BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kenaikan harga BBM membawa pengaruh besar bagi perekonomian bangsa. digunakan semua orang baik langsung maupun tidak langsung dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Prarancangan Pabrik Biodiesel dari Biji Tembakau dengan Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK KELAPA MELALUI PROSES TRANS-ESTERIFIKASI. Pardi Satriananda ABSTRACT

PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET

BAB I PENDAHULUAN. ketercukupannya, dan sangat nyata mempengaruhi kelangsungan hidup suatu

PROSES TRANSESTERIFIKASI MINYAK BIJI KAPUK SEBAGAI BAHAN DASAR BIODIESEL YANG RAMAH LINGKUNGAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

Biodiesel Dari Minyak Nabati

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 DASAR TEORI. Universitas Indonesia. Pemodelan dan..., Yosi Aditya Sembada, FT UI

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

4 Pembahasan Degumming

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Konsumsi Bahan Bakar Diesel Tahunan

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

: Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. oksigen. Senyawa ini terkandung dalam berbagai senyawa dan campuran, mulai

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

lebih ramah lingkungan, dapat diperbarui (renewable), dapat terurai

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Industri dunia menganalisa peningkatan pasar emulsifier. Penggunaan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisa awal yang dilakukan pada minyak goreng bekas yang digunakan

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

Bab III Metode Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Krisis energi yang terjadi di dunia khususnya dari bahan bakar fosil yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml)

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK BIJI NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI DALAM KOLOM PACKED BED. Oleh : Yanatra NRP.

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini dunia sedang menghadapi kenyataan bahwa persediaan minyak. bumi sebagai salah satu tulang punggung produksi energi semakin

BAB I PENDAHULUAN UKDW. teknologi sekarang ini. Menurut catatan World Economic Review (2007), sektor

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

A. Sifat Fisik Kimia Produk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PENELITIAN PENGARUH ALIRAN LAMINER DAN TURBULEN TERHADAP PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MENGGUNAKAN REAKTOR OSILATOR. Oleh:

Tugas Perancangan Pabrik Kimia Prarancangan Pabrik Amil Asetat dari Amil Alkohol dan Asam Asetat Kapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan

I. PENDAHULUAN. Bahan bakar minyak adalah sumber energi dengan konsumsi terbesar di

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebelum mengenal bahan bakar fosil, manusia sudah menggunakan biomassa

PEMBUATAN BIODIESEL. Disusun oleh : Dhoni Fadliansyah Wahyu Tanggal : 27 Oktober 2010

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH PENAMBAHAN NaOH DAN METANOL TERHADAP PRODUK BIODIESEL DARI MINYAK GORENG BEKAS (JELANTAH) DENGAN METODE TRANSESTERIFIKASI

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

Sunardi 1, Kholifatu Rosyidah 1 dan Toto Betty Octaviana 1

II. DESKRIPSI PROSES

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Crude Palm Oil (CPO) CPO merupakan produk sampingan dari proses penggilingan kelapa sawit dan dianggap sebagai minyak kelas rendah dengan asam lemak bebas (FFA) yang tinggi [15]. Dengan produksi global tahunan atau setara dengan sekitar 39% dari produksi minyak nabati dunia, kelapa sawit telah mengalahkan kedelai selama 1 dekade terakhir menjadi tanaman minyak yang paling penting di dunia. Di Kamerun, kelapa sawit menyumbang sekitar 90% dari kebutuhan minyak goreng. Minyak sawit secara luas digunakan dalam bentuk minyak mentah (CPO) untuk keperluan makanan di Kamerun dan juga di seluruh daerah Afrika Tengah dan Afrika Barat [16]. Kualitas minyak sawit mentah (CPO) sangat penting dalam menentukan aplikasinya. Aplikasi CPO telah ditemukan dalam makanan dan industri. Dalam industri makanan, CPO merupakan bahan dalam sup, margarin dan manisan. Aplikasi utama CPO adalah untuk produksi biodiesel, farmasi, kosmetik, cat, deterjen, sampo, lipstik dan lainlain. Dalam pengobatan tradisional, CPO juga digunakan sebagai bahan untuk menyembuhkan penyakit. Parameter yang mempengaruhi kualitas CPO termasuk FFA, angka peroksida, kadar air, nilai yodium, angka penyabunan, tingkat pengotor dan lain-lain. Kualitas mikroba CPO sangat penting karena mereka memainkan peran yang merugikan makanan dan pakan produk [17]. Minyak yang diekstrak dari kelapa sawit dikenal sebagai CPO terdiri dari lebih dari 90% berat trigliserida dan 3-7% berat asam lemak bebas (FFA). Netralisasi FFA dapat dilakukan dengan penambahan kelebihan alkali, tetapi ini mengarah ke pembentukan sabun dan menimbulkan masalah saat pemisahan pasca reaksi. Dengan demikian, proses pretreatment pilihan untuk CPO adalah proses esterifikasi dengan alkohol, yang mengubah FFA menjadi ester dan umumnya menggunakan katalis asam cair yang kuat, seperti asam sulfat. Bila kadar FFA lebih rendah dari 2,0% berat, cocok dilakukan proses transesterifikasi pada bahan baku untuk menghasilkan biodiesel [18]. Y.B. Che Man dkk (1999) menyatakan komposisi asam lemak dari CPO ditunjukkan pada tabel 2.1 [19]. 5

Tabel 2.1 Komposisi Asam Lemak dalam CPO [19] Asam Lemak Konsentrasi (%) Saturated Myristic 0,93 Palmitic 45,48 Stearic 3,49 Total 49,91 Unsaturated Oleat 40,17 Linoleat 9,92 Total 50,09 2.2 Biodiesel Biodiesel didefinisikan sebagai bahan bakar terdiri dari mono-alkyl ester dari lemak rantai panjang asam berasal dari minyak nabati atau lemak hewan [20]. Sumber spesifik dari biodiesel adalah minyak kelapa, pohon jarak, minyak kacang kedelai, dan minyak biji kapas [21]. Biodiesel disarankan untuk digunakan sebagai bahan bakar alternatif untuk diesel berbasis minyak bumi konvensional karena terbarukan, sumber daya domestik dengan profil emisi yang ramah lingkungan dan biodegradable [20]. Biodiesel memiliki emisi profil pembakaran yang lebih menguntungkan, seperti emisi karbon monoksida yang rendah, partikel dan hidrokarbon tidak terbakar. Karbon dioksida yang dihasilkan oleh pembakaran biodiesel dapat didaur ulang dengan fotosintesis, sehingga meminimalkan dampak pembakaran biodiesel pada efek rumah kaca [21]. Proses produksi biodiesel yang paling umum memiliki dua input yaitu minyak nabati dan alkohol. Proses ini menciptakan dua output yaitu biodiesel dan gliserol. Masukan yang diperlukan dan output yang dibuat tergantung pada sifat kimianya [22]. Persyaratan kualitas biodiesel menurut SNI-04-7182-2006 (2006) dapat dilihat pada tabel 2.2 [23]. 2.3 Produksi Biodiesel Minyak juga terdiri dari asam lemak bebas yang dapat dikonversi ke ester asam lemak dengan esterifikasi. Alkohol yang dapat digunakan dalam proses transesterifikasi adalah metil, etil, propil, butil dan amil alkohol, dan yang paling sering digunakan adalah metanol dan etanol. Metanol banyak digunakan karena biaya rendah di sebagian besar negara dan sifat fisikokimia seperti polaritas dan ukuran molekul yang lebih kecil. Reaksi transesterifikasi menghasilkan gliserol 6

sebagai produk sampingan, yang memiliki berbagai aplikasi dalam industri. Oleh karena itu, kelebihan alkohol umumnya lebih tepat untuk meningkatkan perpindahan reaksi kesetimbangan ke arah produk. Selain itu, diperlukan untuk mengoptimalkan faktor lain seperti konsentrasi katalis, suhu dan agitasi dari media reaksi. Secara spesifik, proses transesterifikasi merupakan rangkaian tiga langkah berturut-turut. Langkah pertama yaitu mengubah trigliserida menjadi sebuah digliserida, monogliserida kemudian dihasilkan dari digliserida dan langkah terakhir gliserol diperoleh dari monogliserida. untuk konversi yang efektif untuk minyak menjadi biodiesel, kehadiran katalis biasanya dibutuhkan [24]. Tabel 2.2 Persyaratan Kualitas Biodiesel [23] Parameter dan Satuannya Batas Nilai Metode Uji Metode Setara Massa jenis pada 40 C, kg/m 3 850-890 ASTM D 1298 ISO 3675 Viskositas kinematik pada 40 2,3-6,0 ASTM D 445 ISO 3104 C, mm 2 Angka setana min. 51 ASTM D 613 1SO 5165 Titik nyala, C min. 100 ASTM D 93 ISO 2710 Angka asam mg-koh/g maks. 0,8 AOCS Cd 3-63 FBI-A01-03 Gliserol bebas %-massa maks. 0,02 AOCS Ca 14-56 FBI-A02-03 Gliserol total %-massa maks. 0,24 AOCS Ca 14-56 FBI-A02-03 Kadar ester alkil %-massa min 96,5 Dihitung FBI-A03-03 Ada beberapa literatur yang menjelaskan alkoholisis minyak nabati atau lemak hewan oleh berbagai teknologi dengan menggunakan beberapa katalis seperti asam anorganik, basa anorganik dan enzim. Bergantung pada katalis yang dipilih untuk konversi minyak nabati dan lemak hewan untuk biodiesel, ada kekhasan tertentu yang berkaitan dengan reaksi ini. Misalnya, katalis asam yang terutama digunakan ketika minyak memiliki konsentrasi asam lemak bebas yang tinggi, dengan sulfat dan asam sulfonat sebagai katalis yang paling umum dari katalis asam ini. Sebagai kerugian, katalisis asam memerlukan penggunaan alkohol dalam jumlah besar dalam rangka untuk mendapatkan biodiesel dalam hasil yang memuaskan, dengan menerapkan rasio molar alkohol : minyak sebanyak 30-150 : 1. Selain itu, katalis 7

asam seperti asam sulfat mengkatalisis trigliserida secara transesterifikasi dengan perlahan bahkan ketika refluks dengan metanol, yang menyebabkan reaksi yang lama sekali seperti 48-96 jam. Ada juga risiko korosi dari peralatan yang digunakan karena keasaman yang tinggi katalis tersebut [24]. Katalis basa 4.000 kali lebih cepat dari katalis asam dan tidak memerlukan sejumlah besar alkohol. Katalis basa yang paling umum digunakan adalah natrium atau kalium hidroksida. Namun, minyak nabati dan reagen lainnya yang digunakan tidak dapat memiliki air atau tingkat asam lemak bebas yang tinggi, karena dapat terjadi saponifikasi. Oleh karena itu, minyak yang digunakan dalam produksi biodiesel harus dilakukan pretreatment, sehingga memakan waktu dan proses yang mahal. Selain itu, penghapusan katalis homogen setelah reaksi sangat sulit dan sejumlah besar sisa air limbah dihasilkan karena pemisahan dan pemurnian produk dan katalis [24]. Sebuah alternatif untuk katalis asam atau alkali adalah proses enzimatik, yang mengatasi kelemahan sistem katalitik sebelumnya seperti menyebabkan korosi pada peralatan dan kebutuhan energi yang tinggi. Namun, tingginya biaya enzim tetap menjadi penghalang untuk pelaksanaan proses enzimatik dalam industri. Di antara alternatif yang saat ini sedang dipelajari, penggunaan cairan ionik dalam sistem katalitik tampaknya cukup menjanjikan dan ramah lingkungan, karena kunci untuk minimisasi limbah dalam reaksi katalitik ini adalah daur ulang katalis yang efisien [24]. Cairan ionik sekarang dianggap sebagai pelarut ramah lingkungan yang memiliki sifat menarik seperti tekanan uap rendah, volatilitas yang dapat diabaikan, konduktivitas yang tinggi, aktivitas katalitik yang lebih baik, kemampuan melarutkan yang kuat dan berpotensi untuk dapat digunakan kembali. Namun, penggunaan cairan ionik asam membutuhkan suhu tinggi yaitu diatas 180 C untuk memperoleh aktivitas yang tinggi dan menghasilkan proses yang memakan energi dan mahal. Berbagai upaya diarahkan dalam mengeksplorasi cairan ionik basa untuk sintesis biodiesel dan memperlihatkan bahwa proses transesterifikasi dengan cairan ionik basa dapat menghemat waktu dan lebih berpotensi untuk penggunaan kembali daripada proses transesterifikasi dengan cairan ionik asam [11]. 8

2.4 Transesterifikasi Transesterifikasi atau alkoholisis adalah pertukaran alkohol dari ester dengan gugus lain dalam proses yang sama dengan hidrolisis, kecuali alkohol digunakan sebagai pengganti air [5]. Transesterifikasi dari minyak nabati dilakukan awalnya pada 1853, oleh para ilmuwan E. Duffy dan J. Patrick, bertahun-tahun sebelum mesin diesel pertama menjadi fungsional [25]. Reaksi transesterifikasi dalam pembuatan biodiesel yaitu : Katalis RCOOR + R OH RCOOR + R OH [3] Variabel yang paling penting yang mempengaruhi waktu reaksi transesterifikasi dan konversi ialah : 1. Suhu reaksi Laju reaksi sangat dipengaruhi oleh suhu reaksi. Umumnya, reaksi dilakukan dekat dengan titik didih metanol (60 C sampai 70 C) pada tekanan atmosfir. Kondisi reaksi ini bagaimanapun juga memerlukan penghilangan asam lemak bebas dari minyak dengan penyulingan atau praesterifikasi. Pretreatment tidak diperlukan jika reaksi dilakukan dalam tekanan tinggi (9000 kpa) dan suhu tinggi (2408 C). Dengan kondisi tersebut, esterifikasi simultan dan transesterifikasi berlangsung. Hasil maksimal ester terjadi pada suhu mulai dari 60 C sampai 80 C pada suatu molar ratio (alkohol untuk minyak) ialah 6:1. Peningkatan suhu lebih lanjut memiliki efek negatif pada konversi. 2. Rasio alkohol terhadap minyak Variabel penting lainnya yang mempengaruhi hasil dari ester adalah rasio molar alkohol untuk minyak nabati. Stoikiometri reaksi transesterifikasi memerlukan 3 mol alkohol per mol trigliserida untuk menghasilkan 3 mol ester lemak dan 1 mol gliserol. Untuk menggeser reaksi transesterifikasi ke kanan, diperlukan untuk menggunakan alkohol berlebih atau menghapus salah satu produk dari campuran reaksi. Ketika 100% kelebihan metanol yang digunakan, laju reaksi berada pada tingkat tertinggi. Sebuah molar rasio 6:1 biasanya digunakan dalam proses industri untuk memperoleh yield metil ester yang lebih tinggi dari 98%. Rasio molar alkohol terhadap minyak yang lebih tinggi dapat mengganggu pemisahan glikol. 9

3. Jenis katalis dan konsentrasi Alkoksida logam alkali adalah katalis dalam proses transesterifikasi yang paling efektif dibandingkan dengan katalis asam. Transmetilasi terjadi sekitar 4000 kali lebih cepat dengan adanya katalis basa dibandingkan dikatalisis dalam jumlah yang sama oleh katalis asam. Selain itu katalis basa kurang korosif terhadap peralatan industri dibanding katalis asam sehingga yang paling komersial transesterifikasi dilakukan dengan katalis basa. Konsentrasi katalis basa dalam kisaran 0,5 sampai 1% berat menghasilkan konversi 94-99% minyak nabati menjadi ester. Selanjutnya, peningkatan konsentrasi katalis tidak meningkatkan konversi dan itu menambah biaya tambahan karena diperlukan untuk menghilangkannya dari media reaksi di akhir reaksi. 4. Intensitas pencampuran Pada reaksi transesterifikasi, reaktan awalnya dari sistem dua fasa cair. Efek pencampuran merupakan yang paling signifikan selama laju reaksi yang rendah. Dalam fasa tunggal, pencampuran menjadi tidak signifikan. Pemahaman efek pencampuran pada kinetika proses transesterifikasi merupakan alat berharga dalam proses skala dan desain. 5. Kemurnian reaktan Impuritis yang hadir dalam minyak juga mempengaruhi tingkat konversi. Pada kondisi yang sama, konversi 67-84% menjadi ester dapat diperoleh dengan menggunakan minyak nabati mentah, dimana konversi 94-97% menjadi ester diperoleh saat menggunakan minyak hasil penyulingan. Asam lemak bebas dalam minyak asli mengganggu katalis. Namun, di bawah kondisi suhu dan tekanan tinggi masalah ini bisa diatasi [25]. 2.5 Choline hydroxide (ChOH) Cairan ionik merupakan garam organik dengan titik lebur yang rendah dan tekanan uap yang sangat rendah. Sifat non-volatilnya adalah salah satu motif utama sebagai alternatif untuk pelarut organik volatil [26]. Beberapa cairan ionik tidak hanya memiliki sifat pelarut yang unik sebagai cairan murni, tetapi juga mengubah sifat pelarut lain yang bahkan merupakan komponen minor dalam campuran pelarut [27]. Katalis cairan ionik basa berbasis 10

kolin tidak menimbulkan pembentukan sabun. Kondisi reaksi seperti suhu, waktu, rasio molar dan dosis katalis dioptimalkan untuk didapatkan hasil konversi terbesar [11]. Kolin hidroksida adalah produk hasil proses organik, yang mengembangkan sifat oksidasi yang kuat, dimana agen oksidasi berupa OH - ion [28]. Berikut struktur ChOH yang menunjukan adanya OH - ion: Gambar 2.1 Struktur Ionisasi Choline Hydroxide (ChOH) [29] Fan, dkk., (2013) telah melakukan sebuah percobaan yang menunjukkan tentang penggunaan cairan ionik basa sebagai katalis secara transesterifikasi untuk sintesis biodiesel berbasis minyak kedelai. Percobaan dilakukan dengan menggunakan katalis basa ChOH, ChOMe, ChIm, NaOH dan KOH. Katalis Kolin hidroksida (ChOH) menunjukkan aktivitas katalitik yang lebih baik dibandingkan dengan katalis cairan ionik dasar lainnya [13]. Berikut skema reaksi transesterifikasi choline hydroxide (ChOH) pada proses sintesis biodiesel: C 2 H 5 OH C 2 H 5 O - C 2 H 5 OH OC 2 H 5 R 1 COC 2 H 5 Gambar 2.2 Skema Reaksi Transesterifikasi Choline Hydroxide pada Proses Sintesis Biodiesel [13] 11

2.6 Etanol Alkohol seperti metanol dan etanol yang paling sering digunakan. Meskipun penggunaan alkohol yang berbeda menyajikan beberapa perbedaan berkaitan dengan kinetika reaksi, hasil akhir dari ester tetap kurang lebih sama. Oleh karena itu, pemilihan alkohol berdasarkan biaya dan pertimbangan kinerja. Etanol dapat diproduksi dari sumber daya pertanian terbarukan. Selain itu, etanol sebagai pelarut ekstraksi lebih baik daripada metanol karena daya melarutkan yang jauh lebih tinggi untuk minyak [18]. Oleh karena itu, menghasilkan etil ester daripada metil ester lebih menarik karena selain sifat pertanian alami etanol, atom karbon tambahan yang disediakan oleh molekul etanol sedikit meningkatkan kandungan panas dan angka setana. Dari sudut pandang lingkungan, pemanfaatan etil ester juga lebih menguntungkan daripada pemanfaatan metil ester [30]. 2.7 Potensi Ekonomi Biodiesel dari CPO Produksi CPO di Indonesia yang meningkat setiap tahunnya membuat Indonesia sangat berpotensi untuk memproduksi biodiesel. Indonesia merupakan salah satu produsen CPO terbesar di dunia dengan kapasitas produksi sebesar 30 juta ton pada tahun 2015. Produksi CPO yang sangat besar di Indonesia membuat CPO sangat diharapkan untuk dapat menjadi sumber bahan baku utama dalam pembuatan biodiesel. Sangat disayangkan jika Indonesia mengimpor biodiesel sementara Indonesia memiliki sumber bahan baku biodiesel yang sangat banyak. Biodiesel memainkan peran penting dalam sektor energi di Indonesia. Penggunaan energi di Indonesia terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pemanfaatan energi yang kurang baik. Penggunaan biodiesel di Indonesia diharapkan dapat memenuhi kebutuhan energi dalam negeri yang semakin tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mengenai potensi ekonomi biodiesel dari CPO. Dalam hal ini akan dilakukan kajian potensi ekonomi yang sederhana. Perlu diketahui harga bahan baku yang digunakan dalam pembuatan biodiesel yang juga mempengaruhi harga jual biodiesel. Berikut harga komersial bahan baku CPO dan harga jual biodiesel. Harga CPO = Rp 7000/ liter [46] Harga Biodiesel = Rp 9200/ liter [47] 12

Terlihat bahwa harga jual CPO dan harga jual biodiesel tidak berbeda jauh tanpa mengaitkan biaya produksi. Dengan perbedaan harga jual yang tidak terlalu jauh, pembuatan biodiesel terlihat tidak ekonomis. Namun, sejak tahun 2013, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 25/2013 yang menghimbau masyarakat untuk menggunakan bahan bakar nabati (biofuel). Dari peraturan tersebut maka pemanfaatan bahan bakar nabati semakin diperluas dan ditingkatkan dengan tujuan agar mengurangi Indonesia untuk mengimpor bahan bakar minyak (BBM). Ini dapat menghemat devisa negara serta berdampak baik pada ketahanan energi nasional. Pemerintah juga mewajibkan badan usaha untuk melakukan pencampuran bahan bakar nabati ke dalam bahan bakar minyak transportasi. Saat ini campuran nabati untuk BBM diwajibkan harus 10%, meningkat dibandingkan peraturan awal yang mewajibkan 5% saja dan pada tahun 2016 diharapkan menjadi 20%. Pengembangan BBN menargetkan biodiesel mensubstitusi 15% konsumsi solar pada tahun 2015. Produksi biodiesel Indonesia dalam lima tahun terakhir (2009-2014) terus meningkat dengan laju pertumbuhan rata rata 49,8% per tahun, dari 412,98 ribu ton ditahun 2009 menjadi 2,58 juta ton ditahun 2013. Demikian pula dengan ekspor selama periode tersebut, pada tahun 2009 ekspor biodiesel sebesar 309,15 ribu ton dengan nilai US$ 199,6 juta, namun ditahun 2013 ekspornya telah mencapai 1,69 juta ton dengan nilai US$ 1,41 milyar. Oleh karena itu, perluasan pemakaian biodiesel untuk menstubtitusi konsumsi solar semakin ditingkatkan. Harga jual biodiesel dapat fleksibel sesuai dengan biaya produksi dan bahan baku. Produksi biodiesel berpeluang besar menjadi industri yang berkembang pesat sehingga produksi biodiesel menggunakan bahan baku CPO tetap menguntungkan dimana dapat mengurangi ketergantungan bagi Indonesia untuk mengimpor bahan bakar minyak, bahkan Indonesia dapat menjadi pengekspor biodiesel terbesar di dunia. 13