BAB I PENDAHULUAN. Salah satu upaya konkrit yang dilakukan pemerintah sebagai wujud dari

dokumen-dokumen yang mirip
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan sejak adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

TINJAUAN HUKUM PENGELOLAAN DANA BANTUAN SOSIAL YANG BERSUMBER DARI APBD

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENYELENGGARAAN BELANJA HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

WALIKOTA PROBOLINGGO

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 236 TAHUN 2011

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2012, No.51 2 Indonesia Tahun 2004 Nomor 5; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Peme

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian. Selama ini pemerintahan di Indonesia menjadi pusat perhatian bagi

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. yang dapat dijadikan milik Negara (UU no 17 pasal1 ayat1). Undang undang

PERMENDAGRI NOMOR 32 TAHUN 2011 PERMENDAGRI NOMOR 39 TAHUN 2012 PERMENDAGRI NOMOR 14 TAHUN 2016

BUPATI MUSI BANYUASIN

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

BUPATI PACITAN PROVINSI JAWA TIMUR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

BAB I PENDAHULUAN. Berlakunya Otonomi Daerah di Pemerintahan Indonesia, sehingga setiap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian. Dengan seringnya pergantian penguasa di negara ini telah memicu

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS. Menurut Coso dalam Hartadi (1999: 92) pengendalian intern

PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR : 54 TAHUN 2010 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. hal pengelolaan keuangan dan aset daerah. Berdasarkan Permendagri No. 21 Tahun

BAB I P E N D A H U L U A N

BUPATI CILACAP PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 88 TAHUN 2013 TENTANG

SPIP adalah sistem pengendalian intern diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah

BUPATI GARUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Pada sistem pemerintahan yang ada di Indonesia, setiap pemerintah daerah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun tentang Keuangan Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KOTA BANJAR TAHUN 2012

Rencana Kerja Tahunan (RKT) INSPEKTORAT KABUPATEN MALANG

A. Latar Belakang Masalah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA,

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 32.1 TAHUN 2015 TENTANG HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL

PROVINSI JAMBI PERATURAN WALIKOTA JAMBI NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG

Rencana Kinerja Tahunan (RKT) INSPEKTORAT KABUPATEN MALANG

BAB I PENDAHULUAN. komitmen Pemerintah Pusat dalam perbaikan pelaksanaan transparansi dan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia telah melewati serangkain

BUPATI TOLITOLI PERATURAN BUPATI TOLITOLI NOMOR 8.C TAHUN 2014 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 2 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG

WALIKOTA TASIKMALAYA

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2011 NOMOR 16 PERATURAN WALIKOTA SUKABUMI

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI GROBOGAN NOMOR 50 TAHUN 2016 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA METRO,

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 25 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN SEKRETARIS JENDERAL KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PROGRAM KERJA PENGAWASAN INTERNAL

AKUNTABILITAS PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN INSTANSI PEMERINTAH

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 10 TAHUN 2014

PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 39 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGANGGARAN, PELAKSANAAN DAN PENATAUSAHAAN, PERTANGGUNGJAWABAN DAN PELAPORAN

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Penyelenggaraan organisasi pemerintahan haruslah selaras dengan tujuan

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 64 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN BANTUAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI BANYUMAS, TENTANG SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH. menetapkann. Sistem

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good governance). Untuk mewujudkan tata. kelola tersebut perlunya sistem pengelolaan keuangan yang lebih

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

Pada hakekatnya reformasi birokrasi pemerintah merupakan proses

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Menimbang. Mengingat. Menetapkan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG

Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

KEPATUHAN PADA PERUNDANG-UNDANGAN DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR 92 TAHUN 2011 TENTANG

PROVINSI JAMBI PERATURAN WALIKOTA JAMBI NOMOR 27 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Keuangan

BERITA DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 34 TAHUN 2011 PERATURAN WALIKOTA SALATIGA NOMOR 34 TAHUN 2011

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian. Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir ini merupakan bagian dari adanya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BERITA DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2013 NOMOR : 40 PERATURAN WALIKOTA CILEGON TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 8B TAHUN 2012 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA. BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL. SPIP. Penyelenggaraan. PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan. daerah sebagai penyelenggara pemerintah daerah.

BAB 1 PENDAHULUAN. kelola kepemerintahan yang baik (good governance government), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dalam satu periode. Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) No.1

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 25 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH (SPIP) KABUPATEN SITUBONDO

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN RI PERWAKILAN PROVINSI JAMBI

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 37 TAHUN 2011 TENTANG

- 1 - BUPATI SERANG PERATURAN BUPATI SERANG NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN BANTUL

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tamba

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A

2017, No Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembar

Apa sebenarnya SPI dan SPIP?

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 49 TAHUN 2011

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 192 TAHUN 2014 TENTANG BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu upaya konkrit yang dilakukan pemerintah sebagai wujud dari semangat reformasi birokrasi adalah dengan melakukan penataan ulang terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan dengan menerapkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas yang merupakan pondasi dasar untuk mewujudkan Good Governance. Implementasi konsep akuntabilitas diwujudkan melalui pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang dilakukan melalui pelaksanaan dan pengawasan keuangan oleh unit-unit pengawasan internal dan eksternal yang ada atau tindakan pengendalian oleh masing-masing instansi pemerintah. Untuk melaksanakan pengawasan dan pengendalian atas kegiatan-kegiatan pemerintah dalam mengelola uang negara dibutuhkan sebuah sistem yang mampu mencegah terjadinya segala bentuk penyimpangan, penyalahgunaan, ketidakpatuhan dan kecurangan yang dapat merugikan keuangan negara. Kegiatan yang dilaksanakan oleh sebuah instansi pemerintah mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, sampai dengan pertanggungjawaban harus dilaksanakan secara tertib, terkendali, dan harus memenuhi prinsip efektivitas dan efisiensi. Pedoman Pengawasan Melekat (Waskat) merupakan salah satu produk pengawasan yang pernah diterapkan di Indonesia yang merujuk pada GAO. Pengawasan melekat menempatkan pengendalian sebagai bagian dari 1

2 serangkain kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian yang terus menerus dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya secara preventif dan represif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan mematuhi peraturan yang berlaku. Pengawasan melekat pertama kali digunakan secara formal dalam Inpres Nomor 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan. Dalam pasal 3 ayat 1 lampiran Inpres tersebut disebutkan bahwa pimpinan semua organisasi pemerintah menciptakan pengawasan melekat dan meningkatkan mutunya di dalam lingkungan tugasnya masing-masing. Dalam ayat 3 pasal 1 Inpres tersebut dinyatakan bahwa pengawasan melekat harus dilakukan oleh atasan terhadap bawahannya sekalipun terdapat aparat pengawasan fungsional. Perkembangan pengendalian intern di Indonesia selanjutnya ditandai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Terbitnya PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP merupakan pelaksanaan amanat pasal 58 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sistem Pengendalian Intern (SPI) dilingkungan pemerintah merupakan suatu sistem yang dibuat untuk mendukung upaya pencapaian tujuan yang efisien dan efektif dalam penyelenggaraan kegiatan pada institusi pemerintahan. Pengelolaan keuangan negara dapat dilaporkan secara handal dan wajar, aset negara dapat dikelola dengan aman, dan mendorong ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

3 Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berkelanjutan oleh seluruh pihak yang ada dalam sebuah instansi baik pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) melekat sepanjang kegiatan, dipengaruhi oleh sumber daya manusia, dan hanya memberikan keyakinan yang memadai bukan keyakinan mutlak, sehingga proses pengembangan dan penerapannya perlu dilakukan secara komprehensif dan harus memperhatikan biaya manfaat (cost and benefit), rasa keadilan dan kepatutan, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta mempertimbangkan kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi instansi pemerintah. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) terbukti memiliki korelasi positif dalam menjaga kualitas laporan keuangan instansi pemerintah (LKPD). Walipo (2006) menyatakan bahwa Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) meliputi berbagai kebijakan dan prosedur, diantaranya: terkait dengan catatan keuangan, menyediakan keyakinan yang memadai bahwa laporan tersebut telah sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dan penerimaan serta pengeluaran telah sesuai dengan otorisasi yang diberikan, menyediakan keyakinan yang memadai atas keamanan aset daerah yang berdampak material pada laporan keuangan. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) telah dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) merupakan Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan

4 secara menyeluruh dilingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Berkaitan dengan hal ini, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan Sistem Pengendalian Intern dilingkungan pemerintahan secara menyeluruh. Sedangkan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menyelenggarakan Sistem Pengendalian Intern di bidang perbendaharaan, Menteri/ pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran menyelenggarakan Sistem Pengendalian Intern dibidang pemerintahan masing-masing, dan Gubernur/ Bupati/ Walikota selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah mengatur lebih lanjut dan menyelenggarakan Sistem Pengendalian Intern di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinannya. SPIP yang dilaksanakan di Indonesia mengacu pada unsur Sistem Pengendalian Intern yang telah berhasil diaplikasikan oleh beberapa negara dilingkungan pemerintahan, yang meliputi: (1) Lingkungan Pengendalian, yaitu kondisi dalam instansi pemerintah yang mempengaruhi efektivitas pengendalian intern. Unsur ini menekankan bahwa semua pihak dalam suatu instansi baik pimpinan dan seluruh pegawai harus menciptakan dan memelihara keseluruhan lingkungan organisasi sehingga dapat menimbulkan perilaku positif dan mendukung pengendalian intern dan manajemen yang sehat; (2) Penilaian Risiko, yaitu kegiatan yang dilakukan untuk memberikan penilaian terhadap kemungkinan adanya kejadian yang dapat mengancam pencapaian tujuan dan sasaran instansi pemerintah. Unsur ini memberikan penekanan bahwa pengendalian intern harus memberikan penilaian atas risiko yang dihadapi unit organisasi baik dari dalam maupun dari luar; (3) Kegiatan Pengendalian, yaitu

5 tindakan yang dibutuhkan untuk mengatasi risiko serta penetapan dan pelaksanaan kebijakan dan prosedur untuk memastikan bahwa tindakan mengatasi risiko telah dilakukan secara efektif. Kegiatan pengendalian ini memberikan penekanan pada pimpinan instansi bahwa pimpinan wajib menyelenggarakan kegiatan pengendalian sesuai ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi (tupoksi) instansi pemerintah yang bersangkutan; (4) Informasi dan komunikasi, merupakan data yang telah diolah yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansi pemerintah; (5) Pemantuan, bertujuan untuk memastikan bahwa Sistem Pengendalian Intern dalam suatu organisasi pemerintah telah dijalankan sesuai dengan yang diharapkan, dan untuk memastikan bahwa perbaikan-perbaikan yang dibutuhkan telah dilaksanakan. Unsur ini mencakup penilaian desain dan operasi pengendalian serta pelaksanaan tindakan perbaikan yang diperlukan. Bantuan sosial merupakan salah satu kegiatan pemerintah yang diperuntukkan bagi masyarakat yang memiliki kerentanan sosial yang merupakan keadaan tidak stabil yang terjadi sebagai dampak dari krisis sosial, ekonomi, politik, bencana, dan fenomena alam. Pengelolaan belanja bantuan sosial tidak terlepas dari salah satu rangkaian kegiatan pengendalian dari Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) untuk memberikan keyakinan bahwa belanja bantuan sosial dikelola dengan baik, tepat sasaran, dan memenuhi tujuan-tujuan dari bantuan sosial itu sendiri. Belanja bantuan sosial di pemerintah daerah merupakan jenis belanja yang masuk dalam kwadran Belanja Tidak Langsung untuk jenis belanja bantuan sosial dalam bentuk uang dan Belanja Langung untuk belanja

6 bantuan sosial dalam bentuk barang dan jasa. Belanja Tidak Langsung didasarkan pada asumsi bahwa pemerintah daerah memiliki urusan wajib dan urusan pilihan yang membedakannya dengan pemerintah pusat. Belanja Tidak Langsung adalah belanja yang tidak berkaitan dengan program atau kegiatan pemerintah daerah contohnya belanja pegawai, hibah, dan bantuan sosial. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Bantuan Sosial merupakan bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bantuan sosial diberikan tidak secara terus menerus/ tidak berulang setiap tahun anggaran, selektif dan memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya. Bantuan sosial yang terdapat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap tahun anggaran memberikan kontribusi terhadap adanya temuan audit oleh BPK. Berdasarkan data yang diperoleh Indonesian Corupption Watch (ICW) terdapat sebanyak 120 kasus dugaan penyelewengan dana bantuan sosial selama periode 2007-2012, hasil penyelidikan penegak hukum dalam hal ini Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) menyatakan bahwa total penyelewengan bantuan sosial sebesar Rp411 triliun. Modus operandi penyelewengan bantuan sosial yang dilakukan oleh pejabat daerah beragam, seperti adanya LSM fiktif yang dibentuk tidak memiliki tujuan yang jelas selain untuk dijadikan wadah untuk menampung kucuran dana dari bantuan sosial. Masalah lain yang dihadapi dalam bantuan sosial adalah terjadinya kesalahan dalam penganggaran bantuan sosial. Terkait Laporan Realisasi

7 Anggaran (LRA), kesalahan penganggaran akan sulit untuk dikoreksi dari sisi akuntansi karena pencatatan dalam proses akuntansi harus sesuai dengan proses penganggaran dan harus dimasukkan dalam pos-pos atau mata anggaran yang terdapat dalam penjabaran APBD. Sedangkan dalam neraca, proses akuntansi mencatat belanja bantuan sosial dapat dilakukan apabila memenuhi definisi asset atau kewajiban dan dapat diukur secara handal. Kesalahan penganggaran dapat menyebabkan munculnya asset, namun transaksi tersebut dicatat sebagai belanja bantuan sosial sesuai dengan anggaran. Permasalahan dalam bantuan sosial di pemerintah daerah pada dasarnya disebabkan oleh lemahnya Sistem Pengendalian Intern (SPI) mulai dari proses penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Sebelum adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD, permasalahan yang terjadi di pemerintah daerah berkaitan dengan pengelolaan bantuan sosial adalah: (1) ketidak jelasan tentang definisi bantuan sosial yang akhirnya berakibat pada kesalahan dalam penganggaran; (2) adanya unsur politik dalam penganggaran sehingga jumlah bantuan sosial meningkat menjelang pilkada; (3) bentuk pertanggungjawaban yang terlalu sederhana dari penerima bantuan sosial. Peran dan fungsi Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) dalam pengelolaan Bantuan Sosial mutlak diperlukan untuk mengurangi dan pada akhirnya menghilangkan kesalahan dan penyalahgunaan Bantuan Sosial. Diharapkan pemerintah daerah dapat mengasimilasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 tahun 2011 sehingga pengelolaan bantuan sosial dapat

8 terlaksana dengan baik, tepat sasaran, dan transparan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 1.2. Perumusan Masalah Upaya untuk menjaga pengalokasian dan pengelolaan belanja bantuan sosial agar terlaksana secara efektif, efesien, ekonomis, transparan dan bertanggung jawab Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber Dari APBD. Sebelum adanya Permendagri ini pengalokasian dan pengelolaan Belanja Bantuan Sosial di pemerintah daerah dihadapkan pada masalah-masalah dalam hal penganggaran karena ketidakjelasan definisi dari bantuan sosial itu sendiri, kesalahan dalam pengalokasian dan permasalahan dalam hal pertanggung jawaban. Keterbatasan regulasi berkaitan dengan bantuan sosial dari pemerintah pusat mendorong pemerintah daerah membuat kebijakan masing-masing dalam mengelola bantuan sosial sehingga sangat rentan terjadinya penyelewengan dan kesalahan dalam pengalokasian bantuan sosial. Dalam rangka mewujudkan akuntabilitas pengelolaan bantuan sosial Pemerintah Daerah dituntut untuk memiliki dan menerapkan Sistem Pengendalian Intern (SPI) untuk dapat meminimalisasi dan pada akhirnya menghilangkan kesalahan dan penyalahgunaan belanja bantuan sosial dan untuk mencapai tujuan seperti yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), yaitu untuk memberikan

9 keyakinan yang memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui: (1) kegiatan yang efektif dan efisien; (2) laporan keuangan yang dapat diandalkan; (3) pengamanan aset negara; (4) ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Penatausahaan pengelolaan belanja bantuan sosial diawali dengan proses penganggaran yang dilakukan oleh Tim Penyusun Anggaran Pemerintah Daerah (TPAD). Penyusunan anggaran bantuan sosial didasarkan pada permintaan dari lembaga masyarakat non pemerintahan yang memiliki visi meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari keterpurukan risiko sosial. Kepala Daerah selanjutnya menunjuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk mengevaluasi permintaan atau usulan tertulis dari masyarakat. Kepala SKPD selaku Pengguna Anggaran menyampaikan hasil evaluasi berupa rekomendasi kepada Kepala Daerah melalui Tim Penyusunan Anggaran Daerah (TPAD), selanjutnya TPAD memberikan rekomendasi sesuai dengan prioritas dan kemampuan keuangan daerah. Bantuan sosial yang telah mendapat persetujuan ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (Perda) tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Bantuan sosial dalam bentuk uang selanjutnya dicantumkan dalam RKA-DPKKD dan bantuan sosial dalam bentuk barang dicantumkan dalam RKA-SKPD. Setelah melalui proses penganggaran, bantuan sosial dapat direalisasikan penyalurannya dengan mekanisme pengajuan langsung (LS) yang diajukan oleh DPKKD untuk bantuan sosial dalam bentuk uang dan SKPD lainnya untuk bantuan sosial dalam bentuk barang/ jasa. Kelengkapan dokumen untuk pengajuan Surat Permintaan Pembayaran (SPP-LS) bantuan sosial berupa

10 kwitansi yang ditanda tangani oleh penerima bantuan sosial diatas materai Rp. 6000,- serta dokumen-dokumen pendukung lainnya yang disesuaikan dengan permintaan bantuan sosial oleh masyarakat. Sebagai contoh untuk bantuan sosial keluarga kurang mampu yang merupakan bantuan sosial dalam bentuk uang yang tidak dapat direncanakan sebelumnya pada tahap penganggaran, dokumen yang dibutuhkan adalah: 1. Kwitansi bermaterai yang ditanda tangani oleh penerima bantuan. 2. Surat keterangan tidak mampu dari kepala desa. 3. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan 4. Surat permohonan bantuan yang ditujukan kepada Bupati melalui Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat (Kesra) yang ada di Sekretariat Daerah. Setiap berkas kelengkapan administrasi permintaan bantuan sosial untuk keluarga kurang mampu maupun jenis bantuan sosial lainnya terlebih dahulu dievaluasi dan diverifikasi oleh Bagian Kesra untuk selanjutnya dibuat Telaahan Staf bagi pemohon yang memenuhi kriteria sebagai penerima bantuan. Telaahan staf yang ditanda tangani oleh Kepala Bagian Kesra selanjutnya didisposisi ke Asisten Administrasi Pembangunan (Asisten III) dan lanjut ke Sekretaris Daerah. Setelah dari Sekretaris Daerah selajutnya didisposisi lagi ke Bupati untuk mendapat persetujuan. Setelah Bupati menyetujui permohonan tersebut calon penerima bantuan dapat mencairkannya ke DPKKD berdasarkan Telaahan Staf dari Kepala Bagian Kesra beserta dokumen-dokumen lainnya yang telah disetujui oleh Bupati.

11 Selanjutnya bentuk pertanggungjawaban bantuan sosial adalah seluruh dokumen-dokumen yang digunakan dalam proses realisasi pencairan bantuan sosial seperti dokumen-dokumen tersebut diatas. Bentuk pengajuan pertangungjawaban bantuan sosial oleh DPKKD adalah Surat Permintaan Pembayaran Ganti Uang (SPP-GU) yang diajukan ke Bendaharawan Umum Daerah (BUD) diakhir tahun anggaran. Sedangkan bentuk pertanggungjawaban untuk bantuan sosial yang telah direncanakan pada proses awal penyusunan anggaran meliputi: 1. Usulan/ permintaan tertulis dari calon penerima bantuan sosial atau surat keterangan dari pejabat yang berwenang kepada kepala daerah. 2. Keputusan kepala daerah tentang daftar penerima bantuan sosial. 3. Pakta integritas dari penerima bantuan sosial yang menyatakan bahwa bantuan sosial yang diterima akan digunakan sesuai usulan. 4. Bukti transfer uang atas pemberian bantuan sosial berupa uang atau bukti serah terima barang atas pemberian bantuan sosial berupa barang. Dengan terbitnya Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 dan Nomor 39 Tahun 2012 merupakan salah bentuk tindakan pengendalian risiko dari pengelolaan belanja bantuan sosial. Dengan adanya permendagri ini diharapkan dapat mengakomodir segala bentuk permasalahan dalam belanja bantuan sosial sehingga probabilitas risiko dari kegiatan pengelolaan belanja bantuan sosial dapat di minimalisir dan pada akhirnya dihilangkan untuk mencapai tujuan bantuan sosial yang akuntabel.

12 Berdasarkan uraian tentang tata kelola belanja bantuan sosial di atas terdapat indikasi permasalahan yang berpotensi menghambat pencapaian tujuan belanja bantuan sosial yaitu implementasi SPIP yang mencakup unsur: (1) Lingkungan Pengendalian; (2) Penilaian Risiko; (3) Kegiatan Pengendalian; (4) Informasi dan Komunikasi; dan (5) Pemantauan, tidak diterapkan secara optimal sehingga berpotensi terjadinya kesalahan dan penyalahgunaan dalam mengelola belanja bantuan sosial di Pemerintah Daerah, mulai dari proses tata cara penganggaran, pelaksanaan dan penatausahaan, pertanggungjawaban dan pelaporan, monitoring dan evaluasi. Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Apakah unsur-unsur dalam SPIP yang termuat dalam PP Nomor 60 Tahun 2008 telah diterapkan secara optimal oleh Pemerintah Daerah dalam penatausahaan pengelolaan belanja bantuan sosial, mulai dari proses: (a) tata cara penganggaran; (b) pelaksanaan dan penatausahaan; (c) pertanggung jawaban dan pelaporan; (d) monitoring dan evaluasi? 2. Apa saja probabilitas risiko yang mungkin terjadi dari kegiatan penatausahaan pengelolaan belanja bantuan sosial di Pemerintah Daerah? 3. Apakah upaya atau kebijakan sebagai tindakan pengendalian yang dilakukan Pemerintah Daerah terhadap risiko yang teridentifikasi dalam mengelola belanja bantuan sosial berdasarkan Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 dan Permendagri Nomor 39 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari APBD?

13 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas maka penelitian ini bertujuan: 1. Untuk mengetahui implementasi SPIP yang termuat dalam PP Nomor 60 Tahun 2008 dalam mengelola belanja bantuan sosial guna meminimalisasi risiko yang berpotensi menghambat pencapaian tujuan bantuan sosial di Pemerintah Daerah. 2. Untuk mengetahui probabilitas risiko yang mungkin terjadi dalam kegiatan mengelola belanja bantuan sosial sehingga dapat ditentukan upaya pencegahan yang relevan untuk mengurangi dan pada akhirnya menghilangkan risiko tersebut. 3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah dalam menanggulangi risiko atas kegiatan mengelola belanja bantuan sosial, apakah sesuai dengan Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 dan Permendagri Nomor 39 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari APBD atau ada kebijakan lain dari Pemerintah Daerah sehingga dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk perbaikan ke arah yang lebih baik. 1.4. Motivasi Penelitian Dalam upaya penertiban administrasi dalam pengelolaan bantuan sosial yang diperuntukkan bagi anggota masyarakat dan/ atau lembaga kemasyarakatan non pemerintah diperlukan adanya suatu Sistem Pengendalian Intern (SPI) yang

14 efektif di Pemerintah Daerah. Banyaknya temuan-temuan audit terhadap bantuan sosial dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan adanya kajian dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kebijakan Pemerintah Daerah periode Januari-Maret 2011, beberapa kasus tersebut berkaitan dengan regulasi dan tatalaksana pengelolaan bantuan sosial. Hal tersebut tentunya berkaitan juga dengan Sistem Pengendalian Intern (SPI) yang dirancang oleh Pemerintah Daerah. Beberapa peraturan yang menjadi acuan Pemerintah Daerah dalam menyusun kebijakan pengelolaan bantuan sosial seperti Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, namun peraturan tersebut belum mengatur secara rinci ketentuan tentang pengertian, kriteria, bentuk pemberian, penyusunan dan pelaksanaan anggaran, serta pengakuan dan pengungkapan atas bantuan sosial (Darmastuti, 2009). Dari aspek regulasi, tidak adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri yang secara khusus mengatur tentang pengelolaan bantuan sosial. Ketidakseragaman regulasi atas bantuan sosial menjadi faktor penting yang memicu pelaksanaan pengelolaan bantuan sosial tidak dapat dikontrol dengan baik dan dapat menyebabkan adanya kecurangan atas dana bantuan sosial. Setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 dan Nomor 39 tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD diharapkan pemerintah daerah melakukan perubahan atas ketentuan dan peraturan serta Sistem Pengendalian Intern (SPI) dalam mengelola bantuan sosial. Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi motivasi penulis dalam melakukan penelitian ini adalah:

15 Banyaknya kasus dan temuan audit bantuan sosial yang melibatkan aparatur pemerintah daerah sebagai dampak dari lemahnya Sistem Pengendalian Intern (SPI) dalam penatausahaan bantuan sosial sehingga diperlukan kajian tentang peran SPIP dalam mengelola belanja bantuan sosial yang bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada aparatur daerah berkaitan dengan prosedur dan tatalaksana pengelolaan bantuan sosial yang akuntabel, transparan, dan tepat sasaran. 1.5. Kontribusi Penelitian Kontribusi penelitian ini bisa dijadikan sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Tengah berkaitan dengan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) dalam mengelola belanja bantuan sosial yang mencakup regulasi dan tata laksana belanja bantuan sosial, mulai dari proses penganggaran, pelaksanaan, pertanggungjawaban, dan pengawasan.