LAPORAN SINGKAT RAPAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM PANJA RUU KUHP KOMISI III DPR-RI DENGAN INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC)

dokumen-dokumen yang mirip
RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RUU KUHP PASAL-PASAL DIPENDING USUL PERUBAHAN KETERANGAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..?

Sumber Hk.

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005

LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN)

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

STATUTA ROMA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN PEMERINTAH DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

PENEGAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA DALAM PENYELESAIAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA. Oleh: Laras Astuti

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

KONVENSI DEN HAAG IV 1907 MENGENAI HUKUM DAN KEBIASAAN PERANG DI DARAT

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

UNOFFICIAL TRANSLATION

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Kewajiban Negara Pihak terhadap Pelaksanaan Instrumen-instrumen HAM Internasional. Ifdhal Kasim

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

perkebunan kelapa sawit di Indonesia

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DAN PEREMPUAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DAN PEREMPUAN: SEBUAH RESOURCE BOOK UNTUK PRAKTISI

HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RUU KUHP - Draft II 2005 BUKU KEDUA TINDAK PIDANA BAB I TINDAK PIDANA TERHADAP KEAMANAN NEGARA. Bagian Kesatu Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Tahun Sidang : Masa Persidangan : III Rapat ke :

Daftar Pustaka. Glosarium

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Institute for Criminal Justice Reform

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

K105 PENGHAPUSAN KERJA PAKSA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235]

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

RA RANCANGAN

RANCANGAN. : Ruang Rapat Komisi III DPR RI : Pembahasan DIM RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BUKU KEDUA TINDAK PIDANA BAB I TINDAK PIDANA TERHADAP KEAMANAN NEGARA. Bagian Kesatu Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at

MAKALAH. Hukum Hak Asasi Manusia & Hukum Humaniter. Oleh: Dr. Fadillah Agus, S.H., M.H. FRR Law Office FH Unpad

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMISI III DPR RI DENGAN DR. ZAINAL ARIFIN MOCHTAR, DR. MARGARITO KAMIS DAN DR.

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

PROKLAMASI TEHERAN. Diproklamasikan oleh Konferensi Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia di Teheran pada tanggal 13 Mei 1968

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KONVENSI KETENAKERJAAN INTERNASIONAL KONVENSI 182 MENGENAI PELARANGAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Bentuk Kekerasan Seksual

Transkripsi:

LAPORAN SINGKAT RAPAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM PANJA RUU KUHP KOMISI III DPR-RI DENGAN INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC) --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang : 2016-2017 Masa Persidangan : I Rapat ke : Sifat : Terbuka Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat Umum Hari/tanggal : Selasa, 4 Oktober 2016 Waktu : Pukul 11.30s.d.2.32WIB Tempat : Ruang Rapat Komisi III DPR RI Ketua Rapat : DR. Benny K. Harman, SH./ Wakil Ketua Komisi III DPR RI. Sekretaris : Dra. Tri Budi Utami, M.Si./Kabag Set. Komisi III DPR RI. Hadir : 7orang dari 25 Anggota Panja. Izin :2orang Anggota Panja. Acara : Meminta masukan mengenai hukum kejahatan perang dan pelanggaran hukum humaniter internasional KESIMPULAN/KEPUTUSAN I. PENDAHULUAN Rapat Dengar Pendapat UmumPanja RUU tentang KUHP dibuka pada pukul 11.30WIB oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI,DR. Benny K. Harman, SHdengan agenda rapat sebagaimana tersebut diatas. II. POKOK-POKOK PEMBICARAAN 1. Hal-hal yang disampaikan oleh International Committee of the Red Cross, diantaranya adalah sebagai berikut : Dalam definisi Pasal 402 tersebut hanya mengatur perang internasional. Pengusul meminta agar diatur juga mengenai perang internal. Dalam pasal 402 dengan menambah kalimat atas konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, yaitu perbuatan terhadap orang atau harta kekayaan,

Pasal 402 Dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, setiap orang yang pada masa perang atau konflik bersenjata melakukan pelanggaran beratatas konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, yaitu perbuatanterhadap orang atau harta kekayaan, berupa: a. pembunuhan; b. penyiksaan atau perlakuan tidak berperikemanusiaan termasuk percobaan biologis; c. menyebabkan penderitaan berat atau mencederai berat tubuh atau kesehatan; d. perusakan dan pengambilan secara besar-besaran harta kekayaan, yang tidak dibenarkan oleh keperluan militer dan dilakukan secara tidak sah dan secara tidak bermoral; e. memaksa tahwanan perang atau orang yang dilindungi lainnya untuk bekerja dalam pasukan musuh; f. merampas hak para tahwanan perang atau orang yang dilindungi lainnya dari haknya untuk memperoleh pengadilan yang adil dan diakui; g. pengusiran atau deportasi, pemindahan, atau perampasan kemerdekaan secara tidak sah; atau h. penyanderaan. Mengusulkan mengganti kata tahanan menjadi tawanan Istilah tawanan perang (prisoner of war) digunakan untuk membedakan dengan istilah tahanan dalam hukum pidana. Bahkan, istilah tawanan perang juga tidak selalu sama dengan istilah orang-orang yang berada dibawah kekuasaan pihak lawan. Artinya Pasal 402.e dan atau 402.f hanya dapat diterapkan apabila korbannya adalah tawanan perang. Pelanggaran serius adalah istilah yang juga digunakan dalam Pasla 8.2.b Statuta Roma 1998. Meminta Definisi Perang (Pasal 204) disesuaikan dengan Konvensi Jenewa 1949 yakni Perang adalah suatu situasi pertikaian (permusuhan) antara pihak-pihak yang bersengketa dengan menggunakan kekuatan bersenjata yang diatur oleh perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Alternatif lainnya, Perang adalah suatu situasi pertikaian (permusuhan) antara pihak-pihak yang bersengketa dengan menggunakan kekuatan bersenjata yang diatur oleh perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia atau Konflik Bersenjata yang didahului oleh pernyetaan dari suatu negara atau suatu sengketa antar negara yang disertaipengerahan angkatan bersenjata Negara atau kekerasan berkepanjangan antara pihak angkatan bersenjata Pemerintah Pusat dan Kelompok bersenjata terorganisir, atau antar kelompok semacam itu dalam suatu Negara, termasuk juga perang saudara dengan mengangkat senjata. Namun definisi ini dapat dinilai bertentangan dengan konstitusi. Usulan agar perang juga dapat diganti dengan Konflik Bersenjata yakni untuk mengantisipasi negara yang tidak mengakui situasi tersebut adalah perang. Misalnya pada saat Agresi Militer I dan II yang tidak diakui Belanda sebagai perang. Akan tetapi tidak semua konflik bersenjata dapat dianggap 2

perang oleh Indonesia. Hal ini mengantisipasi kelompok-kelompok yang ingin menyatakan perang dengan kelompok lain. ICRC mengusulkan tambahan pasal baru yaitupasal 402a, 402b, dan 402c, sesuai dengan Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, sebagai berikut : 1. Pasal 402a Dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, setiap orang yang melakukan pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata internasional, dalam kerangka hukum internasional, berupa:( istilah yang juga digunakan dalam Pasla 8.2.b Statuta Roma 1998). a. melakukan penyerangan terhadap kelompok penduduk sipil atau orang sipil perorangan yang tidak terlibat langsung dalam permusuhan; b. melakukan penyerangan terhadap objek-objek sipil, yaitu objekobjek yang bukan merupakan sasaran militer; c. melakukan penyerangan terhadap personil, instalasi, material, unit atau kendaraan yang terlibat dalam bantuan kemanusiaan atau misi perdamaian sesuai dengan piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa, selama mereka mempunyai hak untuk memberikan perlindungan terhadap orang-orang sipil atau objek-objek sipil menurut hukum internasional tentang konflik bersenjata; d. melakukan penyerangan yang diketahuinya bahwa serangan tersebut menyebabkan kematian atau luka terhadap orang-orang sipil atau kerusakan terhadap objek-objek sipil atau kerusakan yang hebat, meluas, dan berjangka panjang terhadap lingkungan hidup yang berkelebihan dalam kaitannya dengan keuntungan militer yang bersifat nyata dan langsung yang diantisipasi; e. menyerang atau melakukan pemboman, dengan cara apapun, terhadap kota, desa, tempat pemukiman, gedung, kawasan demiliterisasi, atau kawasan-kawasan yang tidak dipertahankan dan bukan merupakan sasaran militer; f. membunuh atau melukai orang yang sudah tidak ikut berperang lagi karena luka, sakit dan ditahan, termasuk peserta perang yang telah meletakan senjatanya atau tidak lagi memiliki alat untuk mempertahankan diri yang telah menyerah atas kehendak sendiri; g. menyalahgunakan bendera gencatan senjata, bendera atau lencana dan seragam militer musuh atau Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau emblem khusus Konvensi Jenewa dan tanda-tanda perlindungan lain yang diakui oleh hukum internasional, yang mengakibatkan kematian atau luka berat; h. pemindahan, baik secara langsung maupun tidak langsung penduduk sipil oleh kekuasaan pendudukan dari wilayahnya sendiri ke wilayah yang diduduki, atau pengusiran atau pemindahan seluruh atau sebagian penduduk dari wilayah yang diduduki ke luar wilayah tersebut; 3

i. melakukan penyerangan terhadap bangunan-bangunan untuk keperluan ibadah, pendidikan, seni, ilmu pengetahuan, atau tujuan amal, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat-tempat dimana orang sakit dan luka dikumpulkan, dengan ketentuan bahwa bangunan-bangunan tersebut bukan merupakan sasaran militer; j. menjadikan sebagai objek orang-orang yang berada dalam pengawasan pihak lawan untuk dijadikan objek pemotongan atau mutilasi fisik atau pengobatan atau percobaan ilmiah, yang tidak dapat dibenarkan baik oleh kedokteran, kedokteran gigi maupun rumah sakit terhadap orang tersebut, atau dilakukan untuk kepentingannya yang menyebabkan kematian atau secara serius membahayakan kesehatan orang atau orang-orang tersebut, termasuk pengambilan jaringan atau organ untuk tujuan pencangkokan orang tersebut. k. membunuh atau melukai secara curang orang-orang atau tentara dari pihak musuh; l. menyatakan tidak akan memberikan pengampunan; m. menghancurkan atau menyita harta kekayaan musuh, kecuali penghancuran atau penyitaan tersebut secara sangat mendesak diminta untuk dilakukan guna keperluan perang; n. menyatakan dalam pengadilan, penghapusan, penundaan, atau penolakan hak dan tindakan para warga negara dari pihak musuh; o. memaksa para warga dari pihak musuh untuk ikut berperang melawan negaranya sendiri, walaupun warga tersebut terikat ebagai tentara bayaran sebelum perang tersebut dimulai; p. menjarah kota atau tempat walaupun dilakukan dalam penyerangan; q. menggunakan racun atau senjata-senjata beracun; r. menggunakan gas yang menyesakkan nafas, gas beracun atau gas lainnya, dan segala cairan, material, atau perlengkapan yang semacam; s. menggunakan peluru yang meluas atau merata di dalam badan manusia seperti peluru dengan suatu selubung keras yang tidak seluruhnya mencakup inti atau ditembus dengan irisan; t. menggunakan senjata, proyektil, dan material atau cara-cara berperang yang secara alamiah menyebabkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu atau yang bersifat tidak pandang bulu yang melanggar hukum internasional tentang konfilk bersenjata yang secara luas dilarang; u. kekejaman terhadap martabat perorangan, khususnya tindakantidakan yang menghina dan merendahkan; v. memperkosa, memperbudak secara seksual, pelacuran paksa, penghamilan paksa, sterilisasi paksa, atau suatu bentuk lain kekerasan seksual yang berupa pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa; w. mendayagunakan kehadiran penduduk sipil atau orang-orang yang dilindungi untuk mempertahankan tempat-tempat tertentu, area, atau pasukan militer yang kebal dari operasi militer; 4

x. memerintahkan penyerangan terhadap bangunan, material, unit medis dan angkutan, dan personil dengan menggunakan emblememblem khusus dari Konvensi Jenewa dari hukum internasional; y. menggunakan penderitaan penduduk sipil sebagai suatu cara perang melalui pencabutan atau penghilangan objek-objek yang sangat dibutuhkan terhadap kehidupan mereka, termasuk merintangi penyediaan pertolongan sebagaimana ditentukan oleh Konvensi Jenewa; z. wajib militer dan mendaftar anak-anak di bawah usia 15 (lima belas) tahun ke dalam angkatan bersenjata nasional atau menggunakan mereka untuk berperan serta secara aktif dalam peperangan; aa. menunda pemulangan atau repatriasi tawanan perang atau orang sipil secara tidak sah; atau bb. praktek-praktek yang tidak manusiawi dan merendahkan derajat, termasuk kekejaman terhadap martabat manusia yang didasarkan pada diskriminasi ras dan praktek-praktek apartheid. 2. Pasal 402b Dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, setiap orang yang dalam konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional melakukan pelanggaran serius atas Pasal 3 yang sama Konvensi-Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, yaitu perbuatan terhadap orang-orang yang tidak terlibat secara aktif dalam peperangan termasuk anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjata karena sakit, luka, ditahan atau karena sebab lain sebagaimana dimaksud dalam Konvensi Jenewa, berupa: a. kekerasan terhadap kehidupan dan orang khususnya pembunuhan dalam segala bentuknya, mutilasi, tindakan kejam dan penyiksaan; b. kekejaman terhadap martabat pribadi khususnya penghinaan dantindakan merendahkan; c. penyanderaan; atau d. penerapan pidana dan pelaksanaan pidana mati tanpa adanyaproses peradilan sebelumnya yang sah, yang memberikan segalajaminan yudisial yang diperlukan dalam proses peradilan yang adil. 3. Pasal 402c Dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, ataupidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun, setiap orang yang dalam konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional melakukan pelanggaran berat terhadap hukumdan kebiasaan yang berlaku dalam kerangka hukum internasional,berupa: a. memerintahkan serangan terhadap penduduk sipil atau terhadapseorang sipil yang tidak terlibat langsung dalam perang; b. memerintahkan serangan terhadap bangunan-bangunan, material,unit-unit medis dan angkutan dan personil yang menggunakanlambang khusus Konvensi Jenewa sesuai dengan hukuminternasional; 5

c. memerintahkan serangan terhadap personil, instalasi, material,unitunit atau kendaraan yang terlibat dalam suatu bantuankemanusiaan atau misi perdamaian atas dasar piagam PerserikatanBangsa- Bangsa;memerintahkan serangan terhadap bangunan yang digunakan untuk kepentingan agama, pendidikan, seni, tujuan ilmupengetahuan dan amal, monumen bersejarah, rumah sakit, dantempat-tempat dimana orang-orang yang sakit dan lukalukadikumpulkan di luar kepentingan untuk tujuan militer;penjarahan kota-kota dan tempat-tempat juga apabila dilakukandalam rangka serangan; d. memperkosa, melakukan perbudakan seksual, pemaksaanpelacuran, pemaksaan kehamilan, pemaksaan sterilisasi, danbentuk-bentuk lain kekerasan seksual yang merupakanpelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa; e. wajib militer dan mendaftar anak-anak di bawah umur 15 (limabelas) tahun sebagai anggota angkatan bersenjata danmenggunakannya untuk berperan serta aktif dalam peperangan; f. memerintahkan pemindahan penduduk sipil dengan alasanalasanyang berkaitan dengan konflik, kecuali keamanan dari penduduksipil terkait atau demi kepentingan yang diwajibkan atas dasaralasan militer; g. membunuh atau melukai secara curang peserta perang musuh; h. menyatakan tidak ada pengampunan yang akan diberikan; i. menjadikan orang-orang yang berada dalam kekuasaan pihak lainyang terlibat konflik sebagai sasaran mutilasi fisik atau percobaanmedis atau ilmiah yang tidak dapat dibenarkan baik atas tindakanmedis, memeliharaan gigi, rumah sakit terhadap yang bersangkutanmaupun atas dasar kepentingannya, dan yang menyebabkankematian atau bahaya yang besar terhadap kesehatan arang atauorang-orang tersebut; ataumerusak atau merampas kekayaan dari musuh tanpa alasanalasanyang diperlukan dalam rangka konflik. Usulan Pasal 402a mengusulkan pelanggaran Serius lainnya (26 macam pelanggaran). Pasal ini melindungi seluruh orang dari peristiwa perang (Pasal 402 hanya dimaksudkan melindungi tawanan yang dikuasai pihak lawan). Tentang istilah pelanggaran dan kejahatan, istilah pelanggaran dipakai karena melanggar hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata. Pasal 402 melanggar Konvensi Jenewa, sedangkan Pasal 402a lebih pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata internasional. Dapat juga dibuat format unsur kualifikasi tindak pidana. Contoh setiap orang yang: a, b, dan seterusnya. Namun dipandang penting untuk memasukkan frasa hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata internasional. Tindakan penyerangan terhadap penduduk sipil ada yang benar dan salah sehingga perlu disebut payung hukumnya (atau mungkin dapat masuk dalam Bagian Penjelasan). Contoh payung hukum acara perang misalnya Konvensi DenHaag dalam Protokol ICC. 6

Pandangan lain dari pasal ini adapun unsur penting dalam hal ini adalah pelanggaran hukum dan kebiasaan tersebut karena membutuhkan pembuktian. Namun yang menjadi masalah adalah belum diratifikasinya ICC. Pasal 402b mengatur pelanggaran serius atas Pasal 3 yang sama dengan Konvensi Jenewa yaitu perbuatan terhadap orang-orang yang tidak terlibat secara aktif dalam perang non-internasional. Pasal 402c mengatur seperti Pasal 402a yang berlaku dalam perang noninternasional. Pasal ini merupakan perlindungan terhadap semua orang yang tidak terlibat perang. Perang Non-Internasional, definisinya ada di dalam Pasal 1 Protocol. Pasal 402b dan c ini diambil dari Pasal 3 Konvensi Jenewa yakni setiap negara dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya perlu memuat sanksi terhadap kejahatan humanitair. Sehingga diharapkan sebuah negara dapat dan mampu memberi sanksi terhadap tindakan-tindakan dalam Pasal 402b dan 402c. Namun ada pendapat lain menyatakan usulan Pasal 402b dan 402c tidak dapat diaplikasikan berdasarkan UUD NRI 1945 mengenai definisi perang. Perang dalam negeri tidak dikenal dalam konstitusi melainkan hanya perang internasional. Adapun dalam negeri lebih disebut pemberontakan atau makar. Rapat ditutuppukul 12.32 WIB PIMPINAN KOMISI III DPR RI, WAKIL KETUA DR. BENNY K. HARMAN, SH 7