BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia. Keanekaragaman hayati terbesar yang dimiliki Indonesia di antaranya adalah keberadaan burung. Di Indonesia dijumpai 1359 jenis burung (17% dari jumlah seluruh jenis burung di dunia). Dari jumlah burung yang ada, Indonesia memiliki 381 jenis endemik (Andrew, P. 1992). Menurut Mackinnon (1991) di seluruh kawasan Jawa, jumlah total dari jenis burung yang tercatat adalah 494 dimana 368 adalah jenis penetap dan 126 di hutan pegunungan. Elang merupakan salah satu jenis burung yang hidup di hutan pegunungan, hidupnya soliter atau berpasangan. Jenis ini merupakan pemangsa diurnal. Elang cenderung menyukai habitat hutan yang masih alami dan jauh dari gangguan aktifitas manusia. Sebagai predator utama dalam rantai makanan suatu ekosistem, elang merupakan spesies kunci dalam mengontrol jumlah populasi mangsa. Sehingga secara tidak langsung burung ini berfungsi sebagai penyeimbang suatu ekosistem. Kerusakan lingkungan dan perburuan burung secara liar membawa banyak dampak terhadap spesies burung. Menurut Sozer (1999) elang merupakan salah satu 1
spesies yang sekarang sangat jarang ditemukan di habitat alami di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir ini daerah sebarannya sudah terfragmentasi sehingga saat ini diperkirakan hanya tersisa kira-kira 10% dari luas sebaran sebelumnya dan ada peningkatan ancaman terhadap populasinya. Selain itu dalam beberapa tahun ini perdagangan ilegalpun semakin meningkat dengan ancaman sangat tinggi yang mengakibatkan populasi elang cenderung semakin menurun. Untuk menghentikan kecenderungan ini dan mengamankan kawasan habitat bagi jenis ini pemerintah mengupayakan perlindungan hukum melalui UU No.5 tahun 1990 dan PP No.7 dan No.8 tahun 1999. Akan tetapi perlindungan hukum tidaklah cukup untuk menjaga keberadaan jenis dari ancaman yang menjadi faktor penyebab penurunan populasinya di alam tanpa dibarengi dengan upaya lainnya seperti penyitaan satwa dari perdagangan satwa secara ilegal. (Anonim, 2004). Burung pemangsa termasuk burung langka yang dilindungi oleh undang-undang di Indonesia. Elang brontok (Spizaetus cirrhatus) merupakan jenis burung pemangsa yang dilindungi oleh UU No.5 tahun 1990 dan PP RI No. 7 tahun 1999, karena populasinya yang masuk kategori dalam CITES appendix II yang berarti jenis burung ini termasuk dalam daftar spesies hidupan yang didasarkan atas data yang akurat mengenai populasi dan kecenderungannya liar yang dapat diperdagangkan secara Internasional dengan pembatasan kuota tertentu di alam termasuk terancam punah. Penelitian mengenai Elang brontok (Spizaetus cirrhatus) ini penting dilakukan 2
karena Elang brontok mampu menempati beragam ekosistem sehingga diharapkan akan lebih mampu melaksanakan fungsinya sebagai predator di alam. Kurang lebih lima tahun terakhir ini upaya penyelamatan jenis di Indonesia semakin meningkat karena tingkat ancaman terhadap keberadaan jenis juga semakin tinggi dan tidak terkendali terutama dari perdagangan satwa liar. Beberapa kegiatan dalam upaya penyelamatan jenis telah dan sedang dilakukan dengan melakukan penyitaan jenis-jenis ini dari perdagangan satwa. Upaya ini merupakan salah satu penegakan hukum dan wujud perlindungan terhadap satwa-satwa yang dilindungi. Konsekuensi dari kebijakan dan perlindungan hukum bagi satwa adalah harus adanya tempat menampung satwa-satwa hasil sitaan Negara. Oleh karena itu pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan melalui Dirjen Perlindungan hutan dan Konservasi alam (PHKA) bekerjasama dengan Gibbon Foundation membangun Pusat Penyelamatan Satwa di beberapa lokasi di Indonesia sebagai tempat penampungan sementara satwa-satwa tersebut, salah satunya Pusat Penyelamatan Satwa Jogja (PPSJ). Penelitian perkembangan perilaku berburu Elang brontok di kandang sosialisasi Pusat Penyelamatan Satwa Jogja (PPSJ) dibutuhkan untuk mengetahui tahap kesiapannya dilepasliarkan di habitat alaminya. Selain itu juga untuk mengetahui kemampuan berburunya karena perilaku berburu merupakan salah satu faktor untuk dapat bertahan hidup di alam (Alikodra, 1990). 3
Data kecepatan, ketepatan dan perkembangan perilaku berburu elang brontok Spizaetus cirrhatus di kandang sosialisasi di Pusat Penyelamatan Satwa Jojakarta (PPSJ) dibutuhkan untuk mendukung persiapan pelepasliaran ke habitat alaminya. Saat ini satwa yang berada di PPSJ akan dan sedang dalam proses rehabilitasi yang bertujuan nantinya mereka dapat dilepasliarkan untuk melaksanakan perannya kembali di habitatnya. Satwa-satwa (termasuk Elang brontok Spizaetus cirrhatus) yang ditampung di PPSJ berasal dari operasi penertiban satwa dilindungi yang dilakukan oleh petugas berwenang, yaitu Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Kepolisian. Namun ada juga satwa-satwa yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya. Pusat Penyelamatan Satwa merupakan institusi non-pemerintah dan non-profit yang bergerak pada pelestarian satwa liar yang dilindungi dan terancam punah, yang salah satunya berada di D.I Yogyakarta. B. Perumusan masalah Satwa yang berada di PPSJ merupakan satwa liar yang pernah dipelihara dan berinteraksi dengan manusia. Ketergantungan dalam memperoleh makanan menyebabkan penurunan dalam hal sifat liarnya. Untuk dilepasliarkan kembali ke alam burung ini memerlukan tahapan sosialisasi untuk mengembalikan sifat liarnya. Faktor perburuan untuk mendapatkan makanan merupakan salah satu faktor yang penting dalam tahapan ini. Oleh karena itu permasalahan yang ingin dikaji dalam 4
penelitian ini adalah bagaimanakah perkembangan perilaku berburu elang brontok Spizaetus cirrhatus di dalam kandang sosialisasi di PPSJ. C. Tujuan Penelitian Mengetahui perkembangan perilaku berburu Elang brontok Spizaetus cirrhatus di kandang sosialisasi di PPSJ didasarkan pada kecepatan, ketepatan, porsi dan cara berburu mangsa. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat Sebagai metode yang dapat digunakan oleh PPSJ untuk menyiapkan Elang brontok (Spizaetus cirrhatus) sebelum dilepasliarkan di alam. 5