dokumen-dokumen yang mirip
Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN


I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

III. BAHAN DAN METODE

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)

II METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian

2. TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 6 Kenampakan pada citra Google Earth.

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

III. METODE PENELITIAN

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.3. Metode Penelitian

Evaluasi Kesesuaian Tutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2009 Dengan Peta RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa

II. BAHAN DAN METODE

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

BAB III METODE PENELITIAN

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

KLASIFIKASI PENUTUPAN LAHAN HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN BUDURAN, KABUPATEN SIDOARJO, PROPINSI JAWA TIMUR, DENGAN CITRA TERRASAR-X HIGH RESOLUTION

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

5. SIMPULAN DAN SARAN

PENILAIAN DAN KUNCI PENGELOLAAN LAHAN BASAH:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI PENELITIAN

Anita Dwijayanti, Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

+ MODEL SPASIAL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA DI ATAS PERMUKAAN TANAH MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 12.5 M MITRA ELISA HUTAGALUNG

Eko Yudha ( )

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

III. BAHAN DAN METODE. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Transkripsi:

BAB II METODE PENELITIAN 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus 2010 sampai bulan September 2011, diawali dengan tahap pengambilan data sampai dengan pengolahan dan penyusunan laporan. Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Remote Sensing dan GIS Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada bulan September 2010 Agustus 2011. 2.2 Alat, Software, Hardware, dan Data Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS CS 60, klinometer, pita ukur, dan kamera. Hardware dalam penelitian ini menggunakan satu unit komputer yang dilengkapi dengan software Erdas Imagine Ver 9.1, ArcView GIS Ver 3.2. Data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Data Spasial a. Data citra ALOS PALSAR perekaman bulan Juni tahun 2009 dengan resolusi spasial 50 m, polarisasi HH dan HV. Citra ALOS PALSAR merupakan citra hasil perekaman penginderaan jauh sistem aktif dengan menggunakan tenaga elektromagnetik yang dibangkitkan oleh sensor radar. Kata RADAR merupakan suatu singkatan untuk Radio Detecting and Ranging. Sesuai dengan nama yang digunakan, radar dikembangkan sebagai suatu cara yang menggunakan gelombang radio untuk mendeteksi adanya objek dan menentukan jarak (posisi)-nya (Lillesand dan Kiefer 1990). Tenaga yang dibangkitkan berupa pulsa berenergi tinggi. Tenaga dipancarkan pada waktu yang sangat pendek sekitar 10-6 detik. Pancarannya ditujukan pada arah objek sehingga pulsa radar mengenai objek, dan dipantulkan kembali ke sensor radar. Sensor radar dapat mengukur dan

6 arah pengamatan antena, erat hubungannya dengan arah objek, yang mempengaruhi pantulan balik pulsa radar (Purwadhi 2001). Sinyal radar dapat ditransmisikan dan/atau diterima dalam bentuk polarisasi yang berbeda. Maksudnya, sinyal dapat disaring sedemikian rupa sehingga getaran gelombang elektrik dibatasi hanya pada satu bidang datar yang tegak lurus arah perjalanan gelombang. Satu sinyal SLAR dapat ditransmisikan pada bidang mendatar (H) ataupun tegak (V). Sinyal tersebut dapat pula diterima pada bidang mendatar atau tegak. Jadi, kita mempunyai kemungkinan empat kombinasi sinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda yaitu dikirim H, diterima H, dikirim H, diterima V, dikirim V, diterima H, dikirim V, dan diterima V. Citra dengan polarisasi searah dihasilkan dari paduan HH dan VV. Citra dengan polarisasi silang dihasilkan dari paduan HV dan VH. Karena berbagai objek mengubah polarisasi tenaga yang mereka pantulkan dalam berbagai tingkatan maka bentuk polarisasi sinyal mempengaruhi kenampakan objek pada citra yang dihasilkan (Lillesand dan Kiefer 1990). Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) adalah satelit milik Jepang yang diluncurkan pada 24 Januari 2006 menggunakan roket H-II dan didesain untuk dapat beroperasi selama 3-5 tahun. ALOS merupakan satelit Jepang yang menjadi pengembangan satelit sebelumnya yakni JERS (Japanesse Earth Resources Sattelite). ALOS dilengkapi tiga instrumen penginderaan jauh yaitu PRISM (Panchromatik Remote-sensing Instrumen Stereo Mapping), AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2) dan PALSAR (Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar). PALSAR merupakan sensor gelombang mikro aktif menggunakan frekuensi L-band. Sensor ini memberikan kinerja yang lebih tinggi daripada sensor SAR (Synthetic Apertur Radar) pada satelit JERS-1. Hamazaki (1999) menjelaskan bahwa PALSAR adalah pengembangan versi dari JERS-1/SAR. PALSAR dapat digunakan untuk observasi kawasan, pengamatan bencana, dan survei sumber daya alam. PALSAR memiliki sudut insidensi 8 60 derajat. PALSAR dalam mode resolusi tinggi dengan sudut insidensi standar (39 derajat) memiliki resolusi spasial 10 m dengan luas jangkauan 70 km, -23 db

7 rasio noise. Mode PALSAR ScanSAR memiliki tambahan untuk resolusi tinggi konvensionil. Dengan mode ini kita dapat mendapatkan citra SAR seluas 250 sampai 350 km yang lebih luas 3 sampai 5 kali dari ukuran citra SAR konvensionil. Sensor PALSAR bisa memodifikasi sudut nadir dalam selang 10 sampai 51 menggunakan teknologi antena phased-array dengan 80 receive/transmit modul. ScanSAR mode dapat menghasilkan cakupan citra seluas 350 km dengan polarisasi tunggal secara horisontal (HH) maupun vertikal (HV). Polarsasi berubah di setiap transmisi pulsa dan dua polarisasi sinyal yang diterima bersamaan. Dengan batas maksimum data transmisi (240 mbit/sec) kita dapat memperoleh cakupan data dengan lebar 30 km dan resolusi spasial 30 m. Karakteristik PALSAR disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik PALSAR Mode Karakteristik Polarimetric Fine ScanSAR (Experiment Mode) Frekuensi 1.270 MHz (L-Band) Lebar Kanal 28/14 MHz Polarisasi HH/VV/HH+HV atau HH atau HV HH+HV+VH+VV VV+VH Resolusi 10 m (2 look)/20 m 100 m (multi look) 30 m Spasial (4 look) Lebar Cakupan 70 km 250-350 km 30 km Incidence 8-60 derajat 18-43 derajat 8-30 derajat Angle NE Sigma 0 <-23 db (70 km) <-25 db <-29 db >-25 db (60 km) Panjang Bit 3 bit atau 5 bit 5 bit 3 bit atau 5 bit Ukuran AZ:8.9 m x EL:2.9 m Sumber : Jaxa (2006) b. Data vektor Data vektor yang digunakan dalam penelitian ini adalah data deliniasi hasil identifikasi visual tutupan lahan tahun 2010 pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m di wilayah Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten

9 2.3 Tahapan Pelaksanaan Tahapan pelaksanaan secara umum dapat dilihat pada Gambar 3. Mulai Persiapan dan Pengumpulan Data Hasil Pengecekan Lapang Tutupan Lahan Citra ALOS PALSAR Klastering dengan Klasifikasi Tidak Terbimbing Pengelompokan Tutupan Lahan Berdasarkan Hasil Klasifikasi Citra Analisis Separabilitas Evaluasi Akurasi Hasil Klasifikasi Perlu Merging? Ya Penggabungan Klaster (Merging) Tidak Penamaan Klaster (Labeling) Hasil Klasifikasi Citra Identifikasi Hutan Lahan Basah Nilai Akurasi diterima? Ya Tidak Peta Hasil Klasifikasi Selesai Gambar 3 Diagram alur penelitian.

10 2.3.1 Pra-pengolahan Citra Pra-pengolahan citra yang dilakukan pada penelitian ini adalah pemotongan citra (cropping). Pemotongan citra dilakukan untuk memisahkan areal yang menjadi fokus penelitian. Pada tahap ini dilakukan pemotongan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dengan bantuan software ArcView 3.2 sesuai dengan lokasi penelitian yaitu Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut. Area penelitian Gambar 4 Citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV- HH/HV sebelum cropping.

11 Gambar 5 Citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV- HH/HV setelah cropping. 2.3.2 Analisis Data Citra 2.3.2.1 Identifikasi Visual Tutupan Lahan Identifikasi visual tutupan lahan dilakukan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m yang telah di potong (crop). Identifikasi awal tutupan lahan ini dilakukan dengan menggunakan elemen-elemen interpretasi. Gambar 6 Identifikasi visual tutupan lahan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m perekaman tahun 2009.

12 2.3.2.2 Pembuatan Lokasi Titik Pengamatan Lokasi titik pengamatan ditentukan dengan metode systematic sampling with random start, dimana peletakan titik dalam areal dilakukan dengan sampling sistematik yang dimulai secara acak. Pengambilan titik pengamatan ini menggunakan ekstensi IHMB-Jaya versi 6 pada Arc View GIS 3.2. Selanjutnya dilakukan pembuatan buffer pada peta jaringan jalan selebar 1 km. Buffer itu sendiri merupakan suatu wilayah (zona) dari suatu jarak tertentu di sekitar tentitas fisik seperti titik, garis, ataupun poligon. Kemudian dibuat titik observasi dengan jarak antar titik sepanjang 500 m dan di overlay dengan peta jaringan jalan yang telah di buffer tersebut. Titik-titik yang telah diperoleh tadi kemudian dipilih berdasarkan keterwakilan terhadap tutupan lahan (purposive). Jumlah titik pengamatan pada masing-masing tutupan lahan disesuaikan dengan luas masingmasing tutupan lahan dengan jumlah keseluruhan sebanyak 83 titik yang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah titik pengamatan tutupan lahan No Objek tutupan lahan Jumlah Titik yang dibuat Titik yang ditemukan 1 Hutan rawa 13 13 2 Hutan mangrove 4 4 3 Permukiman 13 13 4 Sawah 13 13 5 Semak belukar 25 22 6 Kebun campuran 7 9 7 Perkebunan karet 3 3 8 Badan air 3 3 9 Lahan terbuka 2 3 Jumlah 83 83 Terdapat sembilan kategori tutupan lahan beserta definisinya yang ada pada lokasi penelitian, yaitu: 1. Hutan rawa Hutan rawa merupakan tipe ekosistem hutan yang dipengaruhi faktor edafik berupa genangan air. Biasanya dibedakan menjadi hutan rawa dan hutan rawa gambut. Jenis-jenis pohon yang dominan pada tipe hutan ini adalah gelam

13 (Melaleuca leucadendra) dengan ukuran diameter berkisar antara 5 cm sampai dengan 15 cm. Hutan rawa pada penelitian ini ditemukan di Kabupaten Banjar, Kabupaten Kota Banjarbaru, dan Kabupaten Tanah Laut. Tampilan hutan rawa pada citra disajikan pada Gambar 7b. 2. Hutan mangrove Hutan mangrove merupakan hutan yang khas yang didominasi oleh tumbuhan yang relatif toleran terhadap perubahan salinitas yang berada di sekitar pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Jenis pohon dominan yang ditemukan di lokasi penelitian adalah Sonneratia sp. Pada penelitian ini hutan mangrove ditemukan di Kabupaten Tanah Laut. Tampilan hutan mangrove disajikan pada Gambar 7c dan 7d. 3. Permukiman Permukiman merupakan kawasan yang didominasi lingkungan hunian baik berupa kawasan perkotaan, pertokoan maupun pedesaan, yang memperlihatkan pola alur yang teratur dengan penataan tanah dan ruang, sarana dan prasarana lingkungan yang terstruktur. Pada pemukiman desa biasanya kenampakan vegetasi masih banyak terlihat. Pada citra ALOS PALSAR, permukiman berwarna pink, kuning, putih, hijau dan kombinasi di antara warnawarna tersebut (Gambar 7f). 4. Sawah Sawah merupakan semua aktivitas pertanian lahan basah yang dicirikan oleh pola pematang dan sistem irigasi. Pada citra ALOS PALSAR, sawah memiliki tone/warna biru, biru kehijauan dan biru keunguan (Gambar 8b). Pola spasial sangat teratur dengan lokasi yang umumnya berasosiasi dengan pemukiman. 5. Semak belukar Semak belukar merupakan tumbuhan alami berupa rumput, perdu dan pohon kecil. Semak belukar pada citra ALOS PALSAR, memiliki tampilan warna

14 ungu/hijau dengan bentuk poligon tidak teratur, ukuran kecil, tekstur tidak teratur, tekstur warna halus, dan dengan kesan topografi kasar (Gambar 8d). 6. Kebun campuran Kebun campuran merupakan seluruh kawasan yang ditanami tanaman tahunan dan dengan tanaman beranekaragam jenis. Warnanya beragam karena memiliki komposisi jenis, umur, jarak tanaman dan ukuran (tinggi dan diameter) yang beragam. Pada citra ALOS PALSAR kebun campuran dapat diidentifikasi dari warnanya yang hijau bercampur kuning. Selain itu, teksturnya yang kasar juga membantu dalam mengenali kebun campuran pada citra (Gambar 8f). 7. Perkebunan karet Perkebunan karet merupakan seluruh area yang ditanami tanaman karet yang dikelola dengan pola tanaman tertentu. Pada citra ALOS PALSAR, perkebunan karet memiliki tone/warna biru (karet muda) sampai ke hijau kekuningan (karet tua) dengan pola yang teratur. Selain melihat elemen warna dan pola, teksturnya yang halus juga sangat membantu dalam proses identifikasi (Gambar 9b). 8. Lahan terbuka Lahan terbuka merupakan seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi (batuan puncak gunung, kawah vulkan, gosong pasir, pasir pantai), lahan terbuka bekas kebakaran,dan lahan terbuka yang tidak di tumbuhi alangalang/rumput (Gambar 9c). 9. Badan air Badan air merupakan semua kenampakan perairan, termasuk laut, sungai, danau, dan waduk. Kenampakan tambak, sawah, dan rawa-rawa digolongkan tersendiri. Badan air pada citra ALOS PALSAR memiliki warna biru dengan tekstur halus, dalam ukuran yang besar (untuk laut), serta bentuknya yang memanjang dan berliku-liku (untuk sungai) (Gambar 9f).

15 a b Koordinat: 114,71 o BT ; 3,49 o LS c d Koordinat: 114,59 o BT; 3,59 o LS e f Koordinat: 114,60 o BT; 3,32 o LS Gambar 7 a) foto hutan rawa, b) hutan rawa pada citra ALOS PALSAR, c) foto hutan mangrove, d) hutan mangrove pada citra ALOS PALSAR, e) foto permukiman, f) permukiman pada citra ALOS PALSAR.

16 a b Koordinat: 114,68 o BT; 3,37 o LS c d Koordinat: 114,82 o BT; 3,56 o LS e f Koordinat: 114,83 o BT; 3,57 o LS Gambar 8 a) foto sawah, b) sawah pada citra ALOS PALSAR, c) foto semak belukar, d) semak belukar pada citra ALOS PALSAR, e) foto kebun campuran, f) kebun campuran pada citra ALOS PALSAR.

17 a b Koordinat: 114,81 o BT; 3,53 o LS c d Koordinat: 114,71 o BT; 3,47 o LS e Gambar 9 f Koordinat: 114,55 o BT; 3,33 o LS a) foto perkebunan karet, b) perkebunan karet pada citra ALOS PALSAR, c) foto lahan terbuka, d) lahan terbuka pada citra ALOS PALSAR, e) foto badan air, f) badan air pada citra ALOS PALSAR.

Gambar 10 Peta sebaran titik observasi pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m perekaman tahun 2009. 18

19 2.3.3 Pengecekan Lapangan (Ground Check) Pengecekan lapangan merupakan proses peninjauan langsung di lokasi penelitian terhadap obyek yang sebelumnya diinterpretasi menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m. Pengecekan lapangan dilakukan dengan dua metode, yaitu pengecekan titik dan pembuatan plot. Pengecekan titik digunakan pada obyek-obyek yang telah ditentukan sesuai dengan identifikasi awal tutupan lahan beserta tapaknya (basah atau kering) pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m. Sedangkan pembuatan plot contoh dilakukan pada kelas hutan rawa, kebun campuran, dan hutan mangrove untuk mengetahui potensi vegetasi (biomassa) tutupan lahan tersebut dan pengaruhnya pada satelit radar terhadap nilai dijital tiap piksel citra serta untuk memudahkan dalam proses identifikasi obyek (labeling). Pengamatan di lapangan dilakukan di lima kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan, yakni: Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut. Hasil dari identifikasi lapangan diperoleh 83 titik dan 9 jenis penutupan lahan yang tersebar di lokasi penelitian (Tabel 4). 2.3.4 Pengolahan Data Citra 2.3.4.1 Pembuatan Klaster Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m Pembuatan Klaster dilakukan pada citra yang telah dipotong sesuai dengan lokasi penelitian. Klastering dapat didefinisikan sebagai suatu teknik klasifikasi yang merupakan serangkaian proses untuk mengelompokkan observasi (dalam hal ini piksel) ke dalam suatu kelas atau klaster yang benar dalam suatu set kategori yang disusun. Klastering ini bertujuan untuk menemukan struktur kategori yang sesuai dengan observasi. Klastering ini dilakukan dengan metode klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) pada software Erdas Imagine Ver 9.1. Klasifikasi tidak terbimbing merupakan klasifikasi yang proses pembentukan kelas-kelasnya sebagian besar dikerjakan oleh computer yang berarti klaster yang terbentuk dalam klasifikasi ini sangat bergantung kepada data itu sendiri. Dalam prosesnya, klasifikasi ini mengelompokkan piksel-piksel berdasarkan kesamaan atau kemiripan spektralnya (Jaya 2010). Klasifikasi ini mengelompokkan pikselpiksel berdasarkan kesamaan atau kemiripan spektralnya. Proses ini

20 mengkelaskan citra tersebut menjadi 25 klaster. Pembuatan klaster tersebut menggunakan metode Euclidean Distance yang perhitungannya menggunakan rumus sebagai berikut (Jaya 2010): = [ ( ) ] / dimana: = jarak antar klaster i, j = klaster ke -i dan ke -j k = peubah ke k n = jumlah peubah Dalam rangka memudahkan melakukan analisis pengkelasan berdasarkan tingkat kemiripan dari masing-masing ukuran klaster yang digunakan maka diperlukan suatu teknik untuk menyusun urutan pengelompokkan klaster, dari jumlah yang banyak sampai dengan jumlah yang kecil. Diagram yang menggambarkan pengelompokkan ini sering disebut dengan dendrogram. Metode penggambaran dendrogram yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tetangga terdekat (nearest neighbour method). Metode tetangga terdekat adalah metode penggambaran klaster berdasarkan pada jarak terdekat dari anggota klaster yang juga sering disebut dengan metode Single Linkage (Jaya 2010). 2.3.4.2 Analisis Separabilitas Separabilitas adalah ukuran statistik antar dua kelas (Jaya 2010). Setelah citra dikelaskan menjadi 25 klaster dengan metode klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification), dilakukan analisis separabilitas. Analisis separabilitas merupakan analisis yang di lakukan terhadap nilai keterpisahan antar klaster yang dibuat pada klasifikasi tidak terbimbing yang didapat dari pengukuran statistik bagi pemisahan antara pola spektral tiap jenis klaster yang tampak secara visual pada citra satelit. Metode separabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Transformed Divergence (TD) yang dilakukan pada software Erdas Imagine Ver 9.1. Nilai keterpisahan atau ukuran separabilitas tersebut dihitung dalam suatu bentuk matriks yang biasa disebut matriks Transformed Divergence (TD). Analisis separabilitas juga merupakan uji ketelitian dari kualitas klasifikasi yang dihitung tiap piksel pada citra.

21 Tabel 3 Kriteria tingkat keterpisahan Nilai Transformasi Keterpisahan 2000 1900 ~< 2000 1800 ~< 1900 1600 ~< 1800 < 1600 Sumber: Jaya (2006) Keterangan Sempurna (excellent) Sangat baik (good) Baik (fair) Kurang baik (poor) Tidak terpisahkan (inseperable) 2.3.4.3 Penggabungan Klaster (Merge) Menurut Jaya (2010) campur tangan analis yang penting adalah dalam proses pemberian nama (label) dari setiap kelas atau klaster yang terbentuk, serta mengevaluasi apakah klaster tersebut perlu digabungkan atau dihilangkan. Untuk mengevaluasi suatu lahan perlu digabung atau tidak berdasarkan kriteria tingkat keterpisahan dapat dilihat pada Tabel 3. Terlihat bahwa nilai keterpisahan yang kurang dari 1.800 dianggap kurang baik keterpisahannya. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan penggabungan kelas (merge) yang nilai keterpisahan antar kelasnya kurang dari 1.800. Proses ini dilakukan hingga nilai keterpisahan antar kelas dari seluruh klaster yang ada mencapai lebih dari 1.800 sehingga didapatkan beberapa klaster yang telah mencapai kriteria keterpisahan yang baik. 2.3.4.4 Penamaan Klaster (Labeling) Beberapa klaster yang nilai keterpisahannya sudah baik didasarkan pada matriks Transformed Divergence (TD) didapatkan setelah dilakukan analisis separabilitas dan penggabungan kelas pada 25 klaster. Pada klaster-klaster tersebut dilakukan identifikasi obyek (tutupan lahan), kemudian diberikan label atau nama yang sesuai dengan kondisi lapang. Penamaan klaster tersebut dilakukan berdasarkan karakteristik tutupan lahan dominan (jenis tutupan lahan dan tapak) setiap klaster dan potensi vegetasi (biomasa) dari tegakan yang ada pada masing-masing klasternya. Disamping pemberian label pada klaster-klaster hasil merging di citra tersebut, seluruh titik observasi lapang yang didapat juga dikelompokkan sesuai dengan label dari klaster-klaster yang ada pada citra sehingga dapat dilakukan evaluasi akurasi pada klaster-klaster tersebut.

22 2.3.4.5 Identifikasi Hutan Lahan Basah Proses identifikasi hutan lahan basah dilakukan setelah melakukan proses klasifikasi tidak terbimbing, analisis separabilitas, penggabungan kelas, dan pemberian label berdasarkan tutupan lahan dan karakteristik masing-masing klasternya. Tahap-tahap yang dilakukan dalam proses identifikasi hutan lahan basah yaitu studi literatur tentang pengertian lahan basah dan hutan lahan basah, identifikasi tutupan lahan apa saja pada citra yang termasuk dalam hutan lahan basah, dan memastikan tutupan lahan tersebut benar-benar basah dengan cara menyesuaikan dengan data tapak yang diambil sewaktu pengecekan lapang. 2.3.4.5.1 Deskripsi dan Kategori Lahan Basah Deskripsi lahan basah menurut Konvensi Ramsar (1971) merupakan daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; alami atau buatan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang ataupun mengalir; tawar, payau atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu air surut. Lahan basah pada umumnya merupakan ekosistem yang sangat produktif dan mempunyai banyak manfaat yang penting. Manfaat tersebut terkadang dianggap sebagai barang dan jasa. Lahan basah sebagai jasa yaitu berfungsi dalam pengisian air tanah dan pengendali banjir. Lahan basah sebagai barang yaitu berkaitan dengan penggunaan lahan basah itu sendiri, maupun lahan basah sebagai tempat untuk menghasilkan sesuatu (seperti tempat untuk mengumpulkan kayu atau penelitian). Selain sebagai barang dan jasa, lahan basah juga bermanfaat sebagai atribut, yaitu lahan basah memiliki keindahan alam dan kepentingan bagi upacara keagamaan. Klasifikasi lahan basah utama di Indonesia menurut Davies et al. (1995) disajikan dalam Gambar 11.

23 Rawa Hutan rawa Rawa non-hutan Hutan rawa gambut Hutan rawa non-gambut Lebak Non-lebak Hutan bakau Hutan bakau atau hutan air payau Lahan Basah Terumbu karang Padang lamun Danau Muara Sungai Sungai Danau/situ/telaga Kolam Danau buatan/bendungan Sungai/batang/air/way/sei Kolam sungai Pasang surut Sawah Non-pasang surut Tambak Kolam garam Tadah hujan Non-tadah hujan Sawah lebak Gambar 11 Klasifikasi lahan basah. 2.3.4.5.2 Hutan Lahan Basah 2.3.4.5.2.1 Hutan Bakau Hutan Bakau yang sering disebut hutan mangrove atau hutan payau merupakan hutan yang khas, didominasi oleh tumbuhan yang relatif toleran terhadap perubahan salinitas dan berada di tepi pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan bakau tumbuh di daerah tropis, pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar. Hutan bakau tidak tumbuh di pantai yang terjal atau berombak besar. Dengan perkiraan luas asal 4,25 juta hektar, Indonesia memiliki hutan bakau yang paling luas dan juga paling

24 beraneka ragam di dunia. Meskipun demikian, saat ini luas hutan bakau dikhawatirkan telah berkurang menjadi sekitar 2,5 juta hektar atau 60 % dari luas mula-mula. Hutan bakau yang paling luas terdapat di Papua (58 %), Sumatera (19 %) dan Kalimantan (16 %). Hutan bakau juga terdapat pada pulau-pulau yang lain namun dalam luasan yang terbatas (Davies et al. 1995). 2.3.4.5.2.2 Hutan Rawa Hutan rawa merupakan lahan rawa yang sebagian besar vegetasinya berupa pohon-pohon yang tingginya lebih dari lima meter dan mempunyai tajuk yang rapat. Hutan rawa terletak di daerah pedalaman maupun pesisir. Berdasarkan sistem tata guna lahan, yang termasuk hutan rawa yaitu hutan keranggas basah (kerapah), hutan sepanjang sungai (hutan ripari), dan hutan rawa gambut. Hutan rawa sangat penting peranannya sebagai daerah tangkapan air (watershed area). Hutan gambut dan hutan gelam (Melaleuca sp.) yang luas dapat berperan sebagai tempat cadangan air alami yang dapat menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya dan mengurangi resiko banjir (Davies et al. 1995). 2.3.5 Pengolahan Data Lapang Pengolahan data lapang yang dilakukan yaitu pengelompokan seluruh titik observasi lapang (ground check) berdasarkan hasil klasifikasi citra. Proses pengelompokan data tutupan lahan hasil observasi lapang dilakukan sesuai dengan label atau nama setiap klaster yang ada pada citra yang disesuaikan dengan karakteristik dari masing-masing label klaster tersebut. 2.3.6 Perhitungan Akurasi Hasil Klasifikasi Hasil klasifikasi tidak terbimbing yang telah melalui proses penggabungan klaster dan pemberian label dievaluasi menggunakan matriks kesalahan (confusion matrix) atau matriks kontingensi yang dibuat melalui proses klasifikasi piksel yang diwakili oleh titik referensi. Secara konvensional, akurasi klasifikasi biasanya diukur berdasarkan persentase jumlah piksel yang dikelaskan secara benar dibagi dengan jumlah total piksel yang digunakan (jumlah piksel yang terdapat di dalam diagonal matrik dengan jumlah seluruh piksel yang digunakan) (Jaya 2010). Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :

25 OA = 100 % Keterangan : OA = Overall Accuracy X ii = nilai diagonal dari matriks kontingens baris ke-i dan kolom ke-i N = banyaknya pixel dalam contoh r = jumlah baris atau kolom Akurasi yang saat ini dianjurkan untuk digunakan adalah akurasi Kappa. Akurasi ini menggunakan semua elemen dalam matrik. Secara matematis, akurasi Kappa ini dihitung dengan rumus sebagai berikut: K = 100 % Keterangan : K = Kappa Accuracy X = nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i X = jumlah piksel dalam kolom ke-i X = jumlah piksel dalam baris ke-i N = banyaknya piksel dalam contoh r = jumlah baris atau kolom Tabel 4 Skema perhitungan akurasi (Jaya 2007) Hasil Klasifikasi Citra Hasil Verifikasi Lapangan A B C Jumlah Piksel Akurasi Pengguna A X 11 X 12 X 13 X 1+ X 11/X1+ B X 21 X 22 X 23 X 2+ X 22/X2+ C X 31 X 32 X 33 X 3+ X 33/X3+ Total Piksel X +1 X +2 X +3 N Akurasi Pembuat X 11/X+1 X 12/X+2 X 13/X+3 Matrik kesalahan juga memberikan informasi mengenai penyimpangan klasifikasi yang berupa kelebihan jumlah piksel dari kelas yang lain atau omisi (omission) dan kekurangan jumlah piksel pada masing-masing kelas atau komisi (commission). Kesalahan omisi (omission error) atau dikenal juga dengan istilah akurasi pembuat (producer s accuracy/pa) merupakan akurasi yang diperoleh dengan membagi piksel yang benar dengan jumlah total piksel dari data acuan per kelas. Kesalahan komisi (commission error) atau dikenal juga dengan istilah akurasi pengguna (user s accuracy/ua) merupakan akurasi yang diperoleh

26 dengan membagi jumlah piksel yang benar dengan total piksel dalam kolom (Jaya 2007). PA = UA = ii i+ ii +i 100 % 100 % Keterangan : X = nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i X = jumlah piksel dalam baris ke-i X = jumlah piksel dalam kolom ke-i