FARM, BOGOR, JAWA BARAT

TEKNIK PENGELOLAAN DAN PENILAIAN KESEJAHTERAAN MURAI BATU (Copsychus malabaricus Scopoli, 1788) DI MEGA BIRD AND ORCHID FARM, BOGOR, JAWA BARAT TEKNIK PENGELOLAAN DAN PENILAIAN KESEJAHTERAAN MURAI BATU (Copsychus malabaricus Scopoli, 1788) DI MEGA BIRD AND ORCHID FARM, BOGOR, JAWA BARAT ISNIA ESTU MARIFA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING. seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan, dan tenaga

ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING. seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan, dan tenaga VI. ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING A. Ketersediaan Input Dalam mengusahakan ternak sapi ada beberapa input yang harus dipenuhi seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan,

Lebih terperinci

HASIL. Penggunaan Kamera IR-CCTV pada Pengamatan Perilaku Walet Rumahan. Nesting room di dalam rumah walet

HASIL. Penggunaan Kamera IR-CCTV pada Pengamatan Perilaku Walet Rumahan. Nesting room di dalam rumah walet HASIL Penggunaan Kamera IR-CCTV pada Pengamatan Perilaku Walet Rumahan Pengamatan perilaku walet rumahan diamati dengan tiga unit kamera IR- CCTV. Satu unit kamera IR-CCTV tambahan digunakan untuk mengamati

Lebih terperinci

Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh

Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Lingkungan Tempat Penelitian Pemeliharaan puyuh dilakukan pada kandang battery koloni yang terdiri dari sembilan petak dengan ukuran panjang 62 cm, lebar 50 cm, dan tinggi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN MATERI DAN METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Rawamangun Selatan, Gg. Kana Tanah Merah Lama, Jakarta Timur. Penelitian dilakukan empat bulan, yaitu mulai bulan Agustus sampai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Broiler adalah ayam yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki

I. PENDAHULUAN. Broiler adalah ayam yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Broiler adalah ayam yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging, konversi pakan sangat irit, siap dipotong pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH)

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Usaha peternakan sapi perah di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan skala usahanya yaitu perusahaan peternakan sapi perah dan peternakan sapi perah rakyat (Sudono,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu HASIL DAN PEMBAHASAN Manajemen Pemeliharaan Komponen utama dalam beternak puyuh baik yang bertujuan produksi hasil maupun pembibitan terdiri atas bibit, pakan serta manajemen. Penelitian ini menggunakan

Lebih terperinci

Budidaya Ternak Kambing Dan Domba

Budidaya Ternak Kambing Dan Domba Budidaya Ternak Kambing Dan Domba Disusun oleh : Wasis Budi Hartono ( Penyuluh Pertanian BP3K Sanankulon ) A. Pendahuluan Pola peternakan kambing dan domba potong atau pedaging di Indonesia sebagian besar

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga. Pendahuluan

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga. Pendahuluan Pendahuluan Pembenihan merupakan suatu tahap kegiatan dalam budidaya yang sangat menentukan kegiatan pemeliharaan selanjutnya dan bertujuan untuk menghasilkan benih. Benih yang dihasilkan dari proses pembenihan

Lebih terperinci

TUGAS KULIAH LINGKUNGAN BISNIS PELUANG BISNIS BUDIDAYA BEKICOT

TUGAS KULIAH LINGKUNGAN BISNIS PELUANG BISNIS BUDIDAYA BEKICOT TUGAS KULIAH LINGKUNGAN BISNIS PELUANG BISNIS BUDIDAYA BEKICOT NAMA : LATIP SETIAWAN NIM : 11.02.7937 KELAS : D3-MI-01 JURUSAN : MANAJEMEN INFORMATIKA SEKOLAH TINGGI TEKNIK INFOERMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Teknik Penangkaran Secara umum beberapa aspek teknik manajemen penangkaran satwa sangat menentukan keberhasilan suatu jenis satwa. Aspek teknik penangkaran tersebut diantaranya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 21 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Terrarium II Taman Margasatwa Ragunan (TMR), DKI Jakarta selama 2 bulan dari bulan September November 2011. 3.2 Materi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Kambing 2.1.1. Kambing Kacang Menurut Mileski dan Myers (2004), kambing diklasifikasikan ke dalam : Kerajaan Filum Kelas Ordo Famili Upafamili Genus Spesies Upaspesies

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler atau yang juga disebut ayam pedaging merupakan salah satu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler atau yang juga disebut ayam pedaging merupakan salah satu 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Broiler Ayam broiler atau yang juga disebut ayam pedaging merupakan salah satu unggas yang sangat efisien dalam menghasilkan daging dan digemari oleh masyarakat Indonesia

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan (UP3) Jonggol, Laboratorium Biologi Hewan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan sudah sangat umum dibudidayakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seluas seluas hektar dan perairan kolam seluas hektar (Cahyono,

I. PENDAHULUAN. seluas seluas hektar dan perairan kolam seluas hektar (Cahyono, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki perairan tawar yang sangat luas dan potensial besar untuk usaha budidaya yang meliputi perairan umum seluas 141.690 hektar, sawah seluas seluas 88.500

Lebih terperinci

TUGAS KARYA ILMIAH TENTANG PELUANG BISNIS DAN BUDIDAYA IKAN PATIN

TUGAS KARYA ILMIAH TENTANG PELUANG BISNIS DAN BUDIDAYA IKAN PATIN TUGAS KARYA ILMIAH TENTANG PELUANG BISNIS DAN BUDIDAYA IKAN PATIN Disusun Oleh : Nama : Galih Manunggal Putra NIM : 11.12.5794 Kelas : 11-S1SI-06 Kelompok : H ABSTRAK Bisnis budidaya ikan konsumsi memang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Madura merupakan hasil persilangan antara sapi Bali (Bos sondaicus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Madura merupakan hasil persilangan antara sapi Bali (Bos sondaicus) 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penampilan Produksi Sapi Madura Sapi Madura merupakan hasil persilangan antara sapi Bali (Bos sondaicus) dengan sapi PO maupun sapi Brahman, turunan dari Bos indicus. Sapi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

I. JUDUL Prospek Budidaya Burung Puyuh

I. JUDUL Prospek Budidaya Burung Puyuh I. JUDUL Prospek Budidaya Burung Puyuh II. ABSTRAKS Persaingan dunia bisnis semakin merajalela, mulai dari sektor peternakan, material, bahkan hingga teknologi. Indonesia adalah salah satu negara yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Pakan Pakan adalah bahan makanan tunggal atau campuran, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada hewan untuk kelangsungan hidup, berproduksi, dan berkembang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pendahuluan Perkembangan industri peternakan yang semakin pesat menuntut teknologi yang baik dan menunjang. Salah satu industri peternakan yang paling berkembang adalah industri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan Makan Bondol Peking dan Bondol Jawa Pengujian Individu terhadap Konsumsi Gabah Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah dapat dilihat pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. ayam yang umumnya dikenal dikalangan peternak, yaitu ayam tipe ringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. ayam yang umumnya dikenal dikalangan peternak, yaitu ayam tipe ringan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Jantan Tipe Medium Berdasarkan bobot maksimum yang dapat dicapai oleh ayam terdapat tiga tipe ayam yang umumnya dikenal dikalangan peternak, yaitu ayam tipe ringan (Babcock,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMIJAHAN, PENETASAN TELUR DAN PERAWATAN LARVA Pemijahan merupakan proses perkawinan antara induk jantan dengan induk betina. Pembuahan ikan dilakukan di luar tubuh. Masing-masing

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

DAFTAR PUSTAKA. Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. DAFTAR PUSTAKA Abun. 2006. Nilai energi metabolis dan retensi nitrogen ransum yang mengandung limbah udang windu produk fermentasi pada ayam pedaging [makalah ilmiah]. Jatinangor: Jurusan Nutrisi dan Makanan

Lebih terperinci

INTENSIFIKASI TERNAK AYAM BURAS

INTENSIFIKASI TERNAK AYAM BURAS INTENSIFIKASI TERNAK AYAM BURAS 1. PENDAHULUAN Perkembangan ayam buras (bukan ras) atau lebih dikenal dengan sebutan ayam kampung di Indonesia berkembang pesat dan telah banyak dipelihara oleh peternak-peternak

Lebih terperinci

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VIII VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui peranan ternak babi dalam usaha penyediaan daging. Mengetahui sifat-sifat karakteristik

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Puyuh

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Puyuh I. TINJAUAN PUSTAKA A. Puyuh Coturnix coturnix japonica merupakan jenis puyuh yang populer dan banyak diternakkan di Indonesia. Puyuh jenis ini memiliki ciri kepala, punggung dan sayap berwarna coklat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba Jonggol R1 (a) dan Domba Jonggol R2 (b) Gambar 4. Domba Garut R1 (a) dan Domba Garut R2 (b)

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba Jonggol R1 (a) dan Domba Jonggol R2 (b) Gambar 4. Domba Garut R1 (a) dan Domba Garut R2 (b) MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai Oktober 2011 di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di ruang penangkaran lovebird Jl. Pulau Senopati Desa

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di ruang penangkaran lovebird Jl. Pulau Senopati Desa 22 III. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di ruang penangkaran lovebird Jl. Pulau Senopati Desa Jatimulyo, Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Percobaan Kandang Bahan dan Alat Prosedur Persiapan Bahan Pakan

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Percobaan Kandang Bahan dan Alat Prosedur Persiapan Bahan Pakan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2011. Pemeliharaan domba dilakukan di kandang percobaan Laboratorium Ternak Ruminansia Kecil sedangkan

Lebih terperinci