Gus Dur minta ma'af atas pembunuhan tahun 1965/66

dokumen-dokumen yang mirip
Buku «Memecah pembisuan» Tentang Peristiwa G30S tahun 1965

Bahan Renungan Sekitar G30S, Bung Karno, Suharto dan PKI

BACAAN UNTUK HARI " SEBELAS MARET" HARI "SUPERSEMAR"

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965*

Negara Jangan Cuci Tangan

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berasal dari Tuhan, dan tidak dapat diganggu gugat oleh. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan salah satu nilai dasar

G30S dan Kejahatan Negara

Buku Letjen (Pur) Sintong Panjaitan yang membikin heboh

2015 PERKEMBANGAN SISTEM POLITIK MASA REFORMASI DI INDONESIA

BAB 5 SIMPULAN DAN REKOMENDASI. memuat serangkaian peristiwa yang dijalin dan disajikan secara kompleks. Novel

BAB V. Penutup. Dari kajian wacana mengenai Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar

13. KESIMPULAN. Majelis Hakim Yang Terhormat

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

BAB 5 KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan Kewarganegaraan

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 017/PUU-I/2003

Realitas di balik konflik Amerika Serikat-Irak : analisis terhadap invasi AS ke Irak Azman Ridha Zain

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Terdapat beberapa hal yang penulis simpulkan berdasarkan permasalahan yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

APA SEBAB JENDRAL SUHARTO TIDAK PUNYA SYARAT UNTUK DIBENUM -- JADI PAHLAWAN NASIONAL * * *

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Kebencian pada Keturunan PKI Belum Hilang, Negara Harus Minta Maaf

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Moral Akhir Hidup Manusia

BAB I PENDAHULUAN. menjadi landasan bagi penampilan perilaku dalam standar nilai dan norma yang

BAB VII PENGHARGAAN TERHADAP HIDUP MANUSIA

Meninjau Kembali Pembantaian 50 Tahun Lalu

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1986

PANCASILA. Pancasila dalam Kajian Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia (Lanjutan) Poernomo A. Soelistyo, SH., MBA. Modul ke: Fakultas MKCU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

Nasib Para Eks-tapol dan Korban Peristiwa 65/66

INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Tragedi 1965 dalam Pandangan Sastra dan Politik

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan sistem kontrol sosial yang belum memadai dan penegakan hukum yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Manfaat Belajar Pendidikan Pancasila bagi Mahasiswa

Demokrasi di Indonesia

Negara tak perlu dan tak akan pernah minta maaf ke PKI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Niar Riska Agustriani, 2014 Peranan komisi nasional hak asasi manusia Tahun

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

AKAR DAN DALANG PEMBANTAIAN MANUSIA TAK BERDOSA. dan PENGGULINGAN BUNG KARNO

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

HAK ASASI MANUSIA DAN KEHIDUPAN BERBANGSA MEMPERINGATI ULANG TAHUN ELSAM KE-20

Sambutan Presiden RI Pd Peringatan HUT ke-80 GP Ansor, di Surabaya, tgl 4 Jan 2014 Sabtu, 04 Januari 2014

Cari Kuburan Massal untuk Pelurusan Sejarah

NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HAK ASASI MANUSIA. by Asnedi KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KANWIL SUMATERA SELATAN

KEHIDUPAN POLITIK PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN

Akui Dulu Pembantaian, Baru Minta Maaf

PANCASILA DAN HAM. Makalah Disusun untuk: Memenuhi tugas akhir Pendidikan Pancasila STMIK AMIKOM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNOFFICIAL TRANSLATION

BAB I PENDAHULUAN. berposisi di baris depan, sebagai komunitas sosial yang memotori perwujudan

Presiden Seumur Hidup

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai peristiwa sejarah tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Peristiwaperistiwa

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PERATURAN REKTOR UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA NOMOR : 03 TAHUN 2009 TENTANG ETIKA DAN TATA TERTIB PERGAULAN MAHASISWA DI KAMPUS

BOGOR, 01 JUNI

SEKILAS PEMILU PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU

REPRESENTASI PERAMPASAN HAK HIDUP INDIVIDU YANG DIANGGAP TAPOL DALAM NOVEL MENCOBA TIDAK MENYERAH KARYA YUDHISTIRA ANM MASSARDI

Sambutan Presiden RI pada Peresmian Sarana dan Prasarana DDII, Bekasi, 27 Juni 2011 Senin, 27 Juni 2011

*SEKITAR TERORIS-KANAN ANDREAS BREIVIK*

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Komisi Nasional HAM kerangka hukum dan mekanisme penegakan hukum HAM. Dr. Herlambang P Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga 26 Mei 2015

SEPULUH TAHUN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA PASCA REFORMASI: SEBUAH REFLEKSI

BAB I PENDAHULUAN. Politik merupakan hal yang sering diperbincangkan dalam masyarakat. Apalagi tahun ini

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

Title? Author Riendra Primadina. Details [emo:10] apa ya yang di maksud dengan nilai instrumental? [emo:4] Modified Tue, 09 Nov :10:06 GMT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1999 TENTANG PARTAI POLITIK. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA EsA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Komitmen Dan Kebersamaan Untuk Memperjuangkan Hak Asasi Manusia diselenggarakan oleh Pusham UII bekerjasama dengan

LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK)

NOTA PEMBELAAN. BASUKI TJAHAJA PURNAMA TERHADAP TUNTUTAN PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA PIDANA No. 1537/Pid.B/2016/PN.JKT.UTR

PERATURAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

BAB V. Kesimpulan. dari revolusi di kerdua Negara tersebut. Bahkan di Mesir media sosial

2 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan

Sambutan Presiden RI pd Silaturahim dan Buka Bersama, di Jakarta, tgl. 30 Juni 2014 Senin, 30 Juni 2014

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA

Sambutan Presiden RI pada Perayaan Natal Nasional, Jakarta, 27 Desember 2012 Kamis, 27 Desember 2012

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan kasus bullying (tindak kekerasan) di sekolah-sekolah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 77/PUU-X/2012

Keterangan Pers Presiden RI tentang Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi, Jumat, 26 Juni 2009

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 3 TAHUN 1975 (3/1975) Tanggal: 27 AGUSTUS 1975 (JAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan kemerdekaan sampai hingga era pengisian kemerdekaan

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Gerakan 30 September Hal tersebut disebabkan para kader-kader Gerwani tidak merasa melakukan penyiksaan ataupun pembunuhan terhadap para

BAB I PENDAHULUAN. negara yang telah dirasakan bangsa Indonesia sejak era kolonial hingga era

Transkripsi:

Gus Dur minta ma'af atas pembunuhan tahun 1965/66 (Oleh : A. Umar Said ) Renungan tentang HAM dan demokrasi di Indonesia (pamflet, gaya bebas berfikir) Agaknya, bagi banyak orang, pernyataan Gus Dur dalam dialog interaktif _Secangkir kopi_ yang disiarkan TVRI tanggal 14 Maret (2000) yang lalu adalah sesuatu yang menyentak fikiran, atau, setidak-tidaknya, bisa menggugah berbagai pertanyaan dalam hati. Ini dapat sama-sama kita saksikan dari banyaknya reaksi atau tanggapan _ baik positif maupun negatif _ berbagai fihak di dalamnegeri maupun di luarnegeri. Mengingat pentingnya masalah ini bagi kehidupan bangsa dan negara, maka bisalah diramalkan bahwa buntutnya masih akan panjang, bahkan bisa panjang sekali. Dan, karena dampaknya persoalan ini bisa sangat besar dalam bidang politik, sosial dan moral, maka makin banyak orang ikut mempersoalkannya, akan makin baiklah kiranya bagi kehidupan bangsa kita selanjutnya. Dalam pernyataan Gus Dur itu (menurut Kompas 15/3) disebutkannya bahwa sejak dulu, ketika masih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (NU), dirinya sudah meminta ma_af terhadap para korban G30S. Pemerintah menyambut baik jika masyarakat ingin membuka kembali kasus G30S dan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HA) lainnya. _Dari dulu pun, saya sudah minta ma_af. Bukan sekarang saja, tanyakan pada teman-teman di lembaga swadaya masyarakat (LSM). Saya sudah meminta ma_af atas segala pembunuhan yang terjadi terhadap orang-orang yang dikatakan sebagai komunis_. Menurut Gus Dur, belum tentu orang-orang yang dituduh komunis semuanya bersalah sehingga akhirnya dihukum mati. "Buktikan dong secara pengadilan, nggak begitu saja terjadi. Dan, ma'af ya, hal semacam itu terjadi, justru banyak pembunuhan dilakukan oleh anggota NU_. Gus Dur mengatakan, kalau masalah G30S/PKI dibuka kembali, akan baik sekali bagi perdebatan bangsa Indonesia. _Karena banyak orang menganggap orang PKI bersalah. Ada juga yang menganggap tidak bersalah. Nah, karena itu kita tentukan saja nanti melalui pengadilan yang mana yang benar_, paparnya. (Kutipan habis). Kalau kita kaji dalam-dalam, dan kita renungkan baik-baik isi pernyataan Gus Dur tersebut di atas, maka terasalah bahwa pernyataan Gus Dur memang luar biasa. Karenanya, wajarlah kalau banyak sekali orang yang terperanjat atau terheran-heran. Sebab, apa yang dinyatakannya itu menyentuh suatu persoalan besar yang selama lebih 1

dari 34 tahun menjadi duri besar dalam tubuh bangsa Indonesia, dan juga suatu masalah yang selama puluhan tahun menjadi tabu (larangan) untuk diangkat secara terbuka dan terang-terangan. Di samping itu, karena pernyataannya itu bisa ditafsirkan sebagai pesan politik dan pesan moral yang amat penting, terutama dalam konteks situasi aktual di negeri kita ini, maka perdebatan mungkin akan menarik. MENCARI KEBENARAN DARI KENYATAAN Barangkali cukup banyak di antara kita yang sudah pernah mendengar (atau membaca) bahwa ketika masih menjabat Ketua Umum NU Gus Dur sudah berani terang-terangan mengatakan bahwa dalam pembunuhan besar-besaran yang terjadi dalam tahun-tahun 65/66 banyak anggota-anggota NU yang terlibat dalam malapetaka besar itu. Ini telah dinyatakannya terus-terang dalam berbagai kesempatan, terutama dalam pertemuan-pertemuan dengan berbagai LSM atau dengan sahabat-sahabat. Di antaranya adalah dalam suatu pertemuan, sambil makan malam, di restoran koperasi INDONESIA di Paris dalam tahun 1995. Dalam pertemuan tersebut hadir belasan orang, yang kebanyakan terdiri dari orang-orang yang mendapatkan suaka politik dari pemerintah Prancis, atau yang menurut istilah Gus Dur, adalah orang-orang yang _klayaban_. Dalam pembicaraan santai tentang macam-macam soal yang dihadapi negeri kita waktu itu (perjuangan buruh, masalah demokrasi dll), telah terungkap juga masalah peristiwa 65. Waktu itulah, kami semua terheran-heran _ bercampur kagum _ mendengar pernyataan Gus Dur bahwa di antara orang-orang yang terbunuh itu banyak yang tidak bersalah apa-apa, dan bahwa tidak sedikit yang telah menjadi korban tindakan-tindakan orang-orang NU sendiri. (Pernyataan Gus Dur ini, yang kami anggap berani dan jujur ini, lama menjadi pembicaraan di antara kami, juga setelah Gus Dur kemudian meninggalkan Paris) Sekarang ini, setelah Gus Dur menjabat sebagai presiden, diulanginya lagi pernyataannya itu di depan TVRI, yang berarti bahwa ia telah melakukannya dengan kesadaran yang jelas dan dengan tujuan supaya pesannya itu didengar oleh seluruh bangsa. Yang perlu mendapat perhatian kita semua yalah bahwa pada kesempatan itu ia minta ma_af kepada para korban yang diakibatkan oleh peristiwa tahun 1965 itu. Di sinilah letak kebesaran arti pesan Gus Dur. Sebab, kali ini ia tidak lagi berbicara sebagai Ketua Umum NU atau sebagai pemimpin ummat Islam, melainkan sebagai Kepala Negara. Sudah tentu, kita semua bisa saja memberikan tanggapan yang macam-macam terhadap pernyataan Gus Dur itu, atau melihatnya dari sudut pandang yang berbeda-beda. Justru dengan dasar pemikiran yang begitulah seyogyanya kita mengangkat pernyataan Gus Dur 2

itu. Makin banyak orang ikut membicarakannya akan makin baik bagi usaha bersama kita semua untuk memberikan sumbangan kepada penegakan kultur demokrasi di negeri kita yang sudah begitu lama diborgol oleh rezim militer Orde Baru. Sebab, dari perdebatan yang rame inilah kita bisa mengharapkan akan adanya kejelasan tentang masalah-masalah besar yang selama ini masih ditutup-tutupi oleh rezim militer Orde Baru. Terlebih lagi, perdebatan tentang pembunuhan besar-besaran tahun 65/66, tentang peristiwa G30S (harap catat bahwa disini tidak dicantumkan _PKI_ sebagai embel-embelnya! Pen), tentang peran Suharto dkk waktu itu, tentang campurtangan asing, tentang sikap Presiden Sukarno, tentang pengaruh Perang Dingin waktu itu, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan peristiwa itu semuanya akan bisa, lambat laun, membantu sejarah bangsa kita menemukan kebenaran. Kebenaran sejarah yang didasarkan kepada fakta atau kenyataan. Adalah kewajiban kita semua untuk memberikan sumbangan untuk ditegakkannya kebenaran ini. Sumbangan ini bisa kita berikan dengan berbagai cara dan bentuk, sesuai dengan kemampuan kita masing-masing dan bidang kita masing-masing. Dengan begitu, para pakar di bidang masing-masing atau lembaga-lembaga yang kompeten (misalnya : Masyarakat Sejarawan Indonesia, Universitas-universitas, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Komnas HAM dll) juga akan bisa menunaikan tugasnya dengan lebih baik. Dari sudut inilah, kiranya, bisa dilihat pentingnya - dan juga benarnya - pernyataan Gus Dur bahwa pemerintah menyambut baik jika masyarakat ingin membuka kembali kasus G30S. Karena, menurut Gus Dur, kalau masalah G30S dibuka kembali, akan baik sekali bagi perdebatan bangsa. _Karena banyak orang menganggap PKI bersalah. Ada juga yang menganggap tidak bersalah. Nah, karena itu kita tentukan saja nanti melalui pengadilan yang mana yang benar_, kata Gus Dur. ARAH DAN DASAR PEMIKIRAN YANG BENAR Pendapat Gus Dur bahwa pemerintah menyambut baik jika masyarakat ingin membuka kembali kasus G30S adalah suatu hal yang perlu ditanggapi secara serius oleh kita semua. Sebab, pengalaman selama 32 tahun Orde Baru telah menunjukkan bahwa peristiwa G30S, beserta akibat-akibatnya kemudian, adalah suatu masalah besar bangsa kita. Bukan saja karena adanya kenyataan bahwa sebagai akibat peristiwa itu telah dibunuh secara besar-besaran lebih dari sejuta warganegara Indonesia dalam tempo yang singkat, tetapi juga karena adanya kenyataan-kenyataan lainnya. Di antara kenyataan-kenyataan yang lain itu adalah : sebagai kelanjutan peristiwa G30S telah terjadi _kudeta merangkak_ oleh Suharto dkk. Serentetan peristiwa-peristiwa 3

menunjukkan bahwa pimpinan TNI waktu itu telah melakukan insubordinasi terhadap panglima tertinggi Sukarno, dan kemudian menyingkirkannya dari kekuasaan dan bahkan _memenjarakannya_ dalam tahanan rumah sampai meninggal dalam keadaan yang menyedihkan. Suharto beserta pendukung-pendukungnya telah _membersihkan_ secara sewenang-wenang DPR dan MPR dari unsur-unsur PKI (yang telah terpilih secara sah dalam pemilu demokratis dalam tahun 1955) dan simpatisan-simpatisan Presiden Sukarno. Kemudian disusul oleh pembubaran dan larangan terhadap PKI. Sejak itulah, rezim militer Orde Baru menjadi semakin kokoh dan semakin mengganas dalam merusak kehidupan demokratis dan dalam memperketat cengkeraman tangan-besinya di segala bidang. Sejak itulah demokrasi dimasukkan dalam liang kubur. Jadi, bisalah kiranya dirumuskan secara singkat dan sederhana bahwa rezim Orde Baru telah dibangun atas tumpukan tulang-belulang dan banjiran darah dan air mata satu juta (bahkan lebih, barangkali) manusia Indonesia yang tidak berdosa sama sekali. Di antara mereka terdapat anggota-anggota dan juga simpatisan PKI, tetapi sebagian terbesar adalah anggota-anggota biasa (non-pki) dari puluhan organisasi-organisasi massa seperti wanita, buruh, tani, pemuda, pelajar, mahasiswa, guru, pegawai negeri, pengusaha, sarjana di berbagai bidang, nelayan, sastrawan, seniman, wartawan dll. Mereka ini dibunuh tanpa proses pengadilan, tanpa salah apapun, sedangkan mereka tidak ada sangkut-pautnya samasekali dengan peristiwa G30S di Jakarta. Namun, sekarang ini juga, masih saja ada orang yang tetap belum jelas dalam fikirannya tentang hakekat yang satu ini, yaitu bahwa : rezim Orde Baru telah dilahirkan dari rahim yang haram. Anak haram inilah yang menciptakan konsep pelanggaran HAM secara besar-besaran yang skalanya jarang ditemukan bandingannya dalam sejarah modern dunia. Pembunuhan besar-besaran 65/66, yang diikuti berturut-turut oleh berbagai pelanggaran parah HAM sepanjang 32 tahun adalah bagian yang inherent (tak terpisahkan) jati-diri rezim militer Orde Baru Suharto. Dari sinilah kelihatan pentingnya arti pernyataan Gus Dur. Lewat pernyataannya itu ia mengajak bangsa kita untuk bersikap luhur, yaitu minta ma_af kepada para korban pembunuhan besar-besaran 65/66. Sebab, dilihat dari segi yang manapun, pembunuhan besar-besaran tahun 65/66 adalah kesalahan besar, adalah dosa berat, adalah kejahatan terhadap sesama ummat manusia, adalah perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama yang manapun. Malapetaka besar ini harus menjadi pelajaran yang penting bagi generasi kita dewasa ini, dan juga _ bahkan terutama sekali _ bagi generasi kita yang akan datang. 4

Aspek penting lainnya dari pernyataan Gus Dur adalah ketika ia mengatakan bahwa pemerintah menyambut baik jika masyarakat ingin membuka kembali kasus G30S, dan bahwa dibukanya kembali kasus G30S akan baik sekali bagi perdebatan bangsa Indonesia. Ini juga merupakan sikap yang mencerminkan pemikiran yang demokratis, yang perlu didukung dan dikembangkan oleh semua fihak yang mendambakan kebenaran. Membuka kembali kasus ini haruslah dilandasi oleh tujuan untuk rekonsiliasi nasional dan persatuan nasional, dan bukan untuk membalas dendam atau justru untuk memperparah sentimen permusuhan. Sebenarnya, masalah G30S bukanlah soal lama yang sudah selesai. Belum, masih belum selesai. Masih terlalu banyaklah soal-soal gelap yang perlu diungkap tentang peristiwa ini. Buntutnya masih terasa sampai sekarang. Sebab, sekarang semakin kelihatan bahwa apa yang sudah banyak disebarluaskan selama 32 tahun ini adalah versi rezim militer Orde Baru. Sedangkan sejumlah pakar dan tokoh (baik dalamnegeri maupun luarnegeri) sudah menyajikan versi yang berbeda-beda. Bahkan ada yang mengatakan bahwa mengenai peristiwa ini ada 11 versi!!! PERDEBATAN UNTUK MENCARI PERDAMAIAN Agaknya, perlu kita usahakan bersama-sama supaya perdebatan tentang peristiwa 65 bisa merupakan sumbangan kepada usaha untuk mencerdaskan bangsa. Sebab, selama 32 tahun daya fikir bangsa kita telah dibius atau ditumpulkan oleh rezim militer Orde Baru, dengan segala macam indoktrinasi, manipulasi sejarah, intimidasi atau terror mental melalui segala cara dan bentuk. Begitu hebatnya terror mental ini sehingga tidak banyaklah orang yang berani mengutarakan pendapat yang berbeda dengan versi Orde Baru. Situasi yang semacam ini tidak sehat bagi kehidupan bangsa. Dan inilah yang sudah sama-sama kita rasakan selama puluhan tahun. Bagi mereka yang takut - atau menakut-nakuti - bahwa mempersoalkan peristiwa 65 ( G30S dan pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang yang tidak berdosa) akan bisa menimbulkan sentimen permusuhan atau gesekan dalam masyarakat perlu diingatkan - atau disadarkan _ bahwa sebenarnya, secara hakekatnya, gesekan ini sudah - dan masih terus juga, sampai sekarang - berlangsung selama puluhan tahun. Rezim militer Orde Barulah yang dengan berbagai cara telah terus-menerus memupuk gesekan atau sentimen permusuhan ini. Kalau kita semua mau merenungkan dengan fikiran yang jernih dan dengan hati yang bersih, yang dipersenjatai dengan iman pula, maka kita akan bisa mengambil kesimpulan bahwa perlakuan terhadap para ex-tapol (berikut sanak-saudara mereka) yang jumlahnya 5

begitu besar, dan yang sampai sekarang tetap terus mengidap penderitaan dalam berbagai bentuk, adalah manifestasi dari sikap permusuhan terhadap sebagian dari bangsa kita. Sikap permusuhan inilah yang selama puluhan tahun telah dipupuk, dibesarkan, dipelihara oleh rezim militer Orde Baru, beserta para pendukung setianya di berbagai kalangan. Jadi, sebenarnya, selama berkuasanya Orde Baru, sikap yang tidak menguntungkan persatuan bangsa ini tertanam - bahkan dengan sengaja ditanamkan - dalam masyarakat. Dan justru sikap permusuhan inilah yang mau diberantas oleh Gus Dur. Dari sudut pandang inilah kiranya kita perlu menjabarkan isi pernyataan Gus Dur. Pernyataannya itu bertujuan untuk mengusahakan tercapainya kedamaian dalam hati banyak orang, yang sangat diperlukan untuk memupuk persaudaraan atau kekeluargaan antara sesama ummat. Jadi, tujuan ini adalah luhur dan mulia. Dan tujuan ini adalah bertentangan sama sekali dengan apa yang sudah puluhan tahun dipraktekkan oleh rezim Orba beserta para pendukung setianya. Alangkah kelirunya, kalau ada di antara kita yang mengartikan bahwa pernyataan Gus Dur itu bertujuan untuk sekedar mengungkit-ungkit peristiwa lama, dan membikin lebih parahnya luka-luka hati bangsa. Jelasnya, pernyataan Gus Dur itu perlu ditanggapi sebagai usaha supaya kita semua belajar menghargai hak-hak asasi manusia. Sekarang ini, kita sedang menyaksikan bahwa pernyataan Gus Dur ini mendapat reaksi yang cukup rame dari berbagai fihak, baik yang positif maupun yang negatif. Perkembangan ini bagus. Dari berbagai pendapat yang muncul itu kita akan semakin melihat dengan jelas, siapa-siapa sajakah atau golongan yang manakah yang benar-benar menghargai hak-hak asasi manusia, yang menjunjung tinggi ajaran agama, yang berfikir dengan peradaban, dan yang tidak. Dari segala pernyataan atau pendapat yang muncul itu, akan semakin gamblanglah bagi kita untuk membedakan mana yang emas dan mana yang loyang. Berdasarkan nalar yang waras, dan berpedoman kepada hak-hak asasi manusia, dan bersenjatakan dengan iman dan ajaran-ajaran Tuhan, bisalah kiranya kita berharap bahwa arah benar yang sudah ditunjukkan oleh Gus Dur akhirnya akan dimenangkan oleh opini banyak orang, bukan saja di dalamnegeri, melainkan juga di luarnegeri. Dan, perlulah jelas dalam fikiran kita semua, bahwa kemenangan ini merupakan kemenangan kita bersama, tidak peduli dari kalangan agama yang manapun, kalangan suku apapun, dan dari kalangan politik yang bagaimanapun. Ini merupakan kemenangan perikemanusiaan dan kemenangan fikiran beradab (HABIS). * * * 6

7