Dinamika Populasi Anakan Pohon Klimaks Calophyllum soulattri Burm dan Swintonia schwenkii T.&B Di Hutan Bukit Pinang-Pinang

dokumen-dokumen yang mirip
KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

ABSTRACT STRUCTURE AND COMPOSITION OF THE VEGETATION IN HEPANGAN AGROFORESTRY SYSTEM AT GUMAY ULU AREA LAHAT DISTRICT SOUTH SUMATERA

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

Perubahan Distribusi Populasi Dari Schismatoglottis lancifolia Hall. et Englar di Hutan Bukit Pinang-pinang

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

SELEKSI POHON INDUK JENIS MERANTI (Shorea spp) PADA AREAL TEGAKAN BENIH IUPHHK-HA PT. SUKA JAYA MAKMUR KABUPATEN KETAPANG

LAMPIRAN 2. GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP)

KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU (Bambusodae) DALAM KAWASAN HUTAN AIR TERJUN RIAM ODONG DUSUN ENGKOLAI KECAMATAN JANGKANG KABUPATEN SANGGAU

BAB IV. PENGARUH EKOLOGIS RAGAM INTENSITAS CAHAYA

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. 6 No. 1 : 1-5 (2000)

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

KATA PENGANTAR. Yogyakarta, 15 Mei Penyusun.

Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan pada Areal Bekas Tebangan di PT Salaki Summa Sejahtera, Provinsi Sumatera Barat

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

A. LAPORAN HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

PERTUMBUHAN SEMAI Rhizophora Apiculata DI AREA RESTORASI MANGROVE TAMAN NASIONAL SEMBILANG SUMATERA SELATAN

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. V, No. 1 : (1999)

INVENTARISASI TANAMAN JELUTUNG (DYERA COSTULATA HOOK) SEBAGAI TUMBUHAN LANGKA YANG TERDAPAT DI ARBORETUM UNIVERSITAS RIAU

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman

Pengaruh Jarak Tanam dan Ukuran Umbi Bibit terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kentang Varietas Granola untuk Bibit

STRUKTUR VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN MERBAU KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. IX No. 2 : (2003)

III. METODE PENELITIAN

Nursal, Suwondo dan Irma Novita Sirait Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan PMIPA FKIP Universitas Riau Pekanbaru ABSTRACT

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

PENDUGAAN CADANGAN KARBON TUMBUHAN BAWAH PADA KEMIRINGAN LAHAN YANG BERBEDA DI HUTAN PENDIDIKAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KABUPATEN KARO SKRIPSI

PEMADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN KAYU DENGAN TEKNIK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DI KALIMANTAN BARAT

RESPONS PERTUMBUHAN ANAKAN JELUTUNG MERAH

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

Inventarisasi Jenis Pohon Pada Cagar Alam Gunung Ambang, Sulawesi Utara

ABSTRACT PENDAHULUAN METODE PENELITIAN STRUKTUR DAN KOMPOSISI POHON PADA BERBAGAI TINGKAT GANGGUAN HUTAN 01 GUNUNG SALAK, JAWA BARAT

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK Pinus merkusii Jungh et de Vries RAS KERINCI DI RESORT KSDA BUKIT TAPAN, KAWASAN TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT, JAMB1

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

SELEKSI PENETAPAN KANDIDAT POHON PLUS PENAGE CALLOPHYLUM INOPHYLUM L.) DI KECAMATAN MATAN HILIR SELATAN KABUPATEN KETAPANG

STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN. Edi Kurniawan

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

RESPON PERTUMBUHAN BIBIT BAKAU (Rhizophora apiculata Bl.) TERHADAP PEMBERIAN AIR KELAPA PADA BERBAGAI KONSENTRASI E JURNAL

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS INSTRUKSIONAL MATA AJARAN EKOLOGI HUTAN. Pengertian Tentang Ekologi Hutan. Produktivitas berbagai macam Ekosistem

PANDUAN PRAKTIKUM EKOLOGI TUMBUHAN OLEH I GEDE SUDIRGAYASA

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI KELURAHAN TONGKAINA MANADO

IV. METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

STRUKTUR DAN KOMPOSISI TEGAKAN HUTAN DI PULAU SELIMPAI KECAMATAN PALOH KABUPATEN SAMBAS KALIMANTAN BARAT

KORELASI ANTARA KERAPATAN AVICENNIA DENGAN KARAKTERISTIK SEDIMEN DI KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI RAWA KABUPATEN SIAK, RIAU

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

Ekologi Padang Alang-alang


Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. V, No. 2 : (1999)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENCAMPURAN MEDIA DENGAN INSEKTISIDA UNTUK PENCEGAHAN HAMA Xyleborus morstatii Hag. PADA BIBIT ULIN ( Eusideroxylon zwageri T et.

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI TUMBUHAN. Analisis Vegetasi dengan Point Intercept

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

PERTUMBUHAN BIBIT Avicennia marina PADA BERBAGAI INTENSITAS NAUNGAN

KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN TINGKAT POHON PADA HUTAN ADAT GUNUNG BERUGAK DESA MEKAR RAYA KECAMATAN SIMPANG DUA KABUPATEN KETAPANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

UJI DAYA TUMBUH BIBIT TEBU YANG TERSERANG HAMA PENGGEREK BATANG BERGARIS (Chilo sacchariphagus Bojer.)

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.

ANALISIS VEGETASI DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN 50 KOTA SUMATERA BARAT

Analisis Vegetasi Hutan Alam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

III. METODOLOGI PENELITIAN

Kata kunci: rehabilitasi, mangrove, silvofhisery

Muhammad Sayuthi Laboratorium Hama Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala

PANDUAN PENGELOLAAN RIPARIAN

TANAMAN HUTAN. Oleh : Sri Wilarso Budi R. ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4 th -6 th May

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB V. PENGARUH EKOLOGIS RAGAM TEMPORAL RADIASI MATAHARI

KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU

Komposisi Jenis-Jenis Tumbuhan Mangrove Di Kawasan Hutan Perapat Benoa Desa Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kodya Denpasar, Propinsi Bali

PENAMPILAN TANAMAN KONSERVASIEX-SITU EBONI (Diospyros celebica Bakh.) Budi Santoso dan Chairil Anwar Balai Penelitian Kehutanan, Ujung Pandang

cukup tua dan rapat, sedang hutan sekunder pada umumnya diperuntukkan bagi tegakantegakan lebih muda dengan dicirikan pohon-pohonnya lebih kecil.

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

STRATIFIKASI HUTAN MANGROVE DI KANAGARIAN CAROCOK ANAU KECAMATAN KOTO XI TARUSAN KABUPATEN PESISIR SELATAN

PEMUPUKAN NPK PADA TANAMAN DURIAN (Durio zibethinus Murr.) LOKAL UMUR 3 TAHUN

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

SUKSESI AUTEKOLOGI. Daubenmire (1962) Autekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu tumbuhan dan lingkungannya.

KERAGAMAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN ALAM TANAH KERING BEKAS TEBANGAN DI KALIMANTAN HERI EKA SAPUTRA

PENELITIAN EKOLOGI NEPENTHES DI LABORATORIUM ALAM HUTAN GAMBUT SABANGAU KERENG BANGKIRAI KALIMANTAN TENGAH

HUTAN, KEHUTANAN, DAN ILMU KEHUTANAN

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel :

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

MENENTUKAN MODEL PERTUMBUHAN PENDUDUK PROVINSI SUMATERA BARAT

TINJAUAN PUSTAKA. rekreasi alam, yang mempunyai fungsi sebagai: Kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan.

BAB III METODE PENELITIAN

Transkripsi:

Dinamika Populasi Anakan Pohon Klimaks Calophyllum soulattri Burm dan Swintonia schwenkii T.&B Di Hutan Bukit Pinang-Pinang Population dynamics of Calophyllum soulattri Burm and Swintonia scwenkii T.&B. in Pinang-pinang rain forest Sari Fatul Husna *), Erizal Mukhtar, Chairul Laboratorium Ekologi, Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Andalas, Limau Manis, Padang, 25163 * Koresponden: saryfatulh@yahoo.co.id Abstract A study on population dynamics of Calophyllum soulattri Burm and Swintonia schwenkii T.&B in Pinang-Pinang rain forest have been carried out from September 2012 to Februari 2013 by using descriptive method. Data were collected after 23 years of demographic data available. We found that the highest seedling mortality of Calophyllum soulattri was at the height class of 11-30 cm (9.4 %) and the lowest was at the height class of 71-80 cm (3.4 %). The heighest seedling mortality of Swintonia schwenkii was at the height class of 11-20 cm (10.3 %) and the lowest was at height class 51-60 cm (2.9 %). Relative height growth rate of Calophyllum soulattri seedling was at the height class of 21-30 cm (0.38 cm/cm/yr). Whereas relative height growth rate of Swintonia schwenkii seedling was at the height class of 31-40 cm (0.21 cm/cm/yr). Keywords: dynamics population, Calophyllum soulattri, Swintonia schwenkii,mortality, relative high growth rate. Pendahuluan Anakan pohon merupakan tegakan pertama yang tumbuh menggantikan vegetasi hutan yang telah rusak. Untuk perkembangan tegakan tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama dalam proses mencapai tegakan hutan menyerupai keadaan semula sebelum dirusak. Kemampuan anakan pohon dalam mempertahankan kehidupannya akan mempengaruhi keberadaan hutan tersebut (Rhicard, 1964). Proses regenerasi anakan pohon berkaitan dengan gangguan terhadap ekosistemnya. Eksploitasi hutan oleh manusia menjadikan anakan atau permudaan tumbuhan mengalami karakteristik populasi (natalitas dan mortalitas) yang terganggu. Salah satu dari hutan yang telah tereksploitasi oleh manusia adalah Bukit Pinang-pinang di hutan Ulu Gadut. Kawasan hutan Ulu Gadut merupakan suatu lokasi penelitian internasional dimana terdapat dua plot permanen, Pinang-pinang dan Gajabuih. Hutan ini memiliki beranekaragam jenis tumbuhan baik pionir maupun klimaks. Calophyllum soulattri dan Swintonia Schwenkii termasuk jenis tumbuhan klimaks yang paling dominan di lantai hutan Ulu Gadut (Mukhtar and Koike, 2009). Menurut Whitmore (1990), anakan dari jenis ini tidak menyukai cahaya yang banyak untuk pertumbuhannya. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup yang rendah sekitar pohon induk. Sehubungan dengan perlunya pengamatan yang berkelanjutan tentang anakan Calophyllum soulattri dan Swintonia Schwenkii ini, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dinamika populasi dari anakan pohon Calophyllum soulattri dan Swintonia schwenkii di Bukit Pinang-pinang, Ulu Gadut. Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah metode survey dengan cara sensus. Tumbuhan yang telah diberi label dan diketahui letak Accepted: 27 Februari 2015

koordinatnya pada tahun 1989 disensus kembali dan dicatat jumlah individu masing-masing jenis pada plot permanen tersebut yang terdiri dari 115 sub plot. Selanjutnya dilakukan pengukuran tinggi anakan mulai pada pangkal batang diatas permukaan tanah sampai pada kedudukan daun terakhir. Untuk menganalisa data digunakan rumus mortalitas dan laju pertambahan tinggi relatif/ relative hight growt rate (RHGR). M = 100 x (1-(P) 1/ t ) ( Sheil and May, 1966) Keterangan : M P t = Persentase mortalitas = Proporsi individu yang hidup pada tahun 2012 dibandingkan dengan tahun 1989 = Waktu 78 RHGR = (ln h 2 ln h 1 )/ t (Hunt, 1982) Keterangan : h 1 = Tinggi tumbuhan awal (tahun 1989) h 2 = Tinggi tumbuhan akhir (tahun 2012) t = Waktu pengamatan RHGR = Relative High Growth Rate (laju pertumbuhan tinggi relatif) Hasil dan Pembahasan Mortalitas Mortalitas dari Calopyllum soulattri Tumbuhan memiliki tinggi yang bervariasi, maka analisis dilakukan berdasarkan kelas tinggi. Jumlah individu pada masingmasing kelas tinggi berkurang seiring bertambah tingginya tumbuhan tersebut. Semakin tinggi kelas tinggi anakan maka mortalitasnya juga semakin turun. Gambaran lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Jumlah individu dan mortalitas dari Calophyllum soulattri berdasarkan kelas tinggi (1998) anakan pohon mengalami mortalitas Pada Gambar 1 bisa dilihat mortalitas yang tinggi pada kelas tinggi dibawah 50 terbesar anakan Calophyllum soulattri cm. ditemukan pada kelas tinggi 11-20 cm yaitu Tingginya mortalitas pada 9.4 %. Sedangkan mortalitas terkecil pada Calophylluum soulattri disebabkan kelas tinggi 71-80 cm (3.4%). Jumlah juga sangat mempengaruhi mortalitas dimana kompetisi dalam mendapatkan unsur hara. Dimana unsur hara yang sedikit dan semakin berkurangnya jumlah individu kerapatan tumbuh yang sangat rapat maka mortalitas semakin besar pula. menyebabkan tingginya persaingan dalam Menurut Mukhtar, Zalfiati and Rahman mendapatkan makanan. Selain kerapatan

tumbuh, faktor lain penyebab tingginya mortalitas adalah serangan hama juga predator herbivora. Pada kelas tinggi di atas 51 cm mortalitas anakan Calophyllum soulattri sangat kecil terjadi karena sudah bisa bertahan dari serangan predator. Mukhtar dan Koike (2009) menyatakan bahwa tumbuhan Calophyllum soulattri memiliki daun berumur panjang dan dapat bertahan hidup di hutan tanpa menghasilkan tunas baru. Pada saat di lapangan juga dilihat bahwa Calophyllum soulattri pada kelas tinggi ini banyak tumbuh tegak dan tidak memiliki cabang. 79 Mortalitas dari Swintonia schwenkii Mortalitas suatu tumbuhan dipengaruhi oleh perubahan jumlah individu dari anakan. Semakin berkurang jumlah individu maka tingkat mortalitas semakin tinggi pula. Begitu juga pada anakan Swintonia schwenkii yang semakin sedikit ditemukan, maka sangat mempengaruhi mortalitas. Dari analisa kelas tinggi 0-100 cm ternyata mortalitas sangat bervariasi dan semakin berkurang seiring bertambahnya tinggi anakan tumbuhan tersebut. Pada gambar 2 dapat dilihat populasi anakan Swintonia schwenkii yang semakin berkurang. Gambar 2. Jumlah individu dan mortalitas dari Swintonia schwenkii berdasarkan kelas tinggi Pada Swintonia schwenkii Mortalitas terbesar terjadi pada kelas tinggi 11-20 cm yaitu 10.3%. Sedangkan mortalitas terkecil pada kelas tinggi 51-60 cm yaitu 2.9%, dimana pada kelas tinggi ini keatas anakan sudah bisa bertahan dari serangan predator dan persaingan dalam mendapatkan makanan. Menurut Whitmore (1972), kesanggupan anakan pohon bertahan tergantung pada berhasil atau tidaknya dalam mengatasi kompetisi sumber daya. Penyebaran jenis Swintonia schwekii jauh dari pohon induk dan tidak terpola. Hal ini menyebabkan anakan kelas tinggi 0-20 yang tumbuhannya masih sangat muda kalah saing dalam kompetisi mendapatkan unsur hara dengan tumbuhan lain. Menurut Mukhtar dan Yoneda (1996) tinggi anakan pada kelas tinggi 0 20 cm merupakan titik kritis (critical point) pertumbuhan dari masing-masing jenis anakan tersebut sehingga mengalami penurunan jumlah. Laju Pertumbuhan Tinggi Relatif / Relative High Growth Rate (RHGR) Laju Pertumbuhan Tinggi Relatif / Relative High Growth Rate (RHGR) dari Calophyllum soulattri Secara umum laju pertumbuhan tinggi relatif atau Relative High Growth Rate yang biasa di disebut RHGR akan berkurang seiring dengan bertambahnya kelas tinggi anakan. RHGR dari anakan Calophyllum soulattri berdasarkan kelas tinggi 0-100 cm tidak begitu bervariasi. Uraian yang lebih detail tentang RHGR dapat dilihat pada Gambar 3.

80 Gambar 3. Laju Pertumbuhan Tinggi Relatif / Relative High Growth Rate (RHGR) dari Calophyllum soulattri berdasarkan kelas tinggi Dari Gambar 3 bisa dilihat RHGR pertahun pengamatan. RHGR terbesar masing-masing tahun pengamatan tidak jauh berbeda. Tahun 1998 RHGR terbesar pada kelas tinggi 21-30 yaitu 0.46 cm/cm/thn, tahun 2002 RHGR terbesar pada kelas tinggi 31-40 yaitu 0.43 cm/cm/thn, dan pada tahun 2012 RHGR terbesar sama dengan tahun 1998 terjadi pada kelas tinggi 21-30 yaitu 0.38cm/cm/thn. Laju pertambahan tinggi ini semakin menurun seiring bertambahnya kelas tinggi. Mukhtar et al. (1998) juga menyatakan pertambahan tinggi yang cepat pada anakan individu ini adalah pada kelas tinggi 31-40 cm. Pada penelitian Sijabat (1999) juga mendapatkan laju tertinggi di bawah kelas 40 cm. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tercepat dari suatu anakan pohon berlangsung di bawah kelas tinggi 50 cm. Pada kelas tinggi diatas 70 cm anakan akan mengalami tahap penyesuaian terhadap berbagai kondisi lingkungan seperti kondisi habitat dan ketersedian bahan makanan, sehingga pada kelas tinggi ini anakan pohon akan melakukan adaptasi demi kelangsungan hidupnya. Menurut Mukhtar dan Koike (2009), individu Calophyllum soulattri menunjukkan perilaku yang berbeda dari spesies lain, dimana individu ini memiliki tingkat pertumbuhan yang kecil atau lambat. Anakan Calophyllum soulattri bersifat evergreen and shade tolerant dimana cenderung lebih mampu bertahan hidup pada kondisi yang ternaungi dan sedikit cahaya sehingga mampu mencapai tingkat kanopi hutan. Laju pertumbuhan tinggi relatif / Relative High Growth Rate (RHGR) dari Swintonia schwenkii Laju pertumbuhan tinggi relatif/ Relative High Growth Rate (RHGR )pada Swintonia schwenkii terlihat agak bervariasi. Variasi pertambahan tinggi dari Swintonia schwenkii disebabkan karena karakter sendiri dalam pertumbuhan setiap anakannya. Gambaran RHGR dari Swintonia schwenkii dapat dilihat pada Gambar 4.

81 Gambar 4. Laju pertumbuhan tinggi relatif / Relative High Growth Rate (RHGR) Swintonia schwenkii pada jenis tumbuhan dan lingkungannya. Faktor lingkungan juga sangat mempengaruhi laju pertumbuhan anakan, dimana keadaan lingkungan yang tidak sesuai mengakibatkan pertumbuhan terganggu. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1978), faktor-faktor yang paling mempengaruhi laju pertumbuhan tinggi permudaan pohon adalah curah hujan dan intensitas cahaya. Anomali cuaca yang terjadi menyebabkan curah hujan yang ekstrim. Kondisi curah hujan yang sangat tinggi dapat mengakibatkan terjadinya pengikisan unsur hara yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan permudaan pohon atau bahkan dapat mengikis keberadan permudaan pohon itu sendiri. Kondisi curah hujan yang sangat rendah dapat menyebabkan kekeringan pada anakan pohon (Soerianegara and Lemmens,1994). Pada gambar 4 dapat dilihat RHGR terbesar masing-masing tahun pengamatan per kelas tinggi anakan Swintonia schwenkii tidak jauh berbeda. Tahun 1998 RHGR terbesar pada kelas tinggi 21-30 yaitu 0.21 cm/cm/thn, tahun 2002 RHGR terbesar pada kelas tinggi 41-50 yaitu 0.26 cm/cm/thn, dan pada tahun 2012 RHGR terbesar terjadi pada kelas tinggi 31-40 yaitu 0.21 cm/cm/thn. Pertumbuhan anakan Swintonia schwenkii ini lebih lambat dibandingkan dari Calophyllum soulattri. Penyebaran yang jauh dari pohon induk dan pertumbuhan yang lama mengakibatkan jumlah populasi yang tidak jauh berbeda dari pengamatan sebelumnya. Nova (2000), dalam penelitiannya juga menemukan pertambahan tinggi terbesar terjadi pada kelompok kelas tinggi 11-20 cm. Hamdani (2008) dalam penelitian laju pertumbuhan tinggi terhadap tujuh anakan di lokasi yang sama menemukan Swintonia schwenkii memiliki laju pertumbuhan terendah yaitu 0,16 cm/cm/tahun. Anakan di bawah kelas tinggi 50 cm adalah pertumbuhan awal tercepat dari suatu anakan tumbuhan. Pada tingkatan ini anakan pohon lebih kuat beradaptasi terhadap lingkungannya (Rofiadi, 1999). Pertambahan tinggi anakan berlangsung cepat kemudian akan melambat seiring bertambahnya kelas tinggi. Spur et al. (1980) menyatakan bahwa pertumbuhan tinggi bervariasi kecepatannya, tergantung Kesimpulan Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa mortalitas yang terbesar pada tahun pengamatan 2012 dari Calophyllum soulattri ditemukan pada kelas tinggi 11-20 cm (9.4%) dan mortalitas terkecil pada kelas tinggi 71-80 cm (3.4%). Pada individu Swintonia schwenkii mortalitas terbesar ditemukan pada kelas tinggi 11-20 cm (10.3 %) dan mortalitas terkecil pada kelas tinggi 51-60 cm (2.9 %). Laju pertumbuhan tinggi relative terbesar pada

tahun pengamatan 2012 dari anakan Calophyllum soulattri terjadi pada kelas tinggi 21-30 (0.38 cm/cm/thn), sedangkan pada anakan Swintonia schwenkii laju pertumbuhan tinggi relatif terbesar pada kelas tinggi 31-40 cm (0.21 cm/cm/thn). Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada Rista, Hendrio, Lily Ani, Khairinnisa, Adi Bejo Suwardi, Ade Oksari atas bantuannya dalam penelitian di lapangan. Daftar Pustaka Hunt, R. 1982. Plant Growth Curves. The Functional Approach to Plant Growth Analysis. University Park Press. Baltimore. Khurana. E and J.S. Singh. 2001. Ecology of tree seed and seedlings: Implications for tropical forest conservation and restoration. Current Science. 80(6): 748-757. Mukhtar, E and T. Yoneda. 1996. Regeneration Process of Climax species Calophyllum soulattri in Tropical Rain Forest of West Sumatera; iv.mortality, Recruitment and Growth During Six Years in Relation to Distance from a Mother Tree. The 2nd FBRT Japan Seminar Tsukuba. Mukhtar, E., Zalfiati and M. Rahman. 1998. Regeneration process of climax species calophyllum soulatri in tropical rain forest of West Sumatera. Population Dynamics of a Cohort From Mass Fruiting in 1981. Tropics.7 (3/4) : 183-194. 82 Mukhtar, E and Fumito Koike. 2009. Juvenile height growth rate of seven major tree species in a tropical rain forest of West Sumatra. Tropics. 18 (1). Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Richard, P. W. 1964. The Tropical Rain Forest an Ecological Study at The University Press Crambridge. London. Rofiadi, I. 1999. Pertambahan Tinggi Beberapa Anakan Pohon Di Hutan Bukit Pinang-pinang. Skripsi Sarjana Biologi. FMIPA Universitas Andalas. Padang. Sheil, D and R.M. May. 1996. Mortality and recruitment rate evaluation in heterogeneous tropical forest. Journal of Ecology 84;91-100. Sijabat, M. 1999. Pertumbuhan Tinggi Beberapa Permudaan Pohon di Hutan Bukit Gajabuih. Skripsi Sarjana Biologi. FMIPA Universitas Andalas. Padang. Spurr, S.H and B. V. Barnes. 1980. Forest Ecology. Jhon Willey ans Son. New York. Soerianegara, I dan A. Indrawan. 1978. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Manajemen Hutan. IPB Bogor Soerianegara, I. and R. H. M. J. Lemmens. 1994. Plant Resources of South East Asia 5 edition no 1 (Timber Tree : Major Commercial Trees). Bogor Whitmore, T. C. 1972. Tree Flora of Malaya. Vol. 2. 444 pp. Longman. Kuala Lumpur. Whitmore, T. C. 1990. Tropical Rain Forest. Clerendon Press. Oxford.