Decentralisation Brief



dokumen-dokumen yang mirip
Decentralisation Brief

Decentralisation Brief

C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h. Governance Brief

Decentralisation Brief

Kabar dari Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau

Governance Brief. Dampak Kebijakan IPPK dan IUPHHK Terhadap Perekonomian Masyarakat di Kabupaten Malinau

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

Dampak Otonomi Khusus di Sektor Kehutanan Papua

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI IRIAN JAYA NOMOR 121 TAHUN 2001 T E N T A N G

NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

Menimbang : Mengingat :

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 317/KPTS-II/1999 TAHUN 1999 TENTANG

BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II SINTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

Governance Brief. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN. Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II KAPUAS HULU

Governance Brief. Bagaimana masyarakat dapat dilibatkan dalam perencanaan tata ruang kabupaten? Penglaman dari Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 72 TAHUN 2002 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU BULAT JENIS MERBAU DI PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

Kabar dari Lokakarya Membangun Agenda Bersama II Setulang, 4-6 Desember 2000

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 732/Kpts-II/1998 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBAHARUAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN

BAB 3 OBJEK PENELITIAN. IKH termuat di dalam Akte Pendirian Perseroan. Akte ini telah disahkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 33 TAHUN 2002 T E N T A N G

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/Permentan/OT.140/9/2013 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.23/Menhut-II/2007 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2014 NOMOR 2 SERI E

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 15 TAHUN 2010 T E N T A N G TATA CARA IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU RAKYAT

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 132 TAHUN 2010 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI TANAH DATAR PROPINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG IJIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR NOMOR: 09 TAHUN 2002 T E N T A N G IZIN KHUSUS PENEBANGAN JENIS KAYU ULIN GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

Lokakarya Bangun Agenda Bersama III di Tanjung Nanga, April 2002

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN ACEH TIMUR

LUAS KAWASAN (ha)

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI. Presiden Republik Indonesia,

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.186/MENHUT-II/2006 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,

Warta Kebijakan. Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Dasar Hukum

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan.

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERIZINAN PEMANFAATAN HASIL BUKAN KAYU

- 1 - B U P A TI B O L A A N G M O N G O N D O W U T A R A KEPUTUSAN BUPATI BOLAANG MONGONDOW UTARA NOMOR 96 TAHUN 2012

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

No. 8, April 2005 Forests and Governance Programme Can decentralisation work for forests and the poor? Akses Masyarakat Adat Terhadap Peluang-peluang Pembangunan Kehutanan di Kabupaten Manokwari Oleh Max J. Tokede, Dede Wiliam, Siân McGrath, dan Yosias Gandhi Pendahuluan Era desentralisasi di Papua berawal pada tahun 2000 ketika mereka memperoleh Otonomi Khusus (Otsus). Sejak saat itu paradigma baru dalam pengelolaan hutan di Papua telah beralih ke pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Kebijakan desentralisasi dianggap lebih sesuai untuk menjembatani keinginan dan kepentingan antara masyarakat hukum adat (lokal) dengan kepentingan pembangunan sektor kehutanan secara luas. Perubahan ini memberikan kesempatan pada masyarakat setempat sebagai pemilik hak ulayat 1 untuk berperan aktif dalam pengelolaan hutan seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 21/2001 2 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua, yang juga dijelaskan dalam Pasal 67 ayat 1 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Foto oleh Douglas Sheil Masih dalam kerangka desentralisasi, pada bulan Mei 1999 Menteri Kehutanan mengeluarkan dua keputusan yang mengatur hak-hak masyarakat lokal untuk memperoleh manfaat dari hasil hutan 3. Keputusan Menteri (Kepmen) ini memberikan kesempatan pada masyarakat lokal untuk menggunakan haknya dalam mengelola dan mendapatkan hasil hutan serta memberikan wewenang pada pemerintah kabupaten dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang ada di daerahnya, baik itu hutan adat atau hutan negara. Berdasarkan kebijakan tersebut, kelompok-kelompok masyarakat yang telah memperoleh pengakuan resmi seperti koperasi masyarakat atau kelompok lainnya, dan/atau perusahaan swasta dapat memperoleh hak pengelolaan hutan skala kecil dalam bentuk HPHH (Hak Pemungutan Hasil Hutan) atau HPHH-MA (Hak Pemungutan Hasil Hutan untuk Masyarakat Adat). Kepmen pertama yaitu No. 310/kpts-II/1999 yang mengatur mengenai HPHH yang pada saat sekarang sudah tidak berlaku lagi 4 memberikan peluang pada masyarakat lokal untuk dapat memperoleh manfaat dari hutan, melalui pemungutan hasil hutan dari izin konsesi seluas 100 ha selama satu tahun. Kebanyakan pemerintah kabupaten di seluruh Indonesia menjadikan ketentuan ini sebagai acuan untuk menetapkan kebijakan mengenai pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat di daerahnya masing-masing. Sementara itu, Kepmen yang kedua mengenai (HPHH-MA) mengatur kegiatan-kegiatan yang bersifat non komersial. Aturan ini masih berlaku dan memungkinkan masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan baik di dalam maupun di luar hutan negara dalam jangka waktu yang tak terbatas. Hal tersebut di jelaskan dalam aturan pelaksanaannya yang ditetapkan dalam Keputusan Dirjen 5. Selama desentralisasi berlangsung, baru Provinsi Papua (yang pada saat ini telah terbagi menjadi dua provinsi yaitu Irian Jaya Barat dan Papua) yang telah mengimplementasikan ketentuan pelaksanaan hak-hak pemungutan hasil hutan oleh masyarakat adat (HPHH-MA) tersebut. Kebijakan dari Pemerintah Pusat yang mengatur hak-hak pemungutan hasil hutan oleh masyarakat adat cenderung kontradiktif satu sama lain. Sebagai contoh, Kepmen yang menetapkan bahwa Bupati diberi kewenangan untuk mengeluarkan perizinan untuk pengelolaan hutan oleh masyarakat, sementara keputusan Center for International Forestry Research (CIFOR)

Tabel 1. Analisis kebijakan sistem alokasi perizinan di Kabupaten Manokwari Komponen Kebijakan Pemerintah Pusat Kebijakan Pemerintah Provinsi Kebijakan Pemerintah Kabupaten Dasar Acuan Hal-hal yang diatur dalam Pemanfaatan hutan Yang berhak memiliki izin Kewenangan Pemerintah Daerah Petunjuk Pelaksanaan dan Fungsi Pengawasan Jangka waktu SK Menteri No. 317/kpts-II/1999 tentang Pedoman Pemberian Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat pada Areal Hutan Produksi; petunjuk pelaksanaannya dijabarkan dalam SK Dirjen PHP No.199/kpts/VI-SET/1999. Ambiguitas hukum: SK Menteri menetapkan hanya tujuan-tujuan pemungutan secara non komersial yang diperbolehkan, tetapi aturan pelaksanaannya juga mengatur pemanfaatan secara komersial. Lembaga atau organisasi masyarakat adat yang telah memperoleh pengakuan resmi melalui SK Bupati berhak memiliki izin pemungutan hasil hutan. Ambiguitas hukum: SK Menteri memberikan kewenangan pada Bupati untuk mengeluarkan perizinan, tetapi SK Dirjen menetapkan bahwa Kepala Dinas Kehutanan, dengan persetujuan Gubernur, adalah pejabat berwenang yang mengeluarkan perijinan. Tanggung jawab pengawasan/ pelaksanaan ada pada Dinas Kehutanan Kabupaten; tetapi Dinas Kehutanan Provinsi memiliki tanggung jawab atas proses permohonan dan pemberian izin. Keputusan ini tidak memberikan petunjuk pelaksanaan teknis. Ambiguitas hukum: SK Menteri tidak menetapkan jangka waktu tertentu untuk pemungutan hasil hutan (untuk tujuan non komersial saja), tetapi SK Dirjen sebagai aturan pelaksanaannya menetapkan jangka waktu tak terbatas, yaitu sepanjang masyarakat masih ada (termasuk untuk pemungutan komersial). SK Gubernur No. 522.2/3386/SET/2002 tentang Penyusunan IPK-MA; petunjuk pelaksanaannya dijabarkan dalam SK Kepala Dinas Kehutanan Papua) No. 522.1/1648/2002. Pemungutan hasil hutan untuk tujuan-tujuan komersial. Kelompok atau organisasi masyarakat yang berbadan hukum, mitra kerja, pemilik izin HPH atau IPK, dan koperasi peran serta masyarakat (Kopermas). Kepala Dinas Kehutanan Provinsi berwenang untuk mengeluarkan perizinan dengan rekomendasi dari Dinas Kehutanan Kabupaten. Dinas Kehutanan Kabupaten bertanggung jawab bagi pengawasan dan pelaksanaan perizinan IPK-MA. Petunjuk pelaksanaan teknis ada, tetapi tidak dijelaskan secara rinci. Perizinan berlaku selama satu tahun dengan kemungkinan perpanjangan. Luas wilayah Tidak dijelaskan. 250 1.000 ha. 2.000 ha. Daerah hutan Kawasan hutan negara (areal hutan produksi dan konversi). Upaya Penyelamatan Lingkungan Pajak yang dibayarkan Diharuskan menanam kembali sejumlah pohon yang ditebang. Kawasan hutan negara yang diperuntukkan sebagai areal hutan produksi, baik yang sudah ada atau belum terdapat HPH di dalamnya, dan dalam wilayah APL (Areal Penggunaan Lain). Diharuskan menanam kembali sejumlah pohon yang ditebang. SK Bupati Manokwari No. 274/2004 tentang Perizinan untuk Pengelolaan Hutan Adat dalam Hutan Negara di areal hutan produksi (IHPHA). Pemungutan hasil hutan untuk tujuan-tujuan komersial. Keputusan ini menegaskan bahwa izin hanya diberikan pada koperasi peran serta masyarakat (Kopermas) Bupati berwenang mengeluarkan perizinan berdasarkan rekomendasi teknis dari Dinas Kehutanan Kabupaten. Tanggung jawab pengawasan dan pelaksanaan ada pada Dinas Kehutanan Kabupaten. Keputusan ini mengatur secara lebih rinci dan jelas mengenai Petunjuk pelaksanaan teknis di lapangan. Perizinan berlaku selama 20 tahun. Kawasan hutan negara yang diperuntukkan sebagai areal hutan produksi, baik yang sudah ada atau belum terdapat HPH di dalamnya, dan dalam wilayah hutan adat (daerah di luar kawasan hutan negara). Teknis pelaksanaan rehabilitasi dan reforestasi lebih jelas karena mengacu pada hasil inventarisasi hutan. Penebangan selektif dengan penanaman kembali (sistem TPTI); atau sistem Tebang Habis dengan regenerasi buatan. Pilihan sistem yang diambil harus menyertakan rencana pengelolaan hutan lindung. DR dan PSDH. DR dan PSDH. Menetapkan tenggat pajak dan retribusi kehutanan. 2 Akses Masyarakat Adat Terhadap Peluang-peluang Pembangunan Kehutanan

pelaksanaannya (SK Dirjen) membebankan tanggung jawab ini kepada Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten, dengan persetujuan dari Gubernur. Pada kenyataannya, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten cenderung memilih dan memilah sendiri kebijakan mana yang akan mereka ikuti atau yang lebih menguntungkan bagi mereka. Di Papua, Pemerintah Provinsi telah merancang perundangan yang memberikan kewenangan kepada Gubernur untuk mengeluarkan perizinan pemungutan hasil hutan kayu berbasis masyarakat. Contoh lainnya adalah ketika Kepmen hanya merujuk pada kegiatan-kegiatan pemungutan non komersial, SK Dirjen sebagai keputusan pelaksanaannya malah cenderung merujuk pada kegiatan-kegiatan pemungutan hasil hutan untuk tujuan komersial. Padahal kebijakan-kebijakan tersebut menjelaskan bahwa kegiatan pemungutan hasil hutan oleh masyarakat adat diperbolehkan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan dan mencakup daerah yang juga tidak disebutkan luasan maksimumnya. Hal ini mengakibatkan terdapat perbedaan alokasi luas wilayah dan kerangka waktu masa berlaku izin pemungutan hasil hutan antara perizinan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi dengan pemerintah-pemerintah kabupaten di Papua. Sejak desentralisasi berlangsung di kabupaten Manokwari, sedikitnya ada tiga cara bagi masyarakat adat untuk memperoleh akses terhadap sumberdaya hutan. Pertama, mereka dapat berunding dengan pemilik konsesi HPH untuk memperoleh kompensasi finansial; Kedua, mereka dapat mengajukan permohonan kepada Pemerintah Kabupaten untuk mendapatkan IHPHA (Izin Hak Pengelolaan Hutan Adat); Ketiga, mereka dapat mengajukan permohonan pada Pemerintah Provinsi untuk mendapatkan IPK- MA (Izin Pemanfaatan Kayu oleh Masyarakat Adat). Sejalan dengan peraturan perundangan nasional, Pemerintah Provinsi dapat mengeluarkan IPK-MA kepada perorangan, perusahaan swasta yang bermitra dengan masyarakat adat, organisasi masyarakat adat seperti Lembaga Masyarakat Hukum Adat (LMHA), atau koperasi masyarakat (Kopermas). Namun dalam prakteknya, Pemerintah Provinsi Papua hanya mengeluarkan perizinan bagi masyarakat yang secara resmi membentuk lembaga ekonomi masyarakat atau koperasi yang dikenal sebagai Kopermas 6. Tabel 1 menyajikan secara lengkap analisis kebijakan sektor kehutanan, khususnya yang terkait dengan akses masyarakat terhadap pengambilan keputusan dan perolehan manfaat dari hasil hutan di era desentralisasi. Beberapa hal penting dari hasil analisa tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Seiring berjalannya Otonomi khusus di Papua, selain konsesi-konsesi HPH skala besar yang ada masih terus beroperasi, Pemerintah Pusat juga masih mengeluarkan perizinan HPH baru di provinsi tersebut. Dengan kewenangan barunya, Pemerintah provinsi menyikapi hal tersebut dengan mengeluarkan kebijakan 7 yang mewajibkan pemilik konsesi HPH untuk memberikan ganti rugi atas kayu yang mereka peroleh dari hutan kepada masyarakat pemilik hak ulayat. 2. Sejak tahun 2002, masyarakat lokal memiliki akses lebih besar terhadap pemanfaatan hasil hutan dengan mengajukan permohonan pada pemerintah provinsi 8 untuk memperoleh IPK-MA. Perizinan ini meliputi daerah seluas 250-1.000 ha yang berlaku selama satu tahun. 3. Pada bulan April 2004, Pemerintah Kabupaten Manokwari mengeluarkan IHPHA yang memberikan kesempatan pada Kopermas untuk mengelola hutan seluas 2.000 ha, dalam kurun waktu dua puluh tahun 9. Kebijakan kabupaten yang baru ini menetapkan bahwa hanya Kopermas yang berhak memperoleh perizinan IHPHA. Secara singkat, kebijakan tersebut menjelaskan peran dan kewajiban jangka panjang bagi investor dalam pengembangan SDM lokal (seperti pelatihan, pengembangan aktivitas pemanfaatan kayu oleh masyarakat); pembangunan infrastruktur setempat; serta mekanisme kerjasama antara Kopermas dengan mitra kerja (investor). Misalnya, dalam kebijakan ini ditegaskan bahwa mitra kerja Kopermas harus berdomisili di Manokwari dan telah menjalankan usahanya secara terus menerus selama sekurang-kurangnya tiga tahun. Masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan karena perijinan yang diberikan pada Kopermas juga harus disetujui oleh Lurah atau Camat, dengan sepengetahuan masyarakat setempat. Untuk menjamin kelayakan dan ketersediaan lahan yang memadai untuk IHPHA dan juga untuk menjamin masyarakat setempat dapat memperoleh manfaat dari sistem baru ini, Pemerintah Kabupaten Manokwari mewajibkan pemilik konsesi HPH untuk mengalokasikan seluas-luasnya 10.000 ha dari areal konsesi mereka untuk masyarakat adat yang mengajukan izin IHPHA 10. Dengan membandingkan analisis terhadap kebijakankebijakan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten tentang sistem perizinan pemanfaatan hutan oleh masyarakat adat tersebut terbentuk gambaran bahwa Pemerintah Kabupaten Manokwari cukup memiliki komitmen kuat untuk memperbaiki penghidupan masyarakatnya; mendukung konservasi dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan; serta mempertahankan sumber-sumber alam setempat dari oknum investor atau mitra kerja Kopermas yang tidak bertanggung jawab. Perubahan Paradigma dalam Pengelolaan Hutan di Papua Dalam masa Orde Baru, kebijakan Pemerintah Pusat terhadap HPH skala besar adalah menyarankan dilakukannya program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH 11 ). Dalam kenyataannya, di Papua seperti kebanyakan kabupaten di seluruh Indonesia masyarakat setempat menerima sangat sedikit keuntungan dari hasil hutan maupun dari program PMDH tersebut. Akses Masyarakat Adat Terhadap Peluang-peluang Pembangunan Kehutanan 3

Analisis kami menunjukkan bahwa dalam era desentralisasi penyerahan kewenangan kepada tingkat otoritas yang lebih rendah sangat berpengaruh pada peningkatan akses masyarakat atas keuntungankeuntungan finansial jangka pendek. Pada beberapa kasus, keterbukaan di era desentralisasi juga memperbaiki akses masyarakat pada pengambilan keputusan, setidaknya yang berhubungan dengan pemungutan hasil-hasil hutan di daerah mereka sendiri. Tabel 2 menggambarkan perbandingan dari akses masyarakat lokal terhadap manfaat yang diperoleh dari hutan dan dalam pengambilan keputusan sebelum dan sesudah desentralisasi. Kesempatan masyarakat lokal untuk dapat berperan dalam pembangunan jangka panjang sektor kehutanan di Manokawari terhambat oleh beberapa faktor seperti: kekurangan modal, keahlian dan teknologi untuk mengelola sumberdaya hutan mereka secara mandiri. Masyarakat lokal belum cukup memiliki kemampuan bernegosiasi dengan mitra kerja, apalagi jika harus berhubungan dengan perusahaan-perusahaan kayu yang lebih berpengalaman. Dari hasil pengamatan di lapangan terbukti bahwa sebagian investor memanfaatkan beberapa kelompok masyarakat lokal untuk keuntungan mereka sendiri. Namun demikian, pada sebagian kelompok masyarakat lain juga ada yang berhasil membuat perjanjian-perjanjian yang lebih seimbang dengan investor melalui sistem Kopermas. Perjanjian tersebut pada umumnya mengatur hal-hal yang berhubungan dengan perolehan keuntungan dari pemanfaatan hutan seperti: uang ketuk pintu; pembagian keuntungan per meter kubik dari produksi kayu; pembangunan infrastruktur lokal dan kegiatan penanaman hutan adat pasca penebangan; dan berbagai bentuk ganti rugi pemanfaatan lahan. Kesepakatan akhir bisa sangat berbeda antar satu Kopermas dengan yang lainnya. Sebagai contoh, uang ketuk pintu yang harus dibayarkan pada masyarakat adat pemilik ulayat di Manokwari berkisar antar Rp 10-60 juta untuk setiap konsesi seluas 1.000 ha. Selain itu, setiap Kopermas juga memiliki ketentuan dan cara tersendiri dalam mendistribusikan keuntungan yang diperoleh dari kerjasama dengan investor tersebut diantara para anggotanya. Pada beberapa Kopermas, selain dalam bentuk uang, hasil keuntungan juga dipergunakan untuk investasi proyek-proyek jangka panjang seperti jembatan, jalan, perumahan, sarana angkutan masyarakat, pendidikan ataupun pelatihan. Secara umum keuntungan finansial yang diperoleh masyarakat melalui kemitraan dengan pemilik konsesi HPH lebih kecil daripada dengan investor non-hph. Sebagai contoh, pemilik konsesi HPH membayar paling tinggi Rp. 50.000/m 3, sementara investor non-hph bersedia membayar sampai Rp. 200.000/ m 3 untuk jenis kayu yang sama. Pemilik konsesi HPH beralasan bahwa mereka telah memberikan berbagai manfaat tidak langsung bagi masyarakat lokal dengan membangun infrastruktur jalan dan tempat penampungan kayu tebangan, yang juga dapat digunakan bebas oleh Kopermas dan investor non-hph. Dari hasil kerjasama dengan mitra kerja, beberapa anggota masyarakat perorangan juga dipekerjakan dalam kegiatan pemungutan hasil hutan. Namun, kurangnya pengalaman dalam usaha kehutanan Tabel 2. Perbandingan akses atas keuntungan dan pengambilan keputusan Kategori Pemilik ijin Kegiatan Pemungutan kayu Keuntungan yang diperoleh masyarakat adat Pengambil Keputusan Ijin HPH Pra Desentralisasi Perusahaan swasta. Oleh pemilik konsesi. Program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Pemerintah pusat. Ijin Pemanfaatan Hutan di Era Desentralisasi HPH IPK-MA IHPHA Perusahaan Kopermas. Kopermas. swasta. Oleh pemilik Oleh mitra kerja Oleh mitra kerja atau konsesi, tapi atau oleh Kopermas. oleh Kopermas. ditekankan untuk dapat bermitra dengan Kopermas. Program PMDH, uang ketuk pintu dan ganti rugi pemanfaatan lahan. Pemerintah pusat dan provinsi, pemilik HPH, perwakilan masyarakat lokal. Uang ketuk pintu, bagi hasil produksi kayu, dan ganti rugi pemanfaatan lahan. Pemerintah provinsi, masyarakat lokal, Kopermas, dan mitra kerja. Selain pembagian keuntungan, dan ganti rugi pemanfaatan lahan, masyarakat juga mendapat beragam keuntungan yang lebih luas dan kesempatan bernegosiasi dengan mitra kerja. Pemerintah kabupaten, masyarakat adat, Kopermas, dan mitra kerja. 4 Akses Masyarakat Adat Terhadap Peluang-peluang Pembangunan Kehutanan

komersial, kesempatan-kesempatan kerja yang ada pun hanya terbatas pada tenaga kerja kasar seperti pemandu jalan atau buruh angkut untuk bongkar muat kayu di tempat pengumpulan kayu (TPK). Saat ini masyarakat masih bergantung pada investor, yang sewaktu-waktu bisa meninggalkan mereka dengan masalah yang ditimbulkan dari eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan. Kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pengakuan dan penghormatan terhadap hak masyarakat hukum adat atas wilayah ulayatnya masih lebih banyak nuansa politis daripada pertimbangan teknis, ekonomis maupun penguatan kapasitas masyarakat. Upaya-upaya penguatan kapasitas masyarakat dalam kelembagaan, manajemen usaha dan teknis belum menjadi prioritas utama. Untuk itu, diharapkan lahirnya suatu kebijakan baru yang lebih menjamin posisi tawar masyarakat lokal terhadap investor dari luar. Misalnya dengan mewajibkan calon investor untuk melibatkan anggota masyarakat dalam proses penebangan kayu maupun kegiatan administrasi sehingga terjadi alih teknologi dan pengembangan kemampuan masyarakat lokal dalam usaha kehutanan. Untuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan, sebelum memperoleh ijin, harus pula ditegaskan akan perlunya membuat rencana yang rinci untuk kegiatan produksi dan rehabilitasi dalam pola kemitraan dengan masyarakat lokal. Kesimpulan Tingkat keterlibatan masyarakat lokal dalam pembuatan keputusan dan dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya hutan berbeda-beda karena beberapa alasan. Di Manokwari, terjadi kasus-kasus eksploitasi ekstrim maupun kasus-kasus di mana masyarakat lokal mendapatkan kesepakatan yang relatif baik dengan pola pemanfaatan hutan melalui IPK-MA. Hal ini merupakan pelajaran berharga bagi Pemerintah Kabupaten untuk menuju ke arah penerapan pemerintahan yang lebih baik. Pemberian ijin skala kecil untuk pemanfaatan hutan telah menumbuhkan harapan baru bagi masyarakat lokal untuk merasakan manfaat dari hutan mereka yang walaupun saat ini masih terbatas pada keuntungan jangka pendek. Dengan pengelolaan Kopermas yang lebih baik, masyarakat dapat memperoleh modal yang cukup memadai untuk penghidupan mereka dan juga memungkinkan untuk menginvestasikannya dalam inisiatif-inisiatif pembangunan jangka panjang. Hal ini pada akhirnya diharapkan dapat memperbaiki kualitas kehidupan mereka di masa depan. Masyarakat hukum adat di Manokwari saat ini dapat memilih untuk mengajukan permohonan izin pengelolaan hutan berjangka waktu 20 tahun dari pemerintah kabupaten (IHPHA) atau satu tahun (IPK-MA) dari pemerintah provinsi. Dengan adanya ketetapan-ketetapan yang lebih menguntungkan masyarakat dalam kebijakan perizinan kabupaten, besar kemungkinannya masyarakat yang sedang mencari perizinan baru akan memilih perizinan kabupaten. Sampai dengan akhir tahun 2004, pemerintah provinsi Irian Jaya Barat, masih terus mengeluarkan perizinan IPK-MA bagi Kopermas di Manokwari bersamaan dengan sistem perizinan baru (IHPHA) yang dikeluarkan oleh kabupaten. Untuk IPK-MA, pemerintah provinsi berwenang untuk menilai permohonan yang diajukan sekaligus memberikan perizinannya, akan tetapi Foto oleh Douglas Sheil Akses Masyarakat Adat Terhadap Peluang-peluang Pembangunan Kehutanan 5

pemerintah kabupaten yang kemudian bertanggung jawab untuk mengawasi pelaksanaan, pengawasan dan penerapan aturan-aturan yang ditetapkan oleh provinsi. Pemisahan proses penilaian dan pembagian perizinan dari proses pengawasan maupun pelaksanaannya tersebut mengurangi akuntabilitas dan keberhasilan dari sistem ini. Pemerintah provinsi seharusnya memastikan terlebih dahulu adanya perjanjian tertulis antara Kopermas dan para investor swasta, dan hanya mengeluarkan izin setelah mereka yakin akan adanya jaminan kesejahteraan bagi masyarakat pemilik ulayat dalam perjanjian tersebut. Sering terjadi bahwa investor swasta tidak memenuhi janji atau kesepakatan yang dibuat di awal kerjasama dengan masyarakat, tetapi sulit untuk diproses ke jalur hukum karena tidak ada bukti tertulis. Beberapa kelompok masyarakat yang telah menandatangani sebuah perjanjian bahkan tidak mendapat salinan perjanjian tersebut. Selama ini masih tidak jelas apakah Dinas Kehutanan Provinsi atau kabupaten atau Dinas Koperasi (karena Kopermas secara formal berada dibawah naungan departemen koperasi) mendapatkan semua salinan perjanjian kerjasama tersebut. Ketidakjelasan administrasi ini juga sedikit banyak menghambat masyarakat lokal untuk menuntut tanggung jawab dan akuntabilitas para investor. Faktor lain yang juga memicu adanya kesenjangan posisi antara pemangku kepentingan di bidang kehutanan adalah rendahnya tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat lokal atas sistem perizinan (IPK-MA maupun IHPHA) dan juga tentang Kopermas itu sendiri. Kebijakan provinsi ataupun kabupaten sampai saat ini belum mengatur bentuk hukuman apapun bagi investor ataupun Kopermas yang melanggar perjanjian kerjasama atau yang tidak memenuhi peraturan perundangan tentang konservasi lingkungan (termasuk masalah rehabilitasi dan regenerasi hutan) yang ditimbulkan dari kegiatan mereka. Rekomendasi Beberapa hal yang dapat kami rekomendasikan untuk pengelolaan sektor kehutanan di Manokwari antara lain sebagai berikut: Mengembangkan dan memperkuat koordinasi antara pihak-pihak yang terkait di sektor kehutanan di tingkat lokal, kabupaten maupun provinsi. Dinas Kehutanan Kabupaten hendaknya juga diberi peran yang lebih besar dalam proses penilaian permohonan perizinan yang diajukan pada Pemerintah Provinsi sehingga memungkinkan pengawasan pelaksanaan perijinan tersebut berjalan seimbang. Meninjau kembali proses pendaftaran perizinan. Perlu ditegaskan adanya perjanjian kerjasama yang disahkan oleh Dinas kehutanan kabupaten dan provinsi. Semua pihak dalam perjanjian tersebut harus mendapat salinan akhir dari perjanjian kerjasama tersebut untuk menjaga akuntabilitasnya. Meningkatkan kerjasama antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten untuk memperbaharui kebijakan-kebijakan yang telah ada untuk melindungi hak-hak masyarakat lokal dan menjaga kelestarian sumberdaya. Mereka harus menetapkan pembagian peran dan tanggung jawab yang jelas bagi semua pihak dan menetapkan sanksi-sanksi bagi berbagai bentuk pelanggaran. Pemerintah dan pihak-pihak lainnya harus secara proaktif mensosialisasikan berbagai kebijakan maupun peraturan kepada masyarakat adat yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam dan mengikutsertakan mereka dalam proses pengambilan keputusan tersebut di masa depan. Manfaat yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan kehutanan harus dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk penyediaan pelatihan dan kesempatan-kesempatan pembelajaran lainnya untuk meningkatkan kemampuan mereka di masa depan. Beberapa contoh yang diusulkan oleh para pemangku kepentingan lokal antara lain: - Melakukan kunjungan silang antar daerahdaerah yang telah menerapkan sistem pengelolaan hutan yang sama ataupun berbeda, sehingga masyarakat dapat belajar dari pengalaman-pengalaman satu sama lain. Proses belajar juga dapat ditempuh melalui penggunaan media yang lebih mudah dimengerti seperti dokumentasi video, yang ditampilkan secara luas di berbagai tempat untuk saling berbagi pengalaman di antara komunitas yang berbeda. - Membentuk suatu forum pembangunan kehutanan tingkat kabupaten dimana para pemangku kepentingan secara rutin dapat berkumpul dan membuat keputusan bersama. Forum yang serupa juga dapat dibentuk di tingkat provinsi sehingga masalah-masalah Foto oleh Douglas Sheil 6 Akses Masyarakat Adat Terhadap Peluang-peluang Pembangunan Kehutanan

yang timbul di tingkat kabupaten dapat dibicarakan bersama secara berkala dalam pertemuan tersebut. - Mengembangkan sistem silvikultur yang sesuai untuk pemungutan hasil hutan oleh masyarakat hukum adat, dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat lokal, ketergantungan terhadap sumberdaya, dan nilai-nilai budaya. Hal ini akan sangat membantu untuk menjamin kelestarian produksi dan kelestarian fungsifungsi hutan di masa mendatang. Catatan akhir 1 Hak bersama yang dipunyai masyarakat hukum adat atas suatu wilayah adat tertentu untuk mengambil manfaat dari sumber daya yang ada dalam wilayah tersebut. 2 UU No. 21/2001 Bab XI Pasal 43. 3 No. 310/kpts-II/1999 tentang Pedoman Pemberian Hak Pemungutan Hasil Hutan dan No. 317/Kpts-II/1999 tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat pada Areal Hutan Produksi. 4 Sistem HPHH dinyatakan tidak berlaku dengan keluarnya SK Menteri No. 6886/kpts-II/2002 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemberian Ijin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) pada Hutan Produksi. 5 Keputusan Pelaksanaan Direktur Jenderal Pemanfaatan Hutan No. 199/Kpts/VI-Set/1999. 6 Sistem Kopermas diatur berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Kehutanan dan Perkebunan dan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No. 234/kpts- IV/1999 dan No.01/skb/M/IV/1999, tentang Pendayagunaan Koperasi dalam Sektor Kehutanan dan Perkebunan dan sebuat SK Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No. 107/bh/KDK/238/XI/2000 tentang Pengesahan Koperasi Masyarakat (Kopermas). 7 SK Gubernur No. 50/2001 tentang Standar Pemberian Kompensasi bagi Masyarakat Adat untuk Kayu yang diambil dari Wilayah Ulayat. 8 SK Gubernur No. 522.2/3386/SET/2002 tentang Penetapan Hak-hak Masyarakat Adat untuk Pemungutan Hasil Hutan. 9 SK Bupati No. 274/2004 tentang Ijin Hak Pengelolaan Hutan Adat (IHPHA). 10 SK Bupati Manokwari No. 274/2004 Bab VI, Pasal 14. 11 Alokasi dana untuk PMDH, menurut SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 610/Kpts-II/1993 adalah Rp. 1.000/m 3. Akses Masyarakat Adat Terhadap Peluang-peluang Pembangunan Kehutanan 7

Max J. Tokede dan Yosias Gandhi dari Universitas Papua; Dede Wiliam dan Siân McGrath dari CIFOR menulis Ringkasan Desentralisasi ini dari laporan yang berjudul: Dampak Otonomi Khusus di Sektor Kehutanan Papua: Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dalam Pengusahaan Hutan di Kabupaten Manokwari. Karya tulis ini didanai oleh ACIAR dan DFID dalam proyek: Dapatkah desentralisasi memberikan manfaat bagi hutan dan masyarakat miskin? Pendapat yang dinyatakan dalam tulisan ini adalah milik penulis pribadi dan tidak selalu mencerminkan pandangan badan penyandang dana. Center for International Forestry Research, CIFOR Office: Jalan CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor Barat 16680, Indonesia. Mailing: P.O. Box. 6596 JKPWB, Jakarta 10065, Indonesia Tel: +62(251) 622 622 Fax: +62(251) 622 100 E-mail: cifor@cgiar.org Website: www.cifor.cgiar.org Foto-foto halaman depan oleh: Romain Pirard dan Christian Cossalter