BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 4 PEMBAHASAN. Umur

BAB I PENDAHULUAN. 1,1 milyar orang tidak memiliki fasilitas sanitasi. Hal ini kemudian berpengaruh pada

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal, serta dapat. menolong dirinya sendiri dalam bidang kesehatan.

PERKEMBANGAN SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT (STBM) DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN

PERKEMBANGAN SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT (STBM) DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN

BAB 3 METODOLOGI. 3.1 Kerangka Konsep INTERNAL INTERNAL ELEMEN PEMICUAN KEPEMIMPINAN LOKAL 100% MASYARAKAT TIDAK BUANG AIR BESAR SEMBARANG TEMPAT

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan diselenggarakan untuk meningkatkan kesadaran,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

RINGKASAN PRASTATI THALIB NIM :

BAB 1 PENDAHULUAN. pencapaian tumbuh kembang bayi tidak optimal. utama kematian bayi dan balita adalah diare dan pneumonia dan lebih dari 50%

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan deklarasi Johannesburg yang dituangkan dalam Milleniun

BAB 1 PENDAHULUAN. secara sosial dan ekonomis. Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut maka dituangkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan upaya yang dilaksanakan oleh semua

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 852/MENKES/SK/IX/2008 TENTANG STRATEGI NASIONAL SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT

PROGRAM PENGUATAN KEBERLANJUTAN UNTUK STBM KABUPATEN/KOTA DAN MASYARAKAT

Lampiran 1. Kata Kunci : Evaluasi, Program, STBM, Kepemilikan Jamban, Pemanfaatan jamban.

BUPATI MADIUN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 27 A TAHUN 2009 TENTANG PROGRAM SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN MADIUN BUPATI MADIUN,

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus di

: [i] adanya inginan untuk meningkatkan kondisi air minum

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 30 TAHUN TENTANG STRATEGI DAERAH SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT KABUPATEN SUMEDANG

BAB I PENDAHULUAN` Menurut World Health Organization (WHO,2006); sanitasi merupakan upaya

BAB 1 PENDAHULUAN. saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan beban global. terutama di negara berkembang seperti Indonesia adalah diare.

SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. satu indikator utama derajat kesehatan suatu negara. AKI dan AKB juga

ANALISIS PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM KEBERHASILAN PROGRAM COMMUNITY LED TOTAL SANITATION (CLTS)

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan kesehatan sangat ditentukan oleh kesinambungan antar upaya program

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan berpotensial untuk mempengaruhi kesehatan (WHO, 1948)

BAB I PENDAHULUAN. Sulawesi Tenggara (19,20%), Jawa Tengah (18,80%), Sulawesi Barat (17,90%), Sulawesi Selatan (17,60%), Nusa

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) dalam Buletin. penyebab utama kematian pada balita adalah diare (post neonatal) 14%,

BAB 1 PENDAHULUAN Di bawah MDGs, negara-negara berkomitmen untuk mengurangi angka

BAB I PENDAHULUAN. lebih dalam sehari. Dengan kata lain, diare adalah buang air besar

BAB 1 PENDAHULUAN. keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Isu tentang permasalahan kesehatan merupakan dua dari 17 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. pertolongan di fokuskan pada periode intrapartum (Saleha, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi merupakan tekanan darah di atas batas normal, hipertensi

PNPM Generasi. Generasi Sehat Dan Cerdas SEKOLAH DASAR TUNAS BANGSA POSYANDU ANGGREK POSYANDU ANGGREK. Info Kit

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku sehat. Program PHBS telah dilaksanakan sejak tahun 1996 oleh

IRGSC Policy Brief. Menuju Pembangunan Sanitasi yang Berkelanjutan: Pembelajaran dari Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Target Millenium Development Goals (MDGs) ke-7 adalah setiap negara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan kesehatan merupakan upaya yang dilaksanakan oleh semua

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. disebabkan oleh protozoa, seperti Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan

BAB I PENDAHULUAN. kematian anak. Derajat kesehatan suatu negara dapat diukur dari berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. (P2ISPA) adalah bagian dari pembangunan kesehatan dan upaya pencegahan serta

BAB 1 PENDAHULUAN. di Indonesia yang cenderung jumlah pasien serta semakin luas. epidemik. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan

Disampaikan oleh: MENTERI KESEHATAN RI pada SEMINAR dan LAUNCHING INDONESIAN WOMEN for WATER, SANITATION and HYGIENE Jakarta, 18 Februari 2015

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Global Adults Tobacco Survey (GATS) Indonesia, Indonesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. akan menghadapi risiko yang bisa mengancam jiwanya. Oleh karena itu, setiap

BAB I PENDAHULUAN. Kerugian akibat water-borne diseaseterjadi pada manusia dan juga berdampak

BAB I PENDAHULUAN. yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, sebagaimana

BAB I PENDAHULUAN. tahun-2008-penduduk-miskin-turun-221-juta-.html (diakses 19 Oktober 2009)

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Program Keluarga Berencana (KB) menurut Undang-Undang Nomor 10

PETUNJUK PRAKTIS PEMICUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. kehilangan cairan tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi tubuh, hal ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Kesehatan Anak FKUI/RSCM, diare diartikan sebagai buang air besar yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Peran sanitasi dalam kesehatan masyarakat memiliki dampak yang cukup vital, sanitasi

Perbandingan PRA dengan RRA dan PAR

BAB I PENDAHULUAN. secara adil serta merata (Depkes RI, 2009). Masalah penyehatan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. setinggi-tingginya (Sistem Kesehatan Nasional, 2009). Salah satu upaya. program nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).

BAB I PENDAHULUAN. untuk menjamin kesejahteraan masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perlu dijaga, ditingkatkan dan dilindungi kesehatannya. Masa usia sekolah disebut

BAB 1 PENDAHULUAN. tinggi. Diare adalah penyebab kematian yang kedua pada anak balita setelah

I. PENDAHULUAN. bersifat endemis juga sering muncul sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) dan

EFEKTIVITAS PUG DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN PSP

BAB I PENDAHULUAN. seperti semula dan berlangsung kira-kira 6 minggu. 1. dibagi menjadi periode pasca persalinan (immediate postpartum), periode

Membelajarkan dan Memberdayakan Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perbaikan kesehatan yang bersifat menyeluruh dan lebih bermutu.

BAB V PENUTUP. 1. Terdapat pengaruh antara penerapan metode Community Led Total Sanitation

BAB III METODE PENELITIAN AKSI PARTISIPATIF. Participatory Action Research (PAR). Metodologi tersebut dilakukan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan

VERIFIKASI ODF Di Komunitas

Oleh : VIVI MAYA SARI No. BP

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional yang sangat penting dalam rangka mewujudkan

BAB 1 PENDAHULUAN. derajat kesehatan negara tersebut buruk. Hal ini disebabkan ibu hamil dan bersalin

Perilaku Masyarakat Pasca Kegiatan Pemicuan Pada Program Gerakan Sanitasi Total (GESIT) (Studi Di Desa Candijati Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember)

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2012 TENTANG PROGRAM SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN ACEH TIMUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

AGENDA PROGRAM PAMSIMAS KOMPONEN 2 KESEHATAN TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. dilindungi dari ancaman yang merugikannya. perilaku sangat mempengaruhi derajat kesehatan. Termasuk lingkungan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pandemik yang terlupakan atau the forgotten pandemic. Tidak

IMPLEMENTASI SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT (STBM) BERSAMA PROGRAM KKN DI DESA TARO GIANYAR

BAB 1 : PENDAHULUAN. badan air yang juga digunakan untuk mencuci, mandi dan kebutuhan lainnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pemberian ASI (Air Susu Ibu) secara eksklusif sampai usia 6 bulan pertama

BAB I PENDAHULUAN. tuanya kehamilan dan tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan

BAB I PENDAHULUAN. 6,9 juta jiwa, tercatat kematian balita dalam sehari, 800 kematian balita

BAB 1 PENDAHULUAN. yang diberikan oleh petugas kesehatan yang tidak lain tujuannya untuk memelihara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan lingkungan mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat,

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan antara promotif, preventif, dan kuratif yang difokuskan pada penduduk

BAB 1 : PENDAHULUAN. kembang. Gizi buruk menyebabkan 10,9 Juta kematian anak balita didunia setiap tahun. Secara

HUBUNGAN PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PROGRAM ODF (OPEN DEFECATION FREE) DENGAN PERILAKU BUANG AIR BESAR SEMBARANGAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kesehatan di Indonesia masih didominasi oleh penyakit-penyakit berbasis lingkungan, seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), kecacingan, Demam Berdarah Dengue (DBD), malaria dan sebagainya. Salah satu penyebab utama tingginya penyakit-penyakit tersebut adalah rendahnya kualitas sanitasi dan higiene. Studi WSP World Bank tahun 2007 memperkirakan lebih dari 50 ribu kematian disebabkan rendahnya sanitasi dan higiene, 24 ribu kematian di antaranya merupakan akibat langsung seperti diare dan 26 ribu kematian merupakan akibat tidak langsung seperti malnutrisi. Kondisi yang demikian tentunya mempengaruhi beberapa indikator pada status kesehatan di Indonesia. Dalam Profil Kesehatan tahun 2006 disebutkan bahwa Angka Kematian Anak usia di bawah 5 tahun adalah 46 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) adalah 35 per 1.000 kelahiran hidup. Selain itu, indikator status kesehatan lainnya adalah Angka Kematian Ibu (AKI) yang masih berada pada posisi 307 per 1.000 kelahiran hidup.

Cakupan sanitasi, yang diartikan sebagai masyarakat mendapatkan akses, bersifat pribadi dan aman untuk buang air kecil maupun buang air besar, di Indonesia pada tahun 2004 hanya mencapai 55 persen dari seluruh penduduk (perdesaan dan perkotaan). Berdasarkan hasil UNICEF/WHO Joint Monitoring Programme, perkembangan cakupan sanitasi di Indonesia selama lebih dari 14 tahun sejak tahun 1990 hingga 2004 sangat lambat, yakni di perdesaan peningkatan cakupannya hanya sekitar 3 persen dari 37 persen hingga 40 persen, sedangkan di perkotaan mencapai 8 persen, yakni dari 65 persen hingga 73 persen. Untuk dapat mencapai target Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015, bila membandingkan target dan kecenderungan cakupan sanitasi hingga tahun 2015, terdapat selisih hingga 10 persen atau setara dengan 25 juta orang yang belum memiliki akses sanitasi. Di sisi lain, kemampuan Pemerintah Indonesia dalam menyediakan fasilitas air bersih dan sanitasi tidak akan sebanding dengan peningkatan jumlah penduduk. Hal ini berarti pemerintah tidak akan mampu menyediakan fasilitas air bersih dan sanitasi bagi masyarakatnya untuk mencapai target MDGs di tahun 2015. Padahal berdasarkan studi WSP World Bank 2007, justru dengan rendahnya kondisi sanitasi di Indonesia diperkirakan telah menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 56 milyar rupiah per tahun yang diakumulasi dari kerugian aspek kesehatan (29,5 milyar), air (13,3 milyar), lingkungan (0,8 milyar), pariwisata (1,5 milyar) dan aspek kesejahteraan lainnya (10,8 milyar). Upaya meningkatkan akses masyarakat terhadap fasilitas sanitasi telah dilakukan dalam waktu relatif panjang dengan biaya yang telah dikeluarkan sangat besar melalui berbagai program, proyek maupun pendekatan. Pengorbanan tersebut tidak memberikan hasil yang optimal dan signifikan dengan berbagai masalah antara lain kurangnya partisipasi masyarakat dalam meningkatkan akses sanitasi, fasilitas yang telah terbangun tidak digunakan, fasilitas yang telah disediakan tidak dirawat, bila fasilitas rusak tidak diperbaiki dan sebagainya. Hasil ini sangat ditentukan oleh proses yang dilakukan dalam menjaring partisipasi masyarakat. Proyek, program maupun pendekatan yang dilakukan adalah top-down dengan memberikan masyarakat fasilitas dan dana untuk membangun. Menurut Felix (1989), Labonte

(1993) dan Boutilier (1999) dalam Laverack, Glenn & Ronald Labonte (2000), ciriciri top-down antara lain pelakunya adalah pemerintah atau pihak luar yang memberikan segala sumber daya yang dibutuhkan berdasarkan keputusannya, masyarakat hanya menerima, rendah kepemilikan dan peran kontrol sumber daya oleh masyarakat dan sebagainya. Kamal Kar (1999) memperkenalkan pendekatan yang dinamakan Community Led Total Sanitation (CLTS), yakni suatu pendekatan yang memfasilitasi suatu proses pemberdayaan komunitas lokal untuk berhenti buang air besar di sembarang tempat serta membangun dan menggunakan jamban tanpa dukungan subsidi dari pihak luar. Pendekatan CLTS pertama dicetuskan oleh Kamal Kar pada tahun 1999, yang bekerja pada Village Education Resource Centre (VERC) dan didukung oleh Water Aid dalam suatu komunitas kecil di Distrik Rajshahi, Bangladesh. Sejak itu, pendekatan ini dilanjutkan penyebarannya di seluruh Bangladesh dan diperkenalkan pada sejumlah negara Asia dan Afrika. Ketertarikan berbagai institusi terus berkembang, terutama karena CLTS sangat potensial untuk berkontribusi dalam mencapai Millennium Development Goals (MDGs), baik yang langsung terhadap air dan sanitasi (Goal 7) maupun tidak langsung melalui efek knock-on dari perbaikan sanitasi dalam menghadapi penyakit utama, khususnya diare (Goal 6), peningkatan kesehatan ibu (Goal 5) dan penurunan kematian anak (Goal 4). (Kar, 2005). Di Indonesia, pendekatan CLTS mulai diperkenalkan tahun 2004 yang diawali dengan pengkajian potensi penerapan CLTS. Pada tahun 2005 mulai dilakukan ujicoba pada 6 kabupaten di 6 provinsi sebagai daerah percontohan, yakni Muaro Jambi (Jambi), Muara Enim (Sumatera Selatan), Bogor (Jawa Barat), Lumajang (Jawa Timur), Sumbawa (Nusa Tenggara Barat) dan Sambas (Kalimantan Barat). Pada daerah-daerah percontohan ini, dalam waktu 18 bulan dicapai sebanyak 130 desa telah terbebas dari masyarakat yang buang air besar di sembarang tempat. Hingga saat ini, pendekatan CLTS telah dikembangkan pada hampir semua provinsi di Indonesia, yakni sebanyak 30 provinsi. Namun demikian, dari evaluasi terhadap penerapan pendekatan ini, ditemui beberapa hal yang dapat menjadi penghambat perubahan yang diharapkan, antara lain kenyamanan yang dirasakan dalam kebiasaan

yang sudah turun menurun dalam buang air besar, terbatasnya informasi tentang pilihan teknologi, pola pikir mengenai subsidi di masyarakat dan aparat pemerintah, rendahnya kepedulian pimpinan daerah terhadap pembangunan sanitasi, harga diri yang tinggi sehingga dalam kepemilikan jamban harus yang bagus (Kar, 2006). Prinsip yang dikembangkan pada pendekatan ini meliputi tanpa subsidi, tidak menggurui, kepemimpinan lokal/masyarakat sebagai pelaku, totalitas (masyarakat melakukan analisis masalah, merencanakan, melaksanakan dan memelihara). Pendekatan ini menggunakan metode Participatory Rural Appraisal (PRA), yakni anggota masyarakat menganalisis profil sanitasinya sendiri termasuk luas buang air besar di sembarang tempat dan penyebaran kontaminasi fekal-oral yang mengganggu. Tujuan yang diharapkan dari pendekatan ini adalah perubahan perilaku di tingkat individu yang diikuti oleh adanya aksi kolektif dari suatu komunitas terutama dengan munculnya kepemimpinan komunitas lokal, inovasi teknologi, pendekatan penggerakan serta pendanaan dari komunitas itu sendiri. Dalam mencapai perubahan perilaku yang diharapkan, pendekatan CLTS menurut Kamal Kar (1999) menggunakan teknik pemicuan dengan beberapa elemen pemicuan, yakni rasa malu, rasa jijik, rasa takut sakit, rasa harga diri, rasa terganggu privasi dan sebagainya yang dapat dijadikan sebagai refleksi sosial dan budaya suatu komunitas. Sekuensi tahapan dalam CLTS untuk mendapatkan hasil yang optimal menurut Kamal Kar dan Robert Chambers (2008) terdiri atas 4 tahap. Tahap pertama adalah pra pemicuan (pre-triggering), yakni pemilihan komunitas, perkenalan dan bina suasana. Tahap kedua adalah pemicuan (triggering), berupa analisis profil sanitasi secara partisipatori dan puncak pemicuan yang menggunakan elemen pemicuan. Tahap ketiga adalah pasca pemicuan (post-triggering), meliputi rencana aksi oleh masyarakat dan tindak lanjutnya berupa pendampingan oleh fasilitator dan munculnya kepemimpinan lokal. Sedangkan tahap terakhir adalah peningkatan (scaling up and going beyond CLTS), antara lain berupa perbaikan kualitas sarana, pemeliharaan dan komitmen sosial yang memelihara kesinambungan perubahan yang telah terjadi.

Menurut Prochaska dan DiClemente (1986) dalam Transtheoretical model of behavior change, perubahan perilaku timbul melalui 5 tahap dalam pola siklus atau spiral. Tahap pertama adalah precontemplation (pra perenungan), yakni belum ada intensi dari individu untuk berubah perilakunya. Tahap kedua disebut sebagai contemplation (perenungan), yakni masyarakat peduli atas masalah yang ada dan serius untuk mencari aksi yang dapat memecahkan masalahnya, tetapi belum membuat komitmen untuk melakukan aksi. Tahap ketiga disebut sebagai preparation (persiapan), yang melibatkan seluruh intensi untuk berubah. Pada tahap keempat individu-individu secara aktual memodifikasi perilaku, pengalaman atau lingkungannya supaya mendapatkan keuntungan dari masalah atau mendapatkan tujuannya, sehingga disebut sebagai tahap action (aksi). Tahap kelima disebut sebagai maintenance (pemeliharaan), yakni masyarakat berupaya untuk mencegah kembali dan mengkonsolidasi untuk memperoleh keuntungan dalam tahapan aksinya. Stabilitas perubahan perilaku dan menghindari kembalinya atau yang lebih dikenal dengan kesinambungan merupakan karakteristik tahap pemeliharaan ini. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perkembangan proses yang terjadi pada individu dalam pendekatan CLTS menganut teori transtheoretical model. Menurut Koentjaraningrat (1996), perubahan sosial budaya dapat terjadi secara cepat atau lambat. Perubahan kebudayaan yang berlangsung secara cepat membutuhkan inovasi. Untuk terjadi suatu inovasi dibutuhkan adanya beberapa syarat, di antaranya masyarakat merasa perubahan sebagai kebutuhan. Dalam CLTS, pemicuan dilakukan utuk menciptakan rasa butuh masyarakat terhadap fasilitas sanitasi. Untuk mendapatkan kondisi yang kondusif diperlukan adanya pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Pemberdayaan merupakan proses aktif dari masyarakat untuk berperan aktif atau partisipasi. Sedangkan partisipasi sendiri dapat diartikan sebagai keterlibatan anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan, implementasi program, evaluasi serta memperoleh manfaat dari keterlibatannya. Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu wilayah yang menjadi tempat ujicoba penerapan pendekatan CLTS di Indonesia. Luas wilayah kabupaten Muara Enim adalah 7.466,82 km² terdiri atas 22 kecamatan dan

293 kelurahan/desa. Di wilayah Kabupaten Muara Enim ini mengalir Sungai Air Banyuasin. Jumlah penduduk seluruhnya 629.715 jiwa, dengan komposisi laki-laki 312.002 dan perempuan 317.713 jiwa. Akses air bersih telah mencapai 78,23%, sedangkan akses sanitasi di Kabupaten Muara Enim tahun 2006 adalah sebesar 33,19% dan meningkat menjadi 65,53% dengan dukungan pendekatan CLTS yang diterapkan di seluruh wilayah Kabupaten Muara Enim. Namun demikian, yang berhasil memberikan dampak masyarakat 100% tidak buang air besar sembarang tempat, hanyalah Kecamatan Lembak. Studi WSP World Bank tahun 2007, menggambarkan bahwa Kecamatan Lembak Kabupaten Muara Enim merupakan wilayah yang paling cepat proses pencapaian masyarakat 100% tidak buang air besar sembarang tempat, yakni hanya dalam waktu 1 tahun. Dalam Profil Kesehatan Kabupaten Muara Enim tahun 2007, cakupan sanitasi Kecamatan Lembak sebelum dikembangkannya CLTS adalah 35%. Kecamatan yang paling rendah cakupan sanitasinya adalah Kecamatan Talang Ubi. Pencapaian perubahan masyarakat yang buang air besar di sembarang tempat yang didukung oleh pendekatan CLTS dalam kurun waktu yang sama, yakni 1 tahun relatif sedikit, kenaikan cakupan sanitasinya hanya 6%, dari rata-rata 38,8% menjadi 44,8%. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan sekuensi tahapan dalam pendekatan CLTS ini, diperlukan adanya tahap pra pemicuan, pemicuan, pasca pemicuan dan peningkatan agar penerapan pendekatan ini berhasil. Masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahuinya faktor-faktor Community Led Total Sanitation (CLTS) mana yang berkontribusi dalam pencapaian masyarakat 100 persen tidak buang air besar di sembarang tempat di Kecamatan Lembak dan Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang ada, maka yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah faktor-faktor Community Led Total Sanitation (CLTS) mana

yang berkontribusi dalam pencapaian masyarakat 100 persen tidak buang air besar di sembarang tempat di Kecamatan Lembak dan Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan? 1.4 Tujuan 1.4.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah diketahuinya penerapan pendekatan Community Led Total Sanitation (CLTS) di Kecamatan Lembak dan Kecamatan Talang Ubi Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan tahun 2008. 1.4.2 Tujuan Khusus a. Diketahuinya elemen pemicuan dalam CLTS yang paling berpengaruh terhadap motivasi masyarakat Kecamatan Lembak dan Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Muara Enim untuk untuk membangun fasilitas sanitasi. b. Diketahuinya kegiatan pendampingan dari Puskesmas untuk menjaga konsistensi proses pemicuan CLTS di Kecamatan Lembak dan Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Muara Enim. c. Diketahuinya peran kepemimpinan lokal dalam mendorong motivasi masyarakat untuk membangun fasilitas sanitasi di Kecamatan Lembak dan Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Muara Enim. d. Diketahuinya komitmen sosial di antara masyarakat Kecamatan Lembak dan Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Muara Enim untuk memelihara kesinambungan perilaku buang air besar pada fasilitas sanitasi. 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Pemerintah a. Sebagai masukan dalam evaluasi dan perencanaan bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam mengadopsi pendekatan CLTS, khususnya Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Selatan.

b. Sebagai masukan bagi pemerintah pusat maupun daerah dalam meninjau kembali dan mengembangkan metode fasilitasi dengan pendekatan CLTS di masyarakat. 1.5.2 Bagi Institusi Pendidikan Sebagai sumbangan informasi untuk pengembangan dan peningkatan peran institusi pendidikan di masyarakat. 1.5.3 Bagi Peneliti Sebagai sarana untuk menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman ilmiah dalam bidang kesehatan masyarakat, khususnya pemberdayaan masyarakat untuk mencapai perilaku hidup bersih dan sehat. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian ini dilaksanakan terhadap masyarakat di Kecamatan Lembak dan Kecamatan Talang Ubi Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan dalam kurun waktu bulan Oktober sampai dengan bulan November tahun 2008. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Untuk data primer, pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan responden. Adapun responden yang menjadi sumber informasi adalah anggota masyarakat yang tinggal di Kecamatan Lembak dan Kecamatan Talang Ubi. Untuk pengumpulan data sekunder, data dikumpulkan dari Puskesmas dan Kantor Kecamatan Lembak dan Kecamatan Talang Ubi. Data primer yang dikumpulkan dari anggota masyarakat yang menjadi sumber informasi berupa elemen-elemen pemicuan yang menjadi faktor pemicu bagi masyarakat, proses pendampingan yang dilakukan oleh fasilitator, kepemimpinan lokal dan komitmen sosial dari masyarakat untuk mengimplementasikan perubahan perilakunya dengan membangun fasilitas sanitasi.