BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
DAFTAR LAMPIRAN. xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN AKURASI INTERPRETASI HIBRIDA MENGGUNAKAN EMPAT INDEKS VEGETASI UNTUK PEMETAAN KERAPATAN KANOPI DI KAWASAN HUTAN KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

Jurnal Gea, Jurusan Pendidikan Geografi, vol. 8, No. 2, Oktober 2008

PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR. Oleh : Lili Somantri*)

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ISTILAH DI NEGARA LAIN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

JENIS CITRA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

APLIKASI CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK ESTIMASI VOLUME TEGAKAN PINUS DI WILAYAH KOPENG. Hanafiah Yusuf

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini*

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996).

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal.

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal

ESTIMASI STOK KARBON MENGGUNAKAN CITRA ALOS AVNIR-2 DI HUTAN WANAGAMA KABUPATEN GUNUNGKIDUL. Agus Aryandi

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

K13 Revisi Antiremed Kelas 12 Geografi

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak

Bab 5 HASIL-HASIL PENGINDERAAN JAUH. Pemahaman Peta Citra

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq) merupakan tanaman yang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING DENSIFIKASI BANGUNAN DI DAERAH PERKOTAAN MAGELANG

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR

Pemanfaatan Data Landsat-8 dan MODIS untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar Menggunakan Metode NDVI (Studi Kasus: Kawasan Gunung Bromo)

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

RIZKY ANDIANTO NRP

IV. PENGINDERAAN JAUH

09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital. by: Ahmad Syauqi Ahsan

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

TINJAUAN PUSTAKA. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERAN REMOTE SENSING DALAM KEGIATAN EKSPLORASI GEOLOGI

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

Geo Image 6 (1) (2017) Geo Image.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGINDERAAN JAUH. Beberapa satelit yang diluncurkan dari bumi oleh beberapa negara maju antara lain:

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan bumi (Lindgren, 1985 dalam Sutanto 1986). Hasil dari rekaman tersebut berupa data penginderaan jauh yang dalam penerapannya disebut citra penginderaan jauh. Ada dua macam citra yang dihasilkan dari produk penginderaan jauh, citra foto dan citra nonfoto (satelit). Citra foto dihasilkan dari pemotretan foto udara dengan sensor berupa kamera. Sensor tersebut di pasang pada wahana seperti pesawat terbang, balon udara, atau bahkan pesawat tanpa awak (remote control). Adapun citra nonfoto adalah citra yang dihasilkan dari pemotretan dengan satelit sebagai wahananya. Citra hasil rekaman sensor penginderaan jauh memuat berbagai macam informasi objek di permukaan bumi. Untuk dapat dimanfaatkan secara optimal, maka citra ini harus diterjemahkan dalam bentuk informasi tentatif objek. Setiap objek di permukaan bumi memiliki nilai reflektansi yang berbeda-beda. Interaksi gelombang elektromagnetik dengan objek di permukaan bumi inilah yang nantinya dijadikan dasar pengenalan objek. Tahap awal pengenalan citra inilah yang disebut dengan interpretasi citra. Estes dan Simonette (1975 dalam Sutanto, 1986) mengatakan bahwa interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Dalam hal ini dibutuhkan unsur-unsur pengenal objek ataupun gejala yang terekam pada citra. Unsur-unsur inilah yang dinamakan unsur interpretasi. Ada 9 jenis unsur interpretasi, rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs dan asosiasi (Estes et al., 1983 dalam Sutanto 1986). Tidak mutlak ke 9 unsur interpretasi tersebut digunakan secara serentak untuk menginterpretasi objek. Melaui latihan 1

menginterpretasi citra baik di laboratrium maupun observasi lapangan secara langsung akan dapat dikenali unsur-unsur interpretasi apa saja yang paling berperan dalam identifikasi objek di permukaan bumi. Unsur interpretasi yang paling berperan inilah yang kemudian disebut kunci interpretasi. Menurut (Sabins, 1997), kunci interpretasi adalah karakteristik atau kombinasi karakteristik (dalam hal ini diwakili oleh unsur-unsur interpretasi) yang memungkinkan suatu objek pada citra dapat dikenali. Interpretasi citra pada dasarnya terdiri dari dua proses, yakni proses perumusan identitas objek dan elemen yang dideteksi pada citra dan proses untuk menemukan arti pentingnya objek dan elemen tersebut (Lo, dalam Sutanto 1986). Hasil dari proses inilah yang kemudian dikelompokkan berdasarkan homogenitasnya, jadi dapat dikatakan bahwa proses interpretasi pada dasarnya adalah mengelompokkan karakteristik/fenomena di permukaan bumi berdasarkan kemiripan/homogenitasnya membentuk suatu pola tertentu. Menurut Sutanto (1986) interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi secara visual atau manual dan interpretasi secara digital. Manual dengan memanfaatkan penginderaan melalui citra sedangkan interpretasi digital dilakukan dengan mendasarkan pada informasi spektralnya. Proses interpretasi yang untuk selanjutnya dilakukan klasifikasi adalah elemen yang sangat penting dalam menentukan sukses tidaknya proses pemetaan. Banyak metode klasifikasi yang masih digunakan hingga saat ini, terutama untuk klasifikasi digital. Beberapa metode klasifikasi digital yang umum digunakan antara lain klasifikasi multispektral, jaringan saraf tiruan, logika samar, klasifikasi berorientasi obyek. Sejauh ini hanya dikenal dua proses interpretasi, yakni manual dan digital. Masing-masing dari interpretasi tersebut pastilah memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dalam rangka mereduksi kekurangan dan mengoptimalkan kelebihannya maka dikembangkanlah satu teknik interpretasi dengan menggabungan baik interpretasi digital maupun interpretasi manual untuk mengidentifikasi objek tertentu di permukaan 2

bumi. Teknik interpretasi inilah yang kemudian disebut dengan interpretasi hibrida. Adapun interpretasi hibrida menurut Suharyadi (2010) adalah teknik yang mengkombinasikan antara interpretasi visual untuk delineasi objek, dan menggunakan prinsip-prinsip pola pengenalan spektral secara digital untuk identifikasi objeknya. Penggunaan berbagai metode interpretasi baik visual maupun digital sebenarnya sama-sama untuk mempermudah dalam pengenalan objek di permukaan bumi. Namun bagaimana kemudian metode tersebut nantinya dapat diterima dan dimanfaatkan untuk analisis keruangan. Hal ini erat kaitannya dengan kualitas data spasial yang dihasilkan. menurut Guptill dan Morrison (1995) dalam Danoedoro (2012) kualitas data spasial adalah suatu keadaan data yang harus diinformasikan keada pengguna data tersebut agar mereka dapat memanfaatkannya secara proporsional; dan juga kepada para praktisi atau peneliti yang dalam pekerjaannya menghasilkan keluaran berupa peta atau citra agar mencantumkan informasi tentang keadaan data yang dihasilkan sehingga data dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Banyak aspek yang mempengaruhi kualitas data spasial, antara lain lineage/riwayat data, akurasi posisi, akurasi atribut, kelengkapan, konsistensi logis, akurasi semantik, dan informasi temporal (Guptil dan Morrison, 1995 dalam Danoedoro 2012). Kualitas data yang dibicarakan pada penelitian kali ini adalah kualitas data hubungannya dengan akurasi semantik, yakni akurasi pada isi informasi tematik peta. Akurasi ini menggambarkan tingkat kebenaran dari peta yang dihasilkan. Semakin tinggi akurasinya, semakin baik data/peta yang dihasilkan. Produk penginderaan jauh yang disebut citra penginderaan jauh saat ini sudah banyak dimanfaatkan untuk kajian penutup dan atau penggunaan lahan, tata ruang wilayah, hingga studi kebencanaan. Masing-masing citra penginderaan jauh memiliki tingkat kedetilalan informasi yang disadap, hal ini erat kaitannya dengan resolusi. Ada empat resolusi yakni resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometeri, dan resolusi temporal (Sutanto, 1986). Menurut Swain dan Davis (1978) resolusi adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi 3

secara spasial (keruangan) berdekatan atau secara spektral (sinar) mempunyai kemiripan. Resolusi spasial merupakan petunjuk kualitas sensor, semakin kecil objek yang dapat direkam olehnya, semakin detil informasinya. Resolusi spektral adalah kemapuan sensor dalam membedakan objek berdasarkan pantulan spektral dari objek itu sendiri. Resolusi temporal terkait dengan waktu, yakni kemampuan sensor untuk merekam ulang daerah yang sama. Sedangkan resolusi radiometri adalah kemampuan sensor dalam mencatat respons spektral objek. Konsep resolusi berkaiatan erat dengan kualitas data spasial dalam penginderaan jauh. Tidak semua data dapat digunakan begitu saja, tergantung tujuan penggunaannya, dan output yang dihasilkan.. Citra-citra skala kecil dengan resolusi yang kecil, NOAA misalnya digunakan untuk analisis hingga tingkat regional dengan cakupan wilayah yang luas. Sedangkan Landsat atau ASTER tingkat kedetilannya hanya terbatas pada skala menengah begitu pula dengan ALOS. Lain halnya dengan IKONOS atau QuickBird, citra ini dapat mencapai tingkat kedetilan tinggi karena memiliki resolusi spasial yang tinggi pula. Kaitannya dengan hal tersebut, maka penelitian yang dilakukan di sebagian Kabupaten Gunungkidul ini menggunakan citra satelit resolusi menengah ALOS untuk kajian kerapatan vegetasi sehingga output yang dihasilkan nanti dapat sesuai dengan apa yang diharapkan. Variasi panjang gelombang yang dimiliki oleh citra ALOS dengan sensor AVNIR-2 inilah yang dijadikan dasar dalam pengenalan objek vegetasi di permukaan bumi. Dari sekian banyak metode interpretasi vegetasi, transformasi indeks vegetasi masih dipercaya sebagai metode yang memiliki keakuratan yang baik untuk pengenalan vegetasi di permukaan bumi. Pemetaan kerapatan vegetasi untuk penelitian kali ini dilakukan di Kabupaten Gunungkidul dengan objek kajian berupa hutan. Berdasarkan data dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IX daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2008 menyebutkan bahwa Kabupaten Gunungkidul menduduki peringkat tertinggi di Yogyakarta atas wilayah hutannya dengan total luasnya mencapai 14.859,50 Ha. Kondisi ini tentunya membutuhkan 4

manajemen hutan yang baik agar tetap menjadi hutan yang lestari. Ada banyak parameter yang dapat diangkat guna optimalisasi potensi hutan, dan salah satunya adalah kerapatan tegakan. Sebagaimana disebutkan oleh Davis dan Johson (1986) dalam Sahid (2005) bahwa dua macam kegunaan pengukuran tegakan hutan yaitu pertama untuk menunjukkan tegakan dalam model yang digunakan untuk menaksir jumlah pertumbuhan dan hasil di masa yang akan datang, dan kedua untuk memutuskan prestasi tegakan jika dibandingkan dengan kriteria-kriteria tujuan pengelolaan. Hutan dalam penelitian kali ini merujuk pada hutan jenis tegakan. Menurut Undang- Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999 hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan tegakan menurut Howard (1991) adalah suatu agregasi pohon yang cukup seragam komposisinya yang dapat dibedakan dari tanaman di dekatnya. Berdasarkan dari rumusan tegakan yang dikemukakan oleh Howard (1991) tersebut, maka proses pemetaan vegetasi dapat diidentifikasi memalui perbedaan tekstur tegakan pada citra penginderaan jauh. 1.2 Rumusan Masalah Managemen pengelolaan hutan yang baik akan selalu membutuhkan informasi mengenai pertumbuhan hutan yang dikelola baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Informasi ini dapat diperoleh melalui pengamatan secara berkala, namun hal ini tidak dapat diterapkan pada daerah yang luas mengingat keterbatasan sumber daya yang ada. Oleh karena itu pendekatan melalui penginderaan jauh sangat tepat diterapkan untuk kajian kehutanan. Ilmu penginderaan jauh dalam analisis keruangan mutlak diperlukan, termasuk dalam hal pengelolaan hutan. Berbagai metode interpretasi hingga saat inipun berkembang kian pesat seiring dengan perkembangan teknologi yang mengikutinya. Salah satu metode interpretasi yang kian berkembang saat ini adalah metode interpretasi hibrida. Prinsip dari interpretasi hibrida 5

adalah dengan menggabungkan dua metode interpretasi untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Purwadi (2001) mengatakan bahwa metode yang sering digunakan untuk interpretasi hibrida adalah dengan menggabungan antara klasifikasi terselia (klasifikasi terkontrol) dan tak terselia (klasifikasi tak terkontrol). Klasifikasi terselia, operator, analisis, atau pengguna bertindak sebagai pengontrol kriteria klasifikasi seperti halnya pada klasifikasi manual. Sebaliknya, klasifikasi tak terselia merupakan metode klasifikasi yang sepenuhnya diputuskan secara otomatis oleh komputer tanpa ada campur tangan manusia. Seiring dengan perkembangannya, interpretasi hibrida dapat pula dilakukan dengan menggabungkan antara interpretasi digital dan interpretasi visual seperti yang dilakukan oleh Suharyadi (2010) dengan hasil yang dapat dipercaya. Tingkat kepercayaan dari interpretasi hibrida ini cukup tinggi yakni di atas 80%. Hal inilah yang membuat interpretasi hibida menjadi salah satu metode interpretasi yang mulai banyak digunakan dalam penelitian penginderaan jauh untuk analisis objeknya. Aplikasi penginderaan jauh dalam perkembangannya banyak menggunakan respon spektral untuk identifikasi objek tertentu di permukaan bumi. Salah satu metode yang memanfaatkan respon spektral dalam identifikasi objek yakni transformasi cira. Transformasi citra yang dilakukan adalah dengan membuat selisih dari beberapa saluran. Untuk kajian vegetasi, ada beberapa teknik transformasi yang umum digunakan, antara lain Ratio Vegetation Index (RVI), Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Transformed Vegetation Index (TVI), dan Modified Soil Adjusted Vegetation Index (MSAVI). Teknik transformasi tersebut samasama memanfaatkan respon spektral yang diberikan dengan memanipulasi beberapa saluran guna menonjolkan objek vegetasi. Meskipun transformasi indeks vegetasi yang disebutkan di atas sama-sama memanfaatkan saluran merah dan inframerah dekat, namun antar satu dengan yang lain menghasilkan julat indeks vegetasi yang berbeda karena menggunakan algoritma yang berbeda pula. Untuk itu, perlu adanya suatu penelitian yang 6

mengkaitkan antara indeks vegetasi yang digunakan dengan akurasi yang diharapkan. Berawal dari asumsi bahwa setiap objek di permukaan bumi memiliki pola spektral yang berbeda-beda, maka keberadaan vegetasi di permukaan bumi pun dapat dideteksi dari citra penginderaan jauh. Salah satu aplikasi dari penginderaan jauh untuk analisis vegetasi adalah dengan melihat tingkat kerapatan kanopinya. Tingkat kerapatan konopi menggambarkan seberapa rapat tutupan tajuk dari vegetasi pada suatu wilayah (bukan jumlah vegetasi). Apabila dilihat melalui citra penginderaan jauh maupun foto udara tingkat kerapatan vegetasi yang tinggi memperkecil kemungkinan terlihatnya objek tanah ataupun objek lain di bawahnya. Dengan demikian, semakin banyak tutupan vegetasi, semakin banyak pula nilai piksel murni vegetasi yang tergambarkan dalam analisis citra. Merujuk pada permasalahan di atas, maka penggunaan metode interpretasi hibrida untuk meningkatkan hasil akurasi penelitian yang berkaitan dengan identifikasi kerapatan vegetasi di permukaan bumi menjadi salah satu solusi dalam mempermudah interpretasi. Interpretasi hibrida dalam penelitian kali ini dilakukan dengan menggabungkan antara interpretasi manual/visual dan interpretasi digital. Interpretasi visual dengan menggunakan citra satelit resolusi tinggi, sedangkan interpretasi digital dengan menggunakan beberapa indeks vegetasi. Hasil dari teknik interpretasi visual digunakan sebagai masukan dalam analisis piksel dari setiap indeks vegetasi yang digunakan, harapannya agar hasil yang didapat lebih akurat untuk kajian kerapatan kanopi vegetasi. Berdasarkan uraian di atas, maka muncul pertanyaan penelitian yang melatarbelakangi pelaksanaan penelitian ini, yaitu : 1. Apakah tehnik interpretasi hibrida antara data berbasis visual dan digital mampu memberikan akurasi yang baik untuk pemetaan kerapatan kanopi vegetasi? 2. Bagaimana kondisi kerapatan kanopi tegakan hutan di sebagian Kabupaten Gunungkidul? 7

3. Transformasi indeks vegetasi apa yang paling baik digunakan untuk kajian kerapatan kanopi vegetasi dengan metode hibrida? Mengacu pada permasalahan penelitian di atas, maka peneliti melakukan penelitian dengan judul: Kajian Akurasi Interpretasi Hibrida Menggunakan Empat Indeks Vegetasi untuk Pemetaan Kerapatan Kanopi di Kawasan Hutan Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta. 1.3 Tujuan Penelitian 1. Interpretasi hibrida untuk mengoptimalkan kelebihan dan meminimalisasi kekurangan yang ada pada metode interpretasi visual maupun digital. 2. Memetakan kerapatan kanopi di kawaan hutan sebagian Kabupaten Gunungkidul. 3. Mengkaji korelasi empat transformasi indeks vegetasi dengan data kerapatan kanopi vegetasi untuk mendapatkan formula hibrida terbaik. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Pengaplikasian dan pengembangan ilmu dan teknologi penginderaan jauh untuk pemetaan kerapatan vegetasi menggunakan citra satelit resolusi menengah. 2. Sebagai bahan masukan bagi pemegang kebijakan daerah setempat terkait pembuatan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Gunungkidul khususnya yang berkaitan dengan kehutanan. 8