SEBUAH ANALISIS FAKTOR RISIKO PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KELURAHAN HELVETIA TENGAH, MEDAN, TAHUN 2005

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS FAKTOR RISIKO PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KELURAHAN HELVETIA TENGAH MEDAN TAHUN 2005

BAB I. dalam kurun waktu yang relatif singkat. Penyakit menular umumnya bersifat akut

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue

BAB 1 PENDAHULUAN. Di era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai paradigma

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-masing dapat. DBD, baik ringan maupun fatal ( Depkes, 2013).

Promotif, Vol.5 No.1, Okt 2015 Hal 09-16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus. Virus dengue

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu

Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina yang telah membawa virus Dengue dari penderita lainnya. Nyamuk ini biasanya aktif

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SIARAN RADIO TANGGAL 3 OKTOBER 2011 MATERI PENYAKIT DEMAM BERDARAH NAMA DR. I GUSTI AGUNG AYU MANIK PURNAMAWATI, M.KES

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di awal atau penghujung musim hujan suhu atau kelembaban udara umumnya

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

BAB I PENDAHULUAN. tropis. Pandangan ini berubah sejak timbulnya wabah demam dengue di

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

BAB I LATAR BELAKANG

KUESIONER PENELITIAN

BUPATI PAKPAK BHARAT PROVINSI SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan snyamuk dari genus Aedes,

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong Arthropod Borne Virus, genus

BAB I : PENDAHULUAN. menular yang disebabkan oleh virus dengue, virus ini ditularkan melalui

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Fajarina Lathu INTISARI

BAB I PENDAHULUAN. kejadian luar biasa dengan kematian yang besar. Di Indonesia nyamuk penular

BAB 1 PENDAHULUAN. dan di 436 kabupaten/kota dari 497 kabupaten/kota sebesar 88%. Angka kesakitan

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN RAMBUTAN (Nephelium lappaceum L.)TERHADAP KEMATIAN LARVA NYAMUK Aedes aegypti INSTAR III

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

SARANG NYAMUK DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DI DESA KLIWONAN MASARAN SRAGEN

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran epidemiologi..., Lila Kesuma Hairani, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

INFORMASI UMUM DEMAM BERDARAH DENGUE

KUESIONER PENELITIAN PENGETAHUAN IBU RUMAH TANGGA DI PASEBAN BARAT JAKARTA PUSAT TENTANG DEMAM BERDARAH DENGUE DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN

SKRIPSI PERBEDAAN PENGETAHUAN DAN SIKAP JUMANTIK KECIL SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN PELATIHAN PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI MIN KETITANG

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi oleh setiap bangsa dan negara. Termasuk kewajiban negara untuk

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masalah kesehatan masyarakat sejak diketemukannya kasus tersebut di Surabaya pada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

Peran Faktor Lingkungan Terhadap Penyakit dan Penularan Demam Berdarah Dengue

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 51 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar belakang. Demam berdarah dengue merupakan masalah utama penyakit menular

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk demam berdarah (Aedes

LAPORAN HASIL PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI KEJADIAN LUAR BIASA DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KELURAHAN PENFUI PERIODE PEBRUARI 2012

I. Pendahuluan Pada awal tahun 2004 kita dikejutkan kembali dengan merebaknya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), dengan jumlah kasus yang cukup

Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah?

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat Indonesia, disamping mulai meningkatnya masalah

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI KABUPATEN BANYUWANGI

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berbahaya ini cenderung menurun bersamaan dengan terus membaiknya

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2010), program pencegahan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara. World Health

BAB 1 PENDAHULUAN. Acuan Pembangunan kesehatan pada saat ini adalah konsep Paradigma

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan berkelanjutan 2030/Suistainable Development Goals (SDGs)

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. dari genus Aedes,misalnya Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Penyakit DBD dapat

WALIKOTA BLITAR PERATURAN WALIKOTA BLITAR NOMOR 35 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA BLITAR

KUESIONER PENELITIAN PENGETAHUAN IBU RUMAH TANGGA DI PASEBAN BARAT JAKARTA PUSAT TENTANG DEMAM BERDARAH DENGUE DAN FAKTOR- FAKTOR YANG BERHUBUNGAN

WALI KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH

DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) : Siswa dapat mengetahui, memahami dan mempunyai sikap. Waktu : 60 menit ( 45 menit ceramah dan 15 menit diskusi ).

BERHARAP, JATIM (INDONESIA) BEBAS DEMAM BERDARAH Oleh : Zaenal Mutakin

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever

BAB 1 PENDAHULUAN. Asia Tenggara termasuk di Indonesia terutama pada penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. tropis dan subtropis di seluruh dunia. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Chikungunya merupakan penyakit re-emerging disease yaitu penyakit

KUESIONER PENELITIAN PENGETAHUAN IBU RUMAH TANGGA DI PASEBAN BARAT JAKARTA PUSAT TENTANG DEMAM BERDARAH DENGUE DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai risiko tinggi tertular Demam Dengue (DD). Setiap tahunnya

bio.unsoed.ac.id MENGENAL PEI\IYAKIT DEMAM BERDARAH PENDAHULUAN penderita dan keluarganya, karena kurangnya pengertian dan pemahaman tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. DBD yang paling penting adalah dengan mengendalikan nyamuk Aedes

KAJIAN PERILAKU DAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DALAM PSN DEMAM BERADARAH DI 10 KOTA INDONESIA TAHUN 2007 K U E S I O N E R

PERILAKU 3M, ABATISASI DAN KEBERADAAN JENTIK AEDES HUBUNGANNYA DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE

BAB I PENDAHULUAN. banyak penyakit yang menyerang seperti dengue hemoragic fever.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan daerah tropis yang banyak berkembang nyamuk Aedes. kepadatan penduduk (Kementerian Kesehatan RI, 2010).

BAB I KONSEP DASAR. Berdarah Dengue (DBD). (Aziz Alimul, 2006: 123). oleh nyamuk spesies Aedes (IKA- FKUI, 2005: 607 )

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. 1. Konsep Demam Berdarah Dengue (DBD) a. Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan. keluarga dengan melaksanakan pembangunan yang berwawasan kesehatan,

SUMMARY HASNI YUNUS

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN PERILAKU PSN DENGAN KEBERADAAN JENTIK Aedes aegypti DI DESA NGESREP KECAMATAN NGEMPLAK KABUPATEN BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

SEBUAH ANALISIS FAKTOR RISIKO PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KELURAHAN HELVETIA TENGAH, MEDAN, TAHUN 2005 Oleh: Suhardiono,S.K.M.,M.Kes. ABSTRAK Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat. Kelurahan Helvetia Tengah, Medan, merupakan salah satu kelurahan yang endemis penyakit DBD dan pada tahun 2004 sebagai kelurahan yang paling tinggi kasus DBD di Kota Medan dengan IR sebesar 25 per 1000 penduduk. Untuk mengetahui faktor risiko perilaku masyarakat terhadap kejadian DBD tersebut dilakukan penelitian yang bersifat survai dengan rancangan sekat lintang (cross-sectional) yang bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai hubungan tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat tentang penyakit DBD dengan kejadian DBD di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari hasil uji statistik diketahui ada hubungan tingkat pengetahuan responden dengan kejadian DBD dengan nilai p = 0,015 (p < 0,05), OR = 3,077 (CI 95% = 1,218 7,776) dan PR = 2,087, ada hubungan sikap dengan kejadian DBD dengan nilai p = 0,016 (p < 0,05), OR = 2,738 (CI 95% = 1,196 6,269) dan PR = 1,829 serta ada hubungan tindakan dengan kejadian DBD dengan nilai p = 0,001 (p < 0,05), OR = 4,487 (CI 95% = 1,822 11,051) dan PR = 2,619. Meningkatnya kejadian DBD disebabkan oleh karena perilaku masyarakat yang kurang baik yang dapat menjadi faktor risiko terjadinya penyakit DBD. Oleh karena itu perlu peningkatan penyuluhan serta adanya partisipasi masyarakat dalam upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD). Kata kunci: kejadian DBD, faktor risiko 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan berlandaskan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Dalam pelaksanaannya mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai luhur yang universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, berkeadilan, sejahtera, maju, dan kukuh kekuatan moral dan etikanya (GBHN,1999). Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan ditetapkan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal melalui terciptanya masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang ditandai penduduk yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang optimal diseluruh wilayah Republik Indonesia. 48

Dalam program pembangunan nasional (Propernas) sektor kesehatan, salah satu program yang akan dicapai adalah peningkatan perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat. Tujuan umum program ini adalah memberdayakan individu, keluarga, dan masyarakat dalam bidang kesehatan untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya sendiri dan lingkungannya menuju masyarakat yang sehat, mandiri, dan produktif. Hal ini ditempuh melalui peningkatan pengetahuan, sikap positif, perilaku, dan peran aktif individu, keluarga, dan masyarakat sesuai dengan sosial budaya setempat. Perilaku masyarakat yang diharapkan adalah yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan, mencegah terjadinya risiko penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit, serta berpartisipasi aktif dalam gerakan peningkatan kesehatan masyarakat, sedangkan kemampuan masyarakat yang diharapkan pada masa depan adalah mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu tanpa adanya hambatan, baik yang bersifat ekonomi maupun non-ekonomi (dalam Pembangunan Kesehatan di Indonesia, tahun2004). Maka untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal diselenggarakan upaya kesehatan dengan pemeliharaan dan peningkatan melalui upaya promosi kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Salah satu upaya kesehatan tersebut adalah pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan kematian (UU Kesehatan No.23 tahun 1992). Dalam Undang-Undang No.23 tahun 1992 tentang kesehatan bab V, pasal 22 ayat 3 disebutkan bahwa kesehatan lingkungan meliputi penyehatan air dan udara, pengamanan limbah padat, limbah cair, limbah gas, radiasi, dan kebisingan, pengendalian vektor penyakit dan penyehatan atau pengamanan lainnya. Kelompok-kelompok serangga yang berperan sebagai vektor penyakit antara lain adalah nyamuk, yang mana salah satu spesiesnya adalah nyamuk Aedes yang dapat menularkan penyakit demam berdarah dengue (DBD) yaitu Aedes aegypti atau Aedes albopictus (Demam Berdarah Dengue,1999). Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit demam akut terutama menyerang anak-anak namun tidak jarang juga menyerang orang dewasa yang disertai dengan manifestasi perdarahan, menimbulkan shock yang dapat menyebabkan kematian. Penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue ini adalah virus dengue yang ditularkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegypti yang berkembang biak di tempat-tempat penampungan air bersih seperti bak mandi, tempayan, ban bekas, kaleng bekas, dan lain-lain. Mengingat nyamuk penular Demam Berdarah Dengue ini tersebar luas baik di rumah maupun di tempat-tempat umum, maka pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue dilaksanakan dengan cara Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia, hal ini tampak dari kenyataan yang ada bahwa seluruh wilayah di Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit Demam Berdarah Dengue, sebab baik virus penyebab maupun nyamuk penularnya sudah tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas umum di seluruh Indonesia. Tercatat sampai saat ini bahwa penyakit Demam Berdarah Dengue telah menjadi masalah endemis pada 122 daerah tingkat II, 605 daerah kecamatan dan 1800 desa/kelurahan di Indonesia (www.kesehatan.com). Penyakit DBD di Indonesia pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapatkan 49

pada tahun 1972. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia telah terjangkit penyakit DBD. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan peningkatan baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap tahun. Kejadian Luar Biasa DBD di Indonesia yang terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan IR = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99% (tahun 2000), 21,66% (tahun 2001), 19,24% (tahun 2002), 23,87% (tahun 2003). Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit, disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk, dan terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air (www.depkes.go.id). Kejadian luar biasa DBD di Kota Medan pada tahun 2004 terjadi dengan CFR sebesar 2,3%. Angka ini telah melewati angka nasional, yaitu sebesar 1%. Peningkatan kasus DBD di Kota Medan mulai terjadi pada bulan Mei 2004. Bulan November tahun 2004 terjadi peningkatan kasus yang cukup besar sehingga terjadi KLB dengan Insiden Rate (IR) sebesar 37,2 per 100.000 populasi dengan jumlah penduduk sebesar 1.993.412 jiwa. IR kasus DBD selama KLB sebesar 33,4 per 100.000 populasi. Angka ini telah melewati dari angka nasional, yaitu sebesar 25 per 100.000 populasi. Kelurahan Helvetia Tengah sebagai Kelurahan yang paling tinggi kasus DBD di Kota Medan dengan IR sebesar 25 per 1000 penduduk (DKK Kota Medan, 2005). Untuk itulah penulis ingin mengetahui faktor risiko perilaku masyarakat terhadap kejadian DBD di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan, tahun 2004. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan pada pendahuluan bahwa dengan tingginya kasus Demam Berdarah Dengue yang terdapat di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan, mengakibatkan daerah tersebut mengalami permasalahan kesehatan, yaitu penyakit Demam Berdarah Dengue yang penanggulangannya memerlukan peran serta masyarakat. Sehingga dirasa perlu untuk mengetahui perilaku masyarakat terhadap kejadian DBD di Helvetia Tengah, Medan. 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui perilaku masyarakat dan hubungannya dengan kejadian DBD di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan. 1.3.1. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui gambaran karakteristik responden di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan. 2. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan masyarakat tentang penyakit DBD dengan kejadian DBD di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan. 3. Untuk mengetahui hubungan sikap masyarakat tentang penyakit DBD dengan kejadian DBD di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan. 4. Untuk mengetahui hubungan tindakan masyarakat tentang penyakit DBD dengan kejadian DBD di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Sebagai bahan informasi bagi puskesmas dan dinas kesehatan untuk penatalaksanaan upaya penanggulangan DBD di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan, pada khususnya dan Kota Medan pada umumnya dan untuk masyarakat yang akan datang. 1.4.2. Bagi peneliti untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar 50

Sarjana Kesehatan Masyarakat di STIKes Mutiara Indonesia. 1.4.3. Sebagai bahan masukan bagi yang ingin meneliti tentang penyakit DBD. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Perilaku 2.1.1. Pengertian Pengetahuan Pengetahuan (knowledge) berarti yang telah diketahui, disebabkan bahwa pengetahuan atau tahu ialah mengerti setelah melihat atau setelah menyaksikan, mengalami. atau diajarkan (Kamus Bahasa Indonesia). Menurut Soekidjo Notoadmodjo, pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca-indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, ras, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan yaitu suatu bentuk tahu dari manusia yang diperolehnya dari pengetahuan, peranan, akal, pikiran, dan intuisinya setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan masyarakat terhadap upaya pencegahan dan penanggulangan Demam Berdarah Dengue. Di mana dengan pengetahuan yang cukup tentang cara pelaksanaan program pemberantasan penyakit DBD mulai dari perancanaan sampai pada pelaksanaan serta evaluasi. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang, di mana untuk mengukur tingkat pengetahuan seseorang secara terperinci terdiri dari 6 tingkatan (Notoatmodjo 2003), yaitu: 1. Tahu (know), bila seseorang mampu mengingat dan menjelaskan secara garis besar terhadap materi yang telah dipelajari. 2. Memahami (comprehension), bila seseorang mempunyai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tenteng objek yang diketahui dan mampu menginterpretasikan materi tersebut secara benar. 3. Aplikasi (aplication), adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang real (sebenarnya). 4. Analisis (analysis), adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponenkomponen yang masih ada kaitannya satu sama lain. 5. Sintesis (synthesis), adalah menunjuk pada kemampuan seseorang untuk menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. 6. Evaluasi (evaluation), adalah yang berkaitan pada kemampuan seseorang untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. 2.1.2. Sikap Allport (1954), menyatakan bahwa sikap adalah kesiapan seseorang untuk bertindak atau kecacatan mental saraf dari kesiapan, yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, pengertian menurut Newcomb yang dikutip oleh Dr.Soekidjo Notoadmodjo menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Menurut Allport (1954), sikap mempunyai 3 komponen pokok, yaitu: 1. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek. 51

2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. 3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting dengan berbagai tingkat sikap (Notoatmodjo 2003), yaitu: 1. Menerima (receiving), artinya bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). 2. Merespon (responding), adalah memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikam tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari tindakan. 3. Menghargai (valuing), adalah mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. 4. Bertanggung jawab (responsible), adalah bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. 2.1.3. Tindakan Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Maka untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas (Notoatmodjo 2003). Menurut Soekidjo Notoatmodjo, tindakan mempunyai beberapa tingkatan yaitu: 1. Persepsi (perception), mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan tindakan tingat pertama. 2. Respon terpimpin (guided response), dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator tindakan kedua. 3. Mekanisme (mecanism), apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai tindakan ketiga. 4. Adopsi (adoption), adalah merupakan suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik artinya, tindakan itu telah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. 2.2. Pengertian Demam Berdarah Dengue Demam Berdarah Dengue adalah penyakit demam akut, terutama menyerang anak yang disertai dengan manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan shock yang dapat yang menyebabkan kematian serta sering menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah. DBD merupakan penyakit yang disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypty yang ditandai dengan demam mendadak, tinggi, dan terus-menerus yang berlangsung selama 2-7 hari disertai dengan tanda perdarahan di kulit (Petechiae), lebam (ekimosis), perdarahan gusi, epistaksis, muntah darah (hematemesis) dan atau melena (Ilmu Penyakit Dalam 1996). Di samping, itu penyakit DBD yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan juga dapat ditularkan oleh nyamuk Aedes albopictus, di mana kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut (dalam Pencegahan dan Pengendalian DBD, tahun 2004). 2.3. Mekanisme Penularan DBD Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus dengue merupakan sumber penularan penyakit DBD, yang bisa menunjukkan gejala sakit tetapi bisa juga tidak sakit, yaitu jika mempunyai kekebalan tubuh yang cukup terhadap virus dengue. Jika seseorang digigit oleh nyamuk Aedes aegypti maka virus dengue masuk 52

bersama darah yang dihisapnya. Di dalam tubuh nyamuk itu, virus dengue akan berkembang biak dengan cara membelah diri dan menyebar di seluruh bagian tubuh nyamuk. Sebagian besar virus itu berada dalam kelenjar liur nyamuk. Dalam tempo 1 minggu jumlahnya dapat mencapai puluhan atau ratusan ribu sehingga siap untuk ditularkan kepada orang lain. Selanjutnya pada waktu nyamuk itu menggigit orang lain, maka setelah alat tusuk nyamuk (probosis) menemukan kapiler darah, sebelum darah orang itu dihisap, terlebih dulu dikeluarkan air liur dari kelenjar liurnya agar darah yang dihisap tidak membeku. Maka bersama dengan liur nyamuk inilah, virus dengue dipindahkan kepada orang lain (dalam Epidemiologi dan Penanggulangan DBD,1999). 2.4. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue 2.4.1. Distribusi Penyakit DBD 1. Distribusi Penyakit DBD Menurut Orang Menurut Suroso cit. Cendrawirda (2003), penyakit DBD dapat menyerang semua umur/orang terutama pada anak-anak, tetapi dalam dekade ini terlihat ada kecenderungan kenaikan proporsi penderita DBD pada orang dewasa. Di antara kasus-kasus yang dilaporkan di Indonesia pada tahun 2002 ternyata 73% menimpa pada anak-anak golongan umur di bawah 15 tahun dan sisanya pada golongan umur di atas 15 tahun. 2. Distribusi Penyakit DBD Menurut Tempat Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut, karena pada tempat yang tinggi dengan suhu yang rendah maka siklus perkembangan nyamuk Aedes aegypti ini tidak sempurna. Pada awalnya penyakit DBD ini banyak berjangkit di daerah perkotaan dan dengan meningkatnya arus lalu lintas dan transportasi antardaerah maka penyakit ini telah menyebar ke daerah pedesaan (dalam Petunjuk Teknis Pengamatan Penyakit DBD,1998). 3. Distribusi Penyakit DBD Menurut Waktu Penyakit DBD menunjukkan fluktuasi musiman. Biasanya insiden meningkat pada musim hujan atau beberapa minggu setelah musim hujan. Sesuai dengan asosiasi peningkatan insiden DBD maka penyakit DBD memperlihatkan kecenderungan siklus 5 tahun sekali. 2.4.2. Faktor-Faktor Risiko yang Mempengaruhi Kejadian DBD Beberapa hal yang menjadi faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya penyakit Demam Berdarah Dengue (Jurnal Epidemiologi Indonesia, 1997), adalah sebagai berikut. 1. Lingkungan a. Sumber air yang digunakan Air yang ditampung dan tidak berhubungan langsung dengan tanah merupakan tempat perindukan yang potensial bagi vektor DBD. b. Kualitas tempat penampungan air Tempat penampungan air yang berjentik lebih besar kemungkinan terjadinya DBD dibandingkan dengan tempat penampungan air yang tidak berjentik. c. Kebersihan lingkungan Kebersihan halaman dari kaleng/ban bekas, tempurung, dan lain-lain juga merupakan faktor risiko terjadinya DBD. 2. Pengetahuan dan sikap manusia (masyarakat) Pengetahuan dan sikap manusia (masyarakat) yang tidak mengetahui tentang tanda/gejala, cara penularan dan pencegahan penyakit DBD mempunyai risiko terkena penyakit DBD. Dengan demikian upaya peningkatan pengetahuan mengenai gejala/ tanda, cara penularan dan pencegahan serta pemberantasan penyakit DBD perlu mendapat perhatian utama agar masyarakat lebih berperan aktif untuk melakukan pembersihan sarang nyamuk. 53

3. Perilaku dan sosial budaya masyarakat Kebiasaan menggantungkan pakaian di dalam rumah merupakan habitat kesenangan nyamuk Aedes aegypti. Sedangkan kebiaaan tidur siang mempunyai risiko untuk terjadinya DBD. 2.5. Patogenesis Hipotesis infeksi heterolog sekunder (the secondary heterologous infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis) sampai saat ini masih dianut oleh sebagian besar sarjana sebagai konsep patogenesis terjadinya DBD. Berdasarkan hipotesis ini seseorang akan menderita DBD apabila mendapatkan infeksi berulang oleh serotipe virus dengue yang berbeda dalam jangka waktu tertentu, yang berkisar antara 6 bulan 5 tahun. Menurut hipotesis ini perbedaaan virulensi serotipe/strain serotipe virus dengue adalah penyebab terjadinya DBD (dalam Ilmu Penyakit Dalam,1996). 2.6. Diagnosa Klinis Infeksi virus dengue mengakibatkan manifestasi klinis yang bervariasi mulai dari asimptomatik, penyakit paling ringan (Mild Undifferented Febrile Illnes), demam dengue, DBD, sampai sindrom syok dengue. Walaupun secara epidemiologi infeksi ringan lebih banyak, tetapi pada awal penyakit hampir tidak mungkin membedakan infeksi ringan atau berat. Biasanya ditandai dengan demam tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali dan kegagalan sirkulasi. Tanda lain yang menyerupai demam dengue adalah anoreksia, muntah, dan nyeri kepala. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan hematokrit, hitung trombosit, uji serologi HI (Haemagglutination Inhibition Antibody), dan Dengue Blot. Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria WHO (1986) terdiri dari kriteria klinis dan laboratorium. 2.6.1. Kriteria Klinis Kriteria klinis Demam Berdarah Dengue menurut WHO (1986), adalah sebagai berikut. a. Demam tinggi dengan mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari. b. Manifestasi perdarahan, termasuk setidak-tidaknya uji tornikuet positif dan salah satu bentuk lain (petekia, purpura, ekimosis, epistaksis dan perdarahan gusi), hematemesis, dan atau melena. c. Pembesaran hati d. Renjatan yang ditandai dengan nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun (menjadi 80 mmhg atau kurang) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, penderita menjadi gelisah, dan timbul sianosis di sekitar mulut. 2.6.2. Laboratorium Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari meningginya nilai hematokrit sebanyak 20% atau lebih. Diagnosis klinis pertama di tambah satu gejala laboratorium cukup untuk menegakkan diagnosis kerja DBD sesuai dengan patokan yang disebutkan WHO (1975) yang membagi derajat penyakit DBD dalam 4 derajat, yaitu sebagai berikut. a. Derajat I (ringan) Demam mendadak 2-7 hari disertai gejala klinis lain dengan manifestsi perdarahan teringan, yaitu uji torniquet positif. b. Derajat II (sedang) Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain. c. Derajat III Ditemui kegagalan sirkulasi, yakni nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (kurang dari 20 mmhg) atau hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab, dan penderita menjadi gelisah. d. Derajat IV Renjatan berat dengan nadi yang tidak dapat diraba dan tekanan darah yang tidak dapat diukur. 54

2.7. Nyamuk Penular Demam Berdarah Dengue Penyakit Demam Berdarah Dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Nyamuk ini menularkan virus dengue ke tubuh manusia melalui air liurnya yang masuk ke dalam aliran darah sehingga menimbulkan penyakit Demam Berdarah Dengue (dalam Tatalaksana Demam Dengue pada Anak, 2004). 2.7.1. Ciri dan Sifat Aedes Aegypti 1. Berwarna hitam dengan gelang-gelang (loreng) putih pada tubuhnya, dengan bercak-bercak putih pada sayap dan kakinya. 2. Berkembang biak di tempat penampungan air yang tidak beralaskan tanah, seperti bak mandi, tempayan, drum, dan barang-barang yang menampung air seperti kaleng, ban bekas, pot tanaman air, tempat minum burung, dan lain-lain. 3. Biasanya menggigit pada siang hari. 4. Nyamuk betina membutuhkan darah untuk mematangkan telurnya agar dapat meneruskan keturunannya. 5. Kemampuan terbangnya 100 meter. 2.7.2. Daur Hidup Adapun daur hidup nyamuk Aedes aegypti (dalam Kumpulan Surat Keputusan/Edaran tentang Pemberantasan Penyakit DBD,1992) adalah sebagai berikut. 1. Nyamuk betina meletakkan telurnya di tempat perkembangbiakannya. 2. Dalam beberapa hari telur menetas menjadi jentik, kemudian berkembang menjadi kepompong (7-10 hari), dan akhirnya menjadi nyamuk. 3. Dalam tempo 1-2 hari nyamuk yang baru menetas ini (yang betina) akan menggigit (menghisap darah) manusia dan siap untuk melakukan perkawinan dengan nyamuk jantan. 4. Setelah menghisap darah, nyamuk betina beristirahat sambil menunggu proses pematangan telurnya. Tempat beristirahat yang disukai adalah tumbuh-tumbuhan atau benda yang tergantung di tempat yang gelap dan lembab, berdekatan dengan tempat perkembangbiakannya. 5. Siklus menghisap darah dan bertelur ini berulang setiap 3-4 hari. 6. Bila menghisap darah penderita demam berdarah dengue atau carrier, maka nyamuk ini seumur hidupnya dapat menelurkan virus dengue, virus dengue ditelurkan nyamuk melalui air liurnya, maka dalam waktu 7 hari orang yang digigitnya dapat menderita sakit demam berdarah dengue, virus dengue memperbanyak diri dalam tubuh manusia dan akan berada dalam darah selama seminggu. 7. Umur nyamuk betina rata-rata 2-3 bulan. 2.8. Upaya Penanggulangan Penyakit DBD 2.8.1. Kebijaksanaan Mengingat obat dan vaksin pencegah penyakit DBD hingga saat ini belum tersedia, maka upaya pemberantasan penyakit DBD dititikberatkan pada pemberantasan nyamuk penularnya (Aedes aegypti), di samping kewaspadaan dini terhadap kasus DBD untuk membatasi angka kematian. Dalam pemberantasan penyakit DBD ini yang paling penting adalah upaya membasmi jentik nyamuk penularnya di tempat perindukannya dengan melakukan kegiatan 3M (dalam Epidemiologi dan Penanggulangan Penyakit DBD, 1999), yaitu: 1. Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali atau menaburkan bubuk abate ke dalamnya. 2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air. 3. Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan. Berdasarkan keputusan menteri kesehatan, KepMenkes No.581/1992 tentang Pemberantasan Penyakit 55

Demam Berdarah Dengue, maka upaya pemberantasan penyakit ini dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat yang pelaksanaannya di desa/kelurahan dilaksanakan melalui Pokja DBD-LKMD yang dibina secara berjenjang oleh Pokjanal Tim Pembina LKMD tingkat Kecamatan sampai dengan tingkat pusat (dalam Epidemiologi dan Penaggulangan DBD, 1999). 2.8.2. Strategi Strategi program DBD (dalam Epidemiologi dan Penanggulangan DBD,1999), meliputi: 1. Kewaspadaan dini penyakit DBD, guna mencegah dan membatasi terjadinya KLB/wabah penyakit dengan kegiatan bulan bakti gerakan 3M (penyuluhan intensif, kerja bakti, dan kunjungan rumah pemantauan jentik). 2. Pemberantasan vektor, antara lain: a. Penyemprotan (fogging) fokus pada lokasi ditemui kasus. b. Penyuluhan gerakan masyarakat dalam PSN DBD melalui penyuluhan dengan memanfaatkan berbagai jalur komunikasi dan informasi yang ada, melalui kerjasama lintas program dan sektor serta dikoordinasikan oleh kepala daerah/ wilayah. c. Abatisasi selektif (sweeping jentik) di seluruh wilayah/kota. d. Kerja bakti melakukan kegiatan 3M. 2.8.3. Kegiatan Pokok Penanggulangan Penyakit DBD Kewaspadaan dini dan penanggulangan pada kejadian penyakit DBD dilakukan melalui kegiatan penemuan/ pelaporan dan pertolongan penderita, serta tindakan untuk membatasi penularan penyakit menular yang dapat dilakukan sebagai berikut. a. Keluarga yang anggota keluarganya menunjukkan gejala penyakit DBD memberikan pertolongan pertama dengan cara memberi minum banyak, kompres dingin, dan memberikan obat penurun panas dan dianjurkan segera memeriksakan ke dokter atau institusi pelayanan kesehatan. b. Dokter atau petugas pelayan kesehatan memberikan pertolongan/ pengobatan kepada penderita/ tersangka penyakit DBD dan wajib segera melaporkan kepada dinas kesehatan/puskesmas. c. Kepala instansi termasuk kepala kantor, asrama, kepala sekolah yang mengetahui adanya penderita/ tersangka DBD wajib melaporkan kepada Puskesmas tempat domisili penderita/tersangka. d. Puskesmas yang menerima laporan tersebut, wajib melakukan penyelidikan epidemiologi untuk mencari penderita/tersangka DBD lainnya dan melakukan pemerikasaan jentik. e. PSN DBD dilakukan di RW/dusun yang terdapat penderita/tersangka DBD dan di Sekolah jika penderita/tersangka adalah anak sekolah. Pencegahan penyakit DBD dilakukan oleh setiap keluarga (masyarakat) terutama dengan melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) secara terus-menerus di rumah dan lingkungan kerjanya masingmasing. Maka dilaksanakan upaya pembinaan peran serta masyarakat, antara lain melalui: a. Penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit demam berdarah dan pencegahannya melalui media massa, sekolah, tempat ibadah, kader/pkk dan kelompok masyarakat lainnya. Kegiatan ini dilakukan setiap saat pada berbagai kesempatan. b. Pemantauan Jentik Berkala (PJB) dilakukan setiap 3 bulan di rumah dan tempat-tempat umum. Untuk pemantauan jentik berkala di rumah, dilakukan pemeriksaan sebanyak 100 rumah sampel untuk setiap desa/kelurahan. Hasil pemeriksaan ini diinformasikan pihak kesehatan kepada kepala wilayah/ daerah setempat sebagai evaluasi dan dasar penggerakan 56

masyarakat dalam PSN DBD. Diharapkan Angka Bebas Jentik (ABJ) setiap kelurahan/desa dapat mencapai lebih dari 95% akan dapat menekan penyebaran penyakit DBD. 2.8.4. Upaya Pemberantasan Vektor DBD oleh Masyarakat Cara yang tepat guna dalam pemberantasan penyakit DBD adalah melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), yaitu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dalam membasmi jentik nyamuk penular demam berdarah dengan cara 3M, yaitu menguras secara teratur seminggu sekali atau menaburkan abate ke tempat penampungan air bersih, menutup rapat-rapat tempat penampungan air, dan mengubur serta menyingkirkan kaleng-kaleng bekas, plastik, dan barang bekas lainnya yang dapat menampung air hujan sehingga tidak menjadi sarang nyamuk Aedes aegypti (dalam Epidemiologi dan Penanggulangan DBD,1995). Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD ini, kegiatan pengasapan adalah kegiatan yang hanya membunuh sebagian nyamuk dewasa Aedes aegypti vektor penular virus penyebab penyakit DBD. Selama jentik yang ada di tempat-tempat perindukan tidak diberantas setiap hari, akan muncul nyamuk-nyamuk baru yang menetas dan penularan penyakit akan terulang kembali. Untuk meningkatkan upaya pemberantasan penyakit DBD di Indonesia, mulai tahun 1998 diselenggarakan penggerakan masyarakat dalam Bulan Gerakan 3M yang dilakukan secara serentak. Kegiatan operasionalnya adalah dalam bentuk kampanye dan gerakan pemberantasan sarang nyamuk penular DBD selama 1 bulan sebelum perkiraan kemungkinan musim penularan, yaitu sebelum mulai terjadinya peningkatan jumlah kasus DBD. Pokok-pokok gerakan 3M, meliputi: 1. Penyuluhan intensif melalui berbagai media seperti TV, radio, surat kabar, dan lain-lain, penyuluhan kelompok maupun penyuluhan tatap muka oleh kaderkader di desa termasuk kader dasawisma, tokoh masyarakat, dan agama. 2. Kerja bakti secara serentak untuk membersihkan lingkungan termasuk tempat-tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari, setiap minggu, baik di rumah, sekolah, maupun di tempat-tempat umum lainnya. 3. Kunjungan dari rumah ke rumah untuk memeriksa jentik di tempattempat yang dapat menjadi perindukan nyamuk oleh tenaga terlatih dan menaburkan bubuk abate apabila masih ditemukan jentik nyamuk. Dengan Bulan Gerakan 3M yang dilakukan setiap tahun itu dan penyuluhan kepada masyarakat secara terus-menerus melalui berbagai media diharapkan 3M menjadi kegiatan yang selalu dikerjakan masyarakat (dalam Epidemiologi dan Penanggulangan,1999). 2.9 Kerangka Konsep KarakteristikResponden - Umur - Jenis Kelamin - Pendidikan - Pekerjaan Perilaku Masyarakat : - Pengetahuan - Sikap - Tindakan Kejadian DBD Dalam Anggota Keluarga 57

2.10. Hipotesa Penelitian 1. Ada hubungan pengetahuan masyarakat dengan kejadian DBD di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan. 2. Ada hubungan sikap masyarakat dengan kejadian DBD di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan. 3. Ada hubungan tindakan masyarakat dengan kejadian DBD di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan. diperoleh dengan rumus (Notoatmodjo,2002): N n = 1+ N( d ) 2 5368 n = 2 1+ 5368(0,1) n = 99,9 100 KK (jumlah sampel) 3. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian bersifat survai dengan rancangan sekat lintang (cross sectional) di mana pengukuran variabel pengetahuan, sikap, dan tindakan serta kejadian DBD dilakukan secara bersamaan atau dengan sekali pengukuran. 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan, dengan pertimbangan bahwa Kelurahan Helvetia Tengah, Medan, merupakan daerah endemis Demam Berdarah Dengue (DBD). 3.2.2. Waktu Penelitian Penelitian ini dialaksanakan selama 1 bulan, yaitu pada awal bulan Juni 2005 sampai dengan bulan Juli tahun 2005. 3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi Populasi penelitian ini adalah semua Kepala Keluarga (KK) yang tercatat dilokasi penelitian, yaitu sebanyak 5368 KK dengan catatan KK adalah orang yang dianggap lebih tua/dewasa dan mampu menjawab pertanyaan yang diajukan. 3.3.2. Sampel a. Besar Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah data sebagian dari populasi, yang Keterangan: n = besar sampel dengan populasi < 10.000 orang. N = besar populasi. d = tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan. b. Cara Pengambilan Sampel Sampel minimal dalam penelitian ini adalah 100 orang. Teknik pengambilan sampel dilakukan dalam 2 tahap, yaitu: 1. Sampling terhadap lingkungan oleh karena kelurahan ini terdiri dari 20 lingkungan, maka lingkungan yang diambil adalah 20%, yaitu sebanyak 4 lingkungan. Untuk lingkungan ini akan ditentukan berdasarkan lingkungan dengan kejadian DBD yang paling tinggi. 2. Pengambilan sampel dari 4 lingkungan di mana masing-masing lingkungan diambil sampel minimal 25 orang. Sampel dari masing-masing lingkungan ini ditentukan berdasarkan data dari Puskesmas untuk menentukan sampel yang pernah menderita DBD. Jika ditemukan sampel yang pernah menderita DBD maka data kontrol adalah tetangga sekitar penderita DBD tersebut. 3.4. Variabel Penelitian Variabel independen terdiri dari: 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Tindakan 58

Variabel dependen adalah kejadian DBD dalam anggota keluarga. 3.5. Definisi Operasional 1. Karakteristik Responden a. Umur adalah usia responden yang dikategorikan: 1. < 25 tahun. 2. 25 35 tahun. 3. > 35 tahun. b. Jenis kelamin adalah ciri-ciri penampilan fisik seseorang yang dibedakan atas laki- laki dan perempuan. c. Pendidikan adalah jenjang pendidikan yang pernah dilalui oleh responden yang terdri dari SD, SLTP, SLTA, dan akademi/perguruan tinggi. d. Pekerjaan adalah jenis mata pencaharian responden yang terdiri dari: PNS, wiraswasta, pegawai swasta, dan ibu rumah tangga. 2. Perilaku Masyarakat a. Pengetahuan adalah tahu masyarakat atau tingkat pemahaman masyarakat tentang penyakit DBD. Pengetahuan terdiri dari 7 pertanyaan, di mana untuk setiap pertanyaan terdiri dari beberapa opsi yang jawabannya benar. Jika responden memilih 1 opsi maka diberi skor 1, jika responden memilih 2 opsi maka diberi skor 2, dan jika responden memilih sama dengan 3 atau lebih opsi maka diberi skor 3. Selanjutnya dalam analisis pengetahuan dikategorikan menjadi 2 (Notoatmodjo 1985), yaitu: 1. Kurang Baik, jika skor total nilai pertanyaan pengetahuan < 75%. 2. Baik, jika skor total nilai pertanyaan pengetahuan 75%. Dengan aspek pengukuran sebagai berikut: 1. Kurang Baik, jika nilai pertanyaan responden tentang pengetahuan terhadap kejadian DBD 16. 2. Baik, jika nilai pertanyaan responden tentang pengetahuan terhadap kejadian DBD > 16. b. Sikap adalah reaksi atau respon masyarakat yang masih tertutup atau belum berupa tindakan tentang penyakit DBD. Sikap terdiri dari 10 pertanyaan, yang mana jika responden memilih pernyataan setuju maka diberi skor 3, jika responden memilih pernyataan tidak setuju/ragu-ragu maka diberi skor 2, dan jika responden memilih pernyataan tidak setuju diberi skor 1. Selanjutnya dalam analisis sikap dikategorikan menjadi 2 (Notoatmodjo 1985), yaitu: 1. Kurang Baik, jika skor total nilai pertanyaan sikap < 75%. 2. Baik, jika skor total nilai pertanyaan sikap 75%. Dengan aspek pengukuran sebagai berikut: 1. Kurang Baik, jika nilai pertanyaan responden tentang sikap terhadap kejadian DBD 23. 2. Baik, jika nilai pertanyaan responden tentang sikap terhadap kejadian DBD > 23. c. Tindakan adalah sesuatu tindakan yang dilakukan oleh masyarakat untuk menanggulangi penyakit DBD. Tindakan terdiri dari 5 pertanyaan yang mana jika responden menjawab selalu maka diberi skor 2, jika responden menjawab kadangkadang diberi skor 1 dan jika responden menjawab tidak pernah diberi skor 0. Selanjutnya dalam analisis tindakan dikategorikan menjadi 2 (Notoatmodjo 1985), yaitu: 1. Kurang Baik, jika skor total nilai pertanyaan tindakan < 75%. 59

2. Baik, jika skor total nilai pertanyaan tindakan 75%. Dengan aspek pengukuran sebagai berikut. 1. Kurang Baik, jika nilai pertanyaan responden tentang pengetahuan terhadap kejadian DBD 8. 2. Baik, jika nilai pertanyaan responden tentang pengetahuan terhadap kejadian DBD > 8. 3. Kejadian Demam Berdarah Dengue adalah suatu keadaan di mana terdapat satu atau lebih anggota keluarga yang pernah menderita penyakit Demam Berdarah Dengue. Terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue terdiri dari beberapa pertanyaan yang mana jika responden menjawab pernah maka diberi skor 1 dan jika responden menjawab tidak pernah maka diberi skor 2. 3.6. Teknik Pengumpulan Data 3.6.1. Data Primer Data primer diperoleh dengan metode wawancara yang menggunakan kuesioner tentang pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat terhadap kejadian DBD di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan. 3.6.2. Data Sekunder Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari instansi pemerintahan, yaitu Kelurahan dan Puskesmas Helvetia Tengah, Medan. 3.7. Teknik Pengolahan dan Penyajian Data Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah secara manual dengan bantuan komputer dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. 3.8. Teknik Analisa Data Untuk melihat hubungan dan faktor risiko variabel perilaku dengan kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue digunakan uji Chi Square dengan taraf signifikansi (α = 0,05). 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian 4.1.1. Gambaran Wilayah Penelitian Kelurahan Helvetia Tengah, Medan, merupakan salah satu Kelurahan yang terletak di Kecamatan Medan Helvetia, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara, di mana jarak antara kelurahan dengan kelurahan lainnya hanya dibatasi oleh jalan. Luas areal kelurahan secara keseluruhan 1.425 km 2 yang sebagian besar tanah dipergunakan adalah untuk pemukiman. Adapun batas-batas wilayah Kelurahan Helvetia Tengah, Medan, adalah sebagai berikut. a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Dwikora. b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Deli Serdang. c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Helvetia. d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Helvetia Timur. Menurut data yang diperoleh dari Kelurahan Helvetia Tengah, Medan, jumlah penduduk seluruhnya sebanyak 27.253 jiwa yang terdiri dari 13.536 jiwa laki-laki dan 13.717 jiwa perempuan yang terdiri dari 5368 Kepala Keluarga (KK). Untuk mengetahui distribusi penduduk berdasarkan jenis kelamin, kelompok umur, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4.1. Distribusi Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan, Tahun 2005 No Jenis Kelamin Frekuensi (%) 1 Laki-laki 13536 49,67 2 Perempuan 13717 50,33 Jumlah 27253 100 Sumber: Kantor Kelurahan Helvetia Tengah Medan Tahun 2005 60

Tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa distribusi penduduk menurut jenis kelamin yang paling besar adalah perempuan, yaitu sebanyak 13.717 (50,33%) dan yang terkecil adalah lakilaki sebanyak 13.536 (49,67%). Tabel 4.2. Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan, Tahun 2005 No Kelompok Umur Freku (%) (tahun) ensi 1 1 536 1,97 2 2 8 1749 6,42 3 9 15 2240 8,22 4 16 22 2294 8,42 5 23 29 2541 9,32 6 30 37 2499 9,17 7 38 44 2473 9,07 8 45 12921 47,41 Jumlah 27253 100 Sumber: Kantor Kelurahan Helvetia Tengah Medan Tahun 2005 Tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa distribusi penduduk menurut kelompok umur paling besar 45 tahun, yaitu sebanyak 12.921 orang (47,41%) dan yang terkecil adalah pada kelompok umur 1 tahun sebanyak 536 orang (1,97%). Tabel 4.3. Distribusi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan, Tahun 2005 No Tingkat Pendidikan Frekuensi (%) 1 SD 18480 73,69 2 SLTP 2927 11,67 3 SLTA 3257 12,99 4 Akademi 149 0,59 5 Sarjana 264 1,05 Jumlah 25077 100 Sumber: Kantor Kelurahan Helvetia Tengah Medan Tahun 2005 Tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa distribusi penduduk menurut tingkat pendidikan yang paling banyak adalah tamatan SD, yaitu 18480 orang (73,69%) dan yang terkecil adalah tamatan Akademi sebanyak 149 orang (0,59%). Tabel 4.4. Distribusi Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan, Tahun 2005 No Tingkat Pendidikan Jumlah (%) 1 PNS 643 10,87 2 TNI/Polri 134 2,27 3 Pegawai Swasta 3648 61,68 3 Wirawasta/Pedagang 940 15,90 4 Pertukangan 549 9,28 Jumlah 5914 100 Sumber: Kantor Kelurahan Helvetia Tengah Medan Tahun 2005 Tabel 4.4 di atas menunjukkan bahwa distribusi penduduk menurut jenis pekerjaan yang paling banyak adalah pegawai swasta sebanyak 3648 orang (61,68%) dan yang terkecil adalah TNI/Polri, yaitu 134 orang (2,27%). 4.1.2. Sarana dan Organisasi Kemasyarakatan Sarana yang dimiliki oleh Kelurahan Helvetia Tengah, Medan, adalah terdiri dari 1 kantor kepala desa/kelurahan, 11 unit mesjid dan 2 unit mushola serta 7 unit gereja. Sarana pendidikan terdiri dari 4 unit TK, 13 unit SD, 1 unit SLTP, dan 2 unit SLTA. Sedangkan sarana kesehatan terdiri dari 1 unit rumah sakit umum, 1 unit apotik, 12 unit Posyandu, dan 9 unit tempat praktik dokter. Adapun organisasi kemasyarakatan yang ada di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan, yaitu kelompok tim penggerak PKK, organisasi pemuda, majelis taklim, dan organisasi LKMD. 4.2. Karakteristik Responden Menurut Terjadinya DBD di dalam Keluarga 4.2.1. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur 61

Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Kelompok Umur di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan, Tahun 2005 No Kelompok Umur Frekuensi % (tahun) 1 < 25 28 28,0 2 25 35 32 32,0 3 > 35 40 40,0 Jumlah 100 100,0 Tabel 4.5 menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan kelompok umur terbesar adalah > 35 tahun sebanyak 40 KK (40,0%) dan terkecil adalah < 25 tahun sebanyak 28 KK (28,0%). 4.2.2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Kelamin di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan, Tahun 2005 No Jenis Kelamin Frekuensi % 1 Laki-laki 35 35,0 2 Perempuan 65 65,0 Jumlah 100 100,0 Tabel 4.6 di atas menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan jenis kelamin terbesar adalah perempuan, yaitu 65 KK (65,0%) dan terkecil laki-laki sebanyak 35 KK (35,0%). 4.2.3. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Tingkat Pendidikan di kelurahan helvetia Tengah, Medan, Tahun 2005 No Tingkat Frekuensi % Pendidikan 1 SD 18 18,0 2 SLTP 28 28,0 3 SLTA 34 34,0 4 Akademi 12 12,0 5 Sarjana 8 8,0 Jumlah 100 100,0 Tabel 4.7 di atas menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan terbesar pada tingkat pendidikan SLTA, yaitu 34 KK (34,0%) dan yang terkecil pada tingkat pendidikan Sarjana, yaitu 8 KK (8,0%). 4.2.4. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Pekerjaan di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan, Tahun 2005 No Jenis Frekuensi % Pekerjaan 1 PNS 29 29,0 2 Pegawai Swasta 16 16,0 3 Wiraswasta/Pe 19 19,0 dagang 4 Ibu Rumah 36 36,0 Tangga Jumlah 100 100,0 Tabel 4.8 di atas menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan jenis pekerjaan terbesar adalah ibu rumah tangga, yaitu 36 KK (36,0%) dan yang terkecil, yaitu pegawai swasta sebanyak 16 KK (16,0%). 4.2.5. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Tingkat Pengetahuan di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan, Tahun 2005 No Tingkat Frekuensi % Pengetahuan 1 Kurang Baik 65 65,0 2 Baik 35 35,0 Jumlah 100 100,0 Tabel 4.9 di atas menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan tingkat pengetahuan terbesar adalah berpengetahuan kurang baik sebanyak 65 KK (65,0%) dan terkecil berpengetahuan baik sebanyak 35 KK (35,0%). 62

4.2.6. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Tabel 4.10. Distribusi Frekuensi Responden (KK) Menurut Sikap di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan, Tahun 2005 No Sikap Frekuensi % Responden 1 Kurang Baik 44 44,0 2 Baik 56 56,0 Jumlah 100 100,0 Tabel 4.10 di atas menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan sikap yang terbesar adalah yang bersikap baik yaitu 56 KK (56,0%) dan yang terkecil adalah yang bersikap kurang baik, yaitu 44 KK (44,0%). 4.2.7. Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan Tabel 4.11. Distribusi Frekuensi Responden (KK) Menurut Tindakan di kelurahan Helvetia Tengah, Medan, Tahun 2005 No Tindakan Frekuensi % Responden 1 Kurang Baik 56 56,0 2 Baik 44 44,0 Jumlah 100 100,0 Tabel 4.11 di atas menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan tindakan yang terbesar adalah tindakan kurang baik sebesar 56 KK (56,0%) dan yang terkecil adalah tindakan baik sebesar 44 KK (44,0%). 4.3. Pembahasan 4.3.1. Analisa Tabulasi Silang Tingkat Pengetahuan Responden dengan Kejadian DBD Tabel 4.12 menunjukkan bahwa dari 65 KK, yang berpengetahuan kurang baik pernah menderita DBD sebesar 31 KK (79,49%) dan yang tidak pernah menderita DBD sebesar 34 KK (55,74%). Sedangkan dari 35 KK yang berpengetahuan baik pernah menderita DBD sebesar 8 KK (20,51%) dan yang tidak pernah menderita DBD sebesar 27 KK (44,26%). Berdasarkan uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,015 (p < 0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan yang bermakna antara pengetahuan dengan kejadian DBD, demikian juga berdasarkan perhitungan Odds Ratio (OR) dapat dilihat bahwa risiko kejadian DBD bagi responden yang berpengetahuan kurang baik lebih besar 3,077 kali dibandingkan dengan responden yang berpengetahuan baik. Dengan interval kepercayaan 95% untuk OR = 3,077 adalah 1,218-7,776. Dan nilai Prevalens Ratio (PR) = 2,087 yang berarti bahwa responden yang pengetahuannya kurang baik 2,087 kali lebih besar mempunyai kemungkinan menderita penyakit DBD jika dibandingkan dengan yang pengetahuannya baik. Ini berarti secara statistik ada hubungan signifikan antara pengetahuan dengan kejadian DBD. Hal ini didukung oleh penelitian kasus kontrol oleh Widyana (1997), yang membuktikan bahwa pengetahuan responden yang tidak mendukung/kurang baik merupakan faktor risiko yang cukup kuat dan bermakna terhadap kejadian DBD (OR = 3,04.,CI 95% = 1,50-9,46;p < 0,05). Dalam penelitian Usman cit. Yukresna (2004) diketahui bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian DBD dengan OR = 2,78 yang mana responden yang berpengetahuan kurang baik tentang DBD berisiko terkena DBD 2,78 kali dibandingkan dengan responden yang berpengetahuan baik. Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad cit. Cendrawirda (2003) di gunung Kidul mendapatkan bahwa pengetahuan yang kurang tentang penyakit DBD 41,6 kali risiko lebih besar untuk terjangkit DBD dibandingkan dengan mempunyai pengetahuan yang baik tentang DBD. 63

Tabel 4.13. Hubungan Sikap Responden dengan Kejadian DBD di Kelurahan Helvetia Tengah Medan Tahun 2005 No Sikap Kejadian DBD Cl 95% Responden Ya Tidak P OR Lower Upper F % F % 1 Kurang Baik 23 58,97 21 34,43 0,016 2,738 1,196 6,269 2 Baik 16 41,03 40 65,57 Jumlah 39 100 61 100 Tabel 4.14. Hubungan Tindakan Responden dengan Kejadian DBD di Kelurahan Helvetia Tengah Medan Tahun 2005 No Tindakan Kejadian DBD Cl 95% Responden Ya Tidak P OR Lower Upper F % F % 1 Kurang Baik 30 76,92 26 42,62 0,001 4,487 1,822 11,051 2 Baik 9 23,08 35 57,38 Jumlah 39 100 61 100 Menurut Sumarmo (1998) sikap yang kurang baik terhadap kejadian DBD merupakan faktor risiko penyebab terjadinya penyakit DBD. Hal ini dilatarbelakangi oleh pengetahuan yang kurang baik maka akan diikuti oleh sikap yang kurang baik. Penelitian yang dilakukan oleh Widyana (1997) menunjukkan bahwa sikap responden yang tidak mendukung/kurang baik merupakan faktor risiko terhadap kejadian DBD 3,04 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang sikapnya baik. 4.3.3. Analisis Tabulasi Silang Tindakan Responden Dengan Kejadian DBD Tabel 4.14 menunjukkan bahwa dari 56 KK, yang tindakannya kurang baik pernah menderita DBD lebih besar, yaitu 30 KK (76,92%) dan yang tidak pernah menderita DBD, yaitu 26 KK (42,62%). Sedangkan dari 44 KK yang tindakannya baik tidak pernah menderita DBD lebih besar yaitu 35 KK (57,38%) dan yang pernah menderita DBD terkecil, yaitu 9 KK (23,08%). Berdasarkan uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,001 (p < 0,05) yang berarti ada hubungan yang bermakna antara tindakan dengan kejadian DBD, demikian juga berdasarkan perhitungan Odds Ratio (OR) dapat dilihat bahwa risiko kejadian DBD bagi responden yang tindakannya kurang baik lebih besar 4,487 kali dibandingkan dengan responden yang tindakannya baik. Dengan interval kepercayaan 95% untuk OR = 4,487 adalah 1,822-11,051. Dan nilai Prevalens Ratio (PR) = 2,619 yang berarti bahwa responden yang tindakannya kurang baik 2,619 kali lebih besar mempunyai kemungkinan menderita penyakit DBD jika dibandingkan dengan responden yang tindakannya baik Ini berarti secara statistik ada hubungan yang signifikan antara tindakan dengan kejadian DBD. Hal tersebut dapat diasumsikan karena latar belakang pengetahuan dan sikap yang kurang baik yang akan diikuti oleh tindakan yang kurang baik dalam menanggapi terjadinya penyakit DBD demikian juga dengan kurangnya inisiatif dari masyarakat untuk menjaga dan memelihara lingkungan sekitarnya sehingga mengakibatkan terjadinya penyakit dan memudahkan penularannya kepada orang sehat. 64

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1. Ada hubungan tingkat pengetahuan responden/masyarakat dengan kejadian DBD di Kelurahan Helvetia Tengah, Medan, yang mana tingkat pengetahuan yang kurang baik tentang kejadian DBD sebagian besar pernah menderita DBD yaitu 79,49% dan yang tingkat pengetahuannya baik pernah menderita DBD lebih kecil, yaitu 20,51%. Berdasarkan perhitungan Odds Ratio (OR) risiko kejadian DBD pada responden yang pengetahuannya kurang baik lebih besar 3,077 kali dibandingkan dengan responden yang pengetahuannya baik dengan Prevalens Ratio = 2,087. 2. Ada hubungan sikap responden/ masyarakat dengan kejadian DBD yang ditandai dengan besarnya sikap responden yang kurang baik pernah menderita DBD, yaitu 58,97% dan sikap yang baik pernah menderita DBD lebih kecil, yaitu 41,03%. Berdasarkan perhitungan Odds Ratio (OR) risiko kejadian DBD pada responden yang sikapnya kurang baik lebih besar 2,738 kali dibandingkan dengan responden yang sikapnya baik dengan Prevalens Ratio = 1,829. 3. Ada hubungan tindakan responden/ masyarakat dengan kejadian DBD, di mana tindakan yang kurang baik pernah menderita DBD lebih besar, yaitu 76,92% dan terkecil adalah yang tindakannya baik pernah menderita DBD yaitu 23,08%. Berdasarkan perhitungan Odds Ratio (OR) risiko kejadian DBD pada responden yang tindakannya kurang baik lebih besar 4,487 kali dibandingkan dengan responden yang tindakannya baik dengan Prevalens Ratio = 2,619. 5.2. Saran 1. Kelurahan Helvetia Tengah merupakan daerah endemis DBD, maka hendaknya pihak pemerintah dalam hal ini Pemda dan petugas kesehatan meningkatkan penyuluhan secara rutin kepada masyarakat mengenai penyakit DBD untuk mencapai masyarakat dengan perilaku yang baik dalam memelihara kesehatan diri dan lingkungan sekitarnya. 2. Diharapkan bagi seluruh masyarakat agar ikut serta berpartisipasi dalam upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD). 65