DESAIN PENGEMBANGAN PENATAAN WILAYAH KERJA TAMAN NASIONAL ALAS PURWO Oleh : Wahyu Murdyatmaka 1 I. LATAR BELAKANG Taman Nasional (TN) merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki tiga fungsi utama, yaitu; perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (SDHE) 2. Dalam dimensi fungsi keruangan, pengelolaan fungsi-fungsi tersebut diimplementasikan dengan penetapan sistem zonasi kawasan yang terdiri dari zona inti, pemanfaatan dan zona lain yang diperlukan. Adanya sistem zonasi bertujuan untuk menjamin terpeliharanya proses ekologis kawasan guna mewadahi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, budaya, dan wisata alam. Peraturan Pemerintah (PP) nomor: 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA); pasal 14, 16 dan 20; mengatur tentang penataan kawasan. Pasal 16 menyebutkan bahwa penataan kawasan meliputi; a) Penyusunan zonasi atau blok pengelolaan (ranah fungsi keruangan), dan b) penataan wilayah kerja (ranah manajerial). Dalam dimensi manajerial, tanggungjawab atas penyelenggaraan kegiatan konservasi SDHE, diatur melalui Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) nomor: P.03/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis (UPT) Taman Nasional. Pasal 31 huruf (a) menjelaskan bahwa; guna meningkatkan efektivitas pengelolaan wilayah (kawasan), maka dapat ditetapkan Resort Pengelolaan Taman Nasional (yang bersifat non-struktural/ bukan ruang eselon) berdasarkan keputusan kepala UPT TN. Dengan demikian, resort dapat disebut sebagai pemangku wilayah kerja TN yang membawa dimensi keruangan dan manajerial sekaligus. Logikanya, wilayah kerja resort dapat melingkupi beberapa zona dan mampu menyediakan informasi dinamika wilayah pangkuannya. 1 PEH BTN. Alas Purwo 2 UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
II. KONDISI SAAT INI TN Alas Purwo (TNAP) menginisiasi perkawinan antara dimensi fungsi keruangan dan dimensi manajerial pada tahun 2007 dengan mengimplementasikan pengelolaan kawasan berbasis resort (RBM). Penataan wilayah kerja TNAP dilandaskan pada efektivitas perlindungan kawasan dan mobilitas personil di kawasan; untuk mengeksplorasi fitur-fitur kunci ekosistem. Pada tahap inisiasi, diskusi yang panjang dilakukan bersama-sama antar entitas manajemen hingga menelurkan RBM sebagai paradigma baru. Tujuan besar yang ingin dicapai adalah terselenggaranya kegiatan konservasi SDHE secara efektif melalui prinsipprinsip good governance. Gambar 1. Peta wilayah kerja TNAP.
Saat itu, RBM merupakan upaya revitalisasi kelembagaan resort melalui pemenuhan sumberdaya manajemen, yaitu: organisasi, tata hubungan kerja, sarpras dan pembiayaan. Jumlah resort tetap; 6 buah, namun wilayah kerjanya ditata ulang. Tipologi resort, kapasitas kelembagaan (resort) dan batas-batas alam merupakan parameter penilaian yang didekati. Sejalan dengan penataan kawasan yang dilakukan (pemetaan wilayah kerja & pemasangan papan-papan informasi), dan rancang bangun sistem informasi pengelolaan kawasan (SILOKA). Melalui SILOKA, dinamika kawasan bisa dianalisis. Tahun 2008-2010 merupakan tahap basis implementasi RBM dengan fokus utama perlindungan kawasan. Skema RBM terbukti cukup efektif menekan tindak pelanggaran kawasan seperti pembalakan liar, pencurian bambu dan perburuan satwaliar. Selain itu, esensi RBM untuk mengoptimalkan kehadiran petugas di lapangan, budaya observasi, dokumentasi dan pelaporan juga tercapai. Tahun 2011, tahap pengembangan dicanangkan. Pembentukan unit pengelolaan khusus (UPK) setingkat resort, seperti: UPK Sadengan, UPK Ngagelan dan UPK Plengkung telah dilakukan. Masing-masing mengemban tugas spesifik, yaitu: pembinaan habitat dan populasi Banteng (Bos javanicus d Alton) di Sadengan, Penangkaran penyu semi permanen di Ngagelan dan pembinaan kegiatan pengusahaan pariwisata alam (PPA) di Plengkung. Selain itu, kegiatan persemaian dan restorasi jenis telah dilakukan di tingkat resort sejak 2009. Kegiatan teknis konservasi lainnya semisal pengumpulan spesimen tumbuhan, monitoring petak ukur permanen (PUP) dan monitoring daerah jelajah Banteng di dalam dan luar kawasan juga dilakukan dalam rangka penyediaan data dan informasi dinamika kawasan. Untuk lebih mengoptimalkannya, maka perlu dirumuskan pengembangan penataan wilayah kerja (resort). Dengan demikian, pengembangan aktivitas pengawetan plasma nutfah dan pemanfaatan lestari SDHE dapat dilakukan secara lebih terarah. III. TUJUAN Desain pengembangan penataan wilayah kerja TNAP merupakan kajian spasial dengan memperhatikan dimensi fungsi keruangan kawasan dan dimensi manajerial kelembagaan. Tujuannya adalah untuk memetakan wilayah kerja (resort) kedalam bagian-bagian pemangkuan wilayah berupa petak (blok pengelolaan) dan measured grid.
Dengan demikian, prioritas pengembangan pengelolaan kawasan (penunjang budidaya, budaya dan wisata alam) dan kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada scientific based approach (penelitian, ilmu pengetahuan dan pendidikan) dapat dikembangkan secara lebih optimal. IV. PENDEKATAN DIMENSIONAL 4.1. Dikotomi Definisi Taman Nasional dan Posisi Resort Sampai dengan saat ini, 50 kawasan telah ditetapkan sebagai TN di Indonesia. Masingmasing memiliki karakter kekhasannya, baik secara biofisik maupun interaksinya dengan ruang wilayah sekitar. Berdasarkan tipologi lanskapnya, TN di Indonesia dikelompokkan kedalam TN daratan dan laut. Tipologi dan kekhasan masing-masing TN berimplikasi terhadap pola manajemen yang berbeda-beda. Secara umum, pengelolaan TN di Indonesia mengacu pada regulasi utama: 1. UU nomor 5 tahun 1990, tentang KSDHE 2. UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan 3. PP nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan KSA-KPA 4. Permenhut nomor 56 tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional 5. Permenhut nomor P.03/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis (UPT) Taman Nasional, dan 6. Peraturan-perundangan lainnya yang berkaitan dengan rencana tata ruang daerah, pemanfaatan kawasan oleh pihak ketiga dan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan Seperti dijelaskan sebelumnya, regulasi pengelolaan TN di Indonesia memiliki 2 dimensi; fungsi keruangan dan manajerial. Pada prakteknya, kawasan-kawasan TN terbagi kedalam wilayah-wilayah kerja berbasis administratif, yaitu seksi pengelolaan taman nasional (SPTN). Sementara itu, kedudukan resort adalah opsional, tidak dijelaskan bagaimana bentuk kelembagaan dan tata hubungan kerjanya. Dengan demikian, ini adalah ruang kreatifitas manajemen untuk mendesain resort dalam rangka mendukung tercapainya tujuan pengelolaan TN.
Sedangkan bila mengacu pada tataran global, IUCN mengklasifikasikan protected area ; yang kurang lebih similar dengan kawasan konservasi (KK), dimana TN termasuk dalam kategori II. Tujuan utama penetapan TN adalah perlindungan proses ekologis dan ekosistem asli suatu kawasan. Skema penunjukkanya berbeda dengan KK di Indonesia. Di Indonesia, KK termasuk dalam ulayat hutan negara, yaitu hutan konservasi yang terdiri dari KSA, KPA dan Taman Buru 3. Dudley (2008) 4 menyatakan bahwa, kawasan TN dapat ditunjuk dengan skala lebih luas untuk melindungi koridor biologis kawasan (lanskap) dan interkoneksinya dengan aktivitas konservasi lain. Sehingga selain ekosistem aslinya, kawasan TN dapat meliputi satu kesatuan daerah aliran sungai (DAS) dan distribusi keanekaragaman hayatinya. Dengan demikian, status kawasan TN tidak hanya merupakan hutan/tanah negara, akan tetapi dapat melingkupi daerah disekitarnya; termasuk tanah milik dengan pola insentif dan program konservasi terpadu. Pengelolaannya dilakukan secara multi-stakeholders dengan fokus-fokus pengelolaan pada masing-masing zona. Gambar 2. Peta zonazi Booderee National Park di Australia. 3 UU nomor 41 tahun 199 tentang Kehutanan; pasal 5 ayat 1 huruf (a) dan (b), pasal 6 ayat 1 huruf (a) dan pasal7 huruf (a), (b) dan (c). 4 Dudley, N., 2008. Guidelines for Applying Protected Area Management Categories. IUCN 2008.
4.2. Entitas Analisis Menarik paradigma regulasi pengelolaan TN di Indonesia dan sistem kategori protected area dari IUCN, maka memadukan dimensi fungsi keruangan (sistem zonasi) dengan dimensi manajerial (wilayah kerja), merupakan suatu langkah pengelolaan yang dapat dikembangkan. Pengembangan penataan wilayah kerja TNAP akan mengacu pada aspek-aspek kunci pengelolaan kawasan, yaitu regulasi, tujuan penetapan, rencana pengelolaan, fitur-fitur kunci kawasan dan efekstivitas kelembagaan. Dengan demikian, entitas analisisnya dapat digambarkan sebagai berikut: Landasan pengelolaan KK di Indonesia: - KSA-KPA & TB - TN = KPA Sistem kategori protected area, IUCN: - 6 Kategori - TN = kategori II ENTITAS Kontrol: 1. RPTN 2. RBM 3. Pendekatan scientific 4. Sumber data dan informasi Prinsip pengelolaan: 1. Perlindungan proses ekologis, ekosistem asli dan interkoneksi kawasan dengan wilayah sekitar 2. Pengawetan plasma nutfah 3. Pemanfaatan lestari SDHE Tata ruang: 1. Zonasi 2. Wilayah kerja 3. Daerah penyangga DESAIN PENGEMBANGAN PENATAAN WILAYAH KERJA Catatan: RBM sudah didorong untuk diterapkan di seluruh TN s.d 2014 dan saat ini tengah dirumuskan permenhut tentang pengelolaan TN berbasis resort. Gambar 3. Entitas analisis desain pengembangan penataan wilayah kerja TNAP
V. DESAIN PENGEMBANGAN PENATAAN WILAYAH KERJA 5.1. Kerangka Pengembangan Mengacu pada entitas analisisnya, maka desain pengembangan penataan wilayah kerja TNAP akan tergambar sebagai berikut: Regulasi Dimensi Fungsi Keruangan (zoning system): a. Perlindungan SPK b. Pengawetan plasma nutfah c. Pemanfaatan lestari SDHE Dimensi Manajerial (resort based management): a. Tipologi resort b. Kapasitas kelembagaan c. Analisis stakeholders/ beneficiaries d. Rencana strategis Overlay themes: a. Peta zonasi b. Peta wilayah kerja Multikriteria Analisis Input themes: a. Sebaran alur sungai b. Kontur c. Jalan d. Sebaran satwa e. Habitat/ daerah jelajah satwa f. Sebaran spesiesspesies prioritas g. Gangguan kawasan h. Daerah penyangga Blocking system Blok Grid Kombinasi Gambar 4. Diagram alir desain pengembangan penataan wilayah kerja TNAP
Berdasarkan diagram alir tersebut, peta wilayah kerja TNAP (resort) yang ada saat ini akan dibagi kedalam petak-petak hutan (blok) dan sistem grid. Desain ini akan memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memudahkan sistem perencanaan pengelolaan wilayah kerja (resort). Apabila saat ini rencana kerja resort masih bersifat monthly planning, maka setelahnya dapat bersifat annual planning atau dalam konteks lima tahunan (mid-term planning) 2. Mendorong SILOKA untuk dapat dikembangkan sebagai salah satu pendukung penyediaan data dan informasi dinamika kawasan baik yang bersifat monitoring maupun aktivitas scientific. 3. Fokus dan prioritas pengelolaan resort dapat dirumuskan untuk mensinergikan aktivitas tapak dengan tujuan RPTN. 4. Membantu perencanaan anggaran yang lebih berorientasi pada keseimbangan antara komponenkomponen input dan output yang diharapkan 5. Membantu pengembangan aktivitas pengelolaan ruang zonasi 6. Membantu pengelolaan daerah penyangga 5.2. Desain Pengembangan Pengembangan penataan wilayah kerja dilakukan melalui proses multikriteria analisis dengan terhadap overlay themes dan input themes, seperti disebutkan pada gambar 4. Dengan mempertimbangkan luas wilayah kerja (resort) dan zonasi kawasan, maka TNAP terbagi kedalam 17 blok pengelolaan. Seluruh blok pengelolaan terbagi menggunakan pola grid dengan luasan 100 ha (1 km2). Berdasarkan mozaik kawasan TNAP dan kawasan pangkuan resort, maka terdapat 749 grid block. Berikut adalah data blok pengelolaan dan jumlah grid di dalamnya: Tabel 1. Data blok pengelolaan dan jumlah grid Label Jumlah Blok Jumlah Grid SPTN Wil. I Tegaldlimo 9 353 Resort Grajagan 2 49 Resort Pancur 4 219 Resort Rowobendo 3 85 SPTN Wil. II Muncar 8 396 Resort Kucur 2 47 Resort Sembulungan 3 146 Resort Tanjung Pasir 3 203 Grand Total Grid 749
Gambar 5. Pembagian blok pengelolaan dan grid pada wilayah kerja. Kombinasi antara blok pengelolaan dan grid. Pembagian blok pengelolaan pada masing-masing resort diformulasikan melalui kriteria analisis terhadap similaritas zonasi, isu pengelolaan (gangguan, penyebaran flora-fauna, daerah penyangga, alur sungai/ sumber air, aksesibilitas) dan efektivitas pergerakan petugas di lapangan. Kodefikasi grid dilakukan menggunakan kombinasi axis horizontal (alfabet) dan axis vertikal (angka) dengan kunci identitas kode resort dan blok pengelolaan. Aturan dasarnya adalah sebagai berikut: 1) Kode resort (char = 2): a) 11; Rowobendo b) 12; Pancur c) 13; Grajagan d) 21; Kucur e) 22; Sembulungan f) 23; Tanjungpasir 2) Kode blok pengelolaan (char = 1), berupa huruf kapital A-D 3) Kode grid (char = 8), berupa kombinasi antara kode sptn + resort + kode blok pengelolaan + measured gird Contoh kodefikasi: Kode grid: 13AA021; grid (A021) yang berlokasi di blok pengelolaan A wilayah Resort Grajagan (SPTNW I). Kode grid: 21CAI001; grid (AI001) yang berlokasi di blok pengelolaan C wilayah resort Tanjungpasir (SPTNW II).
5.3. Wilayah Pangkuan Resort 5.3.1. Resort Rowobendo Wilayah Kerja Luas wilayah : 4.108,80 ha Blok pengelolaan : 3 (A-C) Jumlah grid : 85 Zona : rimba, tradisional, pemanfaatan Tipologi Wilayah Pangkuan Tipologi : pengawetan & pemanfaatan Daerah Penyangga: HP Perum Perhutani Fitur-fitur kunci : Sebaran Banteng di dalam dan di luar kawasan, sumber air, trianggulasi & Sumbergedang Ancaman : Illegal logging, perburuan satwa Organisasi Jumlah Personil : 7 Komposisi Polhut : 5 PEH : 2 Fung. Umum :- Outsorce/ Voltr :- Sarpras Prasarana : pos jaga, barak polhut, visitor center, pesanggrahan, kantor Operasional : Sepeda motor, genset Alat survey : GPS, Kamera Isu Pengelolaan PP Sadengan dikelola secara mandiri oleh unit setingkat resort Pengelolaan wisata alam belum optimal Belum ada payung yang jelas tentang aktivitas pengelolaan di zona tradisional Sebaran Banteng di Sumbergedang (HP) dan indikasi perburuannya Sebaran Elang Jawa di Sadengan
5.3.2. Resort Pancur Wilayah Kerja Luas wilayah : 14.247,80 ha Blok pengelolaan : 4 (A-D) Jumlah grid : 219 Zona : inti, rimba, pemanfaatan Tipologi Wilayah Pangkuan Tipologi : Perlindungan & pemanfaatan Daerah Penyangga: - Fitur-fitur kunci : Areal IPPA di Plengkung, sebaran bambu, sawokecik, macan tutul Ancaman : perburuan satwa Organisasi Jumlah Personil : 6 Komposisi Polhut : 5 PEH : 1 Fung. Umum :- Outsorce/ Voltr :- Sarpras Prasarana : pos jaga, kantor resort, areal parkir, mushala, camping ground Operasional : Sepeda motor, genset Alat survey : GPS, Kamera Isu Pengelolaan IPPA di Plengkung dimonitor secara mandiri oleh unit setingkat resort Pengelolaan wisata alam belum optimal Sebagian besar kegiatan resort berbasis perlindungan Sebaran Banteng di Paranggedek Sebaran Macan Tutul di Parangireng
5.3.3. Resort Grajagan Wilayah Kerja Luas wilayah : 2.286,58 ha Blok pengelolaan : 2 (A-B) Jumlah grid : 49 Zona : rimba, tradisional, pemanfaatan Tipologi Wilayah Pangkuan Tipologi : Perlindungan & pemanfaatan Daerah Penyangga: Desa Grajagan, Sumberasri, Purwoasri & Purwoagung Fitur-fitur kunci : Ekosistem mangrove, burung migran, lokasi pendaratan penyu Ancaman : Illegal logging, perburuan satwa Organisasi Jumlah Personil : 6 Komposisi Polhut : 4 PEH : 2 Fung. Umum :- Outsorce/ Voltr :- Sarpras Prasarana : kantor resort, camping ground, dermaga Operasional : Sepeda motor, speed boat, genset Alat survey : GPS, Kamera Isu Pengelolaan Pemanfaatan kawasan untuk aktivitas ekowisata oleh Desa Sumberasri Sebagian besar kegiatan resort berbasis perlindungan Perambahan kawasan di Blok Pathuk
5.3.4. Resort Kucur
5.3.5. Resort Sembulungan Wilayah Kerja Luas wilayah : 7.556,46 ha Blok pengelolaan : 3 (A-C) Jumlah grid : 146 Zona : inti, rimba, pemanfaatan Tipologi Wilayah Pangkuan Tipologi : Perlindungan Daerah Penyangga: Desa Kedungrejo, Kedungringin, Wringinputih, Kedunggebang Fitur-fitur kunci : Ekosistem mangrove,peninggalan jepang, sebaran bambu, sebaran Banteng Ancaman : Illegal logging, perburuan satwa Organisasi Jumlah Personil : 6 Komposisi Polhut : 5 PEH : 1 Fung. Umum :- Outsorce/ Voltr :- Sarpras Prasarana : pos jaga Operasional : Sepeda motor, perahu motor (jukung), genset Alat survey : GPS, Kamera Isu Pengelolaan Potensi wisata religi & sejarah di Sembulungan belum dikembangkan Sebaran Banteng di Perpat Indikasi perburuan Macan Tutul & burung
5.3.6. Resort Tanjungpasir Wilayah Kerja Luas wilayah : 14.341,70 ha Blok pengelolaan : 3 (A-C) Jumlah grid : 203 Zona : inti, rimba, pemanfaatan Tipologi Wilayah Pangkuan Tipologi : Perlindungan Daerah Penyangga: perairan Muncar, Selat Bali & Samudera Hindia Fitur-fitur kunci : Sebaran Macan Tutul, Banteng, Penyu, Bambu, lokasi konsentrasi satwa di Pecelengan Ancaman : Illegal logging, perburuan satwa Organisasi Jumlah Personil : 6 Komposisi Polhut : 4 PEH : 1 Fung. Umum : 1 Outsorce/ Voltr :- Sarpras Prasarana : kantor resort Operasional : Sepeda motor, kapal patroli, long boat genset Alat survey : GPS, Kamera Isu Pengelolaan Tingginya aktivitas pendarung Sebagian besar aktivitas resort berbasis perlindungan Potensi riset pada ekosistem asli di zona inti
VI. SINTESIS Dari desain pengembangan penataan wilayah kerja yang telah dilakukan, berikut beberapa simpulan yang dihasilkan: 1. Blocking system merupakan instrumen dasar perencanaan pengelolaan kawasan, ekstraksi aktivitas dan memudahkan untuk mengukur supporting system yang harus dipenuhi 2. Kombinasi antara tipologi dan isu pengelolaan pada masing-masing resort dapat diejawantahkan kedalam matriks kegiatan, baik yang bersifat annual maupun multi-years 3. Komponen biaya input untuk implementasi RBM akan dapat dialokasikan berdasarkan pada aktivitas-aktivitas yang direncanakan. Dengan demikian, ukuran pembiayaan operasional masing-masing resort akan berbeda-beda (selama ini sama berupa honor pengumpulan data register) 4. Pola distribusi dan komposisi personil (PEH-Polhut & fungsional umum) akan merunut pada kebutuhan pengelolaan resort. Berdasarkan sintesis diatas, maka rekomendasi yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan diskusi bersama antara balai, sptn dan resort dalam rangka penyempurnaan blocking system 2. Perlu inisiasi penyusunan annual planning pada tingkat resort 3. Perlu perumusan bersama tentang penyusunan RAKKL dalam rangka RBM berdasarkan annual planning yang telah disusun oleh resort 4. Perlu dilakukan penguatan kapasitas kelembagaan resort, baik melalui skema kegiatan bersama maupun penugasan personil yang dibutuhkan resort atau pelatihan-pelatihan untuk kebutuhan khusus