BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Identifikasi dan Delineasi Daerah Rawan Longsor

dokumen-dokumen yang mirip
Identifikasi Daerah Rawan Longsor

PETUNJUK TEKNIS TEKNOLOGI PENGENDALIAN LONGSOR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V ARAHAN RELOKASI

Bab IV DRAINASE BERWAWASAN LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

DAFTAR ISI Keaslian Penelitian... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xiii

Jakarta, Oktober Menteri Pertanian RI ANTON APRIYANTONO

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 47/Permentan/OT.140/10/2006 TENTANG PEDOMAN UMUM BUDIDAYA PERTANIAN PADA LAHAN PEGUNUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... KATA PENGANTAR... PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*)

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

IDENTIFIKASI LAHAN RAWAN LONGSOR DAN INDEKS BAHAYA EROSI DI KABUPATEN SOLOK, PROVINSI SUMATERA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Wilayahnya meliputi bagian hulu, bagian hilir, bagian pesisir dan dapat berupa

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Menurut seorang ilmuwan kuno yang bernama Eratosthenes Geografi berasal

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 80 TAHUN 2002 TENTANG

geografi Kelas X PEDOSFER III KTSP & K-13 H. SIFAT KIMIA TANAH a. Derajat Keasaman Tanah (ph)

PENANGANAN KAWASAN BENCANA LONGSOR DAS WAI RUHU. Steanly R.R. Pattiselanno, M.Ruslin Anwar, A.Wahid Hasyim

JIME, Vol. 3. No. 1 ISSN April 2017

KONSEP EKOHIDRAULIK SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN EROSI

TUGAS TERSTRUKTUR TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN ASPEK HUKUM

Panduan konservasi tanah dan air untuk penanggulangan degradasi lahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. batuan, bahan rombakan, tanah, atau campuran material tersebut yang bergerak ke

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat,

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN BERBASIS MITIGASI BENCANA

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB.

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan. Pengelolaan sumber daya air adalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 63 TAHUN 2003

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 93

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENERAPAN IPTEKS ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani

BAB II KONDISI UMUM LOKASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. misalnya hutan lahan pertanian, pedesaan dan jalan. Dengan demikian DAS

Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah

DAFTAR ISTILAH Air lebih: Bahan pembenah tanah ( soil conditioner Bangunan terjunan: Bedengan: Berat isi tanah: Budidaya lorong ( alley cropping

KONSEP EVALUASI LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

PENGURANGAN RESIKO BANJIR IBUKOTA DENGAN PENGEMBANGAN DAM PARIT DI DAS CILIWUNG HULU

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Manfaat Penelitian. Ruang Lingkup Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,

I. PENDAHULUAAN. A. Latar Belakang. Istimewa Yogyakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan provinsi Jawa Tengah di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bencana tersebut. Sedangkan definisi menurut Undang undang Nomor 24

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

KEJADIAN GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG PADA TANGGAL 20 APRIL 2008 DI KECAMATAN REMBON, KABUPATEN TANA TORAJA, PROVINSI SULAWESI SELATAN

Topik : TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

PENDEKATAN BIOTIK DALAM PENGUATAN LERENG

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

IDENTIFIKASI KERUSAKAN AKIBAT BANJIR BANDANG DI BAGIAN HULU SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LIMAU MANIS ABSTRAK

meliputi pemilihan: pola tanam, tahapan penanaman (prakondisi dan penanaman vegetasi tetap), sistem penanaman (monokultur, multiple cropping), jenis

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA

1. DEFINISI BENDUNGAN

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 LATAR BELAKANG MASALAH

Transkripsi:

BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Daerah rawan longsor harus dijadikan areal konservasi, sehingga bebas dari kegiatan pertanian, pembangunan perumahan dan infrastruktur. Apabila lahan digunakan untuk perumahan maka bahaya longsor akan meningkat, sehingga dapat mengancam keselamatan penduduk di daerah tersebut dan di sekitarnya. Penerapan teknik pengendalian longsor diarahkan ke daerah rawan longsor yang sudah terlanjur dijadikan lahan pertanian. Areal rawan longsor yang belum dibuka direkomendasikan untuk tetap dipertahankan dalam kondisi vegetasi permanen, seperti cagar alam, kawasan konservasi, dan hutan lindung. Pengendalian longsor dapat direncanakan dan diimplementasikan melalui pendekatan mekanis (sipil teknis) dan vegetatif atau kombinasi keduanya. Pada kondisi yang sangat parah, pendekatan mekanis seringkali bersifat mutlak jika pendekatan vegetatif saja tidak cukup memadai untuk menanggulangi longsor. 3.1. Identifikasi dan Delineasi Daerah Rawan Longsor Tiap jenis tanah mempunyai tingkat kepekaan terhadap longsor yang berbeda. Langkah antisipatif yang perlu dilakukan adalah memetakan sebaran jenis tanah pada skala 1:25.000 atau skala lebih besar (1:10.000; 1:5.000) pada hamparan lahan yang menjadi sasaran pembangunan pertanian tanaman hotikultura, tanaman pangan, atau tanaman perkebunan. Berdasarkan peta-peta tersebut dapat didelineasi bagian-bagian dari hamparan lahan yang peka terhadap longsor dengan menggunakan nilai atau skor seperti dalam Tabel 2. Kepekaan tanah terhadap longsor dinilai dengan cara menjumlahkan skor dari masing-masing faktor. Tanah dengan jumlah skor 6-10 digolongkan sebagai lahan dengan tingkat kepekaan rendah, skor 11-15 kepekaan sedang, dan 16-22 kepekaan tinggi. Lahan dengan tingkat kepekaan tinggi tidak direkomendasikan untuk budidaya pertanian, pembangunan infrastruktur, atau perumahan, tetapi dipertahankan sebagai vegetasi permanen (hutan). 1

Tabel 2. Skor hubungan faktor biofisik dan tingkat kepekaan longsor di lahan pegunungan. Faktor biofisik Nilai (skor) Curah hujan (mm) <1500 (1) 1500-2500 (3) >2500 (5) Bahan induk Batuan volkanik (1) Batuan metamorfik (2) Batuan sedimen (3) Lereng (%) 15-25 (1) 25-40 (3) >40 (5) Kandungan liat 2:1 Laju infiltrasi Kedalaman lapisan kedap air (cm) Rendah (1) Lambat (1) >100 (1) Sedang (2) Sedang (2) 50-100 (2) Tinggi (3) Cepat (3) <50 (3) Angka dalam kurung menyatakan skor untuk karakteristik iklim dan tanah di daerah setempat. Penerapan teknik pengendalian longsor didasarkan atas konsep pengelolaan DAS. Dalam hal ini kawasan longsor dibagi ke dalam tiga zona (Gambar 4), yaitu: (1) hulu, zona paling atas dari lereng yang longsor, (2) punggung, zona longsor yang berada di antara bagian hulu dan kaki kawasan longsor, dan (3) kaki, zona bawah dari lereng yang longsor dan merupakan zona penimbunan atau deposisi bahan yang longsor. Pengelolaan masingmasing segmen ditunjukkan dalam Tabel 3. Pada masing-masing zona diterapkan teknik penanggulangan longsor dengan pendekatan vegetatif atau mekanis. Punggung/luncuran Hulu Mahkota Kaki/deposisi Gambar 4. Skema yang menggambarkan zona hulu, punggung, dan kaki dari wilayah longsor. 2

Tabel 3. Perlakuan pengendalian longsor pada setiap segmen (bagian) dari area longsor Zona/wilayah longsor Perlakuan pengendalian Hulu (a) Mengidentifikasi permukaan tanah yang retak atau rekahan pada punggung bukit dan mengisi kembali rekahan/permukaan tanah yang retak tersebut dengan tanah. Punggung (bagian lereng yang meluncur) Kaki (zona penimbunan bahan yang longsor) (b) Membuat saluran pengelak dan saluran drainase untuk mengalihkan air dari punggung bukit, untuk menghindari adanya kantong-kantong air yang menyebabkan penjenuhan tanah dan menambah massa tanah. (c) Memangkas tanaman yang terlalu tinggi yang berada di tepi (bagian atas) wilayah rawan longsor. (a) Membangun atau menata bagian lereng yang menjadi daerah bidang luncur, di antaranya dengan membuat teras pengaman (trap terasering). (b) Membuat saluran drainase (saluran pembuangan) untuk menghilangkan genangan air. (c) Membuat saluran pengelak di sekeliling wilayah longsor. (d) Membuat penguat tebing dan check dam mini. (e) Menanam tanaman untuk menstabilkan lereng. (a) Membuat/membangun penahan material longsor menggunakan bahan-bahan yang mudah didapat, misalnya dengan menancapkan tiang pancang yang dilengkapi perangkap dari dahan dan ranting kayu atau bambu. (b) Membangun penahan material longsor seperti bronjong atau konstruksi beton. (c) Menanam tanaman yang dapat berfungsi sebagai penahan longsor. 3.2. Teknik Pengendalian Longsor 3.2.1 Vegetatif Pengendalian longsor dengan pendekatan vegetatif pada prinsipnya adalah mencegah air terakumulasi di atas bidang luncur. Sangat dianjurkan menanam jenis tanaman berakar dalam, dapat menembus lapisan kedap air, mampu merembeskan air ke lapisan yang lebih dalam, dan mempunyai massa yang relatif ringan. Jenis tanaman yang dapat dipilih di antaranya adalah sonokeling, akar wangi, Flemingia, kayu manis, kemiri, cengkeh, pala, petai, jengkol, melinjo, alpukat, kakao, kopi, teh, dan kelengkeng. 3

3.2.2 Mekanis/sipil teknis Ada beberapa pendekatan mekanis atau sipil teknis yang dapat digunakan untuk mengendalikan longsor, sesuai dengan kondisi topografi dan besar kecilnya tingkat bahaya longsor. Pendekatan mekanis pengendalian longsor meliputi: (1) pembuatan saluran drainase (saluran pengelak, saluran penangkap, saluran pembuangan), (2) pembuatan bangunan penahan material longsor, (3) pembuatan bangunan penguat dinding/tebing atau pengaman jurang, dan 4) pembuatan trap-trap terasering. 3.2.2.1. Saluran drainase Tujuan utama pembuatan saluran drainase adalah untuk mencegah genangan dengan mengalirkan air aliran permukaan, sehingga kekuatan air mengalir tidak merusak tanah, tanaman, dan/atau bangunan konservasi lainnya. Di areal rawan longsor, pembuatan saluran drainase ditujukan untuk mengurangi laju infiltrasi dan perkolasi, sehingga tanah tidak terlalu jenuh air, sebagai faktor utama pemicu terjadinya longsor. Bentuk saluran drainase, khususnya di lahan usahatani dapat dibedakan menjadi: (a) saluran pengelak; (b) saluran teras; dan (c) saluran pembuangan air, termasuk bangunan terjunan. Letak masing-masing saluran ditunjukkan pada Gambar 5. Gambar 5. Letak saluran pengelak dan saluran pembuangan air pada suatu bukit (Sketsa: Agus dan Widianto) 4

3.2.2.2. Bangunan penahan material longsor Konstruksi bangunan penahan material longsor bergantung pada volume longsor. Jika longsor termasuk kategori kecil, maka konstruksi bangunan penahan dapat menggunakan bahan yang tersedia di tempat, misalnya bambu, batang dan ranting kayu (Gambar 6). Apabila longsor termasuk kategori besar', diperlukan konstruksi bangunan beton penahan yang permanen (Gambar 7). Beton penahan ini umumnya dibangun di tebing jalan atau tebing sungai yang rawan longsor. Gambar 6. Bangunan penahan longsor dari anyaman bambu untuk menahan longsor kategori kecil. (Foto: Widianto) Gambar 7. Bangunan konstruksi beton penahan longsor kategori besar. ( Foto: F. Agus dan Widianto) 5

3.2.2.3. Bangunan penguat tebing Bangunan ini berguna untuk memperkuat tebing-tebing yang rawan longsor, berupa konstruksi beton (Gambar 8) atau susunan bronjong (susunan batu diikat kawat). Konstruksi bangunan menggunakan perhitungan teknik sipil kering. Gambar 8. Bangunan penguat tebing/bronjong. (Foto: Budi Kartiwa) 4.2.2.4. Trap-trap terasering Trap terasering adalah bangunan berbentuk teras yang digunakan untuk menampung longsoran (Gambar 9). Gambar 9. Trap-trap terasering ( Foto: F. Agus) 6