BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasien Gagal Ginjal Kronis (GGK) yang menjalani hemodialisa pada umumnya mengalami anemia. Anemia pada pasien GGK terjadi terutama karena kekurangan erytropoietin. Faktor lain seperti defisiensi besi, defisiensi asam folat, penurunan kemampuan hidup sel darah merah, penghambatan eritropoesis pada sumsum tulang terutama oleh hormon paratiroid, kehilangan darah intestinal juga dapat mempengaruhi terjadinya anemia pada pasien GGK dan infeksi - inflamasi (Esbach, 2000; PERNEFRI, 2011). Prevalensi anemia pada pasien GGK menurut WHO adalah 84,5% dengan prevalensi pada pasien dialisis kronis menjadi 100% dan 73,1% pada pasien pradialisis. Jika kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 10 g/dl digunakan sebagai nilai minimal maka prevalensi anemia pada pasien dialisis adalah 96,2% dan 30,8% pada pradialisis. Di Amerika, menurut data URDS 2010 angka kejadian anemia pada GGK stadium 1-4 adalah sebesar 51,8%, dan kadar Hb rata-rata pada GGK tahap akhir 9,9 g/dl. Di Indonesia belum ada data epidemiologi anemia pada GGK yang bersifat nasional (PERNEFRI, 2011). Menurut European Best Practice Guidelines, anemia dapat mengakibatkan berkurangnya suplai dan konsumsi oksigen ke jaringan, peningkatan curah jantung, hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung, penurunan kemampuan kognitif, gangguan fungsi seksual dan endokrin serta penekanan sistem imun. Oleh karena itu, anemia pada pasien GGK terbukti dapat mempengaruhi kualitas hidup, 1
meningkatkan morbiditas dan mortalitas serta angka perawatan di rumah sakit. (Jacobs et al., 2000; PERNEFRI, 2011). Perubahan pada kadar Hb berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler yang sering terjadi pada pasien GGK. Kadar Hb yang rendah berhubungan dengan outcome klinik yang jelek pada pasien GGK karena dapat menyebabkan perubahan pada struktur dan fungsi jantung, baik pada pasien GGK dan merupakan penyebab utama kematian pada pasien dialisis. Anemia pada GGK dapat diterapi dengan pemberian Recombinant Human Erythropoetin (r-huepo) atau transfusi. Salah satu penanggulangan anemia yang sering dilakukan adalah transfusi darah menggunakan Packed Red Cell (PRC) Namun tindakan ini mempunyai kelemahan karena dapat menularkan berbagai macam penyakit, seperti hepatitis B, hepatitis C dan HIV. Transfusi darah juga dapat menimbulkan reaksi transfusi, komplikasi hemosiderosis, depresi sumsum tulang, overhidrasi, dan meningkatkan sensitisasi terhadap Human Leucocyte Antigen (HLA). Penanganan untuk anemia defisiensi besi diatasi dengan pemberian preparat besi. Selain itu, pada pasien dengan status gizi rendah harus diperbaiki dengan pemberian penerangan gizi yang baik dan hemodialisis yang adekuat (PERNEFRI, 2011; KDIGO, 2012). Menurut National Kidney Foundation di Amerika (NKF-K/DOQI) merekomendasikan pemberian Recombinat Human Erythropoeitin (r-huepo) pada semua tingkat GGK, baik yang belum atau telah menjalani terapi dialisis. Terapi r-huepo pada pasien GGK telah terbukti bermakna secara klinik (Evidence level A) dapat menghilangkan gejala maupun mengurangi komplikasi 2
akibat anemia pada pasien GGK. Selain itu terapi r-huepo dapat mengurangi kebutuhan transfusi darah, mengurangi komplikasi transfusi, mengurangi efek sekunder anemia terhadap sistem kardiovaskuler, serta meningkatkan kualitas hidup secara umum (PERNEFRI, 2011). Walaupun sudah dibuktikan bahwa pemberian r-huepo pada GGK secara bermakna memperbaiki kualitas hidup penderita, mengingat harganya yang mahal sehingga tidak semua pasien beruntung dan mampu mendapatkannya. Kondisi tersebut mengakibatkan pasien terkadang tidak mendapatkan pengobatan yang semestinya. Terbentur dengan faktor ekonomi memaksakan mereka untuk mencari sumber pembiayaan lain atau asuransi seperti jamkesmas dan jamkesda. Pasien GGK dengan hemodialisa umumnya dengan asuransi kesehatan seperti ASKES, Jamkesmas, Jamkesda, Jamsostek atau asuransi lain meskipun ada juga yang dengan biaya sendiri namun sangat sedikit. Berdasarkan survei pendahuluan yang telah dilakukan pada bebarapa rumah sakit di Cilacap dan Banyumas, pasien GGK yang menjalani hemodialisis mempunyai status cara bayar/asuransi yang berbeda-beda. Asuransi yang berbeda akan mempengaruhi outcome terapi karena tiap asuransi mempunyai standar pelayanan yang berbeda. ASKES mempunyai persyaratan atau retriksi/pembatasan yang harus dipenuhi pasien ASKES untuk mendapatkan r- HuEPO pasien telah menjalani hemodialisis minimal 3 bulan, kadar Hb maximal 10 g/dl dan kadar serum iron- total iron binding capacity (SI-TIBC) tidak boleh kurang dari 20%, sementara itu pada Jamkesmas r-huepo tidak masuk dalam formularium. Biaya yang mahal dan tidak sesuai dengan pembayaran pembiayaan 3
tindakan hemodialisa untuk pengelolaan sumber daya yang ada secara efisien, sehingga hampir sebagian besar rumah sakit di Indonesia tidak mampu memberikan r-huepo untuk terapi anemia pada pasien tersebut. Ada pula rumah sakit yang mempunyai kebijakan tersendiri terkait strategi agar rumah sakit tidak merugi dalam hal terapi anemia, diantaranya dengan cara merawat inapkan pasien jika akan terapi anemia untuk pasien dengan asuransi tertentu sehingga biaya yang dikeluarkan akan seimbang dengan biaya yang akan diterima / klaim pihak rumah sakit. Banyak klinisi yang mengharapkan r-huepo dapat diberikan pada terapi anemia pada pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisa untuk pasien jamkesmas. Pertimbangan penggunaan suatu obat dalam pengobataan suatu penyakit selain memenuhi syarat efektivitas dan keamanan juga memperhitungkan aspek farmakoekonomi. Farmakoekonomi didefinisikan sebagai deskripsi dan analisa biaya terapi dalam suatu sistem pelayanan kesehatan atau proses identifikasi, mengukur dan membandingkan biaya, risiko serta keuntungan dari suatu program pelayanan dan terapi. Informasi farmakoekonomi saat ini dianggap sama pentingnya dengan informasi efikasi dan keamanan dalam menentukan pilihan obat mana yang akan digunakan (Trisna, 2008). Seiring dengan berkembangnya pelayanan farmasi klinik yang dilakukan oleh apoteker di berbagai belahan dunia, maka ruang lingkup farmakoekonomi juga meliputi studi tentang manfaat pelayanan farmasi klinik secara ekonomi. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam upaya menjadikan pelayanan kesehatan lebih efisien dan ekonomis ditantang untuk mampu melakukan penilaian menyeluruh terhadap suatu obat baik dari segi 4
efektifitas obat maupun dari segi nilai ekonomisnya. Farmasis dapat berperan untuk memastikan bahwa terapi obat dan layanan farmasi tidak hanya aman dan efektif, namun juga menyediakan nilai sesungguhnya pada outcome ekonomis, klinik dan humanistik (Bootman et al, 2005). Untuk itu maka dipandang perlu dilakukan penelitian tentang analisis efektivitas dan biaya r-huepo dan transfusi PRC pada terapi anemia pasien GGK yang menjalani hemodialisis guna mengetahui perbandingan efektivitas dan biaya kedua obat tersebut. B. Perumusan Masalah masalah: Dari latar belakang masalah tersebut diatas maka dapat dirumuskan 1. Bagaimana perbedaan efektifitas terapi r-huepo dan transfusi PRC pada terapi anemia pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis? 2. Bagaimana gambaran biaya r-huepo dengan transfusi PRC pada terapi anemia pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui perbedaan efektivitas terapi r- HuEPO dan transfusi PRC pada terapi anemia pasien GGK yang menjalani hemodialisis. 2. Untuk mengetahui gambaran biaya terapi r-huepo dan transfusi PRC pada terapi anemia pasien GGK yang menjalani hemodialisis. 5
D. Keaslian Penelitian Penelitian tentang penanganan anemia pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis antara lain: 1. Penelitian yang dilakukan oleh grup penelitian dari Kanada tentang erytropoietin pada tahun 1990 menunjukkan hasil bahwa pasien yang menerima erytropoietin mengalami pengurangan kelelahan dan keluhan fisik serta peningkatan pada toleransi latihan dibandingkan dengan yang tidak menerima erytropoietin. 2. Penelitian Sheingold et al., (1992) mengenai dampak pemberian r-huepo pada biaya medis pasien hemodialisis di Kanada menunjukkan hasil bahwa r- HuEPO mengurangi kebutuhan transfusi darah hampir 10 unit per pasien per tahun dan mengurangi hari rawat inap sampai 8 hari per tahun. Keberhasilan transplantasi karena r-huepo mengakibatkan 150 pasien lebih sedikit menjalani perawatan dialisis per tahun dan penghematan biaya $ 1.775 per tahun per pasien. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Sumeru (1999) tentang pengaruh erytropoietin dosis kecil subkutan terhadap perbaikan anemia pada gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis rutin pada tahun 1999 menunjukkan bahwa kenaikan Hb maupun hematokrit antara kelompok plasebo dan kelompok perlakuan tidak bermakna. 4. Penelitian Furuland et al., (2003) tentang normalisasi hemoglobin menggunakan erytropoietin alfa pada pasien pre-dialisis dan dialisis menunjukkan hasil bahwa normalisasi hemoglobin dapat meningkatkan 6
kualitas hidup pasien dialisis, dan juga aman serta dapat dipertimbangkan pada pasien stadium akhir penyakit ginjal. 5. Penelitian yang dilakukan oleh Tonelli et al (2003) tentang The cost effectiveness of maintaining higher hemoglobin targets with erythropoietin in hemodialysis patients, menunjukkan bahwa dosis r-huepo intravena untuk mencapai hemoglobin acak, r-huepo digunakan untuk meningkatkan Hb target 11-12 g/dl terkait dengan tingkat Hb yang lebih tinggi berdampak pada biaya efektivitas terapi r-huepo. 6. Penelitian yang dilakukan oleh Roesli dkk., (2005) mengenai kenaikan kadar hemoglobin setelah pemberian erytropoietin alfa (Hemapo ) selama 12 minggu pada penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung menunjukkan hasil bahwa pemberian erytropoietin alfa (Hemapo ) selama 12 minggu efektif meningkatkan hemoglobin dan hematokrit pada penderita gagal ginjal yang sedang menjalani dialisis. Setelah 12 minggu rerata Hb meningkat bermakna 29,3% dan rerata hematokrit meningkat bermakna 31,8%. Terdapat peningkatan tekanan darah pada 15% penderita, flu like syndrome 12,5% penderita. Tidak ditemukan efek samping lain selama pengobatan. 7. Penelitian yang dilakukan oleh Suega dkk., pada tahun 2005 menunjukkan bahwa korelasi antara kadar Hb dan durasi hemodialisis tidak bermakna. Demikian pula hubungan antara tingkat Hb dan serum kreatinin juga tidak bermakna. 7
8. Penelitian Schiffl dan Lang (2006) mengenai defisiensi asam folat yang dapat mempengaruhi respon terapi erytropoietin pada pasien yang menjalani dialisis menunjukkan hasil bahwa penggunaan asam folat dosis tinggi selama 6 bulan pada pasien dengan anemia makrositik dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan meningkatkan respon terapi erytropoietin. 9. Penelitian Fort et al., (2010) mengenai mortalitas pada pasien hemodialisis di Spanyol menunjukkan hasil bahwa kadar hemoglobin yang lebih tinggi berhubungan dengan angka kematian yang lebih rendah pada pasien hemodialisis di Spanyol. 10. Yani (2010) mengenai analisis biaya perawatan gagal ginjal kronis rawat inap dalam penetapan pembiayaan kesehatan berdasar INADRG di RSUD Dr. Moewardi dengan pembatasan sampel pada pasien jamkesmas menunjukan hasil bahwa tidak ada hubungan antara karakteristik pasien dan penyakit dengan biaya perwatan di rumah sakit, sedangkan lama waktu perawatan mempunyai hubungan dengan biaya perawatan, 11. Hidayati (2011) tentang evaluasi penggunaan terapi anemia pada pasien askes dengan gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis rutin di RS PKU Muhamadiyah Yogyakarta menemukan bahwa kepatuhan pasien ASKES dalam menggunakan terapi adjuvant per-oral anemia dapat membantu tercapainya target terapi epoeitin dan adanya persamaan pencapaian target kelompok subdosis epoetin dengan kelompok sesuai dosis terapi epoetin. 8
12. Quon (2012) tentang Cost Effectiveness pada terapi anemia dengan epoietin alfa pada pasien yang menjalani hemodialisis di Amerika menunjukan bahwa pada kadar Hb 10-11 g/dl lebih cost effective dibanding pada Hb 9-10 g/dl. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, adalah tidak hanya melihat efektivitas terapi r-huepo saja tetapi peneliti juga melihat perbandingam efektivitas r-huepo dan transfusi darah PRC serta biaya yang digunakan pada pengobatan anemia pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa. Selain itu, penelitian ini dilakukan pada tempat dan waktu serta subyek yang berbeda yaitu pada beberapa rumah sakit di Cilacap dan Banyumas serta dengan perspektif yang berbeda yaitu rumah sakit. E. Kepentingan Penelitian Pentingnya penelitian ini bagi perkembangan bidang ilmu farmakoekonomi adalah: 1. Menambah khasanah tentang penelitian analisis efektivitas dan biaya terhadap terapi anemia pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis. 2. Diharapkan dapat memberikan informasi kepada tenaga kesehatan/klinisi dan pihak penentu kebijakan sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan terapi anemia pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis. 3. Diharapkan dapat mampu memperbaiki masukan dalam merencanakan dan membuat kebijakan pelayanan kesehatan di Indonesia terutama pasien Jamkesmas dan Jamkesda serta memberikan solusi terbaik dalam bidang pengobatan anemia pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis. 9
4. Bagi peneliti dapat memberikan pemahaman dan pendalamam tentang ilmu farmakoekonomi melalui penerapan penelitian di beberapa RS di Cilacap dan Banyumas. 10