BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

ISTILAH DI NEGARA LAIN

Penggunaan data informasi penginderaan jauh terutama

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa

ix

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Nilai Koefisien Limpasan di DAS Krueng Meureudu Provinsi Aceh

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (XXXX) ISSN: XXXX-XXXX (XXXX-XXXX Print) 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KAWASAN TERPADU RIMBA DI 3 KABUPATEN PRIORITAS (Kab. Kuantan Sengingi, Kab. Dharmasraya dan Kab. Tebo)

Analisa Pantauan dan Klasifikasi Citra Digital Remote Sensing dengan Data Satelit Landsat TM Melalui Teknik Supervised Classification

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

Analisis Perubahan Penutup Lahan Hutan dan Perkebunan di Provinsi Jambi Periode

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

TINJAUAN PUSTAKA. wilayah yang jelas, sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang. Kota

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

PENELITIAN FISIKA DALAM TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING PERUBAHAN GARIS PANTAI (STUDI KASUS DI WILAYAH PESISIR PERAIRAN KABUPATEN KENDAL)

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data geografis dan sumberdaya manusia (brainware) yang mampu merekam, menyimpan, memperbaharui, menganalisis, dan menampilkan informasi yang berefrensi geografis (Jaya 2002). Menurut Prahasta (2002), SIG adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalsis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografis, yaitu masukan, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), analisis dan manipulasi data serta keluaran. Berdasarkan definisi tersebut, SIG dapat diuraikan menjadi beberapa subsistem berikut: 1. Data input: sub sistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Sub sistem ini bertanggung jawab dalam mengonversi atau mentransformasikan format-format data-data aslinya ke dalam format yang dapat digunakan oleh SIG. 2. Data output: sub sistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data baik dalam bentuk softcopy maupun bentuk hardcopy seperti tabel, grafik, dan peta. 3. Data Management : sub sistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-update dan di-edit. 4. Data Manipulation & Analysis : sub sistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, sub sistem ini juga melakukan

4 manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan (Prahasta 2002). 2.2 Citra LANDSAT Teknologi penginderaan jauh satelit dipelopori oleh NASA Amerika Serikat dengan diluncurkannya satelit sumberdaya alam yang pertama, yang disebut ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite) pada tanggal 23 Juli 1972, menyusul ERTS-2 pada tahun 1975, satelit ini membawa sensor RBV (Retore Beam Vidcin) dan MSS (Multi Spectral Scanner) yang mempunyai resolusi spasial 80 x 80 m. Satelit ERTS-1, ERTS-2 yang kemudian setelah diluncurkan berganti nama menjadi LANDSAT 1, LANDSAT 2, diteruskan dengan seri-seri berikutnya, yaitu LANDSAT 3, 4, 5, 6 dan terakhir adalah LANDSAT 7 yang diorbitkan bulan Maret 1998, merupakan bentuk baru dari LANDSAT 6 yang gagal mengorbit. LANDSAT 5, diluncurkan pada 1 Maret 1984, sekarang ini masih beroperasi pada orbit polar, membawa sensor TM (Thematic Mapper), yang mempunyai resolusi spasial 30 x 30 m pada band 1, 2, 3, 4, 5 dan 7. Sensor Thematic Mapper mengamati obyek-obyek di permukaan bumi dalam 7 band spektral, yaitu band 1, 2 dan 3 adalah sinar tampak (visible), band 4, 5 dan 7 adalah infra merah dekat, infra merah menengah, dan band 6 adalah infra merah termal yang mempunyai resolusi spasial 120 x 120 m. Luas liputan satuan citra adalah 175 x 185 km pada permukaan bumi. LANDSAT 5 mempunyai kemampuan untuk meliput daerah yang sama pada permukaan bumi pada setiap 16 hari, pada ketinggian orbit 705 km (Sitanggang 1999 dalam Ratnasari 2000). Karakteristik citra LANDSAT 7 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik citra LANDSAT 7 Sistem LANDSAT-7 Orbit 705 km, 98.2o, sun-synchronous, 10:00AM crossing, rotasi 16 hari (repeat cycle) Sensor ETM + (Enhanced Thematic Mapper) Swath width 185 km (FOV=15o) Band-band spektral (um) 0.45-0.52 (1), 0.52-0.60 (2), 0.63-0.69 (3), 0.76-0.90 (4), 1.55-1.75 (5), 10.4-12.50 (6), 2.08-2.34 (7), 0.50-0.90 (PAN) Resolusi spasial 15 m (PAN), 30 m (band 1-5, 7), 60 m band 6 Sumber : Canada Centre for Remote Sensing (2010)

5 Sistem LANDSAT merupakan milik Amerika Serikat yang mempunyai tiga instrument pencitraan, yaitu RBV (Return Beam Vidicon), MSS (Multi Spectral Scanner) dan ETM + (Enhanced Thematic Mapper) (Jaya 2002). RBV merupakan instrumen semacam televisi yang mengambil citra snapshot dari permukaan bumi sepanjang trek lapangan satelit pada setiap selang waktu tertentu. MSS merupakan suatu alat scanning mekanis yang merekam data dengan cara meninjau permukaan bumi dalam jalur atau baris tertentu. ETM + merupakan alat scanning mekanis yang mempunyai resolusi spektral, spasial, dan radiometrik. 2.3 Daerah Aliran Sungai (DAS) Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air (2008) mendefinisikan daerah aliran sungai secara umum sebagai suatu hamparan atau wilayah yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. Menurut Wibowo (2005), DAS adalah suatu wilayah yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak sungai yang dibatasi oleh alam topografi yang berfungsi menampung, menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Sasaran pengelolaan DAS adalah sumberdaya yang ada di dalam ruang tersebut berupa hutan, lahan, air, vegetasi, manusia, dan lain sebagainya. DAS merupakan suatu ekosistem dimana di dalamnya terjadi suatu proses interaksi antara faktor-faktor biotik, abiotik, dan manusia. Sebagai suatu ekosistem, maka setiap ada masukan (input) ke dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran (output) dari ekosistem tersebut. Komponen masukan dalam ekosistem DAS adalah curah hujan, sedangkan komponen keluaran terdiri dari debit air dan muatan sedimen. Komponen-komponen DAS yang berupa vegetasi, tanah, dan saluran atau sungai dalam hal ini bertindak sebagai prosessor. Komponen hidrologi terkena dampak kegiatan pembangunan di dalam DAS meliputi koefisien aliran permukaan (C), koefisien regim sungai (KRS), nisbah debit maksimum-minimum, kadar lumpur

6 atau kandungan sedimen laying sungai, laju, frekuensi dan periode banjir serta keadaan air tanah (Surpin 2004). Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan (Kodoatie dan Sjarief 2005). Pengelolaan DAS pada dasarnya adalah pengelolaan sumberdaya alam dan buatan (natural and man made capital) yang terdapat di suatu DAS. Praktek pengelolaan sumberdaya alam dan buatan di Indonesia dibagi atau dikelompokan ke dalam sektor-sektor pengelolaan atau pembangunan. Sebut saja sektor yang terkait dengan tanah dan batuan yang menyusunya serta vegetasi di atasnya yaitu pertambangan, pertanian, perkebunan, kehutanan; yang terkait dengan badan air dan sumberdaya buatan, yaitu energi, transportasi, prasarana, pemukiman dan produksi, kelestarian fungsi lingkungan dan kelestarian fungsi sosial-ekonomi (Putro et al. 2003). Tingginya tekanan terhadap keberadaan hutan di Indonesia mengakibatkan kondisi hutan semakin menurun serta berkurang luasnya. Berdasarkan data yang tersedia, luas hutan selama periode 1985-1997 untuk tiga pulau besar (Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi) telah berkurang seluas 1,6 juta ha/tahun atau sekitar 21 juta ha selam kurun waktu tersebut. Pada periode 1997-2000 laju penurunan luas hutan di dalam kawasan hutan Indonesia bahkan meningkat menjadi 2,84 juta ha/tahun, sedangkan untuk periode 2000-2005 laju penurunan luas hutan mencapai angka 1,08 juta ha/tahun atau sekitar 5,4 juta ha selama kurun waktu lima tahun (PIPH BAPLAN 2008). 2.4 Penutupan Lahan Tutupan lahan merupakan material dasar dari suatu lingkungan yang diartikan dengan sejumlah karakteristik alami, yaitu iklim, geologi, tanah, topografi, hidrologi dan biologi (Aldrich 1981 dalam Hendayanti 2008). Secara nasional, peta penutupan lahan atau penggunaan lahan tertua adalah peta penggunaan lahan tahun 1969 yang dibuat oleh Badan Pertanahan Nasional

7 (BPN), Departemen Dalam Negeri. Berdasarkan peta ini, penutupan lahan dibagi menjadi 14 tipe penggunaan lahan, pada skala 1:250.000. Pada tahun 2003 dan 2008 Direktorat Planologi mempublikasikan data penutupan lahan untuk seluruh Indonesia. Data ini dibuat berdasarkan interpretasi visual citra LANDSAT dengan mempertimbangkan tingkat gangguan hutan (primer atau sekunder) dan kondisi lahan (rawa atau lahan kering). Klasifikasi Direktorat Jendral Planologi Kehutanan menggunakan 23 kelas (JICA 2011). Prosedur klasifikasi citra secara dijital bertujuan untuk mengategorikan semua piksel citra ke dalam kelas penutupan lahan secara otomatis. Digunakan bentuk klasifikasi pola spektral data untuk pengategorian setiap piksel berbasis numerik. Pola spektral tersebut merupakan prosedur klasifikasi yang menggunakan informasi spektral setiap piksel untuk pengenalan kelas-kelas penutupan lahan secara otomatis. Bentuk klasifikasi lain yaitu klasifikasi pola spasial, meliputi kategorisasi piksel citra dengan basis hubungan spasial antar piksel tersebut (Purwadhi 2001). Klasifikasi spasial mencakup beberapa aspek atau dikenal dengan elemen interpretasi. Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi secara manual dan interpretasi secara dijital. Interpretasi secara manual adalah interpretasi data penginderaan jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri atau karakteristik objek secara keruangan. Sedangkan interpretasi secara dijital adalah evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral yang disajikan pada citra. Dasar interpretasi citra dijital berupa klasifikasi citra piksel berdasarkan nilai spektralnya dan dapat dilakukan dengan cara statistik. Dalam pengklasifikasian citra secara dijital, mempunyai tujuan khusus untuk mengkategorikan secara otomatis setiap piksel yang mempunyai informasi spektral yang sama dengan mengikutkan pengenalan pola spektral, pengenalan pola spasial dan pengenalan pola temporal yang akhirnya membentuk kelas atau tema keruangan (spasial) tertentu (Purwadhi 2001). Karakteristik objek dalam interpretasi citra secara manual dapat dikenali berdasarkan 7 unsur interpretasi (Jaya 2010), yaitu : a. Tone dan warna

8 Tone (derajat keabu-abuan atau grayscale) dan warna adalah elemen dasar dari sebuah objek. Variasi tone atau warna sangat bergantung pada karakteristik dari setiap objek, karena warna merupakan hasil reflektansi, transmisi dan atau radiasi panjang gelombang yang dihasilkan dari objek yang bersangkutan. Tone atau warna sangat bergantung pada panjang gelombang atau band yang digunakan saat perekaman. Tingkat kecerahan dari objek sangat bergantung pada sifat dasar dari objek yang bersangkutan. Tone pada citra radar dapat didefinisikan sebagai intensitas rata-rata dari sinyal backscatter. Backscatter yang tinggi akan menghasilkan kecerahan yang tinggi (tone terang), sebaliknya backscatter yang rendah akan menghasilkan tingkat kecerahan yang rendah (tone gelap). b. Tekstur Dalam interpretasi terbentuk dari variasi dan susunan tone dan atau warna yang ditampilkan oleh suatu objek atau sekumpulan objek pada citra. Tekstur kasar umumnya dibentuk oleh tone dengan variasi tinggi (belang-belang) dimana terjadi perubahan tone yang besar, sedangkan tekstur halus terbentuk dari variasi yang relatif kecil. c. Bentuk Secara umum bentuk sebuah objek mengacu pada bentuk-bentuk umum bagian luar (eksternal), struktur, konfigurasi atau garis besar dari individu objek. Bentuk-bentuk umum yang digunakan adalah variasi bentuk poligon dan atau garis, seperti segi empat panjang, segitiga, lingkaran, garis lurus, garis melengkung, dan sebagainya. Bentuk-bentuk objek buatan manusia umumnya lebih teratur dibandingkan dengan bentuk-bentuk alam. Pada citra radar, bentuk objek merupakan hasil rekaman dari posisi miring (oblique/side looking), jarak slant dari radar. d. Ukuran Ukuran suatu objek atau yang tampak dalam citra atau foto sangat bergantung pada skala, resolusi dan ukuran objek yang sebenarnya ada di alam. e. Pola Pola yang digunakan pada interpretasi visual umumnya mengacu pada tata ruang atau tata letak objek dalam suatu ruang. Pola merupakan susunan spasial

9 suatu objek dalam suatu bentuk yang khas dan berulang. Pola sebaran objek dengan jarak yang teratur, tone yang sama akan menghasilkan tampilan pola yang berbeda dengan objek yang tersebar secara acak (random) dan tone yang relatif berbeda. f. Bayangan Pada citra radar, bayangan topografi adalah bagian yang tidak ada informasi backscatter. Bayangan itu juga berguna untuk meningkatkan atau mengidentifikasi topografi dan bentang alam, khususnya dalam citra radar. Bayangan pada radar sangat terkait dengan sudut miring dari radiasi gelombang mikro yang dipancarkan sistem sensor dan bukan oleh geometri dari iluminasi matahari. g. Site dan asosiasi Site atau tapak atau lokasi menunjukan kekhasan tempat objek tersebut berada. Elemen asosiasi mempertimbangkan hubungan keberadaan antara objek yang satu dengan objek lainnya. Setiap tutupan lahan memiliki karakteristik spektral yang berbeda. Hal ini terjadi karena bagi material-material yang menjadi target sensor, jumlah radiasi sinar matahari yang dipantulkan, diserap, atau bahkan diteruskan kembali akan bervariasi sesuai dengan beberapa panjang gelombang yang dipancarkan. Karakteristik dari setiap materi tersebut diantaranya : 1. Nilai pantulan dari target clear water (unsur air jernih atau bersih) pada umumnya rendah (cenderung berwarna biru-gelap). Walaupun demikian, pantulan ini akan mencapai nilai maksimum pada akhir spektrum biru dan kemudian menurun sejalan dengan meningkatnya panjang gelombang. Air jernih menyerap tenaga pada panjang gelombang kurang dari 0,6 μm (Prahasta 2008). 2. Turbid water (air keruh), kemungkinan besar, mengandung endapan atau sedimen (biasanya pada layer bagian atas perairan yang bersangkutan) yang dapat meningkatkan nilai pantulan pada domain merah-akhir spektrum hingga kenampakannya bisa jadi kecoklatan (nilai pantulannya lebih baik dan kenampakannya lebih cerah). Sementara warna kenampakannya akan memperlihatkan suatu pergeseran yang mulus ke arah gelombang yang lebih

10 panjang. Ada kalanya fakta (fenomena) pada air keruh tidak jauh berbeda dengan kondisi pada perairan dangkal (shallow water) yang bersih. Pada kasus ini, keberadaan klorofil alga (jika banyak terdapat di dalam perairan yang bersangkutan) lebih banyak menyerap radiasi gelombang pada domain biru dan memantulkan yang hijau. Kehadiran alga dalam shallow water akan menyebabkan perairan yang bersangkutan berwarna kehijauan (kadang juga berwarna biru-hijau atau cyan) 3. Secara umum, pada wilayah perairan, radiasi elektromagnetik visible yang lebih panjang dan near-infrared lebih banyak diserap daripada radiasi elektromagnetik visible yang panjang gelombangnya lebih pendek. Wilayah perairan sering juga nampak berwarna kebiruan atau kehijau-biruan karena pantulan yang lebih kuat dari gelombang yang lebih pendek. Walaupun demikian, tubuh air akan nampak lebih gelap jika menggunakan band-band merah (visible paling kanan [lebih panjang]) atau near-infrared. 4. Beberapa faktor yang mempengaruhi pantulan tanah ialah kandungan kelembaban tanah, tekstur tanah (susunan pasir, debu, dan lempung), kekasaran permukaan, adanya oksidasi besi, dan kandungan bahan organik (Prahasta 2008). Adanya kelembaban di tanah akan mengurangi pantulanya. Pengaruh ini terjadi paling besar pada spektrum 1,4 μm, 1,9 μm dan 2,7 μm. Kandungan kelembaban tanah berhubungan kuat dengan tekstur tanah. Misalnya pada tanah berpasir dengan tekstur kasar menghasilkan kandungan kelembaban tanah rendah dan pantulanya relatif tinggi. Dengan tidak adanya kandungan air tanah akan bertekstur kasar dan akan tampak lebih gelap pada tanah bertekstur halus. Dua faktor lain yang memperkecil pantulan tanah yaitu kekasaran permukaan dan kandungan bahan organik (Lillesand dan Kiefer 1990). 5. Vegetasi memiliki spectral signature yang unik dan memungkinkan untuk membedakan tipe-tipe penutupan lahan pada image near-infrared. Pantulanya akan bernilai rendah pada spektrum biru dan merah, hal ini terjadi karena terjadi penyerapan klorofil untuk proses fotosintesis (Prahasta 2008). Vegetasi memiliki pantulan puncak pada spektrum hijau, hal ini dipengaruhi oleh pigmen daun pada tumbuhan. Klorofil misalnya, banyak menyerap energi pada panjang gelombang yang terpusat antara 0,45 μm 0,65 μm. Apabila terjadi

11 gangguan pada tumbuhan dan mengakibatkan penurunan produksi klorofil, maka serapan klorofil pada spektrum merah dan biru akan berkurang, hal ini akan mengakibatkan warna untuk tumbuhan tersebut menjadi kuning (gabungan antara hijau dan merah karena pantulan pada spektrum merah bertambah). Setelah panjang gelombang 1,3 μm, tenaga yang datang pada vegetasi pada dasarnya akan diserap atau dipantulkan, dan tidak ada atau sedikit yang ditransmisikan. Penurunan pantulan pada daun akan terjadi pada panjang gelombang 1,4 μm, 1,9 μm dan 2,7 μm karena air yang terdapat pada daun pada panjang gelombang ini kuat sekali serapannya sehingga pada panjang gelombang ini sering disebut spektrum penyerap air (Lillesand dan Kiefer 1990). 2.5 Penggunaan Citra LANDSAT ETM + Untuk Identifikasi Penutupan Lahan Penelitian mengenai identifikasi tutupan lahan dengan menggunakan citra LANDSAT ETM+ telah banyak dilakukan karena citra ini memiliki sensor ETM+ (Enhanced Thematic Mapper) yang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi tutupan lahan. Klasifikasi penutupan lahan di Indonesia dilakukan oleh berbagai instansi, dengan pendekatan dan ketelitian yang berbeda-beda sehingga menghasilkan tipe penutupan lahan atau penggunaan lahan yang berbeda-beda. Penelitian tersebut diantaranya yang dibuat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), Departemen Dalam Negeri. Penutupan lahan dibagi menjadi 15 tipe penggunaan lahan. Pada tahun 2003 dan 2008 Direktorat Planologi mempublikasikan data penutupan lahan untuk seluruh Indonesia. Data dibuat berdasarkan interpretasi visual citra LANDSAT di peroleh 29 tutupan lahan dengan mempertimbangkan tingkat gangguan hutan (primer atau sekunder) dan kondisi lahan (rawa atau lahan kering). Lembaga lain yang melakukan klasifikasi penutupan lahan adalah Kementrian Lingkungan Hidup yang dibuat pada tahun 2005 berdasarkan citra LANDSAT (Tabel 2) (JICA 2011). Tabel 2. Klasifikasi penutupan lahan menurut beberapa sumber Klasifikasi Badan Klasifikasi Badan Planologi Klasifikasi Kementrian Pertanahan Nasional Departemen Kehutanan (2001) Lingkungan Hidup (2005) (1969)

12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 primer dataran rendah primer pegunungan rendah primer pegunungan tinggi primer sub- alpine sekunder dataran rendah sekunder pegunungan rendah pegunungan sub-alpine sekunder sub-alpine Hutan rawa primer Hutan rawa sekunder Hutan mangrove primer Hutan mangrove sekunder Semak atau belukar Semak atau belukar rawa Savana HTI Perkebunan Pertanian lahan kering Bercampur dengan semak Transmigrasi Sawah Tambak Tanah terbuka Pertambangan Salju Permukiman Tubuh air Rawa Awan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Hutan Lahan kering Tadah hujan Ladang berpindah Padang penggembalaan Rawa Semak belukar Padi Perkebunan Perumahan, ladang dan padi Permukiman desa Permukiman perkotaan Kolam atau tambak Lapangan udara Badan air Sumber : Japan International Coorperation Agency (2011) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Hutan mangrove Hutan rawa Hutan tanaman Pertanian lahan kering Padang rumput Semak belukar Sawah Perkebunan (teh, kelapa sawit, karet, dan lainlain) Kebun campuran Permukiman Lahan kosong Tubuh air