adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

dokumen-dokumen yang mirip
JURNAL FAKTOR PENYEBAB DISPARITAS PIDANA DALAM PERKARA PENCURIAN DI PENGADILAN NEGERI WONOSARI

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN. berhak untuk mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN. lembaga yang berwenang kepada orang atau badan hukum yang telah

BAB I PENDAHULUAN. kedaulatan hukum atau supremasi hukum, dimana hukum mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun Ciri dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

BAB III PENUTUP. a. Faktor kemandirian kekuasaan kehakiman atau kebebasan yang. pengancaman pidana di dalam undang-undang.

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

BAB I PENDAHULUAN. buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. penerapannya dilakukan secara kumulatif.

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. konstitus yang mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. Anak Di Indonesia. hlm Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan aset dan sebagai bagian dari generasi bangsa. Anak

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya maka penulis. menyimpulkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB I PENDAHULUAN. paling dominan adalah semakin terpuruknya nilai-nilai perekonomian yang

BAB I PENDAHULUAN. terlihat pada ujud pidana yang termuat dalam pasal pasal KUHP yaitu

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan pengguna jalan raya berkeinginan untuk segera sampai. terlambat, saling serobot atau yang lain. 1

PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat diimbangi

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

PEMBUNUHAN DENGAN RENCANA DAN PASAL 340 KUHP

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

III. METODE PENELITIAN. satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya 1

I. PENDAHULUAN. peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar keseimbangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat banyak yang memperbincangkan tentang pornografi yang

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

BAB I PENDAHULUAN. berjalan, tolok ukurnya dapat dilihat dari kemandirian badan-badan peradilan dalam

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan. Salah satu ciri negara hukum Indonesia yaitu adanya. yang bertugas mengawal jalannya pemeriksaan sidang pengadilan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum, ketentuan ini tercantum

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. merugikan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. masalah yang serius dan penegakannya tidak mudah.

I. PENDAHULUAN. Asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP memiliki tujuan dalam menegakkan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) maka pidana menempati suatu posisi sentral. Hal ini disebabkan karena keputusan di dalam pemidanaan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas. Terlebih kalau putusan pidana tersebut dianggap tidak tepat, maka akan timbul reaksi yang kontrovesial, sebab kebenaran di dalam hal ini sifatnya adalah relatif tergantung dari mana sudut pandang kita. Suatu masalah dapat dipandang sederhana, sebab persoalannya justru sangat kompleks dan mengandung makna yang sangat mendalam, baik yuridis, sosiologis, dan filosofis. Tidak hanya Indonesia, tetapi hampir di seluruh Negara didunia mengalami apa yang disebut dengan the disturbing disaparity of sentencing yang mengundang perhatian dari lembaga legislatif dan lembaga lain yang terlibat langsung dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana untuk memecahkannya. Yang dimaksud dengan disparitas pidana ( disparity of sentencing) adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifatnya berbahaya dapat diperbandingkan (offences of comparable seriousnees) tanpa dasar pembenaran yang jelas. Selanjutnya tanpa menunjuk legal

category, disparitas pidana dapat terjadi pada penghukuman terhadap mereka yang melakukan suatu delik secara bersama. 1 Disparitas pemidanaan mempunyai dampak yang dalam, karena didalamnya terkandung perimbangan konstitusional antara kebebasan individu dan hak Negara untuk memidana. 2 Disparitas pidana berpengaruh dalam cara pandang masyarakat terhadap peradilan di Indonesia. Disparitas pidana sangat erat hubungannya dengan indenpendensi hakim dalam memutuskan suatu perkara. Dalam menjatuhkan suatu putusan, hakim tidak boleh mendapat intervensi dari pihak manapun. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyrakat. Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 2009 menyebutkan bahwa hakim juga dapat wajib mempertimbangkan sifat baik dan jahat pada diri terdakwa. Ada banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya disparitas pidana. Akan tetapi pada akhirnya hakimlah yang akan menentukan terjadinya suatu disparitas pidana. Misalnya orang yang melakukan tindak pidana pencurian dengan cara yang sama dan akibat yang ditimbulkan atau mempunyai kerugian yang sama. Meskipun hakim sama-sama menggunakan Pasal 362 KUHP, bisa saja putusan yang dijatuhkan tersebut tidak sama. Adanya asas nulla poena sine lege memberi batasan kepada 1 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 52-53. 2 Ibid.

hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana berdasarkan takaran yang sudah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Masalah disparitas pidana masih terus terjadi karena adanya jarak antara sanksi pidana minimal dengan sanksi pidana maksimal dalam takaran yang terlalu besar. Proses pembentukan peraturan perundangundangan juga berpengaruh karena tidak adanya standard untuk merumuskan sanksi pidana. Upaya untuk meminimalisir disparitas pidana adalah dengan cara membuat pedoman pemidanaan. Meskipun berat ringannya hukuman menjadi wewenang hakim tingkat pertama dan banding, tetapi dalam beberapa putusan Hakim Agung mengoreksi vonis dengan alasan pemidanaan yang proposional. Dalam Putusan Mahkamah Agung No.143K/Pid/1993, Penjatuhan hukuman yang proposional adalah penjatuhan hukuman yang sesuai dengan tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan. Nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat serta budaya cenderung menjadi determinan dalam menentukan peringkat sanksi yang dipandang patut dan tepat dalam konteks historis tertentu. Diskresi oleh hakim bisa disalah gunakan sehingga pembinaan dianggap sebagai jalan terbaik untuk membatasi kebebasan hakim. Di dalam KUHP sebenarnya sudah terdapat pedoman, seperti pada pasal 14a, Pasal 63-71, dan Pasal 30. Hakim dalam menjatuhkan putusan wajib mempertimbangkan kesalahan pembuat tindak pidana, motif tindak pidana dan tujuann keadaan sosial ekonomi pelaku, pengaruh melakukan tindak

pidana, apakah tindak pidana itu dilakukan berencana, cara melakukan tindak pidana, riwayat hidup dan keadaan social ekonomi pelaku, pengaruh terhadap masa depan pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan korban atau keluarga korban, maaf dari korban atau keluarga, pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. Putusan hakim yang rasional adalah putusan yang diajtuhkan berdasarkan pertimbangan yang rasional, yang mempertimbangkan teori tentang tujuan pemidanaan. Di Indonesia tujuan pemidanaan harus berlandaskan Pancasila, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum pidana. Oleh karena itu Pancasila harus menjiwai tujuan pidana. 3 Dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP disebutkan bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undangundnag ini. Namun banyak putusan hakim yang belum mencapai keadilan di dalam masyarakat karena masih banyak dijumpai orang yang tidak bersalah dijatuhi pidana ataupun pidana yang dijatuhkan tidak sesuai dengan kesalahannya. Berdasarkan Pasal 12 KUHP pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu, pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut, Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijauhkan untuk dua puluh tahun berturut- 3 Gregorius Aryadi,1995, Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana, Penerbit UAJY, Yogyakarta, hlm. 69.

turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih anatara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena adanya perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan oleh asal 52 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pidana Penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun. 4 Dalam Pasal 18 KUHP dijelaskan yang dimaksud pidana kurungan adalah: (1) Pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun. (2) Jika pidana yang disebabkan karena perbarengan atau pengulangan atau karena ketentuan pasal 52, pidana kurungan dapat ditamabah menjadi satu tahun empat bulan. (3) Pidana Kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan menuntut semua pihak, khususnya para penegak hukum agar lebih meningkatkan pengertian, pemahaman dan ketrampilan profesinya sehingga dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Hal ini perlu mendapat perhatian yang cukup serius 4 Hukum Online, Disparitas putusan Pemidanaan yang tidak proposional, Jumat Tanggal 11 September 2015, Pukul 20.46 WIB.

mengingat pentingnya peranan aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana. Peradilan harus dilaksanakan dengan cepat, sederhana dan biaya murah serta bebas, jujur dan harus diterapkan secara konsekuen. Keputusan hakim haruslah beralasan sehingga dapat dipertanggugngjawabkan, bukan saja terhadap kepentingan langsung terdakwa, tetapi juga terhadap masyarakat umum. Putusan hakim harus menunjukan bahwa hakim tidak mengambil keputusan secara sewenangwenang, bahwa peradilan yang ditugaskan kepadanya sebagai anggota dari kekuasaan kehakiman yang harus dijunjung tinggi dan dipelihara sebaikbaiknya, sehingga kepercayaan umum terhadap penyelengggaraan pengadilan tidak sia-sia. Di dalam penyelenggaraan pengadilan harus digunakan ukuran yang sudah diterima oleh dunia hukum, yakni asas legalitas. Asas legalitas menjamin agar tidak ada kesewenang-wenangan hakim dalam menetapkan perbuatan yang dapat dikategorikan dalam suatu rumusan delik. Rumusan delik merupakan landasan untuk pengambilan keputusan yang lebih lanjut. Dalam menetapkan pidana hakim juga memperhatikan hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan terhadap suatu tindak pidana misalnya dalam tindak pidana pencurian. Keadilan merupakan suatu syarat yang utama untuk mempertahankan kelangsungan hidup suatu masyarakat, lembaga peradilan sebagai penegak hukum dalam sistem peradilan pidana merupakan suatu tumpuan harapan

dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang tepat, adil, dan biaya ringan. Dalam Pasal 4 ayat (2) Undang- undang Nomor. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa pengadilan membantu pencarian keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Seorang hakim tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan yang bebas itu, terkait dengan syarat- syarat yang telah di tentukan oleh hukum yang telah berlaku. Adanya suatu disparitas pidana dalam suatu sistem peradilaan pidana akan menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat pada lembaga peradilan. Terjadinya disparitas pidana disebabkan oleh beberapa faktor, khususnya faktor penyebab terjadinya disparitas pidana dalam perkara pencurian. Oleh karena itu saya ingin melakukan penelitian hukum untuk membahas lebih lanjut menyangkut faktor penyebab disparitas pidana dalam perkara pencurian di Pengadilan Negeri Wonosari. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang diraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut Apa faktor penyebab terjadinya disparitas pidana dalam perkara pencurian di Pengadilan Negeri Wonosari? C. Tujuan Penelitian Untuk memperoleh data dan menganalisis faktor penyebab terjadinya disparitas pidana di Pengadilan Negeri Wonosari.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat praktis Hasil penelitian yang difokuskan pada bentuk pemidanaan terhadap putusan hakim yang diterapkan bagi pelaku tindak pidana pencurian ini, diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dan solusi dan solusi kongkrit bagi para penegak hukum dalam upaya perlindungan hukum dan memberikan keadilan bagi para pelaku tindak pidana pencurian. 2. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum pidana, khususnya tentang pemidanaan pelaku tindak pidana pencurian dan dapat member informasi kepada masyarakat mengenai masalah- masalah disparitas pidana dalam perkara pidana pencurian. E. Keaslian Penelitian Penulisan yang berjudul Faktor Penyebab Disparitas Pidana Dalam Perkara Pencurian Di Pengadilan Negeri Wonosari bukanlah duplikasi maupun plagiat. Karya penulisan ini adalah karya asli penulis. Letak kekhususan penulisan ini terletak pada penulisan yang bersifat khusus, materi dan sumber data yang lebih variatif dengan karya lain. Kekhususan

karya ini terletak pada Faktor Penyebab Disparitas Pidana dalam Perkara Pencurian Di Pengadilan Negeri Wonosari. F. Batasan Konsep 1. Penyebab : hal yang menjadikan timbulnya sesuatu; asal mula. 5 2. Disparitas pidana : penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifatnya berbahaya dapat diperbandingkan (offences of comparable seriousnees) tanpa dasar pembenaran yang jelas. 6 3. Pencurian: perbuatan mengambil sesuatu barang yang semuanya atau sebagiannya kepunyaan orang lain disertai maksud untuk memiliki dan dilakukan dengan melawan hukum. Terdapat dalam pasal 362 KUHP yang digolongkan sebagai pencurian biasa. 7 G. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, merupakan penelitian yang berfokus pada data sekunder dan data primer sebagai penunjang. 2. Sumber data Data sekunder dalam penelitian ini bersumber dari : a. Bahan hukum primer berupa : 5 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, di download tanggal 14 September 2015, Pukul 19.27 WIB 6 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 52-53. 7 Gerson W. Bawengan, 1983, Hukum Pidana Di Dalam Teori Dan Praktek, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 147.

1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 362, Pasal 14a, dan Pasal 63-71. 2) Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana 3) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. b. Bahan hukum sekunder berupa : 1) Buku-buku yang terkait sebagai pendukung maupun pelengkap 2) Makalah, karya ilmiah, media massa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, website, pendapat ahli, dan lain-lain 3) Hasil penelitian. 3. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Studi kepustakaan Dalam memperoleh data sekunder maka peneliti mempelajari buku-buku, literature-literatur dan perundang-undangan yang berhubungan dengan materi penelitian. b. Wawancara Pengumpulan data dilakukan secara langsung dengan mengajukan pertnyaan secara langsung kepada narasumber dengan terlebih dahulumenyusun inti pokok pertanyaan, sehingga pertanyaan yang diajukan dapat terarah yang berguna untuk mengumpulkan

bahan hukum. Wawancara dilakukan dengan Tanya jawab dengan narasumber yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 4. Narasumber Narasumber dari penelitian ini adalah Hakim di Pengadilan Negeri Wonosari, yang ditentukan langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri Wonosari yaitu Bapak Surtiyono, SH., MH 5. Metode Analisis Data Data yang terkumpul dalam penelitian ini di analisis secara kualitatif, yakni analisis data yang didasarkan pada pemahaman dan pengolahan data secara sistematis yang diperoleh melalui hasil wawancara dan penelitian studi kepustakaan dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan teori-teori berupa peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang relevan dengan penulis, kemudian ditarik kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian. 8 Dalam menarik kesimpulan digunakan penalaran secara deduksi, bertolak dari data-data dan fakta yang diperoleh secara umum yang kebenaranya telah diketahui, dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat khusus guna menjawab Faktor penyebab disparitas pidana dalam perkara pencurian di Pengadilan Negeri Wonosari. H. Sistematika Penulisan Skripsi Penulisan hukum ini disusun secara sistematis dalam tiga bab sebagai berikut : 8 Lexi J. Moelong, 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Rosdakarya, Bandung, hlm. 197.

BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi uraian Latar Belakang Masalah; Rumusan Masalah; Tujuan Penelitian; Manfaat Penelitian; Keaslian Penelitian; Batasan Konsep; Metode Penelitian serta sistematika Penulisan. BAB II FAKTOR PENYEBAB DISPARITAS PIDANA DALAM PERKARA PENCURIAN DI PENGADILAN NEGERI WONOSARI Bab ini berisi uraian tentang pidana, tindak pidana pencurian, faktor penyebab disparitas serta penyajian kasus dan analisis berdasarkan permasalahan. BAB III PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan saran.