Jurnal Respati, Kesehatan, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1 5 1

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. memasuki era globalisasi karena harus bersaing dengan negara-negara lain dalam

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI BAIK DAN GIZI KURANG PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAYO SELINCAH KOTA JAMBI TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. (mordibity) dan angka kematian (mortality). ( Darmadi, 2008). Di negara

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 adalah mengumpulkan. dan menganalisis data indikator MDG s kesehatan dan faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan

Oleh: Una Zaidah,SE.,M.Kes Dosen Tetap Fakultas Kesehatan Masyarakat UNTB

HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA DI DESA KANIGORO, SAPTOSARI, GUNUNG KIDUL

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan suatu negara. Berdasarkan target Millenium Development Goals

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. cerdas dan produktif. Indikatornya adalah manusia yang mampu hidup lebih lama

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

BAB 1 PENDAHULUAN. ganda yaitu masalah kurang gizi dan gizi lebih. Kurang energi protein (KEP) pada

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut United Nations International

BAB 1 PENDAHULUAN. makanan (Anonim, 2008). Sementara masalah gizi di Indonesia mengakibatkan

GAMBARAN KARAKTERISTIK KELUARGA BALITA DENGAN STATUS GIZI KURANG DAN BURUK DI KELURAHAN LANDASAN ULIN TENGAH KECAMATAN LIANG ANGGANG KOTA BANJARBARU

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan salah satunya adalah penyakit infeksi. Masa balita juga merupakan masa kritis bagi

BAB I PENDAHULUAN. balita yang cerdas. Anak balita salah satu golongan umur yang rawan. masa yang kritis, karena pada saat itu merupakan masa emas

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Oleh karena itu tingkat kesehatannya perlu dibina dan. Gizi menjadi penting bagi anak sekolah karena selain dapat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan salah satu unsur penting sebagai penentu dalam peningkatan kualitas

konsumsi merupakan salahsatu indikator pengukuran tingkat ketahanan pangan. Dengan demikian, bila tingkat konsumsi rumahtangga sudah terpenuhi maka

Eko Heryanto Dosen Program Studi S.1 Kesehatan Masyarakat STIKES Al-Ma arif Baturaja ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan medis dan pelayanan masyarakat saja. Banyak

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Almatsier (2002), zat gizi (nutrients) adalah ikatan kimia yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 1, April 2015 ISSN

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kesempatan Indonesia untuk memperoleh bonus demografi semakin terbuka dan bisa

e-journal Boga, Volume 04, Nomor 09, Edisi Yudisium Periode Maret 2015, hal 71-75

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan yaitu meningkatnya kesadaran,

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB III METODE PENELITIAN. waktu penelitian di laksanakan selama 1 bulan dari tanggal 10 Mei sampai

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DENGAN PERILAKU IBU DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI ANAK BATITA MALNUTRISI DI POSYANDU DESA SEMBUNGAN BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas. Peningkatan sumber daya manusia harus

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Cara Pemilihan Contoh

Adequacy Levels of Energy and Protein with Nutritional Status in Infants of Poor Households in The Subdistrict of Blambangan Umpu District of Waykanan

BAB I PENDAHULUAN. medis maupun pelayanan kesehatan saja (Supariasa dkk, 2012). Menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, yaitu sehat, cerdas, dan memiliki fisik yang tangguh

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar orang anak

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG GIZI DENGAN STATUS GIZI BALITA DI KELURAHAN BALEDONO, KECAMATAN PURWOREJO, KABUPATEN PURWOREJO

Serambi Saintia, Vol. IV, No. 2, Oktober 2016 ISSN :

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB 1. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh. ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kesehatan dan gizi, sehingga membutuhkan perhatian dan

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN ANEMIA PADA REMAJA PUTRI DI SMA NEGERI 11 BANDA ACEH TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Dalam

ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GIZI KURANG PADA BALITA DI DESA BANYUANYAR KECAMATAN KALIBARU BANYUWANGI

STUDI TENTANG MANAJEMEN SISTEM PELAKSANAAN PENAPISAN GIZI BURUK DI DINAS KESEHATAN KABUPATEN BOYOLALI

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PARTISIPASI IBU BALITA KE POSYANDU DI DESA NGAMPEL KECAMATAN KAPAS KABUPATEN BOJONEGORO TAHUN 2016

ISSN Vol 2, Oktober 2012

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa baduta (bawah dua tahun) merupakan Window of opportunity. Pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas

HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA SD NEGERI TANGKIL III DI SRAGEN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Kekurangan gizi pada anak pra sekolah akan menimbulkan. perbaikan status gizi (Santoso dan Lies, 2004: 88).

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan merupakan jenis penelitian kuantitatif

BAB I PENDAHULUAN. menurunkan prevalensi balita gizi pendek menjadi 32% (Kemenkes RI, 2010).

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA ISPA PADA BAYI (1-12 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Esa Unggul

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEKURANGAN ENERGI KRONIS PADA IBU HAMIL DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUNGAI BILU BANJARMASIN

METODE PENELITIAN. d 2. dimana n : Jumlah sampel Z 2 1-α/2 : derajat kepercayaan (1.96) D : presisi (0.10) P : proporsi ibu balita pada populasi (0.

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari pembangunan kesehatan dan gizi masyarakat adalah terwujudnya

BAB I PENDAHULUAN. mampu berperan secara optimal dalam pembangunan. Karena peranan

BAB V PEMBAHASAN. balita yang menderita ISPA adalah kelompok umur bulan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. penurunan tingkat kecerdasan. Pada bayi dan anak, kekurangan gizi akan menimbulkan

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN GIZI KURANG BURUK PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS AIR DINGIN KOTA PADANG TAHUN 2013

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan dalam pembangunan kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

BAB III METODE PENELITIAN

Mahasiswa Akademi Kebidanan Abdi Husada Semarang 2

BAB I PENDAHULUAN. cukup makan, maka akan terjadi konsekuensi fungsional. Tiga konsekuensi yang

Hubungan Antara Status Gizi dengan Prestasi Belajar Siswa Sekolah Dasar

BAB I PENDAHULUAN atau 45% dari total jumlah kematian balita (WHO, 2013). UNICEF

BAB I PENDAHULUAN. gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,

BAB I PENDAHULUAN. (Suharno, 1993). Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2008, diketahui bahwa

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Gizi. Disusun Oleh : ERY MAITATORUM J

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan antara asupan makanan dan penggunaan zat gizi. Bila tubuh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN PERSONAL HYGIENE IBU DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BAYI DI POSYANDU CEMPAKA DAN MAWAR DESA CUKANGKAWUNG TASIKMALAYA PERIODE BULAN APRIL 2015

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas sehat, cerdas dan produktif. Pencapaian pembangunan manusia yang diukur

HUBUNGAN SIKAP IBU DENGAN STATUS GIZI BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SAWAH LEBAR KOTA BENGKULU

World Hunger Organization (WHO), terdapat empat jenis masalah kekurangan. Anemia Gizi Besi (AGB), Kurang Vitamin A (KVA) dan Gangguan Akibat

HUBUNGAN SIKAP IBU BALITA TENTANG GIZI TERHADAP STATUS GIZI PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PEKAN HERAN KECAMATAN RENGAT BARAT TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. mengancam kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat diperlukan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. adalah masalah gizi, yaitu kurang energi protein (KEP). Adanya gizi

Transkripsi:

Jurnal Respati, Kesehatan, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1 5 1 HUBUNGAN ANTARA KECUKUPAN ENERGI, KONSUMSI PROTEIN, FREKUENSI MAKANAN, RIWAYAT INFEKSI, DAN IMUNISASI BALITA DENGAN KEJADIAN GIZI BURUK DI KABUPATEN LEBAK Atik Kridawati Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Respati Indonesia Jl. Bambu Apus 1 No. 3 Cipayung Jakarta Timur 13890 Email : urindo@indo.net.id ABSTRAK Kasus gizi buruk meningkat sejalan dengan meningkatnya kemiskinan. Penderita gizi buruk di Propinsi Banten hingga Juli 2005 sebanyak 7.454 anak (Dinkes Prop.Banten, 2005). Kabupaten Lebak sedikitnya 13 balita meninggal dunia akibat gizi buruk. Jumlah anak rawan gizi buruk karena kekurangan gizi mencapai 14.338 anak (Dinkes Lebak, 2005) dan kasus gizi buruk balita mencapai 1.780 anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecukupan konsumsi energi, kecukupan konsumsi protein, frekuensi makanan, riwayat infeksi dan imunisasi balita dengan kejadian gizi buruk. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kuantitatif, dengan menggunakan studi kasus-kontrol. Populasi penelitian ini adalah seluruh balita yang berusia 12 bulan 59 bulan yang bertempat tinggal di wilayah Kabupaten Lebak. Sample penelitian ini terdiri dari kasus adalah balita gizi buruk di wilayah Kabupaten Lebak dan kontrol adalah balita gizi baik di wilayah Kabupaten Lebak. Variabel yang berhubungan erat dengan status gizi balita adalah imunisasi, riwayat infeksi, dan kecukupan konsumsi protein. 1. PENDAHULUAN Gizi buruk atau gizi salah (malnutrition) membawa dampak bukan hanya pada kehidupan anak-anak yang masih berusia muda, akan tetapi dapat terjadi pada semua golongan usia. Dampak gizi buruk itu dapat termanifestasikan dalam bentuk ringan dan berat. Gangguan tumbuh kembang fisik, rendahnya daya tahan terhadap penyakit, tingkat kecerdasan yang kurang dari seharusnya, prestasi kerja dan prestasi olahraga yang rendah adalah bentuk manifestasi dampak keadaan gizi yang tidak optimal. Dengan kata lain, gizi buruk membawa dampak yang tidak menguntungkan terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa. Gizi buruk atau gizi salah yang dapat terjadi pada manusia sejak masih dalam kandungan sampai mencapai usia lanjut itu, sesungguhnya dapat dicegah apabila setiap orang memahami penyebab dan cara menangkalnya [1]. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kg berat badannya. Anak balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kurang gizi dan termasuk kelompok rawan gizi. Di Indonesia anak kelompok balita menunjukkan prevalensi paling tinggi untuk kurang gizi. Kelompok balita ini sulit dijangkau oleh berbagai upaya kegiatan perbaikan gizi dan kesehatan lainnya, karena mereka tidak dapat datang sendiri ke tempat berkumpul yang ditentukan tanpa diantar oleh orang tuanya [2]. KEP merupakan defisiensi gizi (energi dan protein yang paling berat dan meluas terutama pada balita [3]. Program perbaikan gizi telah dilaksanakan di Indonesia semenjak tahun 1970-an, dan secara nasional diimplementasikan tahun 1980-an yang mencakup seluruh wilayah di Indonesia. Akan tetapi pencapaian prevalensi kurang gizi tersebut akhir-akhir ini tertama selama krisis ekonomi cenderung meningkat. Kasus gizi buruk tingkat berat meningkat sejalan dengan meningkatnya

Jurnal Atik Kridawati, Respati, Kesehatan, Hubungan antara Vol. 2, Kecukupan No. 1, April Energi, 2012: 1 5 2 kemiskinan. Selain itu angka kematian bayi dan balita juga menunjukkan kecenderungan meningkat [4]. Berdasarkan data statistik kesehatan Departemen Kesehatan (Depkes) tahun 2005, dari 241.973.879 penduduk Indonesia sebanyak enam persen atau sekitar 14.50 orang menderita gizi buruk. Sebagian besar penderita gizi buruk tersebut berusia di bawah lima tahun (Balita). Penyebab timbulnya busung lapar dan kekurangan gizi adalah kemiskinan dan tidak tersedianya kebutuhan pangan dan asupan gizi yang memadai di daerah itu. Misalnya tahun 2004 di Serang, Banten, dari 1.878 anak menderita gizi buruk, 11 di antaranya kekurangan kalori atau maramus. Prevalensi gizi kurang balita menurut BB/U, data Susenas menunjukkan bahwa balita gizi buruk di Provinsi Banten menagalami kenaikan dari tahun 2002 dan 2003 yaitu 4,7% menajadi 8,17%. Dan berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Banten menyebutkan jumlah penderita gizi buruk hingga Juli 2005 sebanyak 7.454 anak [5]. Kabupaten Lebak merupakan salah satu kabupaten yang ada di Propinsi Banten yang memiliki jumlah balita gizi buruk sangat tinggi sebanyak 1.780 anak pada tahun 2005. Di antara mereka, sebanyak 248 anak balita terancam busung lapar jika tidak segera ditangani. Dan sedikitnya 13 balita meninggal dunia akibat gizi buruk. Adapun jumlah anak rawan gizi buruk karena kekurangan gizi mencapai 14.338 anak [6]. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa prevalensi balita gizi buruk maupun anak rawan gizi buruk di Kabupaten Lebak Propinsi Banten menunjukkan tingkat yang sangat tinggi dan mengkhawatirkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian demi penanganan lebih lanjut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kecukupan konsumsi energi, kecukupan konsumsi protein, frekuensi makanan, riwayat infeksi dan imunisasi balita dengan kejadian gizi buruk di Kabupaten Lebak tahun 2007. 2. METODE PENELITIAN 2.1. Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kuantitatif, dengan menggunakan studi kasus-kontrol tak berpadanan, yaitu rancangan studi epidemiologi yang merupakan studi observasional yang menilai hubungan antara pajanan- penyakit dengan cara menentukan sekelompok orang-orang berpenyakit (disebut kasus) dan sekelompok orang-orang tidak berpenyakit (disebut kontrol) lalu membandingkan frekuensi paparan pada kedua kelompok [7][8]. 2.2. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah seluruh balita yang berusia 12 bulan 59 bulan yang bertempat tinggal di wilayah Kabupaten Lebak tahun 2007. Sedangkan sampel penelitian ini terdiri dari : Kasus adalah balita gizi buruk di wilayah Kabupaten Lebak Kontrol adalah balita gizi baik di wilayah Kabupaten Lebak Besar sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus dari Schlesselman [9] sebagai berikut : Rumus : 2 p q (Z α/2 + Zβ ) 2 N = (P 1 + Po) (1) keterangan : P 1 = proporsi kasus yang terkena paparan P 1 = PoR/ [ 1 + Po (R-1) ] Po = proporsi control yang terkena paparan p = ½ (P 1 + Po) q = (1 - p) Z α/2 = 1,96 Zβ = 0,84 n = jumlah sampel minimum untuk tiap kelompok studi Dari hasil perhitungan berdasarkan persamaan (1) didapatkan besar sampel minimal adalah hasil perhitungan variabel yang terbesar, yaitu 152. Oleh

Jurnal Respati, Kesehatan, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1 5 3 karena menggunakan perbandingan kasus dan kontrol 1 : 1 dan untuk antisipasi adanya droup out maka didapatkan jumlah 155 kasus dan 155 kontrol, dengan jumlah total sampel 320. Pengambilan kasus dan kontrol dilaksanakan di Puskesmas di wilayah Kabupaten Lebak dan diambil secara proporsi. 2.3. Pengumpulan data Pengumpulan data dilaksanakan oleh pengelola program gizi (TPG = Tenaga Pelaksana Gizi) Puskesmas yang sudah dilatih mewawancarai terhadap responden kelompok kasus dan kelompok kontrol di rumah responden. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui wawancara terstruktur dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Supervisi pengumpulan data di lapangan dilakukan oleh peneliti. Pengumpulan data sekunder untuk kasus dan kontrol dilakukan selama 3 bulan. Agar kualitas data yang dikumpulkan benarbenar mendekati gambaran keadaan yang sebenarnya, maka dilakukan upaya-upaya sebagai berikut : Sebelum pengumpulan data berlangsung dilakukan latihan cara wawancara dan latihan menggunakan kuesioner terlebih dahulu pada petugas lapangan yang ditunjuk. Supervisi dan editing data dilakukan oleh peneliti Bila terjadi keraguan terhadap jawaban responden/kekurangan dalam pengisian kuesioner maka dilakukan wawancaran ulang. Data yang telah diperoleh kemudian diolah dengan melalui empat tahap yaitu : Menyunting data, mengkode data, memasukkan data dan membersihkan data. Setelah itu dilakukan analisa data yang dilakukan dengan menggunakan program pengolahan data yaitu analisa univariat, analisa bivariat dan analisa multivariat. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengumpulan data dari 310 kuesioner yang disebar ternyata hanya 260 responden yang dapat diwawancarai dan dapat dianalisis datanya. Tabel 1. Distribusi Kasus dan Kontrol Menurut Faktor Balita (Kecukupan Konsumsi Energi, Kecukupan Konsumsi Protein, Frekuensi Makanan, Riwayat Infeksi dan Imunisasi) di Kabupaten Lebak tahun 2007 VARIABEL INDEPENDEN GIZI BURUK GIZI BAIK TOTAL P VALUE OR (95%) 1. KECUKUPAN KONSUMSI ENERGI * BAIK 2. KECUKUPAN KONSUMSI PROTEIN * BAIK 3 FREKUENSI MAKANAN *BAIK 4. RIWAYAT INFEKSI * PERNAH * TIDAK PERNAH 5. IMUNISASI * TIDAK LENGKAP * LENGKAP 109 (83,85%) 21 (16,15%) 113(86,92%) 17(13,08%) 114(87,69%) 16 (12.31%) 107 (82,31%) 23 (17.69%) 85 (65,38%) 45 (34,62%) 9 (6,92%) 121 (93,08%) 10 (7,69%) 120 (92,31%) 12 (9,23%) 118(90,77%) 16 (12,31%) 114 (87.69%) 25 (19,23%) 105 (80,77%) 118 142 123 137 126 134 123 137 110 150 69.78 (30.65-158.8) 79.77 (35-181.5) 70 (31.75-154.6) 33.15 (16.6-66.1) 7.9(4.5-13.98)

Jurnal Atik Kridawati, Respati, Kesehatan, Hubungan antara Vol. 2, Kecukupan No. 1, April Energi, 2012: 1 5 4 Proporsi balita dengan konsumsi energi yang kurang pada kelompok kasus ada 109 (83,85%) dan pada kelompok kontrol hanya 9 (6,92%)(Tabel.1). Secara statistik perbedaan proporsi konsumsi energi yang kurang pada kedua populasi kasus dan kontrol sangat bermakna (p=0,000). Nilai OR=69,78(95%CI:30,65-158,8) menunjukkan bahwa balita dengan konsumsi energi yang kurang mempunyai peluang 69,78 kali mengalami gizi buruk dibandingkan balita dengan konsumsi energi baik. Proporsi balita dengan konsumsi protein yang kurang pada kelompok kasus 113(86,92%) dan pada kelompok kontrol 10 (7,69%). Secara statistik perbedaan proporsi konsumsi energi protein yang kurang pada kedua populasi kasus dan kontrol bermakna (p=0,000). Nilai OR=79.77 (35-181.5) menunjukkan bahwa balita dengan konsumsi protein yang kurang mempunyai peluang 79,77 kali mengalami gizi buruk dibanding balita yang konsumsi proteinnya baik. Ukuran kecukupan energi dan protein pada balita sangat bervariasi sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing balita. Kecukupan pangan dapat diukur secara kualitatif maupun kuantitatif. Jadi pola makan kita, besarnya nilai energi adalah berbanding lurus dengan besarnya menu. Secara kuantitatif kecukupan pangan yang dikonsumsi manusi dapat diperkirakan dari nilai energi yang dikandungnya. Apabila kecukupan energi dan protein terpenuhi, maka kecukupan zat gizi lainnya dalam tubuh pada umumnya telah pula terpenuhi [10]. Keluarga rata-rata konsumsi energi dan konsumsi protein per kapita per hari kurang dari 70% AKG disebut sebagai keluarga defisit energi atau defisit protein. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Miko, 2003 [11] yaitu ada perbedaan yang bermakna antara persentase KEP antara anak yang memperoleh asupan energi kurang dengan anak yang memperoleh asupan energi cukup. Dari 126 anak balita yang masuk dalam katagori frekunsi makanan kurang, yang berasal dari kelompok kasus ada 114 (87,69%)dan kelompok kontrol ada 12 (9,23%). Secara statistik perbedaan antara frekuensi makanan pada kedua populasi kasus dan kontrol bermakna (p=0,000). Jadi ada perbedaan yang signifikan antara balita gizi buruk dengan balita gizi baik (tabel 6.1). Nilai OR= 70 (31.75-154.6) menunjukkan bahwa balita yang frekuensi makanan kurang 70 kali mempunyai peluang mengalami gizi buruk dibanding balita yang frekunsi makanannya baik. Proporsi balita dengan riwayat infeksi pada kasus berjumlah 107(82,31%) dan pada kontrol 16 (12,31%). Nilai OR=33.15 (16.6-66.1) menunjukkan bahwa balita yang pernah terkena infeksi mempunyai peluang 33,15 kali dibanding balita yang tidak terkena infeksi dan secara statistik perbedaan resiko pada kelompok kasus dan kontrok tersebut bermakna (p=0,000). Infeksi merupakan penyebab langsung balita gizi buruk selain makanan anak. Timbulnya gizi buruk tidak hanya karena makanan yang kurang, tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita kurang gizi. Scrimshaw menyatakan hubungan yang sangat erat antara infeksi (bakteri, virus dan parasit) dengan malnutrisi. Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang-gizi buruk merupakan hubungan timbal balik, yaitu hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi, dan keadaan gizi yang jelek dapat mempermudah terkena infeksi. Penyakit yang umumnya terkait dengan masalah gizi antara lain diare, tuberkolosis, campak dan batuk rejan (whooping cough). Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara imunisasi pada kedua populasi kasus dan kontrol (p- =0,000) Dari 110 balita yang dimunisasi tidak lengkap, 85 (65,38%)pada kelompok kasus dan 25 (19,23%) pada kelompok kontrol. Nilai OR=7.9(4.5-13.98) menunjukkan bahwa balita dengan imunisasi tidak lengkap mempunyai peluang 7,9 kali mengalami gizi buruk dibanding

Jurnal Respati, Kesehatan, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1 5 5 balita yang lengkap imunisasinya. Hal ini sesuai dengan penelitian Basuki, 2003 yaitu ada hubungan yang bermakna antara imunisasi dengan status gizi baduta (6 bulan 23 bulan ) pada keluarga tidak miskin (p=0,021) dengan uji T. 4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan [10] Ali Khomsah. Pangan dan gizi untuk kesehatan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. [11] Hidayat Miko. Tesis. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi (KEP) anak umur 6-60 bulan di kecamatan Bojongsari Kabupaten Tasikmalaya tahun 2002. Program Pascasarjana FKM UI, Depok, 2003. Imunisasi, riwayat infeksi, dan kecukupan konsumsi protein berhubungan erat dengan status gizi balita. 4.2. Saran Perlu adanya peningkatan cakupan imunisasi, dan melakukan program pemberian makanan tambahan bagi balita. DAFTAR PUSTAKA [1] Sjahmien Moehji. Ilmu gizi 2 Penanggulangan gizi buruk. Penerbit Papas Sinar Sinanti Bathara,, Jakarta, 2003. [2] Achmad Djaeni Soediaoetama. Ilmu gizi untuk mahasiswa dan profesi jilid I. Dian Rakyat, Jakarta, 2000. [3] Sunita Almatsier. Prinsip-prinsip ilmu gizi. Jakarta. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2001. [4] Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI. Gizi dalam angka sampai dengan tahun 2002. Direktori Gizi Masyarakat, Jakarta, 2003. [5] Kompas. Rakyat Indonesia menderita gizi buruk. Jakarta. Penerbit. Http://www.kompas.com.2005, edisi 15 Desember 2005 [6] Dinkes Lebak. Pelaporan pemantauan status gizi (PSG) balita Kabupaten Lebak. Lebak, 2005. [7] Bhisma Murti. Prinsip dan metode riset epidemiologi jilid pertama. Gadjahmada University Press, Yogyakarta, 2003 [8] Margetts, Barie M and Nelson, Michael. Design concepts in nutritional epidemiology. New York. Oxford University Press, 1991. [9] Bastaman Basuki. Aplikasi metode kasuskontrol. Jakarta. Bagian ilmu kedokteran komunitas FKUI, 2000.