INFECTION RATE HOST PERANTARA DAN PREVALENSI RESERVOIR Schistosoma japonicum DI DATARAN TINGGI BADA SULAWESI TENGAH

dokumen-dokumen yang mirip
ARTIKEL PENULARAN SCHISTOSOMIASIS DIDESA DODOLO DAN MEKARSARIDATARAN TINGGINAPU SULAWESI TENGAH. Rosmini,* Soeyoko,** Sri Sumarni**

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI

Kontribusi Hewan Mamalia Sapi... (Gunawan, Hayani Anastasia, Phetisya Pamela F.S, Risti)

KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN

ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN SCHISTOSOMIASIS DI DESA PUROO KECAMATAN LINDU KABUPATEN SIGI TAHUN 2014 ABSTRAK

Mujiyanto* ), Jastal **)

Situasi Terkini Daerah Fokus Keong Hospes Perantara di Daerah Endemis Schistosomiasis di Sulawesi Tengah

Spot survey on rats and schistosomiasis intermediate host snails in endemic area Bada Plateau, Poso District, Central Sulawesi Province

INFEKSI Schistosoma japonicum PADA HOSPES RESERVOIR TIKUS DI DATARAN TINGGI NAPU, KABUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH TAHUN 2012

FAKTOR RISIKO KEJADIAN SCHISTOSOMIASIS DI DATARAN TINGGI BADA KABUPATEN POSO SULAWESI TENGAH

KONDISI IKLIM DAN MIKROHABITAT FISIK DAERAH ENDEMIS SCHISTOSOMIASIS DI DATARAN TINGGI NAPU KABUPATEN POSO PROVINSI SULAWESI TENGAH

Diterima: 27 Januari 2014; Direvisi: 3 Juli 2014; Disetujui: 27 Maret 2015 ABSTRACT

POTENSI HEWAN RESERVOAR DALAM PENULARAN SCHISTOSOMIASIS PADA MANUSIA DI SULAWESI TENGAH

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Media Litbangkes Vol 23 No. 3, Sept 2013,

Hubungan Perilaku Anak Sekolah Dasar dengan Kejadian Schistosomiasis di Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah

BIONOMIK SCHISTOSOMA TAPONICUM PADAMENCIT(Musmusculus)DILABORATORIUM

Hafsah Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Jl. Soekarno-Hatta Km 8 Kampus Bumi Tadulako Palu Sulawesi Tengah

Balai Litbang P2B2 Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP DENGAN PERILAKU KEPALA KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT SCHISTOSOMIASIS DI DESA PUROO KEC. LINDU KAB.

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN SIKAP MASYARAKAT TENTANG SKISTOSOMIASIS DI KECAMATAN LINDU KABUPATEN SIGI SULAWESI TENGAH TAHUN 2015

KUMPULAN PENELITIAN MALONDA MAKSUD

THE EFFECTIVENESS OF DUCKS RELEASE AS SNAILS CONTROL IN THE AREA OF SCHISTOSOMIASIS IN NAPU, POSO DISTRICT, CENTRAL SULAWESI PROVINCE

BEBERAPA FAKTOR RISIKO HOST

BEBERAPA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENULARAN Schistosoma japonicum DI DATARAN TINGGI NAPU KABUPATEN POSO SULAWESI TENGAH

PENDAHULUAN. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002 ABSTRACT. TOLIBIN ISKANDAR ' dan HENNY H. LUMEN0 2

Risk factor of malaria in Central Sulawesi (analysis of Riskesdas 2007 data)

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Variasi Genus Keong di Daerah Fokus Keong Perantara Schistosomiasis di Dataran Tinggi Lindu, Sulawesi Tengah

PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA

GAMBARAN PEMBERIAN OBAT MASAL PENCEGAHAN KAKI GAJAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WELAMOSA KECAMATAN WEWARIA KABUPATEN ENDE TAHUN ABSTRAK

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Received date: 18/2/2014, Revised date: 22/4/2014, Accepted date: 24/4/2014

Diagnosis Schistosomiasis dengan Metode Dot Blot

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Proses Penularan Penyakit

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat observasional analitik dengan

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh protozoa Toxoplasma gondii. Infeksi toksoplasmosis dapat terjadi

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing

MODIFIKASI LINGKUNGAN UNTUK PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS DI DAERAH ENDEMIS SULAWESI TENGAH

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

BAB III METODE PENELITIAN. berupa kecepatan pemusingan berbeda yang diberikan pada sampel dalam. pemeriksaan metode pengendapan dengan sentrifugasi.

The prevalence of helminthiasis prevalence in Palu, Sulawesi Tengah. Prevalensi kecacingan usus di Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Selamat Datang di PENYAKIT BERSUMBER DONGGALA BINATANG (P2B2) DONGGALA BALAI LITBANG PENGENDALIAN PENYAKIT PROFIL TAHUN 2016

1. BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan

PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM UPAYA PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS DI DATARAN TINGGI LINDU PROVINSI SULAWESI TENGAH

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak

ABSTRACT. Barodji '1, M. Sudomo '1, J. Putrali '1 dan M.A. Joesoef 2, PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

Pemanfaatan Air Sungai dan Infeksi Schistosoma Japonicum di Napu Poso Sulawesi Tengah Tahun 2006

Faktor risiko terjadinya kecacingan di SDN Tebing Tinggi di Kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan Selatan Abstrak

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan,

ABSTRAK ANGKA KEJADIAN INFEKSI CACING DI PUSKESMAS KOTA KALER KECAMATAN SUMEDANG UTARA KABUPATEN SUMEDANG TAHUN

PERANAN LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN MALARIA DI KECAMATAN SILIAN RAYA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

BAB III METODE PENELITIAN. hubungan antara keberadaan Soil Transmitted Helminths pada tanah halaman. Karangawen, Kabupaten Demak. Sampel diperiksa di

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

BAB 1 : PENDAHULUAN. Rabies merupakan suatu penyakit zoonosis yaitu penyakit hewan berdarah panas yang

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

KUMPULAN PENELITIAN YUSRAN UDIN

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Waktu Penelitian

BAB 3 METODE PENELITIAN

PEMBERANTASAN SCHISTOSOMIASIS DI INDONESIA SCHISTOSOMIASIS CONTROL IN INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

Prevalensi Larva Fasciola Gigantica pada Beberapa Jenis Gastropoda Air Tawar di Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi

BAB III METODE PENELITIAN. variabel pada satu saat tertentu (Sastroasmoro, 2011). Cara pengumpulan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Desa Kertosari Kecamatan Tanjungsari pada bulan

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGEMBANGAN METODE ELISA UNTUK MENDIAGNOSIS PENDERITA SCHISTOSOMIASIS DI NAPU SULAWESI TENGAH TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus.

Identifikasi Ookista Isospora Spp. pada Feses Kucing di Denpasar

ELIMINASI SCHISTOSOMIASIS DI SULAWESI TENGAH; REVIEW SISTEMATIK DAN FOKUS GROUP DISCUSSION

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

TATALAKSANA SKISTOSOMIASIS. No. Dokumen. : No. Revisi : Tanggal Terbit. Halaman :

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan infeksi cacing yang

PEMERIKSAAN NEMATODA USUS PADA FAECES ANAK TK (TAMAN KANAK- KANAK) DESA GEDONGAN KECAMATAN BAKI KABUPATEN SUKOHARJO

RINGKASAN. Kata kunci : Cacing nematoda, Kuda, Prevalensi, Kecamatan Moyo Hilir, Uji apung. SUMMARY

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

No Judul Penelitian Tahun Ketua Pelaksana Hasil Implikasi terhadap kebiajakan

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

Mangkurat. korespondensi: Keywords: Density level, Aedes aegypti, water reservoirs, elementary school

Karakteristik dan kebiasaan pada keluarga penderita fasciolopsiasis di Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes

ARTIKEL HUBUNGAN KEBERADAAN TERNAK DAN LOKASI PEMELIHARAAN TERNAK TERHADAP KASUS MALARIA DI PROVINSI NTT

JENIS_JENIS TIKUS HAMA

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris

UJI PAPARAN TELUR CACING TAMBANG PADA TANAH HALAMAN RUMAH (Studi Populasi di RT.05 RW.III Rimbulor Desa Rejosari, Karangawen, Demak)

PREVALENSI INFEKSI CACING USUS YANG DITULARKAN MELALUI TANAH PADA SISWA SD GMIM LAHAI ROY MALALAYANG

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, karena hanya. Kabupaten Blora sedangkan pemeriksaan laboratorium

Transkripsi:

INFECTION RATE HOST PERANTARA DAN PREVALENSI RESERVOIR Schistosoma japonicum DI DATARAN TINGGI BADA SULAWESI TENGAH Infection Rate of The Intermediate Host and The Prevalence of Schistosoma Japonicum reservoirs in Bada Highland Sulawesi Tengah Rosmini 1, Triwibowo A. Garjito 2, Ahmad Erlan 1, Gunawan 1 1 Balai Litbang P2B2 Donggala 2 Balai Besar Litbang Pengendalian Vektor dan Reservoir Penyakit Diterima: 23 Desember 2013; Direvisi: 4 Maret 2014; Disetujui: 28 Maret 2014 ABSTRACT Schistosomiasis is a zoonotic parasitic disease that transmitted not only by infected human but also mammals. In Indonesia, S. japonicum can only be found in Lindu, Napu, and Bada Highland, Central Sulawesi. This study aimed to identify the infection rate of Oncomelania hupensis lindoensis and the prevalence of schistosomiasis reservoir in West Lore Sub-district, Bada Highland, Poso District. This was an observational study with a cross sectional design,conducted for six months, from May tooktober 2010. Data were collected through snail, rat and mammals stool surveywhich were examined by using formalin ether concentration technique. Snail survey showed that O.h. lindoensis snail was found positive in Tomehipi (1%) and Lengkeka (14,3%). The infection rate of O.h. lindoensis in West Lore Sub-district was 1,0% out of 299 snails. There was no rat infected by Schistosoma. Simillary animal mammals survey showed that no stool were positive of Schistosoma. Keywords: O.h. lindoensis snail, S. japonicum, Bada ABSTRAK Schistosomiasis merupakan penyakit parasitik yang bersifat zoonosis sehingga sumber penular tidak hanya pada penderita manusia saja tetapi semua hewan mamalia yang terinfeksi. Di Indonesia, S. japonicum hanya ditemukan di Sulawesi Tengah yaitu di Dataran Tinggi Lindu, Napu dan Bada. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui infection rate keong Oncomelania hupensis lindoensis dan reservoir schistosomiasis di Kecamatan Lore Barat, Dataran Tinggi Bada Kabupaten Poso. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan potong lintang yang dilakukan selama 6 bulan, yaitu bulan Mei sampai Oktober 2010. Pengumpulan data dilakukan dengan survei keong, survey tikus dan survey tinja hewan mamalia dengan pemeriksaan menggunakan metode sentrifugasi formalin-eter sesuai dengan WHO. Hasil survei keong ditemukan keong O.h. lindoensis positif di Tomehipi sebesar 1,0% dan di Lengkeka sebesar 14,3. Total infection rate di Kecamatan Lore Barat yaitu sebesar 1,0% dari 299 keong yang ditemukan. Hasil survey tikus tidak menemukan tikus yang positif cacing schistosoma (prevalensi 0%) dan hasil survey tinja hewan mamalia juga tidak ditemukan telur cacing schistosoma (prevalensi 0%). Kata kunci: O. h. lindoensis, Schistosoma japonicum, Bada PENDAHULUAN Schistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh infeksi cacing yang tergolong dalam genus Schistosoma. Ada tiga spesies Schistosoma yang ditemukan pada manusia, yaitu: Schistosoma japonicum, S. haematobium dan S. mansoni (Miyazaki, 1991). Schistosomiasis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar dan memerlukan usaha penanganan yang berat untuk dapat memberantasnya dengan tuntas di Afrika, Amerika Selatan dan Asia. Di Indonesia, S. japonicum yang sebelumnya penyebarannya terbatas ditemukan di Dataran Tinggi Lindu dan Napu kenyataannya sudah berkembang akibat

Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 13 No 1, Maret 2014 : 43 49 terbukanya akses ke daerah tersebut. Hospes perantara S. japonicum telah ditemukan di daerah lain yaitu Dataran Tinggi Bada, Kecamatan Lore Barat, Kabupaten Poso. Hasil survei keong pada tahun 2008 ditemukan keong perantara S. japonicum, keong Oncomelania hupensis lindoensis yang mengandung serkaria yang merupakan bentuk infektif dari cacing S. japonicum yang tersebar di 21 fokus keong O.h. lindoensis (Jastal et al., 2008). Keong Oncomelania memegang peranan penting dalam epidemiologi schistosomiasis, oleh karena perkembangan stadium larvanya mulai dari mirasidium sampai bentuk serkaria terjadi dalam tubuh keong tersebut. Keberadaan keong sangat tergantung adanya habitat yang cocok yang menjadikan keong tetap dapat hidup. Masalah schistosomiasis cukup kompleks karena untuk melakukan pengendalian harus melibatkan banyak faktor. Dengan demikian pengobatan masal tanpa diikuti dengan pengendalian hospes perantara tidak akan mungkin menghilangkan penyakit tersebut untuk waktu yang lama. Lebih lagi schistosomiasis merupakan penyakit parasitik yang bersifat zoonosis, sehingga sumber penular tidak hanya pada penderita manusia saja tetapi semua hewan mamalia yang terinfeksi (Sudomo, 2008). Ada 13 mamalia yang diketahui terinfeksi oleh schistosomiasis antara lain : sapi, kerbau, kuda, anjing, babi, musang, rusa, dan berbagai jenis tikus (Sudomo, 2008). Sudomo melaporkan bahwa pada tahun 1982 angka prevalensi infeksi S. Japonicum pada anjing yaitu 29%, babi 27%, sapi 7%, kerbau 10%, kuda 2%, kucing hutan 75% dan tikus berkisar antara 6,25% - 10%,. Pada tahun 2003 angka prevalensi schistosomiasis pada hewan menurun secara signifikan yaitu anjing 6,0%, babi 0,61%, dan tikus 2,85% (Ridwan, 2004). Adapun hasil survei tikus di Dataran Tinggi Bada pada tahun 2008 menunjukkan prevalensi S. japonicum pada tikus yaitu 3,33% (Jastal et al., 2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui infection rate keong O.h. lindoensis dan infection rate tikus dan hewan mamalia. BAHAN DAN CARA Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross sectional study yang dilakukan di enam desa di Kecamatan Lore Barat Dataran Tinggi Bada, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Sampel keong adalah semua keong yang ditemukan di tempat penelitian sedangkan sampel reservoir adalah seluruh tikus, anjing, kucing, babi, kuda dan sapi di tempat penelitian.yang tertangkap di tempat penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan cara : Survei keong O. hupensis lindoensis (Ditjen P2MP & PL, 1989) Keong dikoleksi dengan menggunakan metode koleksi. Metode ini dilakukan karena daerah fokus yang sulit sehingga tidak memungkinkan untuk pengambilan sampel dengan menggunakan metode ring sampel karena habitatnya dipenuhi dengan semak-semak yang tinggi atau berada dalam hutan. Keong diambil atau dikumpulkan secara bebas dari satu fokus, kemudian dimasukkan ke dalam satu kantong. Keong yang diambil sebanyak 100 keong setiap satu fokus. Lebih banyak lebih baik. Pencarian keong harus dilakukan dengan sangat teliti sehingga seluruh keong dapat diambil. Keong yang dikumpulkan kemudian dibawa ke laboratorium, diukur (untuk mengetahui umurnya) dan dipecah untuk menentukan ada tidaknya cercaria di dalam tubuh keong. Infection rate keong O.h. lindoensis (Ditjen P2PMPL, 1989) adalah jumlah keong O.h. lindoensis yang positif cercaria dibagi jumlah keong O.h. lindoensis yang ditemukan dikali 100%. Daerah fokus keong yang ditemukan, dilakukan identifikasi keadaan fisik yaitu suhu air dan keadaan yaitu ph air. Survei tikus (Ditjen P2MP & PL, 1989) Tikus ditangkap dengan menggunakan perangkap tikus. Sebanyak 30 perangkap yang dipasang di sekitar habitat keong. Tikus diidentifikasi untuk menentukan spesiesnya, kemudian dibedah untuk mengetahui adanya infeksi S. japonicum. Pemeriksaan tikus dipusatkan

pada vena porta hepatica dan vena mesenterika superior untuk menemukan cacing dewasa. Pemeriksaan hati tikus juga dilakukan untuk mengetahui adanya telur S. japonicum di dalam hati. Prevalensi S. japonicum pada tikus adalah jumlah tikus yang positif cacing dewasa S. japonicum dibagi jumlah tikus yang ditangkap dikali 100%. Survei Tinja Hewan Mamalia (Garcia and DA, 1996) Pengambilan sampel feses diperoleh dengan mengambil langsung dari rectum hewan berdasarkan Metode Hansen & Perry yaitu sebanyak 30 sampel feses, kecuali untuk sampel feses kuda atau sapi diambil dalam keadaan segar atau pada saat baru dikeluarkan dari tubuh hewan. Sampel feses dimasukkan ke dalam botol sampel yang bertuliskan nomor sampel, tanggal pengambilan sampel dan jenis hewan. Pemeriksaan sampel menggunakan metode sentrifugasi formalin-eter sesuai dengan WHO yaitu membuat suspensi feses dengan melarutkan feses seberat 0,5 gram ke dalam 10 ml formalin 10%, Suspensi feses disaring melalui kawat kasa ke dalam tabung sentrifugasi, menambahkan 3 ml eter lalu larutan disentrifugasi selama dua menit dengan kecepatan 1500 rpm, supernatant dibuang. Pemeriksaan telur S. japonicum dilakukan dengan meneteskan endapan sampel feses yang telah disentrifugasi dengan menggunakan pipet tetes ke permukaan kaca objek, selanjutnya ditutup dengan kaca penutup. Periksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 10. Pemeriksaan dilakukan sebanyak 3 kali untuk setiap sampel feses. Prevalensi S. japonicum pada hewan mamalia adalah jumlah tikus yang positif cacing dewasa S. japonicum dibagi jumlah tikus yang ditangkap dikali 100%. HASIL Kondisi Geografi Dataran Tinggi Bada merupakan dataran tinggi yang terletak 350 km arah tenggara Kota Palu pada koordinat 01 0 51 21 LS dan 120 0 13 40 BT. Dataran ini merupakan suatu daerah dengan tofografi berbukit, bukit dan berlembah. Sebelah Utara Dataran Tinggi Bada terletak berbatasan Dataran Tinggi Napu Besoa sedangkan sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan. Dataran Tinggi Bada terbagi atas dua kecamatan yaitu Kecamatan Lore Barat dan Lore Selatan. Penelitian dilakukan di enam desa yang ada di wilayah puskesmas Lengkeka, Kecamatan Lore Barat. Keenam desa tersebut adalah Tuare, Kageroa, Tomehipi, Lengkeka, Kolori dan Lelio. Kecamatan Lore Barat berada pada ketinggian 750 meter dpl. Jumlah penduduk sebanyak 2564 orang yang terdiri dari lakilaki sebanyak 1345 orang dan perempuan sebanyak 1219 orang. Mata pencaharian penduduk di Dataran Tinggi Bada umumnya bekerja sebagai petani. Penggunaan lahan selain permukiman juga merupakan lahan pertanian sayuran, perkebunan coklat, tanah ladang, sawah irigasi, padang rumput dan hutan. Survei Keong Hasil survei keong pada tabel 1 menunjukkan adanya 26 fokus yang tersebar di empat desa dari enam desa yang ada di Kecamatan Lore Barat. Keong umumnya ditemukan pada fokus dengan tingkat keasaman (ph) adalah sekitar 6-8 dan suhu 23,5-24. Fokus keong O. h. lindoensis juga telah ditemukan Di Desa Tuare. Fokus ini berupa sawah yang letaknya tidak jauh di pemukiman penduduk. Di Desa Kageroa terdapat 15 jenis fokus yang ditemukan yaitu air pancuran (mata air), sawah dengan tumbuhan paku-pakuan, serasah pohon enau, rumput (Paspalum conjugatum,dll), Eupathorium spp. Di Lengkeka, ditemukan 4 jenis fokus yang mempunyai karakteristik hampir sama dengan fokus yang ditemukan di Kageroa. Di antara 4 fokus tersebut, dua diantaranya ditemukan keong yang positif mengandung serkaria. Fokus keong yang ditemukan positif yaitu di sekitar pancuran dan fokus lainnya yaitu di sekitar mata air yang berada di tempat yang agak tinggi. Tidak ada penambahan fokus baru di kedua desa tersebut. Di Desa Tomehipi ditemukan 4 fokus baru sehingga total fokus di desa

Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 13 No 1, Maret 2014 : 43 49 tersebut adalah sebanyak 6 fokus. Salah satu fokus tersebut positif mengandung serkaria. Di Tomehipi, fokus baru yang ditemukan berupa kolam ikan terbengkalai, dikelilingi oleh pohon enau, ditepinya banyak ditumbuhi rumput (ciperaceae, Paspalum spp), semak (Eupathorium spp, Ageratum, spp ) dan perdu-perduan. Selain itu, juga ditemukan fokus keong berupa pancuran. Keong O.h. lindoensis hanya ditemukan di empat desa yaitu Tuare, Kageroa, Tomehipi dan Lengkeka, tetapi keong positif hanya ditemukan di Tomehipi sebesar 1,0% dan di Lengkeka sebesar 14,3. Total infection rate di Kecamatan Lore Barat yaitu sebesar 1,0% dari 299 keong yang ditemukan. Tabel 1. Hasil Kegiatan Survei Keong di Kecamatan Lore Barat Dataran Tinggi Bada Kabupaten Poso Sulawesi Tengah 2010 Jumlah Keong Infection Total ph Suhu No. Desa Keong Positif Rate Fokus rata-rata rata-rata 1 Tuare 12 0 0 1 8 24,5 2 Kageroa 174 0 0 15 6 23,5 3 Tomehipi 99 1 1.0 6 6 24 4 Lengkeka 14 2 14.3 4 8 24 5 Kolori 0 0 0.0 0 0 0 6 Lelio 0 0 0.0 0 0 0 Total 299 3 1.0 26 Survei Reservoir Survei reservoir dilakukan di enam desa dengan melakukan penangkapan tikus dan pengambilan tinja binatang mamalia. Jumlah tikus yang tertangkap yaitu sebanyak 14 ekor yang tersebar di empat desa yaitu di Tuare ditemukan tikus 3 ekor jenis Rattus exulans, di Kageroa ditemukan 3 ekor tikus yaitu 2 ekor jenis Rattus rattus diardii dan 1 ekor R. exulans, di Lengkeka ditemukan 2 ekor tikus yaitu jenis R. tiomanicus dan R. exulans dan di Tomehipi ditemukan 6 ekor tikus yaitu 4 ekor tikus jenis R.r. diardii, dan masing-masing satu ekor jenis R. hokmani dan R. exulans. Persentase tikus yang tertangkap yaitu 6,7% dan hasil pembedahan tikus menunjukkan tidak ada yang positif cacing S. japonicum. Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Tikus Di Kecamatan Lore Barat Dataran Tinggi Bada Kabupaten Poso Sulawesi Tengah 2010 Jumlah Jumlah Tikus Jumlah Tikus No. Desa Prevalensi Perangkap Tertangkap Pos. S. japonicum 1 Tuare 30 3 0 0 2 Kageroa 30 3 0 0 3 Tomehipi 1 30 3 0 0 4 Tomehipi 2 30 3 0 0 5 Lengkeka 1 30 1 0 0 6 Lengkeka 2 30 1 0 0 7 Kolori 30 0 0 0 8 Lelio 30 0 0 0 Total 240 16 0 0 Binatang mamalia yang berhasil diambil sampel tinjanya yaitu sebanyak 90 masing-masing anjing sebanyak 19 sampel, babi 55 sampel, kuda sebanyak 1 sampel,

kerbau sebanyak 3 sampel dan sapi sebanyak 12 sampel. Hasil pemeriksaan sampel tinja menunjukkan semua sampel negatif (tidak ditemukan telur cacing schistosomiasis). Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Tinja Binatang Mamalia Di Kecamatan Lore Barat Dataran Tinggi Bada Kabupaten Poso Sulawesi Tengah 2010 Jumlah Tinja Jumlah Tinja No. Binatang Prevalensi Diperiksa Pos. S. japonicum 1 Anjing 19 0 0 2 Babi 55 0 0 3 Kuda 1 0 0 4 Kerbau 3 0 0 5 Sapi 12 0 0 Total 90 0 0 PEMBAHASAN Survei Keong Secara umum, daerah yang menjadi habitat O.h. lindoensis dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu alami (primer) dan non-alami (sekunder). Habitat alami adalah daerah yang relatif belum terganggu oleh aktivitas penduduk, yaitu di bawah pepohonan yang memiliki banyak serasah di dalam hutan dan pinggiran hutan, di bawah semak, dan di tepi danau yang belum atau jarang di datangi penduduk. Habitat non-alami adalah daerah yang relatif terganggu oleh aktivitas penduduk, yaitu meliputi daerah bekas persawahan yang lama tidak di olah, sepanjang tepi saluran pengairan sawah dan padang rumput bekas lading (Djajasasmita and Marwoto, 1992). Pada umumnya fokus keong O.h. lindoensis yang ditemukan mempunyai tingkat keasaman (ph) adalah sekitar 6-8 dan suhu 23,5-24. Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa fokus keong umumnya mempunyai temperatur sekitar 25,1 dan ph sekitar 6,7 (Jastal et al., 2008). Fokus yang ditemukan umumnya dikelilingi oleh pohon enau, ditepinya banyak ditumbuhi rumput (cyperaceae, Paspalum spp), semak (Eupathorium spp, Ageratum, spp ) dan perdu-perduan. Kehadiran jenis tanaman tersebut mendukung terbentuknya habitat keong O.h. lindoensis. Hal tersebut sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa secara alami makanan utama keong Oncomelania spp. Berupa sisa tumbuhan yang membusuk (detritus), khususnya dari golongan rumput-rumputan, tumbuhan paku, alga hijau, diatom dan humus (Hadidja, 1985). Munculnya fokus baru di Desa Tuare yaitu fokus berupa sawah sedangkan fokus baru yang ditemukan di Tomehipi berupa kolam ikan yang tidak digunakan lagi disebabkan pengolahan lahan oleh masyarakat. Masyarakat mempunyai kebiasaan membuka lahan baru kemudian ditinggalkan terbengkalai sehingga berpotensi menjadi fokus keong. Hasil ini sesuai dengan penelitian pada tahun 2009 yang menyebutkan bahwa terdapatnya daerah fokus di Dodolo dan Mekarsari disebabkan karena pengolahan lahan yang tidak teratur oleh masyarakat sehingga banyak lahan yang terbengkalai dan juga daerah berair karena adanya rembesan air tanah (Sudomo and Pretty, 2007). Keadaan ini menjadikan keong O. hupensis lindoensis tetap dapat hidup. Keong O.h. lindoensis yang mempunyai sifat amfibious menyukai daerah becek berair yang kaya bahan organik untuk kelangsungan hidupnya (Barodji et al., 1983). Survei Reservoir Schistosomiasis adalah penyakit parasitik yang bersifat zoonosis, yaitu penyakit yang selain menginfeksi manusia juga menginfeksi hewan mamalia, misalnya kerbau, sapi, kuda, anjing, babi dan tikus. Di daerah endemis schistosomiasis di China menunjukkan bahwa hewan reservoir,

Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 13 No 1, Maret 2014 : 43 49 terutama hewan peliharaan merupakan sumber infeksi yang lebih penting dari pada manusia dalam penularan schistosomiasis (Chen, 2014). Salah satu hewan mamamlia yang dapat menjadi sumber penularan schistosomiasis adalah hewan jenis Rodensia (tikus). Hasil penelitian menunjukkan tidak ditemukan tikus yang positif cacing S. japonicum (prevalensi 0%). Hasil ini berbeda dengan penelitian di Dataran Tinggi Napu yang melaporkan prevalensi tikus jenis Rattus exulans sebesar 8,3% di Desa Dolo dan 10% di Desa Mekarsari (Rosmini et al., 2010). Tidak adanya tikus yang ditemukan positif mungkin disebabkan karena tikus yang tertangkap adalah tikus yang tidak melewati fokus yang positif. Hal ini mungkin juga disebabkan karena keong O.h lindoensis yang ditemukan di fokus hanya sedikit yang positif serkaria. Selain itu tidak adanya tikus yang ditemukan positif cacing S. japonicum mungkin juga disebabkan karena pemasangan perangkap dipasang tidak hanya di fokus positif tetapi juga di fokus negatif. Hewan mamalia memiliki peranan yang sangat penting dalam proses penularan schistosomiasis. Pada penelitian ini, tidak ditemukan tinja hewan mamalia yang positif cacing S. japonicum, termasuk sapi dan kerbau juga ditemukan negatif. Hasil ini berbeda dengan penelitian di Philipina yang melaporkan angka prevalensi schistosomiasis pada kucing 11,9 %; anjing 19,9 %; babi 2,9 %; tikus 31,3 % dan kerbau 6,3 % (H. Carabin et al., 2005). Penelitian di daerah sekitar danau Dongting, Cina juga melaporkan prevalensi S. japonicum pada sapi adalah 8,47 % dan pada kerbau 4,56 % (Jinming Liu et al., 2012). Perbedaan ini mungkin disebabkan karena pengambilan tinja hanya dilakukan pada hewan domestik yang selalu berada di sekitar rumah dan jauh dari fokus. Proses infeksi schistosomiasis pada hewan terjadi pada saat sapi dan kerbau makan rumput atau minum air di daerah yang terdapat habitat keong O.h. lindoensis.(ridwan, 2004) KESIMPULAN Hasil survei keong ditemukan keong O.h. lindoensis positif di Tomehipi sebesar 1,0% dan di Lengkeka sebesar 14,3%. Total infection rate di Kecamatan Lore Barat yaitu sebesar 1,0% dari 299 keong yang ditemukan. Hasil survey tikus tidak menemukan tikus yang positif cacing schistosoma (prevalensi 0%) dan hasil survey tinja hewan mamalia juga tidak ditemukan telur cacing schistosoma (prevalensi 0%). SARAN Adanya fokus baru berupa daerah persawahan maka perlu ditingkatkan kerjasama lintas sektor antara Kementerian Kesehatan, Pertanian dan Kehutanan. Meskipun tidak ditemukan hewan mamalia positif tetapi tetap harus dimonitor dengan melakukan pemeriksaan tinja secara berkala oleh Dinas Peternakan. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini terselenggara atas bantuan dan kerjasama berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada: Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Poso atas dukungan dan kerjasamanya, terutama izin yang diberikan untuk melakukan penelitian ini di wilayah kerjanya. Ucapan terima kasih penulis ucapkan juga kepada teman-teman yang ada di laboratorium schistosomiasis Napu dan Lindu atas bantuannya dalam melaksanakan penelitian ini. Dalam kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada masyarakat di Kecamatan Lore Barat atas segala partisipasinya dalam membantu terlaksananya penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA BARODJI, SUDOMO, M., J. PUTRALI & JOESOEF, M. A. 1983. Percobaan Pemberantasan Hospes Perantara Schistosomiasis (Oncomelania hupensis lindoensis) Dengan Bayluscide dan Kombinasi Pengeringan di Dataran Lindu, Sulawesi Tengah 1976. Buletin Penelitian Kesehatan, XI, 27-30. CHEN, M.-G. 2014. Assesment Of Morbidity Due To Schistoosma japonicum Infection In China. Infectious Diseases Of Poverty, 3, 1-16. DITJEN P2MP & PL 1989. Petunjuk Teknis Pemberantasan Schistosomiasis, Jakarta, Subdit Filariasis dan Schistosomiasis Ditjen P2MP & PL.

DJAJASASMITA, M. & MARWOTO, R. M. Year. Pengendalian Habitat Alami Keong Oncomelania hupensis lindoensis, Vektor Penyakit Schistosomiasis. In: Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan SDH 1991/1992, 1992. Puslitbang Biologi LIPI, 318-322. GARCIA, L. & DA, B. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. H. CARABIN, E. BALOLONG, L. JOSEPH, S.T. MCGARVEY, M.V. JOHANSEN, T. FERNANDEZ, A.L. WILLIAM & OLVEDA, R. 2005. Estimating Sensitivity And Specificity Of A Faecal Examination Method For Schistosoma japonicum Infection In Cats, Dogs, Water Buffaloes, Pigs, And Rats In Western Samar And Sorgoson Privinces, The Philippines. International Journal For Parasitology, 35, 1517-1524. HADIDJA, P. 1985. Schistosomiasis di Sulawesi Tengah Indonesia, Jakarta, Balai Penerbitan FKUI. JASTAL, MUJIYANTO, GARJITO, T. A., ANASTASIA, H., CHADIJAH, S., NURJANA, M. A. & NURWIDAYATI, A. 2008. Analisis Spasial Epidemiologi Schistosomiasis Dengan Menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di Sulawesi Tengah. Balai Litbang P2B2 Donggala. JINMING LIU, CHUNXIA ZHU, YAOJUN SHI, HAO LI, LANPIN WANG, SHANGTIAN QIN, SAIE KANG, YANPIN HUANG, YAMEI JIN & LIN, J. 2012. Surveillance Of Schistosoma japonicum Infection In Domestic Ruminants In The Dongting Lake Region, Hunan Province, China. Plos ONE, 7. MIYAZAKI, I. 1991. An Illustrated Book Of Helminthic Zoonosis, International Medical Foundation Of Japan, Tokyo. RIDWAN, Y. 2004. Potensi Hewan Reservoar Dalam Penularan Schistosomiasis Pada Manusia Di Sulawesi Tengah. Program Pasca Sarjana IPB. ROSMINI, SOEYOKO & SUMARNI, S. 2010. Penularan Schistosomiasis Di Desa Dodolo Dan Mekarsari Dataran Tinggi Napu Sulawesi Tengah. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, XX, 3. SUDOMO, M. & PRETTY, M. D. 2007. Pemberantasan Schistosomiasis di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan, 35, 36-45. SUDOMO, M. 2008. Penyakit Parasitik Yang Kurang Diperhatikan. Orasi Pengukuhan Professor Riset Bidang Entomologi dan Moluska. Badan Litbang Kesehatan, Jakarta.